Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Kisah Si Naga Langit - 69

$
0
0
kisah-si-naga-langit-69.jpgCerita Silat | Kisah Si Naga Langit | Oleh Kho Ping Hoo | Kisah Si Naga Langit | Sakti Cersil | Kisah Si Naga Langit pdf

“Tidak perlu engkau menyebut suhu kepada suheng!” bentak Cu Sian Hwesio. “Engkau tidak pantas menjadi murid Siauw-lim-pai dan mulai saat ini engkau bukan murid, melainkan musuh Siauw lim- pai.” “Ji-suhu (Guru kedua), harap jelaskan, apa kesalahan teecu (murid) maka pimpinan Siauw-lim-pai begini marah kepada teecu?” tanya Thian Liong, sikapnya masih tenang karena dia tidak merasa melakukan kesalahan apapun terhadap Siauw-lim-pai. “Engkau masih ada muka untuk bertanya apa kesalahanmu? Jangan pura pura tidak tahu, Souw Thian Liong! Engkau telah menjadi seorang pengkhianat! Engkau telah begitu rendah menjadi kaki tangan Kaisar Kin, kemudian engkau memberontak terhadap Kerajaan Sung! Itu semua masih ditambah lagi dengan perbuatanmu yang keji terhadap Kun-lun pai! Sebagai bekas murid Siauw-lim- pai, dosamu tidak dapat diampuni. Engkau mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai, maka, kami datang sendiri untuk menghukummu!” kata Cu Sian Hwesio. “Hemm, teecu siap menerima hukuman kalau memang teecu melakukan kesalahan. Akan tetapi semua kabar yang suhu terima itu hanyalah fitnah belaka, dan apa pula yang teecu lakukan terhadap Kun-lun-pai yang suhu anggap perbuatan keji itu?” Thian Liong masih bersikap tenang dan ia menggeleng kepala terhadap Pek Hong Nio-cu yang sudah mengerutkan alis dan mukanya merah, sinar matanya berapi-api karena marah. “Keparat busuk kau!” tiba-tiba Biauw In Su-thai yang terkenal galak itu memaki sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Thian Liong. “Engkau telah melakukan perbuatan keji terhadap dua orang muridku ini dan kau masih bertanya-tanya lagi seolah tidak berdosa sama sekali? Perbuatan yang terkutuk itu harus dihukum dan pin-ni (aku) sendiri yang akan menghukummu!” Pek Hong Nio-cu tidak mampu menahan kobaran api kemarahan dalam hatinya. Ia maju selangkah, memandang kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, lalu membentak lantang dengan kata- kata tajam. “Heh, kalian ini kakek-kakek Siauw lim-pai dan nenek-nenek Kun-lun-pai! Hanya sebeginikah kesusilaan kalian sebagai para pimpinan dua perkumpulan yang terkenal besar itu? Kalian ini kakek-kakek dan nenek-nenek ceroboh dan bodoh seperti anak-anak yang mudah dihasut begitu saja, juga sama sekali tidak mempunyai keadilan sehingga menuduh berdasarkan fitnah tanpa menyelidiki terlebih dulu. Kalian tidak pantas menjadi pimpinan partai-partai persilatan besar!” Tentu saja para pimpinan Siauw-lim pai dan Kun-lun- pai terkejut dan marah sekali mendengar kata-kata yang keras dan tajam menusuk perasaan itu. “Suhu, perempuan itu adalah puteri Kaisar Kin,” bisik Cia Song kepada dua orang gurunya. “Oo, jadi engkau ini puteri Kaisar Kin, nona?” tanya Cu Sian Hwesio. “Pantas saja Souw Thian Liong mau menjadi pengkhianat bangsa. Kiranya tergila-gila oleh kecantikanmu.” “Tutup mulutmu kakek jahat! Aku Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu tidak sudi menerima penghinaan dari seorang hwesio tua yang berpura-pura alim seperti