Cerita Silat | Ilmu Silat Pengejar Angin | oleh Siasa | Ilmu Silat Pengejar Angin | Cersil Sakti | Ilmu Silat Pengejar Angin pdf
Pendekar Bodoh - 9. Sengketa Ahli Sihir Pendekar Bodoh - 10. Raja Alam Sihir Pendekar Bodoh - 11. Rahasia Sumur Tua Pendekar Bodoh - 12. Munculnya Sang Pewaris Gento Guyon - 28. Semerah Darah Pendekar Bodoh - 3. Setan Selaksa Wajah Pendekar Bodoh - 4. Ratu Perut Bumi Pendekar Bodoh - 5. Ksatria Seribu Syair Pendekar Bodoh - 6. Muslihat Sang Durjana Pendekar Bodoh - 8. Pusaka Pedang Naga
Setibanja dibawah, ia menghampiri ketiga korbannja jang ternjata sudah tidak bernjawa pula. Dan dibawah pohon itu djuga, dengan menggunakan dua buah batu api, dibuatnja sebuah unggun. Setelah berkobar besar, lalu dibuluinja ketiga ekor burung. Kemudian setelah menambus salah satu diantaranja dengan pedangnja. Dilain saat tambusan itupun sudah terpanggang. Hingga achirnja sesudah menunggui beberapa lama ia pun sudah tengah menggeragotinja. Sambil mengunjah pikirannja melajang pada ketika beberapa bulan jang lalu ia dengan Sioe Lian di Ie-pin ber- sama2 makan daging kelintji. Tanpa terasa seekor bulat telah dihabisinja, namun karena masih merasa lapar segera kembali seekor burung dipanggangnja untuk kemudian setelah matang dibereskannja pula. Baharulah kini setelah menghabiskan dua ekor ia merasakan perutnja tidak lapar pula, namun sebagai gantinja, hawa panas menjerang tubuhnja dan dalam sedetik sadja ia sudah merasa kehausan. Lalu iapun ber-lari2 mengelilingi hutan tjemara tersebut. Kebetulan setelah mentjari beberapa lama, ia mendengar disebelah baratnja ada mengggeritjik suara air. Untuk kegirangannja setelah ber-larian, ia mendapatkan dihadapannja melintang sebatang anak sungai. Lupa ia untuk memeriksa apakah air itu djernih atau kotor, tubuhnja ditengkurapkan dan dengan menggunakan kedua belah telapak tangannja, ia pun sudah memindah enam tjelegukan kedalam perutnja. Untuk girangnja setelah minum ia merasakan tubuhnja segar sekali. Perutnja tidak dirasakan panas pula. Hanja buat kekagetannja, ia melihat tidak djauh dari tempat ia rebahkan tubuhnja, dilihatnja setumpuk kain jang berbentuk seperti pakaian. Lantas ia pun menghampirinja. Ia mendjadi kaget sekali untuk beberapa lama berdiri mematung, ketika mendapat kenjataan kalau kain itu adalah badju tebal jang pada beberapa bulan berselang dihadiahkannja kepada An Sioe Lian, ketika untuk pertama kalinja ia berkenalan di Soatang! Beberapa lama kemudian setelah dapat menguasai dirinja, dengan tangan bergemetar, didjumputnja pakaian itu. Hantjur luluh hatinja ketika mendapatkan bahagian dalam dari pakaian tersebut penuh dengan noda2 darah. Hampir2 disaat itu djuga ia djatuh pingsan. Dengan tenaga jang hampir hilang separuh, ia mentjutjinja serta dibuntalnja setelah bersih, akan kemudian ia pun sudah berada didjalan jang menudju keguha dimana pada dua hari jang lalu ia mendapatkannja. Disepandjang djalan tidak berhenti otaknja berpikir, ia heran mengapa dalam hari2 belakangan ini ia selalu dilibat pengalaman2 jang hebat2. Sore hari tibalah kembali ia diguhanja, setelah memeriksa ia mendapat kenjataan 'tempat pusaka' itu tidak kurang suatu apa, suatu tanda tidak seorang pun pernah sampai. Esoknja pagi2 ketika matahari baharu muntjul, ia pun menggali lubang jang besarnja tjukup lebar, setelah merasa ukurannja tjukup, kemudian pakaian jang pada beberapa hari berselang masih melekat ditubuh Sioe Lian dikuburnja. "Lian-djie," demikian dengan mulut kemak-kemik ia berkata. "Ternjata kau berumur pendek. Setelah ajahmu dibinasakan muridnja sendiri ternjata kau djuga sebelum dapat menunaikan tugasmu telah ditimpa ini matjam kedjadian, dimana kau tentunja telah mendjadi korban beruang2 keparat. Namun kau jang berada dialam baka, aku harap berlega hati, Siang Tjoe mu pasti akan mewakilkan kau untuk membalaskan sakit hati ini. Tunggulah, aku akan menghabiskan semua beruang2 jang berada ditanah pegunungan