Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Kisah Si Naga Langit - 68

$
0
0
kisah-si-naga-langit-68.jpgCerita Silat | Kisah Si Naga Langit | Oleh Kho Ping Hoo | Kisah Si Naga Langit | Sakti Cersil | Kisah Si Naga Langit pdf

“Nah, ceritakan semua yang kau alami di istana, ceritakan sejujurnya dan jangan takut kepada ancaman siapapun juga. Pengakuanmu yang sejujurnya akan meringankan hukumanmu, sebaliknya kalau engkau berbohong, hukumanmu akan semakin berat!” “Ampunkan hamba, Sri Baginda yang mulia. Pada malam hari itu, hamba mendapat tugas untuk mengawasi mereka yang melakukan tugas pembunuhan atas diri dua orang tawanan, yaitu Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong. Tugas hamba adalah membunuh mereka kalau usaha pembunuhan itu gagal. Hamba diselundupkan sebagai pengawal istana dan hamba dapat mengawasi lima orang pembunuh itu dengan mudah. Ternyata mereka gagal membunuh dua orang tawanan yang ditotok roboh oleh seorang kakek yang sakti. Ketika ditinggalkan, hamba melaksanakan tugas hamba membunuh empat orang pemanah akan tetapi petugas utama yang bernama Cia Song telah lolos. Hamba tidak mungkin membunuhnya karena ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari kemampuan hamba. Setelah melakukan pembunuhan terhadap empat orang itu, sebelum hamba dapat melarikan diri, hamba roboh oleh kakek sakti itu sehingga hamba tertawan. Demikianlah, Sri Baginda, keterangan hamba yang sejujurnya dan hamba berani bersumpah bahwa semua keterangan hamba itu benar dan tidak bohong.” “Hemm, engkau melupakan satu hal yang terpenting, Lui Ki. Engkau lupa menyebutkan, siapa yang mengutus engkau, siapa yang menjadi dalang semua rencana pembunuhan itu? Siapa yang menyuruh tiga orang datuk itu mencoba untuk membunuh kami?” Lui Ki menjadi pucat wajahnya, lalu dia memandang ke arah Chin Kui dan berkata, suaranya gemetar namun cukup lantang dan jelas terdengar oleh semua yang hadir dalam ruangan persidangan itu. “Yang menjadi dalang dan mengutus hamba semua adalah Perdana Menteri Chin Kui!” Kini semua orang menoleh dan memandang kepada Perdana Menteri Chin Kui. Wajah Chin Kui berubah pucat dan dia maklum bahwa kini tidak ada gunanya lagi menyangkal. Akan tetapi tiba tiba dia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha!” Dia bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling dengan gaya seorang kaisar yang berkuasa. “Pasukan-pasukan pendukungku saat ini telah mengepung istana ini! Saya anjurkan Sri Baginda dan semua pamong praja untuk menakluk dan menyerah agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan dan membantai kalian semua. Ha-ha-ha!” Semua orang terkejut karena pada saat itu mereka mendengar suara hiruk pikuk dan gaduh di luar istana, suara tambur dan genderang dipukul gencar menandakan bahwa di luar istana terdapat banyak pasukan! Akan tetapi Panglima Kwee lalu memberi isyarat ke arah pintu dan tak lama kemudian para perajurit menggiring masuk belasan orang panglima pendukung Chin Kui yang sudah tertawan dengan kedua tangan terbelenggu! Kiranya Panglima Kwee dan rekan rekannya sudah lebih dulu mengadakan pembersihan dan menangkapi panglima sekutu Chin Kui sebelum mereka sempat bergerak dengan pemberontakan mereka! Chin Kui terbelalak ketika melihat belasan orang panglima pendukungnya menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar. Peristiwa ini terlalu hebat baginya, mengguncang hatinya dengan hebat, memporak- porandakan semua harapan dan cita-citanya dan dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang pecah dalam kepalanya. Perasaan kaget, kecewa, marah, dan takut bercampur menjadi satu teraduk dalam otaknya dan mengacaukan hatinya. “Ha-ha-ha-ha......!” Tiba-tiba dia tertawa terbahak- bahak sehingga mengejutkan semua orang yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak. “Hu-hu-hu-huuhh......!” Tiba-tiba tawanya yang bergelak itu berubah menjadi tangis tersedu-sedu. Semua orang menarik napas panjang. Perdana menteri Chin Kui yang berambisi dan berkhianat itu telah menjadi gila! Kaisar memerintahkan pengawal untuk menangkap Chin Kui. Bersama para panglima yang telah menjadi tawanan, dia lalu dibawa ke penjara. Pada hari itu juga, kaisar memerintahkan kepada Panglima Kwee untuk melakukan pembersihan, menangkapi mereka yang tadinya menjadi sekutu Chin Kui. Souw Thian Liong dan Puteri Moguhai kembali mendapat tawaran dari kaisar untuk minta hadiah apa yang mereka sukai, akan tetapi kedua orang muda itu menolak dengan hormat. Setelah semua selesai, mereka berdua meninggalkan istana. Juga Han Si Tiong dan Liang Hong Yi meninggalkan istana. Suami isteri ini berterima kasih sekali kepada Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu, dan mereka mengulang permintaan mereka kepada dua orang muda itu agar memberitahu kepada Han Bi Lan di mana mereka tinggal kalau kebetulan dapat berjumpa clengan gadis itu. Setelah itu, Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berpisah dari suami isteri yang akan kembali ke dusun Kian cung di dekat Telaga Barat. Mereka berdua keluar dari kota raja setelah berpamit dari Panglima Kwee. Begitu tiba di luar pintu gerbang kota raja Lin-an, Thian Liong bertanya kepada Pek Hong Nio-cu, “Nio-cu, sekarang engkau hendak pergi ke mana?” Pek Hong Nio-cu menatap wajah pemuda itu dan ia menghela napas panjang. Berat rasa hatinya untuk berpisah dari pemuda ini. Akan tetapi ia seorang puteri kaisar. Tidak mungkin kalau ia harus terus mengikuti Thian Liong yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu. Bahkan kemarin ketika Pangeran Kuang, pamannya, mengajak ia pulang ke utara, ia menolak dan mengatakan bahwa ia akan pulang sendiri. Penolakan itu ia lakukan karena ia merasa berat untuk berpisah dari Thian Liong yang dianggapnya sebagai seorang sahabat yang baik sekali. “Aku hendak pulang ke utara,” katanya dengan nada suara datar. “Dan engkau sendiri, hendak ke manakah, Thian Liong?” Thian Liong termenung. Dia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Tugas tugas yang diberikan gurunya kepadanya masih belum dapat dia selesaikan dengan sempurna. Memang, dia sudah berhasil membantu dan membela Kerajaan Sung sehingga terbebas dari pengaruh Chin Kui yang berkhianat. Akan tetapi kitab kitab yang harus dia kembalikan kepada para pemiliknya, masih ada satu yang belum dapat dia kembalikan, yaitu kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun lun-pai yang dicuri gadis baju merah itu. Tugas utama sekarang adalah mencari gadis pencuri itu dan merampas kembali kitab untuk dikembalikan kepada yang berhak, yaitu Kun-lun-pai. “Hei, kenapa engkau tidak menjawab pertanyaanku?” Pek Hong Nio-cu berkata