kamu!” “Su-moi......!” Thian Liong mencegah dan menyentuh lengan kiri gadis itu, akan tetapi Pek Hong Nio-cu mengibaskan lengannya dan tetap menghadapi Cu Sian Hwesio dengan marah. Cu Sian Hwesio berdiri dalam jarak dua meter dari Pek Hong Nio-cu. Tentu saja dia juga marah mendengar omongan gadis itu. “Kau anak perempuan jahat!” katanya dan tangan kirinya dijulurkan ke depan. Lengan itu mulur seperti karet dan tahu tahu sudah dekat sekali, hendak menotok leher Pek Hong Nio-cu. Gadis ini terkejut melihat lengan yang bisa mulur itu. Akan tetapi ia tidak gentar dan menangkis tangan itu sambil mengerahkan tenaga sakti pada tangannya yang menangkis. “Wuuuuttt...... plakkk!” Dua tangan bertemu dan dengan kaget Cu Sian Hwesio menarik kembali tangannya yang mulur. Dia terkejut bukan main karena tangkisan gadis itu kuat sekali dan dapat mengimbangi tenaganya. Sebelum dia bergerak lagi, Hui Sian Hwesio menegurnya. “Sute, hentikan itu!” Cu Sian Hwesio menahan serangannya dan berdiri dengan alis berkerut. “Omitohud, nona Puteri Moguhai, bagaimana kami dapat yakin bahwa engkau adalah puteri Kaisar Kin?” tanya Hui Sian Hwesio, suaranya lembut. Watak Puteri Moguhai adalah keras. Kalau ia dikasari, ia akan menjadi marah sekali, akan tetapi kalau orang bersikap Iembut kepadanya, ia menjadi lemas. Mendengar pertanyaan itu, ia mencabut pedang bengkoknya dari emas lalu berkata, suaranya juga lembut. “Ini adalah pedang tanda kekuasaan yang diberikan Ayahanda Kaisar kepadaku.” Setelah berkata demikian, ia menyimpan kembali pedang bengkoknya. “Apakah losuhu ini Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim- pai?” Ia pernah mendengar cerita Thian Liong tentang ketua ini. “Benar, nona puteri. Engkau keliru kalau menganggap kami tidak adil. Kami tidak akan menghukum seorang murid kami kalau tidak ada bukti dan saksi akan kesalahannya. Omitohud, kami akan menjadi orang- orang berdosa kalau kami menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak bersalah.” “Hemm, jadi losuhu sekalian ini hendak menghukum Souw Thian Liong karena sudah mempunyai bukti dan saksi bahwa dia benar bersalah?” “Su-moi, jangan menentang suhu Hui Sian Hwesio!” Thian Liong mencegah Puteri Moguhai. “Puteri Moguhai, ada hak apakah engkau ikut mencampuri urusan kami dengan seorang murid kami?” bentak Cu Sian Hwesio penasaran. Moguhai atau Pek Hong Niocu menegakkan kepalanya dan membusungkan dadanya. “Tentu saja aku mempunyai hak untuk membela dia, karena dia adalah suhengku. Suheng Souw Thian Liong murid Tiong Lee Cin-jin, akupun murid Sang Dewa Obat!” Semua orang terkejut dan Cu Sian Hwesio sekarang tidak merasa heran bahwa tadi puteri Kaisar Kin itu kuat menolak serangannya. “Omitohud, kiranya nona puteri adalah murid Tiong Lee Cin-jin. Nah, coba sekarang apa pembelaanmu terhadap Souw Thian Liong mengenai tuduhan- tuduhan tadi,” kata Hui Sian Hwesio dengan sikap dan suaranya yang lembut. “Nah, dengarlah kalian semua! Aku, Puteri Moguhai adalah saksi hidup karena aku mengalami semua peristiwa yang dituduhkan itu bersama suheng Souw Thian Liong. Suheng sama sekali bukan pengkhianat seperti yang dituduhkan. Ketika berada di utara, dia membantu aku untuk menentang dan menghancurkan persekutuan pemberontak yang hendak