ini, Lian legakanlah hatimu..." Setelah itu, tanpa terasa pula ia sudah menangis ter- sedu2. Ber-djam2 tanpa seorang pun jang menghiburinja. Hingga setelah hari sudah tidak pagi pula, setelah puas ia menangis, ia berhenti sendirinja. Dan siang itu djuga ia kembali sudah mengelilingi pula seluruh tanah pegunungan Thang-ala-san. Hanja sekali ini, bukanlah ia mentjari Sioe Lian, melainkan hampir seluruh beruang2 jang berada didaerah sekitar itu dihabiskannja. Hingga untuk ini, tiga hari tiga malam ia menghabiskan waktunja. Untuk kemudian baharulah dihari kelimanja, setelah beristirahat seharian dihari keempat, iapun mulai membersihkan ruang guha. Enam bulan kemudian iapun telah membersihkan hampir seluruh ukiran2 jang banjak memenuhi ruang guha. Namun ketika hendak mempeladjarinja ia mendjadi bingung karena ia tidak tahu harus dari mana memulai. Ia bingung, gelisah dan achirnja putus asa ketika setelah ber-hari2 belum djuga dapat memetjahkan jang mana udjung serta mana pangkalnja. Namun mudjur baginja pada suatu hari ketika ia berada dalam kegelapan pikiran telah terdjadi suatu hal kebenaran. Pemuda kita, Lie Siang Tjoe pergi menaiki gunung, untuk mentjari makanan. Pikirannja tengah bimbang dan ragu. Hingga tanpa disadari ia sudah sampai disamping gunung jang tjuram sekali. Tengah asjik berdjalan, tiba2 kakinja terpeleset, hingga tidak ampun pula, pegangannja terlepas, serta iapun terdjatuh. Tembok gunung itu adalah djurang jang dalamnja kurang lebih empat-puluh tumbak. ia kaget, tapi mudjur baginja, tubuhnja tersangkut pada suatu tjabang pohon dimana kebenaran terdapat sebuah guha kosong jang mulutnja kering berlumut. Disini ia pun berpegangan pada mulut guha bahagian atas. Kemudian dengan mendjatuhkan diri ia melompat turun. Ketika ia sudah berada di mulut guha, tiba2 merasakan kedua telapak tangannja sakit. Ia heran apabila pada kedau telapak tangan tersebut ia dapatkan menantjap dua matjam benda jang bentuknja luar biasa sekali, ketika ia tjoba mentjabutnja, ternjata tidak dapat, karena benda itu menantjap keras sekali, dan disamping itu, ia pun meringis karena akibat nantjapnja benda itu ia merasakan kesakitan jang sangat hebat. Diam2 ia merasa heran, karena ketika tadi terdjatuh, ia tidak melihat barang seorang pun. Dengan masih merasa aneh, anak muda ini kemudian dengan menggunakan giginja ia tjabut. Keheranannja makin ber-tambah2 ketika ia mendapat kenjataan selain dari darah merah jang sedikit keluar sedikit pun ia tidak merasa sakit. Kedua potong sendjata rahasia itu pandjangnja masing2 dua tjoen sembilan hun. Berbentuk kepala burung Hong dengan patuk jang luar biasa tadjam. Seluruh bagian kepala burung Hong itu berwarna hitam kelam. Kotor berlumut. Tapi bila ia kerik lumutnja, terdapatlah sepotong benda mengkilap... emas! "Pantas, timbangannja demikian berat, kiranja terbuat dari emas," kata Siang Tjoe seorang diri. Didepan mulut guha, Siang Tjoe berdiri mendjublak. Tidak berani ia lantjang2 memasuki, melainkan kedalam itu ia melongokkan kepalanja. Ia tampak kabut, hingga sekali pun tanah tidak terlihat tegas. Diam2 hatinja pun tertjekat. Ia mengawasi terus. Ia merasa pasti, kalau pasti guha itu dalam sekali. Ia pun menduga-duga apa tubuhnja dapat masuk kedalam guha itu... Siang Tjoe tak mau mundur dengan begitu sadja. Ia bungkus sebelah tangannja, lalu ia ulur kedalam guha. Ia duga itu tentu adalah sendjata rahasia jang berbentuk kepala burung Hong. Ia mentjabuti semua jang ternjata berdjumlah enam belas bidji. Ia ulur tangannja lebih djauh, sampai hidungnja mengenai mulut guha. Ia tidak meraba lain benda. Sampai disini ia berhenti meraba-raba. "Heran!" berkata ia seorang diri, "apakah mungkin ditempat jang lebih dalam masih terdapat lain2 benda?" "Mari kutjoba-tjoba memasukinja," achirnja ia mengambil keputusan. Dan sesaat kemudian ia pun sudah membuat sebuah obor dari tumbuh2an kering jang banjak kedapatan disitu. Sedang untuk menjalakannja, ia