dengan suara keras. Thian Liong terkejut dan baru ingat bahwa gadis itu tadi mengajukan pertanyaan kepadanya. “Apa? O ya, aku hendak melanjutkan perantauanku, Nio-cu. Engkau tahu bahwa aku masih mempunyai sebuah tugas penting, yaitu mencari gadis pakaian merah yang telah mencuri kitab kuno yang harus kuserahkan kembali kepada Kun-lun-pai. Kalau aku belum dapat merampas kembali kitab itu dan mengembalikannya kepada Kun-lun-pai yang berhak, berarti tugas yang diberikan suhu kepadaku belum kulaksanakan dengan baik.” “Hemm, gurumu itu agaknya tukang bagi-bagi kitab, ya? Engkau harus menyerahkan kitab ke Siauw-lim- pai, Bu-tong-pai, dan Kun-lun-pai!” kata Pek Hong Nio- cu berkelakar. “Hemm, dan juga membagikan sebagian kitabnya kepadamu, bukan?” Pek Hong Nio-cu tersenyum akan tetapi matanya memandang wajah pemuda itu penuh selidik lalu bertanya dengan nada serius. “Thian Liong, katakan sebenarnya, apakah betul bahwa Paman Sie yang menjadi sahabat ibuku dan juga yang memberi kitab- kitab dan hiasan rambut padaku ini adalah gurumu juga, Tiong Lee Cin-jin?” “Betul tidaknya tentu saja aku tidak bisa memastikan karena aku belum pernah melihat pamanmu itu. Akan tetapi, kita berdua sudah berhadapan dengan dia ketika dia membebaskan kita dari kamar tahanan. Dia itu benar-benar suhuku Tiong Lee Cin-jin. Masa aku lupa kepada guruku sendiri yang telah mendidik aku selama sepuluh tahun? Dia itu benar-benar guruku, dan buktinya dia menolongku dan menyuruh aku menolong Kaisar.” “Hemm, sama saja denganku kalau begitu. Walaupun baru satu kali aku melihat Paman Sie di taman itu ketika dia bercakap-cakap dengan ibuku, aku tidak pernah dapat melupakan wajahnya. Yang menolong kita di utara dulu dan di kamar tahanan istana itu jelas Paman Sie!” “Wah, kalau begitu tidak salah lagi. Aku tidak berbohong dan aku yakin engkau juga tidak berbohong. Kesimpulannya adalah bahwa Paman Sie itu adalah juga guruku, dan suhu Tiong Lee Cin-jin itu juga pamanmu.” “Nah, itu baru adil namanya. Jadi kalau begitu, engkau pasti adalah suhengku (kakak seperguruanku).” “Dan engkau su-moiku (adik seperguruanku)!” “Mulai sekarang aku akan menyebutmu suheng!” “Dan aku akan menyebutmu sumoi!” “Suheng, engkau hendak mencari pencuri kitab itu? Ke mana engkau hendak mencarinya?” “Itulah yang menjengkelkan, su-moi. Aku tidak mengetahui siapa nama pencuri itu, hanya mengenal mukanya dan aku tidak tahu sama sekali di mana ia berada.” “Hemm, kalau begitu, ke mana engkau hendak mencarinya? Ah, aku ingat sekarang. Engkau pernah bercerita kepadaku bahwa ilmu silat gadis pencuri itu mempunyai dasar ilmu silat para pendeta Lhama di Tibet. Dan ia mencuri kitab itu ketika engkau berada di pegunungan Kun-lun-san. Maka, menurut pendapatku, ia pasti tinggal di daerah barat, sekitar pegunungan Kun-lun-pai dan daerah Tibet. Kukira engkau harus mencarinya ke sana, suheng!” Thian Liong mengangguk-angguk. “Kurasa pendapatmu itu benar sekali. Baik, aku akan mencarinya di daerah barat itu, su-moi.” “Bagus, kalau begitu, aku akan pergi bersamamu!” kata Pek Hong Nio-cu dengan suara pasti dan wajah berseri. “Ahh?” Thian Liong memandang gadis itu dengan heran. “Akan tetapi, bukankah engkau harus pulang ke utara, su-moi? Orang tuamu tentu akan menanti nantimu. Pula, perjalananku mencari maling itu belum pasti berapa lamanya!” Pek Hong Nio-cu menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata tajam penuh selidik. “Suheng, engkau merasa keberatan kalau aku ikut denganmu? Kalau keberatan katakan saja!” Ditanya demikian itu, tentu saja Thian Liong menjadi tersudut dan serba salah. Tentu saja hatinya tidak pernah merasa keberatan karena melakukan perjalanan dengan gadis yang baik budi, gagah perkasa dan menyenangkan ini membuat perjalanannya tidak membosankan, bahkan menggembirakan. Akan tetapi bagaimanapun juga, Pek Hong Nio-cu adalah seorang gadis, puteri Kerajaan Kin pula. Tentu saja hal ini akan dipandang orang-orang sebagai hal yang tidak pantas! “Hei, kenapa diam saja, suheng? Kalau engkau merasa keberatan katakan saja sejujurnya!” Pek Hong Nio-cu membentak sehingga Thian Liong terkejut dan sadar dari lamunannya. “Eh...... ohh...... tidak sama sekali, su-moi. Aku senang melakukan perjalanan bersamamu. Akan tetapi engkau harus pulang dan......” “Inipun merupakan perjalananku untuk pulang, hanya melalui daerah barat. Aku ingin membantumu menemukan maling itu, suheng. Dari daerah itu kita dapat menemui Paman Kuang yang bentengnya berada di sana dan kita minta bantuannya agar dia mengerahkan para penyelidik untuk disebar dan mencari gadis pakaian serba merah yang telah mencuri kitabmu itu. Persoalannya sekarang hanya, engkau memutuskan boleh atau tidak aku melakukan perjalanan bersamamu. Kalau tidak boleh, sekarang juga kita berpisah dan aku kembali ke utara dan agaknya tidak mungkin kita akan saling bertemu lagi......” “Ah, tentu saja boleh sekali, su-moi!” potong Thian Liong. “Kalau boleh, mari kita melanjutkan perjalanan kita. Menuju ke Kun-lun-san dan Tibet!” Suara Pek Hong Nio-cu seperti bersorak dan wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga Thian Liong terpesona karena gadis itu tampak cantik jelita sekali. Setelah berkata demikian, Pek Hong Nio-cu melarikan kudanya dengan cepat. Thian Liong juga cepat mengejar dan dua ekor kuda pemberian Kwee- ciangkun itu, kuda-kuda yang tinggi besar dan kuat, kini seperti berlumba berlari cepat menuju ke barat laut. ◄Y► Setelah melakukan perjalanan berkuda selama beberapa pekan, pada suatu pagi yang cerah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu tiba di kaki pegunungan di Propinsi Shansi. Di bawah sinar matahari pagi yang cerah mereka menjalankan kuda mereka perlahan- lahan sambil menikmati pemandangan alam yang indah di daerah pegunungan itu. Ketika mereka tiba di lereng bukit di pegunungan Cin- ling-san itu, Pek Hong Nio-cu menahan kudanya dan memandang ke bawah di mana terbentang pemandangan alam yang amat indahnya. Sinar matahari yang putih kekuningan itu memandikan permukaan bumi di bawah sana. Thian Liong juga menghentikan kudanya berdampingan dengan Pek Hong Nio cu dan melihat wajah gadis itu berseri, matanya berbinar dan mulutnya tersenyum, tampak terpesona dan berbahagia, dia juga memandang ke arah yang dipandang Pek Hong Nio-cu. “Aahhh….....” gadis itu menarik napas panjang setelah tadi seolah ia menahan napasnya saking kagum menyaksikan pemandangan indah itu. “Alangkah indahnya......, bukan main...... sungguh luar biasa, suheng, lihat itu air danau kecil berkilauan, puncak pepohonan seperti berhiaskan emas, gundukan bukit- bukit itu...... ah, semuanya seolah tersenyum, begitu hidup......” Thian Liong