menggulingkan pemerintahan ayahanda kaisar. Kami berhasil menghancurkan pemberontak. Jadi, suheng Souw Thian l.iong hanya membantu Kerajaan Kin untuk menghancurkan pemberontak di sana. Apakah itu dapat diartikan bahwa dia mengkhianati Kerajaan Sung? Selain itu, ada pula kenyataan yang tentu saja kalian belum mengetahui! Sekarang dengarkan baik-baik. Para pemberontak di Kerajaan Kin itu bersekutu dengan Perdana Menteri Chin Kui. Kami berdua melihat dan bertemu sendiri dengan utusan Chin Kui yang dikirim ke utara untuk mendukung pemberontakan itu. Dan kalian mau tahu siapa utusan Perdana Menteri Chin Kui itu?” Puteri Moguhai berhenti sebentar lalu telunjuk kirinya menuding ke arah muka Cia Song yang berdiri di belakang Hui Sian Hwesio. “Dialah orangnya, Cia Song yang jahat itu!” Tentu saja semua orang terkejut, terutama sekali para pimpinan Siauw-lim pai. Hui Sian Hwesio sampai menoleh ke belakang, memandang Cia Song. Cia Song sudah memperhitungkan bahwa tentu Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu ingin membela diri dengan membongkar rahasia dirinya. Dia sudah siap siaga untuk itu, maka kini dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hui Sian Hwesio. “Suhu, ternyata puteri Kaisar Kin ini keji, licik dan jahat sekali. Ia memutar balikkan fakta, bahkan berbalik melempar fitnah kepada teecu. Tentu saja ia membela Thian Liong yang menjadi kekasihnya. Teecu menyerahkan kepada kebijaksanaan suhu. Kalau suhu lebih percaya omongan puteri Kaisar Kin dan hendak menghukum teecu, teecu pasrah dan menyerahkan nyawa teecu. Sejak kecil teecu menjadi murid Siauw- lim-pai, telah berhutang budi dan akan setia kepada Siauw-lim-pai sampai mati.” Hui Sian Hwesio menyentuh pundak Cia Song. “Bangunlah! Pinceng percaya kepadamu, Cia Song, dan tidak akan ceroboh menjatuhkan hukuman begitu saja. Tentu pinceng (aku) lebih percaya kepadantu yang sudah belasan tahun menjadi murid kami, sedangkan Thian Liong menjadi murid hanya dalam beberapa bulan saja. Apalagi keterangan nona puteri dari utara ini, tentu membutuhkan penyelidikan lebih lanjut.” “Hemm…...!” Pek Hong Nio-cu mendengus dengan nada mengejek. “Aku sering mendengar bahwa orang kalau sudah tua menjadi pikun, lemah dan bodoh. Agaknya para pimpinan Siauw-lim-pai juga menjadi pikun sehingga mudah saja dipermainkan dan dibohongi iblis cilik seperti Cia Song itu!” “Bocah kurang ajar! Berani menghina pimpinan Siauw- lim-pai?” Cu Sian Hwesio membentak dan ia sudah menyerang lagi kepada Pek Hong Nio-cu. “Perempuan jahat dari Kin dan pengkhianat harus mampus!” Cia Song juga sudah menerjang maju. Pek Hong Nio-cu tidak gentar. Ketika Cu Sian Hwesio menyerangnya, ia cepat mengelak dan membalas dengan tendangan kaki kiri yang juga dapat ditangkis Cu Sian Hwesio. Serangan Cia Song kepada Pek Hong Nio-cu ditangkis Thian Liong dan kedua orang muda ini sudah saling serang. “Tahan…...!” Hui In Sian-kouw berseru dan suara wanita yang menjadi ketua Kun-lun-pai bagian murid wanita ini demikian menggetarkan dan amat berwibawa. “Kami yang berhak menghukum Souw Thian Liong!” “Sute dan Cia Song, mundurlah!” Hui Sian Hwesio juga berseru. Dua orang penyerang itu terpaksa mundur dan perkelahian berhenti. Kini Biauw In Su-thai yang maju. Tokoh