peroleh dengan djalan mem-bentur2kan dua buah batu jang tjukup besar. Apabila api sudah berkobar membakar obor, paling pertama ia sodorkan obor rumput2an keringnja kedalam guha. Ia dapatkan obor tidak padam, hal ini membuat ia girang. Maka segera, hati2 ia merajap masuk. Untuk mendjaga kemungkinan jang tidak diinginkan, ia tjekal pedang ditangan kanannja sedang obor ia pindahkan ketangan kiri. Ia harus djalan sambil merajap, setelah kira2 sepuluh tumbak lebih, guha tersebut jang merupakan terowongan mulai mendaki, ia madju terus, sampai kira2 sepuluh tumbak lebih. Baharulah pada suatu tempat terbuka ia dapat bangkit berdiri. Ia tidak takut. Malah madju terus. Sebentar sadja, pemuda ini melihat suatu djalan membelok. Menghadapi ini ia mendjadi semakin waspada. Ia madju sambil tjekal keras pedangnja. Ketika telah melalui tiga tumbak, dihadapannja terdapat berdiri sebuah kamar batu. Ia menghampiri mulut pintu, segera dengan obornja ia menjuluhi kedalam. Tiba2 ia terperandjat, hingga dalam sekedjab itu keringat dingin keluar bertetes-tetes. Duduk diatas batu, ditengah-tengah kamar terdapat satu rerongkong tengkorak manusia, lengkap dengan kepala, kaki dan tangannja rebah diatas pangkuan. Segera terbajang dihadapannja, ketika pada beberapa hari jang lalu ia bersama dengan Sioe Lian djuga menghadapi adegan serupa ini. Hanja bedanja, rerongkong jang tempo hari ia temukan adalah sisa tengkorak dri Mie Ing Tiangloo, seorang tetua Tjeng hong pay, ia ada bersama Sioe Lian. Tapi kini ia hanja berseorang sadja. Hingga dengan sendirinja karena tidak berkawan hatinja mendjadi terpukul keras. Siang Tjoe perhatikan tulang2 manusia itu. Baru sadja memandang kesekitar kamar. Sjukurlah, disitu tidak lagi terdapat pemandangan jang mengerikan. Hanja berserakan diatas tanah dihadapan rerongkongan terdapat belasan sendjata2 rahasia berkepala burung Hong. Disisi kanan rerongkong terletak sebilah pedang. Sendjata itu bersinar-sinar berkilauan ketika tertimpa tjahaja api obor. Ditembok kamar terdapat sebaris gambar ukiran dari monjet jang lengkap. Hanja sikapnja satu dengan lain berlainan. Ada jang tangannja diangkat, dengan kedua kakinja berdongko. Guratannja seukiran benar dengan gambar jang ia dapati tempo hari, hanja berbeda gerakannja, dan lebih ruwet. Ia awasi semua gambar itu, ia perhatikan, namun sebegitu djauh tak dapat ia memahaminja. Pada udjung dari gambar ukiran jang terachir, dengan diukir djuga, terdapat beberapa baris dari sembilan belas huruf. Siang Tjoe dekati, lalu ia batja. Begini bunjinja : "Angin mustika rahasia. Berlindung kepada jang berdjodoh. Djangan penasaran siapa binasa memasuki pintuku." Siang Tjoe tidak mengerti apakah arti surat itu, hanja melihat rerongkong dan lukisan2 jang banjak berdjedjeran pada dinding, pastilah rerongkong itu adalah rerongkong seorang tjianpwee, orang tertua, maka seharusnjalah menghormatinja. Maka dari itu, paling pertama ia gali lubang didekat pintu, untuk pendam obornja. Agar ia tak usah pegangi terus obornja itu. Hingga dengan demikian ia dapat bekerdja leluasa. Setelah selesai baharulah ia hadapi rerongkong, jang ia duga tentulah rerongkong seorang tjianpwee jang menjembunjikan diri. Hanja entah siapa dia ini... namun tiba2 terlintas diotaknja akan tjerita Bian Lip jang mengatakan bahwa dunia Kangouw pada achir2 ini tengah digemparkan akan adanja suatu tempat jang didalamnja terkandung sesuatu jang luar biasa. Dan bukankah ilmu silat jang ditjiptakan orang luar biasa jang dikatakan Bian Lip itu bernama ilmu silat pengedjar angin? Tidak mungkinkah kata2 Angin mustika rahasia ada hubungannja dengan pengedjar angin? "Djuga bukankah lukisan2 jang kudapatkan tempo hari djuga adalah gambar2 jang memperlihatkan monjet jang sedang bersilat? ia berpikir. "Kalau benar2 dia adanja setelah dia meninggal, tanpa ada orang jang menguburnja sungguh harus dikasihani..." Pemuda tanggung ini lantas djatuhkan diri didepan rerongkong