Cerita Silat | Ilmu Silat Pengejar Angin | oleh Siasa | Ilmu Silat Pengejar Angin | Cersil Sakti | Ilmu Silat Pengejar Angin pdf
Pendekar Bodoh - 9. Sengketa Ahli Sihir Pendekar Bodoh - 10. Raja Alam Sihir Pendekar Bodoh - 11. Rahasia Sumur Tua Pendekar Bodoh - 12. Munculnya Sang Pewaris Gento Guyon - 28. Semerah Darah Pendekar Bodoh - 3. Setan Selaksa Wajah Pendekar Bodoh - 4. Ratu Perut Bumi Pendekar Bodoh - 5. Ksatria Seribu Syair Pendekar Bodoh - 6. Muslihat Sang Durjana Pendekar Bodoh - 8. Pusaka Pedang Naga
"Tahu sih tahu, hanja aku baharu mengetahui tjerita kulitnja sadja," djawab Satmijagatze. Sementara itu Hong Gan telah perintahkan dua orang pembantunja untuk menukar semua barang2 hidangan jang telah mendjadi dingin dengan jang baru serta masih hangat. "Sebagaimana Sat loosoe jang tentunja telah mengetahui, demikian Bian Lip memulai tjeritanja, sesaat kemudian setelah kelima orang itu menghabiskan pula semua hidangan jang baru. "Pada kira2 dua puluh tahun jang lalu, dunia Kangouw telah digemparkan oleh adanja sebilah pedang jang ditinggalkan seorang tjianpwee jang kepandaiannja tiada keduanja pula di kolong langit ini. Ketika itu, pada dua puluh tahun jang lalu itu, banjak sekali orang2 gagah saling mempertaruhkan djiwanja untuk memperebutkan pedang tersebut hingga sampai2 Auwjang Keng Liak dan salah satu naga Soetjoan menurut katanja turut pula mengukur tenaganja. Kau tahu Sat Loosu, apakah keistimewaan pedang tersebut maka sampai demikian hebat diperebutkan?" "Ah, Lip heng ada2 sadja," kata Satmijagatze sambil tertawa. "Aku toh adalah seorang dari penduduk pulau semblan, mengapa kau tanjakan padaku mengenai keistimewaannja?" "Sat Loosu, kau tidak mengetahuinja, tidak mendjadi apa. Aku harap kau tidak mendjadi ketjil hati, harap maafkan pamanku ini," menghibur Hong Gan. "Mengenai keistimewaannja," melandjutkan pula Bian Lip, "pada pedang itu menurut kata orang, diseluruh badannja terdapat ukiran2 jang melukiskan gerakan2 ilmu silat jang ditjiptakan seorang luar biasa jang meninggalkan pedang itu sendiri..." "Demikian hebat?" njeletuk Siang Tjoe jang mendjadi terpesona bahna kagumnja. "Siapakah nama orang luar biasa itu?" tanja Satmijagatze tidak kurang pula kagumnja sambil dia ini masukkan sepotong bakpau kedalam mulutnja. Bian Lip gojangkan kepalanja, kemudian dia pun berkata : "Sebegitu djauh semua lapisan orang2 Kangouw bersitegang memperebutkan benda pusaka tersebut, tidak seorang pun jang tahu siapakah nama orang tua jang kepandaiannja tinggi itu, hanja menurut kabar angin dia adalah seorang jang berhasil mentjiptakan ilmu silat gubahan sendiri..." "Apakah dia menamakannja?" potong Satmijagatze dan Siang Tjoe hampir berbareng. "Dia namakan tjiptaannja ilmu dari partai pengedjar angin atau Toei hong pay..." "Nama jang luar biasa sekali!" memudji Siang Tjoe, "tentulah ilmu silatnja djuga luar biasa," menambahkan pula dia. "Jah demikian djuga djalan anggapan kami dan semua orang2 gagah pada zaman itu, hanja..." "Hanja mengapa saudara Bian?" tanja Siang Tjoe tjepat. "Hanja sajang, pedang pusaka itu kemudian achirnja terdjatuh ketangan seorang ahli Yoga bangsa India. Aku ingat betul, ketika itu, Auwjang Keng Liak dan lain2nja tengah hebat bertempur satu dengan lain hingga berkali-kali pedang pusaka itu berpindah tangan. Sampai achirnja seperti tadi telah aku katakan pusaka tersebut terdjatuh ketangan si orang India jang bernama Hek Mahie..." "Djadi, Auwjang Keng Liak rubuh djatuh ditangan si orang India?" tanja Satmijagatze. Kembali Bian Lip geleng2kan kepalanja. Dan berbitjara sampai disini, air mukanja menundjukkan rasa dari penjesalan. "Pada waktu mana, walaupun benar dia (jang dimaksudkan Auwjang Keng Liak) belum sah untuk memegang gelar ahli kelas utama, tapi kepandaiannja sudah luar biasa sekali. Djangankan baharu satu Hek Mahie, meski sepuluh belumlah tentu dapat menandinginja," ber-kata2 sampai disini orang dari usia empat puluhan ini berhenti sebentar. Dengan sumpit dimasukkannja sepotong kue phia kedalam mulutnja. Untuk kemudian dengan