Kun-lun-pai yang berusia limapuluh tahun ini terkenal galak. Seperti kita ketahui, Kui Beng Thaisu, ketua Kun-lun pai telah mengharuskan Biauw In Su-thai menyepi di pondok pengasingan selama tiga tahun. Akan tetapi setelah Kim Lan dan Ai Yin pulang dan sambil menangis melaporkan kepada para pimpinan Kun lun- pai bahwa mereka berdua telah diperkosa Souw Thian Liong, Kui Beng Thaisu memberi ijin kepada Biauw In Su-thai untuk menemani Hui In Sian-kouw turun gunung mencari pemuda itu dan menghukumnya. Dalam perjalanan, rombongan Kun-lun-pai ini bertemu dengan rombongan Siauw-lim-pai yang bahkan dipimpin sendiri oleh ketuanya, yaitu Hui Sian Hwesio yang juga mencari Souw Thian Liong untuk menghukumnya karena pemuda yang sudah dianggap murid Siauw-lim-pai ini menjadi pengkhianat yang berarti mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai seperti yang dilaporkan Cia Song kepada para pimpinan Siauw-lim pai. Dua rombongan itu lalu bergabung dan akhirnya dapat berhadapan dengan Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. “Souw Thian Liong! Engkau harus berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu yang terkutuk terhadap dua orang murid kami!” Biauw In Su-thai berseru dan wanita galak ini sudah mencabut pedangnya. “Perbuatanmu yang terkutuk itu harus ditebus dengan nyawamu!” “Su-thai, apakah kesalahan saya terhadap dua orang murid Su-thai itu?” tanya Souw Thian Liong tenang sambil memandang ke arah Kim Lan dan Ai Yin yang memandang kepadanya dengan alis berkerut dan mata berapi-api karena marah. Kim Lan yang sejak tadi marah sekali, kemarahan yang bukan saja mengingat bahwa ia telah diperkosa Souw Thian Liong, akan tetapi dikipasi oleh, anehnya, perasaan cemburu melihat betapa pemuda itu demikian akrab dan dibela puteri cantik Kaisar Kin, melangkah maju dan mencabut pedangnya pula, diikuti oleh Ai Yin. “Keparat keji!” Kim Lan menudingkan pedangnya dengan sikap galak. “Engkau masih pura-pura bertanya? Seolah lupa akan perbuatanmu yang terkutuk terhadap kami berdua!” Thian Liong memandang heran. “Perbuatan terkutuk? Biadab? Apa yang kaumaksudkan, nona?” “Engkau masih berpura-pura? Baiklah, kami berdua memang sudah tercemar aib. Biarlah semua orang mengetahui betapa biadab dan terkutuk engkau, Souw Thian Liong! Di dalam penginapan di kota Kiang- cu itu, engkau menotok kami berdua lalu...... lalu...... dengan biadab engkau memperkosa kami!” Setelah berkata demikian, air mata mengalir dari mata Kim Lan, juga Ai Yin. “Penasaran! Aku tidak melakukan perbuatan keji itu! Apa buktinya? Siapa saksinya?” kata Thian Liong penasaran. “Buktinya?” kata Kim Lan dengan suara parau karena bercampur tangis dan ia mengeluarkan sehelai surat dari saku bajunya, melambaikan surat itu ke atas. “Ini buktinya, suratmu yang kau tinggalkan di meja kamar penginapan. Engkau bukan saja telah memperkosa, bahkan engkau juga meninggalkan surat menghina Kun-lun-pai!” “Saksinya adalah aku!” Tiba-tiba Cia Song berkata lantang. “Aku yang menyaksikan bahwa pada waktu dua orang nona murid Kun-lun-pai itu berada di Kota Kiang-cu, aku melihat Souw Thian Liong dan puteri Kin itu juga berada di sana!” Biauw In Su-thai berteriak, “Kim Lan! Ai Yin! Tak perlu banyak bicara lagi, kita bunuh jahanam