itu, untuk paykui. "Teetju bernama Lie Siang Tjoe," berkata ia dalam hatinja, setelah manggut beberapa kali. "Dengan kebenaran sadja teetju dapat menemui djenazah thayhiap ini. Hari ini ingin teetju kubur tjenazah thayhiap. Harap selandjutnja thayhiap beristirahat dengan tenang dan kekal..." Baharu selesai Siang Tjoe hundjuk hormat itu, dari luar guha tiba2 menghembus angin dingin, jang agaknja meniup dari dalam djurang. Sampai hawa dinginnja membuat ia bergidik. Bulu tengkuknja bagai terasa bangun berdiri. Sesudah itu, Siang Tjoe mulai menggali lubang. Ia tadinja menduga, tanah didalam guha itu keras, siapa tahu, begitu udjung pedangnja jang ia gunakan sebagai alat patjul mengenai tanah, hatinja mendjadi lega. Tanah itu ternjata sangat lunak. Hingga karena ini ia dapat bekerdja dengan tjepat. Tiba2 terdengar satu kali suara membeletuk. Itulah tanda udjung pedangnja mengenai sesuatu benda keras. Mungkin besi. Untuk dapat kepastian, Siang Tjoe ambil obornja, untuk menjuluhinja dekat2. Segera ia dapati selembar lempeng tembaga. Ia mematjul terus tanah disekitar lempeng itu, dan achirnja dapat diangkat. Dibawah lembaran tembaga itu ia dapatkan sebuah peti besi. Besarnja tiga kaki persegi. Terdorong oleh perasaan ingin tahu, Siang Tjoe keluarkan peti tembaga itu jang tingginja kira2 satu setengah kaki. Berat peti itu tidak luar biasa, maka ia menduga tentulah isinja tidak banjak. Oleh karena tutup peti tidak terkuntji, dengan mudah Siang Tjoe dapat membukanja. Ternjata dalam peti itu dangkal tidak sampai setengah kaki, sedang di- tengah2nja berlubang sedalam kira2 seperempat kaki, heran Siang Tjoe melihat bentuk ini. "Aneh!" pikir pemuda kita. "Peti besar tinggi, mengapa dalamnja dangkal?" Didalam peti terletak sehelai sampul diatas mana terdapat delapan huruf besar. Bunjinja "Boleh batja, siapa dapati surat." Melihat demikian, Siang Tjoe djemput sampul itu, untuk dibuka dan keluarkan isinja. Suratnja sudah kotor benar, dan berwarna kuning kumal. Ia buka surat itu, kemudian dibatjanja. "Mustika angin diwariskan kepada jang berdjodoh. Hanja siapa mendapatkannja, kuburlah dahulu rerangkaku." Bersama surat itu, terdapat sebuah sampul lain jang terlebih ketjil. Diatasnja tertulis : "Tjara-tjara membuka peti serta mengubur rerangkaku." Setelah membatja ini baharu Siang Tjoe tahu, peti itu ada lapisannja. Diangkatnja peti itu untuk digojang2. Sekali ini, Siang Tjoe merasa seperti ada apa2nja. Didalam hatinja pemuda kita berkata : "Aku hanja kasihan rerongkongnja jang terlantar serta tertarik akan semua surat2nja jang selalu ada perkataan angin dan ukir2annja jang melukiskan monjet. Maka aku kubur padanja, sama sekali aku tidak ingin serakahi segala harta pusakanja." Segera Siang Tjoe buka sampul jang bertuliskan : "Bagaimana harus kubur tulang2ku." Ia buka tutup sampul, dan keluarkan suratnja jang tertulis diatas sehelai kertas putih : Setelah menggali lubang, tolong galikan lebih djauh, sedalam empat kaki. Apabila memang kau bersungguh-sungguh hendak menguburku. Disitu baharulah pendam aku. Karena dengan aku bersemajam ditempat jang lebih dalam, dapatlah aku bersemedi bebas dari segala gangguan segala rajap dan semut." Setelah membatja Siang Tjoe berkata dalam hatinja : "Sebagai orang dari tingkatan lebih muda, aku akan djalankan segala apa jang lotjianpwee titahkan." Dan dilain saat, ia angkat pula pedangnja, untuk menggali serta mentjongkel lebih djauh. Namun kali ini ternjata tanah itu ketjampuran batu, tidak mudah baginja untuk mentjongkel leluasa seperti tadi. Hingga tidak peduli, walau dia telah terlatih, Siang Tjoe toh mandi air peluh. Dan ketika ia menggali dalamnja hampir empat kaki, tiba2 udjung pedangnja membentur pula suatu benda keras hingga suara njaring pun terdengar. Karena pengalaman pertama tadi, walau ia merasa heran, Siang Tjoe gali terus tanah itu. Sampai achirnja kembali ia dapati sebuah peti besi. Hanja berbeda dengan jang pertama tadi, peti ini ada terlebih ketjil, kira2 satu setengah kaki persegi.