tersenyum. “Su-moi, tahukah engkau di mana sesungguhnya keindahan itu terdapat?” “Eh? Di bawah sana itu, pemandangan alam ini, sinar matahari, lihat burung-burung kecil beterbangan...... ah, semua inilah tempat keindahan!” “Bukan, su-moi. Keindahan itu terdapat di dalam hatimu!” “Hemm, bagaimana maksudmu, suheng?” “Begini, su-moi. Kalau hati sedang tenteram bahagia, tidak terganggu perasaan nafsu apapun, maka segala sesuatu tampak indah bukan main. Bahkan di waktu hujan atau dalam keadaan apa dan bagaimanapun, akan tampak indah karena segala sesuatu memiliki sifat dan ciri yang khas. Keindahan itu pencerminan kebahagiaan. Kalau hatimu berbahagia, maka apapun akan tampak indah. Sebaliknya, kalau hati tidak tenteram bahagia, terganggu ulah nafsu yang menimbulkan kecewa, marah, benci, dengki, iri, khawatir, takut, bingung, sedih dan sebagainya, apapun yang kita hadapi akan tampak jelek dan sama sekali tidak menyenangkan!” Pek Hong Nio-cu tertegun, berpikir, merenungkan ucapan Thian Liong, kemudian berkata, “Hemm, aku mulai dapat mengerti apa yang kaumaksudkan, suheng. Akan tetapi berilah contoh agar jelas!” “Kalau hati kita tenteram bahagia, segala tampak indah, hujan atau panas, siang atau malam, apa saja, tampak indah karena keadaan tenteram bahagia itu mendatangkan kasih. Kalau hati kita sedang tenteram bahagia, semua orang, siapa saja, akan tampak seperti sahabat yang menyenangkan. Sebaliknya kalau hati diusik nafsu menimbulkan segala macam perasaan tadi, hujan maupun panas tampak mengganggu, siang maupun malam menjengkelkan dan kalau bertemu orang, siapa saja, tampak menjengkelkan seperti musuh. Kalau hati kita tenteram bahagia, ada seekor kucing mendekat, kita ingin membelainya dengan hati sayang, sebaliknya kalau kita kehilangan tenteram bahagia, ada kucing mendekat, kita ingin menendangnya dengan benci.” Pek Hong Nio-cu tersenyum. “Wah, sekarang aku dapat merasakan kebenaran kata-katamu itu, suheng! Akan tetapi, bagaimana caranya agar hati kita selalu tenteram bahagia agar segala sesuatu tampak indah menyenangkan?” “Tidak ada caranya, su-moi. Kita hanya membuka hati sanubari dan mohon kepada Thian (Tuhan) untuk bersemayam dalam hati kita. Kalau sudah begitu, dalam keadaan apapun juga, sehat atau sakit, untung atau rugi, hati kita akan selalu tenteram bahagia.” “Wah, mungkinkah itu, suheng? Dalam keadaan sakit dan tertimpa malapetaka, bagaimana kita dapat merasa tenteram bahagia?” gadis itu membantah. “Kenapa tidak dapat, su-moi? Kebahagiaan bukanlah kesenangan badan dan pikiran. Dalam keadaan apapun juga, kita akan merasa tenteram bahagia karena kita yakin bahwa Thian beserta kita, kesengsaraan badan tidak akan mempengaruhi batin yang sudah menyerah sebulatnya berdasarkan iman kepadaNya.” “Hebat......! Dari mana engkau mendapatkan pengertian seperti itu, suheng?” “Suhu Tiong Lee Cin-jin banyak memberi petunjuk, akan tetapi hanya Kekuasaan Thian yang membimbing sehingga kita dapat mengerti. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang mustahil, tidak ada yang sukar bagi Thian. Di dalam tanganNya, kita akan selalu merasa tenteram bahagia, dalam keadaan apa dan bagaimanapun juga.” “Wah, sungguh engkau beruntung dapat menjadi murid Paman Sie dan langsung mendapatkan petunjuk darinya! Kalau begitu, sekarang engkau adalah seorang yang selalu merasa tenteram bahagia, suheng?” Thian Liong tersenyum dan menghela napas panjang. “Su-moi, kita adalah manusia, mahluk yang bergelimang dosa. Thian selamanya tak pernah meninggalkan kita sedetikpun. KekuasaanNya bekerja juga dalam diri kita. Sebentar saja kekuasaanNya meninggalkan kita dan tidak bekerja, kita akan mati. Kita manusia lemah dan aku juga seorang manusia, su-moi dengan segala kelemahanku pula. Bukan Thian yang menjauhkan diri dari kita, melainkan kita yang menjauhkan diri dari Thian kalau kita terseret oleh nafsu nafsu yang menguasai diri kita lahir batin. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, sumoi. Yang Maha Sempurna hanya Thian. Segala ciptaanNya pada semula adalah sempurna, namun kesempurnaan itu dicemari oleh dosa kita manusia sendiri. Kita harus belajar, su-moi, belajar dan mengajar diri sendiri agar selalu mendekatkan diri dengan penyerahan yang tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Kuasa.” Mereka turun dari atas punggung kuda dan membiarkan kuda mereka makan rumput yang hijau segar. Tempat mereka berhenti itu merupakan padang rumput yang cukup luas dan landai. Mereka ingin menikmati keindahan itu lebih lama lagi dan mereka duduk di atas batu gunung. Tiba-tiba Pek Hong Nio-cu berseru, “Hei, itu ada banyak orang mendaki ke sini, suheng!” Thian Liong memandang ke arah itu dan benar saja, dia melihat belasan orang mendaki lereng bukit itu ke arah mereka. Dan melihat betapa mereka itu berlari cepat mendaki bukit, dapat diketahui bahwa mereka bukan orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Setelah rombongan itu tiba cukup dekat sehingga wajah mereka tampak jelas, Thian Liong bangkit berdiri dan berseru, “Hei, mereka adalah orang-orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai!” Pek Hong Nio-cu juga bangkit dan berseru, “Dan itu adalah si jahanam Cia Song dan dua orang gadis Kun- lun-pai tak tahu malu itu!” Thian Liong mengerutkan alisnya. Dia mengenal Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai, juga Kim Lan dan Ai Yin di antara para tokoh Kun-lun-pai dan dengan kaget dia mengenal Hui Sian Hwesio, Cu Sian Hwesio, dan juga Cia Song di antara para tokoh Siauw-lim-pai. Jumlah para tokoh Kun-lun-pai ada sembilan orang dan para tokoh Siauw-lim-pai ada enam orang! Hemm, ada apa lagi ini, pikirnya. Melihat sikap orang-orang itu, Pek Hong Nio-cu berbisik kepada Thian Liong. “Hati-hati, suheng, agaknya si jahanam Cia Song membuat ulah lagi!” Setelah tiba di depan Thian Liong dan Pek Hong Nio- cu, Ketua Siauw-lim-pai Hui Sian Hwesio, wakil ketua Siauw-lim pai Cu Sian Hwesio berdiri dengan alis berkerut di depan kedua orang muda itu sedangkan di samping pimpinan Siauw lim-pai ini berdiri pula Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai yang dari wajahnya dapat diketahui bahwa mereka marah sekali. Cia Song berdiri di belakang pimpinan Siauw-lim-pai sedangkan Kim Lan dan Ai Yin berdiri di belakang guru mereka. Delapan orang tokoh lain sudah mengambil posisi mengepung Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Karena dia sudah diaku sebagai murid Siauw-lim-pai oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, maka Thian I.iong mengangkat kedua tangan di depan dada sambil membungkuk kepada kakek itu. “Suhu......,” katanya dengan hormat.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>