ini!” Tokoh Kun-lun pai ini menerjang, diikuti oleh Kim Lan dan Ai Yin sehingga Thian Liong diancam pengeroyokan tiga orang wanita yang pandai mainkan Thian-lui-kiam-sut (llmu Pedang Kilat Guntur) itu. Pek Hong Nio-cu juga mencabut pedang bengkoknya dan melompat ke depan Thian Liong untuk melindungl pemuda yang masih berdiam tenang dan tidak mencabut pedangnya itu. Pek Hong Nio cu bersiap melawan tiga orang wanita Kun-lun-pai itu. Melihat ini, tiga orang wanita itu menjadi semakin marah. “Bentuk Thian-lui-kiam-tin (Pasukan Pedang Kilat Guntur)!” kata Biauw In Su-thai. Mereka sudah bergerak dan siap menyerang. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tampak sesosok bayangan merah berkelebat. “Tahan senjata!” Dan di dekat Pek Hong Nio-cu, berhadapan dengan tiga orang wanita Kun-lun-pai, sudah berdiri seorang gadis berpakaian serba merah muda. Melihat gadis cantik jelita dengan sepasang mata indah yang mencorong dan bentuk mulut yang menggairahkan, Thian Liong terkejut. “Engkau......?” dia membentak karena segera dia mengenal gadis yang dulu mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun hoat dari tangannya! Han Bi Lan, gadis itu, menoleh dan tersenyum kepada Thian Liong berkata, “Ya, aku! Aku pernah bersalah kepudamu dan sekarang aku hendak menebus kesalahan itu dengan membelamu!” Biauw In Su-thai membentak. “Apa yang kaulakukan ini? Souw Thian Liong itu musuh kita! Dia telah menodai dua orang kakak seperguruanmu. Mari bantu kami bunuh dia!” Mendengar ini Thian Liong menjadi terheran-heran. Jadi, gadis yang mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu adalah murid Kun-lun-pai? Kenapa mencuri sendiri kitab milik Kun-lun-pai dan kini berbalik membelanya? “Tidak, bibi guru. Saya tadi sudah mendengar semua dan saya yakin bahwa Souw Thian Liong bukanlah seorang jahat. Tuduhan ini harus diselidiki lebih dulu kebenarannya!” Gadis baju merah itu membantah. Hui In Sian-kouw berkata, suaranya lembut namun mengandung teguran. “Tuduhan itu sudah ada bukti dan saksinya, bukan hanya fitnah belaka. Harap engkau tidak mengkhianati Kun-lun-pai dan menjadi murid yang ikut mempertahankan dan menjaga kehormatan Kun-lun-pai.” “Maaf, subo (ibu guru), teecu bukan hendak berkhianat. Malah teecu ingin menjaga agar pimpinan Kun-lun-pai tidak bertindak salah menghukum orang yang tidak berdosa. Harap subo ingat bahwa Souw Thian Liong adalah murid! Tiong Lee Cin-jin yang sudah berjasa mengembalikan kitab pusaka milik Kun-lun-pai yang hilang, dan tidak sembarangan menjatuhkan hukuman kepadanya sebelum jelas bukti-buktinya,” gadis itu membantah. “Bagus!” Pek Hong Nio-cu bertepuk tangan memuji. “Suheng, sobat muda ini ternyata lebih u-ceng-li (punya aturan) daripada para nenek Kun-lun-pai!” Lalu Pek Hong Nio-cu menghadapi Hui In Sian kauw. “Apakah engkau pimpinan Kun-lun pai yang bertanggung jawab?” “Benar, pin-ni (aku) adalah Hui In Sian-kouw, ketua bagian murid wanita Kun-lun-pai,” jawab pendeta wanita itu. “Bagus, kalau begitu aku mau bicara denganmu. Dengarlah, kalian semua, seperti juga tuduhan pihak Siauw-lim-pai, tuduhan pihak Kun-lun-pai terhadap Souw Thian Liong juga palsu dan tidak benar sama sekali. Bukti itu menunjukkan kebersihan suheng Souw Thian Liong karena surat itu adalah tulisanku yang sengaja kulempar ke atas meja dalam kamar dua orang murid Kun-lun-pai itu. Sama sekali bukan tulisan suheng Souw Thian Liong! Mau tahu bahwa aku tidak berbohong? Baik, akan kubacakan apa yang kutulis itu karena aku masih ingat. Bunyinya tentu begini : ‘Murid-murid perempuan Kun-lun-pai tak tahu malu. Memaksa seorang la laki-laki menjadi suaminya. Begitukah pelajaran yang kalian dapatkan dari Kun- lun-pai?’ Nah, coba baca surat itu, persis tidak dengan kata- kataku tadi? Kalau perlu aku akan menulis agar diketahui bahwa surat itu aku yang menulis!” “Perempuan keparat! Berani engkau menghina Kun- lun-pai!” bentak Biauw In Su-thai sambil mengelebatkan pedangnya. “Heh-heh, engkau yang bernama Biauw In Su-thai, bukan?” Pek Hong Nio-cu mendengar nama ini dari cerita Thian Liong. “Jadi engkau ini guru dua orang murid perempuan itu, engkau yang memaksa mereka untuk memaksa suheng Souw Thian Liong menjadi suami muridmu dan kalau suheng menolak harus dibunuh? Oh, aturan mana itu?” “Jahanam......!” Biauw In Su-thai hendak menyerang akan tetapi Hui In Sian-kauw mencegahnya. “Tahan, su-moi. Puteri Moguhai, andaikata benar kesaksianmu tentang bukti itu, masih ada lagi kesaksian murid Siauw-lim-pai Cia Song bahwa dia melihat engkau dan Souw Thian Liong berada di kota Kiang-cu ketika peristiwa yang menimpa dua orang murid kami itu terjadi,” kata Hui In Sian-kauw. “Memang benar bahwa kami berada di kota itu. Akan tetapi aku yang mendatangi kamar penginapan mereka itu, dan aku menjadi saksi bahwa suheng Souw Thian Liong malam itu sama sekali tidak keluar dari kamarnya, sesuai dengan anjuran si Cia Song itu agar suheng malam itu tidak keluar dari kamarnya.” “Bohong, puteri Kaisar Kin itu bohong, sengaja memutarbalikkan kenyataan. Ia berbahaya sekali! Tidak mungkin suhu dan para susiok lebih percaya ia dan Souw Thian Liong daripada teecu! Kita bunuh mereka!” teriak Cia Song. “Subo, teecu yakin Souw Thian Liong itu yang menodai teecu berdua. Teecu mendengar suaranya ketika dia mengejek dengan kata-kata: “Kalian ingin mengenal Souw Thian Liong”, lalu dia tertawa lirih,” kata Kim Lan. “Teecu juga mendengar suaranya itu!” kata pula Ai Yin. Cia Song, Kim Lan, dan Ai Yin sudah menerjang Thian Liong dengan pedang mereka. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu menangkis serangan dua orang gadis murid Kun-lun-pai itu dan Thian Liong mengelak dari serangan Cia Song yang dahsyat. Thian Liong masih merasa ragu untuk menggunakan pedangnya karena dia berhadapan dengan para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang dia hormati dan dia tahu bahwa mereka itu hanya terkena hasutan Cia Song saja. “Omitohud, menyerahlah Thian Liong. Kami hendak menangkapmu dan akan mengadili setelah meneliti perkara ini! Tangkap saja dia, jangan bunuh!” kata Hui Sian Hwesio. Akan tetapi hanya Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim- pai dan Hui In Sian-kouw ketua Kun-lun-pai saja yang tidak tergesa mengambil keputusan untuk membunuh Souw Thian Liong. Mereka yang lain sudah terpengaruh kesaksian Cia Song dan pengakuan Kim Lan dan Ai Yin maka mereka menyerang dengan dahsyat untuk membunuh Souw Thian Liong.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423