Pendekar Bodoh - 9. Sengketa Ahli Sihir Pendekar Bodoh - 10. Raja Alam Sihir Pendekar Bodoh - 11. Rahasia Sumur Tua Pendekar Bodoh - 12. Munculnya Sang Pewaris Gento Guyon - 28. Semerah Darah Pendekar Bodoh - 3. Setan Selaksa Wajah Pendekar Bodoh - 4. Ratu Perut Bumi Pendekar Bodoh - 5. Ksatria Seribu Syair Pendekar Bodoh - 6. Muslihat Sang Durjana Pendekar Bodoh - 8. Pusaka Pedang Naga
Setibanja dibawah, ia menghampiri ketiga korbannja jang ternjata sudah tidak bernjawa pula. Dan dibawah pohon itu djuga, dengan menggunakan dua buah batu api, dibuatnja sebuah unggun. Setelah berkobar besar, lalu dibuluinja ketiga ekor burung. Kemudian setelah menambus salah satu diantaranja dengan pedangnja. Dilain saat tambusan itupun sudah terpanggang. Hingga achirnja sesudah menunggui beberapa lama ia pun sudah tengah menggeragotinja. Sambil mengunjah pikirannja melajang pada ketika beberapa bulan jang lalu ia dengan Sioe Lian di Ie-pin ber- sama2 makan daging kelintji. Tanpa terasa seekor bulat telah dihabisinja, namun karena masih merasa lapar segera kembali seekor burung dipanggangnja untuk kemudian setelah matang dibereskannja pula. Baharulah kini setelah menghabiskan dua ekor ia merasakan perutnja tidak lapar pula, namun sebagai gantinja, hawa panas menjerang tubuhnja dan dalam sedetik sadja ia sudah merasa kehausan. Lalu iapun ber-lari2 mengelilingi hutan tjemara tersebut. Kebetulan setelah mentjari beberapa lama, ia mendengar disebelah baratnja ada mengggeritjik suara air. Untuk kegirangannja setelah ber-larian, ia mendapatkan dihadapannja melintang sebatang anak sungai. Lupa ia untuk memeriksa apakah air itu djernih atau kotor, tubuhnja ditengkurapkan dan dengan menggunakan kedua belah telapak tangannja, ia pun sudah memindah enam tjelegukan kedalam perutnja. Untuk girangnja setelah minum ia merasakan tubuhnja segar sekali. Perutnja tidak dirasakan panas pula. Hanja buat kekagetannja, ia melihat tidak djauh dari tempat ia rebahkan tubuhnja, dilihatnja setumpuk kain jang berbentuk seperti pakaian. Lantas ia pun menghampirinja. Ia mendjadi kaget sekali untuk beberapa lama berdiri mematung, ketika mendapat kenjataan kalau kain itu adalah badju tebal jang pada beberapa bulan berselang dihadiahkannja kepada An Sioe Lian, ketika untuk pertama kalinja ia berkenalan di Soatang! Beberapa lama kemudian setelah dapat menguasai dirinja, dengan tangan bergemetar, didjumputnja pakaian itu. Hantjur luluh hatinja ketika mendapatkan bahagian dalam dari pakaian tersebut penuh dengan noda2 darah. Hampir2 disaat itu djuga ia djatuh pingsan. Dengan tenaga jang hampir hilang separuh, ia mentjutjinja serta dibuntalnja setelah bersih, akan kemudian ia pun sudah berada didjalan jang menudju keguha dimana pada dua hari jang lalu ia mendapatkannja. Disepandjang djalan tidak berhenti otaknja berpikir, ia heran mengapa dalam hari2 belakangan ini ia selalu dilibat pengalaman2 jang hebat2. Sore hari tibalah kembali ia diguhanja, setelah memeriksa ia mendapat kenjataan 'tempat pusaka' itu tidak kurang suatu apa, suatu tanda tidak seorang pun pernah sampai. Esoknja pagi2 ketika matahari baharu muntjul, ia pun menggali lubang jang besarnja tjukup lebar, setelah merasa ukurannja tjukup, kemudian pakaian jang pada beberapa hari berselang masih melekat ditubuh Sioe Lian dikuburnja. "Lian-djie," demikian dengan mulut kemak-kemik ia berkata. "Ternjata kau berumur pendek. Setelah ajahmu dibinasakan muridnja sendiri ternjata kau djuga sebelum dapat menunaikan tugasmu telah ditimpa ini matjam kedjadian, dimana kau tentunja telah mendjadi korban beruang2 keparat. Namun kau jang berada dialam baka, aku harap berlega hati, Siang Tjoe mu pasti akan mewakilkan kau untuk membalaskan sakit hati ini. Tunggulah, aku akan menghabiskan semua beruang2 jang berada ditanah pegunungan ini, Lian legakanlah hatimu..." Setelah itu, tanpa terasa pula ia sudah menangis ter- sedu2. Ber-djam2 tanpa seorang pun jang menghiburinja. Hingga setelah hari sudah tidak pagi pula, setelah puas ia menangis, ia berhenti sendirinja. Dan siang itu djuga ia kembali sudah mengelilingi pula seluruh tanah pegunungan Thang-ala-san. Hanja sekali ini, bukanlah ia mentjari Sioe Lian, melainkan hampir seluruh beruang2 jang berada didaerah sekitar itu dihabiskannja. Hingga untuk ini, tiga hari tiga malam ia menghabiskan waktunja. Untuk kemudian baharulah dihari kelimanja, setelah beristirahat seharian dihari keempat, iapun mulai membersihkan ruang guha. Enam bulan kemudian iapun telah membersihkan hampir seluruh ukiran2 jang banjak memenuhi ruang guha. Namun ketika hendak mempeladjarinja ia mendjadi bingung karena ia tidak tahu harus dari mana memulai. Ia bingung, gelisah dan achirnja putus asa ketika setelah ber-hari2 belum djuga dapat memetjahkan jang mana udjung serta mana pangkalnja. Namun mudjur baginja pada suatu hari ketika ia berada dalam kegelapan pikiran telah terdjadi suatu hal kebenaran. Pemuda kita, Lie Siang Tjoe pergi menaiki gunung, untuk mentjari makanan. Pikirannja tengah bimbang dan ragu. Hingga tanpa disadari ia sudah sampai disamping gunung jang tjuram sekali. Tengah asjik berdjalan, tiba2 kakinja terpeleset, hingga tidak ampun pula, pegangannja terlepas, serta iapun terdjatuh. Tembok gunung itu adalah djurang jang dalamnja kurang lebih empat-puluh tumbak. ia kaget, tapi mudjur baginja, tubuhnja tersangkut pada suatu tjabang pohon dimana kebenaran terdapat sebuah guha kosong jang mulutnja kering berlumut. Disini ia pun berpegangan pada mulut guha bahagian atas. Kemudian dengan mendjatuhkan diri ia melompat turun. Ketika ia sudah berada di mulut guha, tiba2 merasakan kedua telapak tangannja sakit. Ia heran apabila pada kedau telapak tangan tersebut ia dapatkan menantjap dua matjam benda jang bentuknja luar biasa sekali, ketika ia tjoba mentjabutnja, ternjata tidak dapat, karena benda itu menantjap keras sekali, dan disamping itu, ia pun meringis karena akibat nantjapnja benda itu ia merasakan kesakitan jang sangat hebat. Diam2 ia merasa heran, karena ketika tadi terdjatuh, ia tidak melihat barang seorang pun. Dengan masih merasa aneh, anak muda ini kemudian dengan menggunakan giginja ia tjabut. Keheranannja makin ber-tambah2 ketika ia mendapat kenjataan selain dari darah merah jang sedikit keluar sedikit pun ia tidak merasa sakit. Kedua potong sendjata rahasia itu pandjangnja masing2 dua tjoen sembilan hun. Berbentuk kepala burung Hong dengan patuk jang luar biasa tadjam. Seluruh bagian kepala burung Hong itu berwarna hitam kelam. Kotor berlumut. Tapi bila ia kerik lumutnja, terdapatlah sepotong benda mengkilap... emas! "Pantas, timbangannja demikian berat, kiranja terbuat dari emas," kata Siang Tjoe seorang diri. Didepan mulut guha, Siang Tjoe berdiri mendjublak. Tidak berani ia lantjang2 memasuki, melainkan kedalam itu ia melongokkan kepalanja. Ia tampak kabut, hingga sekali pun tanah tidak terlihat tegas. Diam2 hatinja pun tertjekat. Ia mengawasi terus. Ia merasa pasti, kalau pasti guha itu dalam sekali. Ia pun menduga-duga apa tubuhnja dapat masuk kedalam guha itu... Siang Tjoe tak mau mundur dengan begitu sadja. Ia bungkus sebelah tangannja, lalu ia ulur kedalam guha. Ia duga itu tentu adalah sendjata rahasia jang berbentuk kepala burung Hong. Ia mentjabuti semua jang ternjata berdjumlah enam belas bidji. Ia ulur tangannja lebih djauh, sampai hidungnja mengenai mulut guha. Ia tidak meraba lain benda. Sampai disini ia berhenti meraba-raba. "Heran!" berkata ia seorang diri, "apakah mungkin ditempat jang lebih dalam masih terdapat lain2 benda?" "Mari kutjoba-tjoba memasukinja," achirnja ia mengambil keputusan. Dan sesaat kemudian ia pun sudah membuat sebuah obor dari tumbuh2an kering jang banjak kedapatan disitu. Sedang untuk menjalakannja, ia peroleh dengan djalan mem-bentur2kan dua buah batu jang tjukup besar. Apabila api sudah berkobar membakar obor, paling pertama ia sodorkan obor rumput2an keringnja kedalam guha. Ia dapatkan obor tidak padam, hal ini membuat ia girang. Maka segera, hati2 ia merajap masuk. Untuk mendjaga kemungkinan jang tidak diinginkan, ia tjekal pedang ditangan kanannja sedang obor ia pindahkan ketangan kiri. Ia harus djalan sambil merajap, setelah kira2 sepuluh tumbak lebih, guha tersebut jang merupakan terowongan mulai mendaki, ia madju terus, sampai kira2 sepuluh tumbak lebih. Baharulah pada suatu tempat terbuka ia dapat bangkit berdiri. Ia tidak takut. Malah madju terus. Sebentar sadja, pemuda ini melihat suatu djalan membelok. Menghadapi ini ia mendjadi semakin waspada. Ia madju sambil tjekal keras pedangnja. Ketika telah melalui tiga tumbak, dihadapannja terdapat berdiri sebuah kamar batu. Ia menghampiri mulut pintu, segera dengan obornja ia menjuluhi kedalam. Tiba2 ia terperandjat, hingga dalam sekedjab itu keringat dingin keluar bertetes-tetes. Duduk diatas batu, ditengah-tengah kamar terdapat satu rerongkong tengkorak manusia, lengkap dengan kepala, kaki dan tangannja rebah diatas pangkuan. Segera terbajang dihadapannja, ketika pada beberapa hari jang lalu ia bersama dengan Sioe Lian djuga menghadapi adegan serupa ini. Hanja bedanja, rerongkong jang tempo hari ia temukan adalah sisa tengkorak dri Mie Ing Tiangloo, seorang tetua Tjeng hong pay, ia ada bersama Sioe Lian. Tapi kini ia hanja berseorang sadja. Hingga dengan sendirinja karena tidak berkawan hatinja mendjadi terpukul keras. Siang Tjoe perhatikan tulang2 manusia itu. Baru sadja memandang kesekitar kamar. Sjukurlah, disitu tidak lagi terdapat pemandangan jang mengerikan. Hanja berserakan diatas tanah dihadapan rerongkongan terdapat belasan sendjata2 rahasia berkepala burung Hong. Disisi kanan rerongkong terletak sebilah pedang. Sendjata itu bersinar-sinar berkilauan ketika tertimpa tjahaja api obor. Ditembok kamar terdapat sebaris gambar ukiran dari monjet jang lengkap. Hanja sikapnja satu dengan lain berlainan. Ada jang tangannja diangkat, dengan kedua kakinja berdongko. Guratannja seukiran benar dengan gambar jang ia dapati tempo hari, hanja berbeda gerakannja, dan lebih ruwet. Ia awasi semua gambar itu, ia perhatikan, namun sebegitu djauh tak dapat ia memahaminja. Pada udjung dari gambar ukiran jang terachir, dengan diukir djuga, terdapat beberapa baris dari sembilan belas huruf. Siang Tjoe dekati, lalu ia batja. Begini bunjinja : "Angin mustika rahasia. Berlindung kepada jang berdjodoh. Djangan penasaran siapa binasa memasuki pintuku." Siang Tjoe tidak mengerti apakah arti surat itu, hanja melihat rerongkong dan lukisan2 jang banjak berdjedjeran pada dinding, pastilah rerongkong itu adalah rerongkong seorang tjianpwee, orang tertua, maka seharusnjalah menghormatinja. Maka dari itu, paling pertama ia gali lubang didekat pintu, untuk pendam obornja. Agar ia tak usah pegangi terus obornja itu. Hingga dengan demikian ia dapat bekerdja leluasa. Setelah selesai baharulah ia hadapi rerongkong, jang ia duga tentulah rerongkong seorang tjianpwee jang menjembunjikan diri. Hanja entah siapa dia ini... namun tiba2 terlintas diotaknja akan tjerita Bian Lip jang mengatakan bahwa dunia Kangouw pada achir2 ini tengah digemparkan akan adanja suatu tempat jang didalamnja terkandung sesuatu jang luar biasa. Dan bukankah ilmu silat jang ditjiptakan orang luar biasa jang dikatakan Bian Lip itu bernama ilmu silat pengedjar angin? Tidak mungkinkah kata2 Angin mustika rahasia ada hubungannja dengan pengedjar angin? "Djuga bukankah lukisan2 jang kudapatkan tempo hari djuga adalah gambar2 jang memperlihatkan monjet jang sedang bersilat? ia berpikir. "Kalau benar2 dia adanja setelah dia meninggal, tanpa ada orang jang menguburnja sungguh harus dikasihani..." Pemuda tanggung ini lantas djatuhkan diri didepan rerongkong itu, untuk paykui. "Teetju bernama Lie Siang Tjoe," berkata ia dalam hatinja, setelah manggut beberapa kali. "Dengan kebenaran sadja teetju dapat menemui djenazah thayhiap ini. Hari ini ingin teetju kubur tjenazah thayhiap. Harap selandjutnja thayhiap beristirahat dengan tenang dan kekal..." Baharu selesai Siang Tjoe hundjuk hormat itu, dari luar guha tiba2 menghembus angin dingin, jang agaknja meniup dari dalam djurang. Sampai hawa dinginnja membuat ia bergidik. Bulu tengkuknja bagai terasa bangun berdiri. Sesudah itu, Siang Tjoe mulai menggali lubang. Ia tadinja menduga, tanah didalam guha itu keras, siapa tahu, begitu udjung pedangnja jang ia gunakan sebagai alat patjul mengenai tanah, hatinja mendjadi lega. Tanah itu ternjata sangat lunak. Hingga karena ini ia dapat bekerdja dengan tjepat. Tiba2 terdengar satu kali suara membeletuk. Itulah tanda udjung pedangnja mengenai sesuatu benda keras. Mungkin besi. Untuk dapat kepastian, Siang Tjoe ambil obornja, untuk menjuluhinja dekat2. Segera ia dapati selembar lempeng tembaga. Ia mematjul terus tanah disekitar lempeng itu, dan achirnja dapat diangkat. Dibawah lembaran tembaga itu ia dapatkan sebuah peti besi. Besarnja tiga kaki persegi. Terdorong oleh perasaan ingin tahu, Siang Tjoe keluarkan peti tembaga itu jang tingginja kira2 satu setengah kaki. Berat peti itu tidak luar biasa, maka ia menduga tentulah isinja tidak banjak. Oleh karena tutup peti tidak terkuntji, dengan mudah Siang Tjoe dapat membukanja. Ternjata dalam peti itu dangkal tidak sampai setengah kaki, sedang di- tengah2nja berlubang sedalam kira2 seperempat kaki, heran Siang Tjoe melihat bentuk ini. "Aneh!" pikir pemuda kita. "Peti besar tinggi, mengapa dalamnja dangkal?" Didalam peti terletak sehelai sampul diatas mana terdapat delapan huruf besar. Bunjinja "Boleh batja, siapa dapati surat." Melihat demikian, Siang Tjoe djemput sampul itu, untuk dibuka dan keluarkan isinja. Suratnja sudah kotor benar, dan berwarna kuning kumal. Ia buka surat itu, kemudian dibatjanja. "Mustika angin diwariskan kepada jang berdjodoh. Hanja siapa mendapatkannja, kuburlah dahulu rerangkaku." Bersama surat itu, terdapat sebuah sampul lain jang terlebih ketjil. Diatasnja tertulis : "Tjara-tjara membuka peti serta mengubur rerangkaku." Setelah membatja ini baharu Siang Tjoe tahu, peti itu ada lapisannja. Diangkatnja peti itu untuk digojang2. Sekali ini, Siang Tjoe merasa seperti ada apa2nja. Didalam hatinja pemuda kita berkata : "Aku hanja kasihan rerongkongnja jang terlantar serta tertarik akan semua surat2nja jang selalu ada perkataan angin dan ukir2annja jang melukiskan monjet. Maka aku kubur padanja, sama sekali aku tidak ingin serakahi segala harta pusakanja." Segera Siang Tjoe buka sampul jang bertuliskan : "Bagaimana harus kubur tulang2ku." Ia buka tutup sampul, dan keluarkan suratnja jang tertulis diatas sehelai kertas putih : Setelah menggali lubang, tolong galikan lebih djauh, sedalam empat kaki. Apabila memang kau bersungguh-sungguh hendak menguburku. Disitu baharulah pendam aku. Karena dengan aku bersemajam ditempat jang lebih dalam, dapatlah aku bersemedi bebas dari segala gangguan segala rajap dan semut." Setelah membatja Siang Tjoe berkata dalam hatinja : "Sebagai orang dari tingkatan lebih muda, aku akan djalankan segala apa jang lotjianpwee titahkan." Dan dilain saat, ia angkat pula pedangnja, untuk menggali serta mentjongkel lebih djauh. Namun kali ini ternjata tanah itu ketjampuran batu, tidak mudah baginja untuk mentjongkel leluasa seperti tadi. Hingga tidak peduli, walau dia telah terlatih, Siang Tjoe toh mandi air peluh. Dan ketika ia menggali dalamnja hampir empat kaki, tiba2 udjung pedangnja membentur pula suatu benda keras hingga suara njaring pun terdengar. Karena pengalaman pertama tadi, walau ia merasa heran, Siang Tjoe gali terus tanah itu. Sampai achirnja kembali ia dapati sebuah peti besi. Hanja berbeda dengan jang pertama tadi, peti ini ada terlebih ketjil, kira2 satu setengah kaki persegi.