mulut masih mengunjah, dengan bersemangat dia melandjutkan tjeritanja : "Sat Loosu, Auwjang Keng Liak dan lain2 orang2 gagah dari daratan Tionggoan ini sebenarnja bukanlah dikalahkan oleh ahli Yoga itu, melainkan mereka telah kena tipu jang litjin sekali. Dan latjurnja sampai sekarang ini, tiada seorang pun jang mengetahui bagaimana si orang seh Hek mendjalankan penipuannja..." "Apakah para orang2 gagah dari negerimu setelah pedang tersebut terdjatuh ketangannja orang India jang berkepandaian ilmu Yoga itu tinggal berpeluk tangan sadja?" tanja Satmijagatze. Mendengar pertanjaan ini, kembali Bian Lip menggojangkan kepalanja. "Untuk waktu lima tahun kami semua berusaha mentjari orang India itu, hingga achirnja setelah ber- pajah2 dengan tiada memperoleh hasil kami pun mendjadi putus asa hingga, diantara kami, orang2 Kangouw dari tanah Tionggoan ini, banjak jang beranggapan kalau Hek Mahie itu tengah menjembunjikan diri mempeladjari rahasia2 ilmu silat jang menurut tjerita banjak terlukis diseluruh badan pedang," ia berhenti sebentar, kembali sepotong phia dimasukkan kedalam mulutnja, kemudian setelah dia hirup teh-nja dia pun membuka pula pembitjaraannja : "Namun setahun kemudian setelah lima tahun kami ber-susah2 tersiarlah tjerita angin jang berasal dari Thibet ini, bahwa katanja pada pedang itu bukanlah terdapat lukisan2 peladjaran ilmu silat, melainkan disitu terdapat ukiran2 jang berupa tulisan jang menerangkan bahwa katanja pada gunugn Thang-ala- san ini terdapat, entah kitab entah tempat pertapaan jang didalamnja terkandung suatu rahasia ilmu silat hingga, beberapa tahun kemudian dunia Kangouw kembali telah digemparkan dengan berketjamuknja perkelahian satu sama lain saling bunuh, dan dalam hal ini, orang2 gagah dari tingkatan jang sudah tua djuga tidak mau ketinggalan..." "Lip-heng," tiba2 Satmijagatze memotong. "Kau katakan tadi, para orang2 gagah telah saling bunuh..." Mendapat pertanjaan ini, Bian Lip manggut membenarkan. "Apakah diantara orang2 gagah itu sudah ada jang dapat menemukannja?" tanja orang dari pulau sembilan itu. "Sat Loosu, pertanjaanmu ini memang beralasan djuga..." mengakui Bian Lip. "Tapi menurut kabar2 jang sampai kini, kami berdua dengar belum ada seorang djuga jang mendapatkannja. Hanja, tjerita2 mengatakan bahwa tempat rahasia itu berada dipuntjak dari gunung Thang ini mendjadi semakin santer hingga, pernah terdjadi pada tahun jang lalu, pada kira2 dua ratus lie dari rumahku ini terdjadi suatu perkelahian jang meminta korban kira2 delapan atau sembilan puluh orang gagah..." demikianlah Bian Lip mengachiri tjeritanja. "Lip-heng, siapakah diantaranja selain Auwjang Siang Yong orang2 gagah dari tingkatan tua lainnja jang djuga turut terdjun kedalam kantjah ini?" tanja Satmijagatze. "Menurut apa jang kami berdua dengar, selain dari keponakannja Auwjang Keng Liak, katanja salah satu naga Sutjoan dan salah seorang murid Hek Mahie djuga telah turun tangan. Dan katanja, murid Hek Mahie jang telah turut ambil bagian, adalah seorang Turki jang kepandaiannja sangat tinggi sekali." "Dan dalam persengketaan ini, aku jang mempunjai urusan sendiri telah ditjurigai oleh Auwjang Siang Yong, hingga ditantang untuk mengundjungi daerahnja nanti, disepuluh tahun jang akan datang!" kata Satmijagatze sambil tertawa. Bian Lip tertawa djuga. Ia belesakkan pula sepotong bakpau kedalam mulutnja untuk kemudian dikunjahnja. Setelah selesai bersantap dan saling bertjerita, tuan rumah perintahkan dua orang pembantunja sediakan sebuah kamar untuk kedua tamunja bermalam. Keesokannja pagi2 kedua tuan rumah serta anak, memberikan selamat djalan kepada kedua tetamu tersebut. Sementara itu, sesudah meninggalkan kira2 sepuluh lie dari rumah kedua paman dan keponakan itu, Satmijagatze berdua pun kemudian mengambil selamat berpisah. "Anak Siang Tjoe," bilang Satmijagatze kepada Siang Tjoe sebelum keduanja mengambil djalan sendiri2. "Aku harap kau benar2 mewudjudkan tjita2mu, dan nanti, kalau kau telah mendjadi seorang dewasa, datanglah nanti kepulauku untuk nanti kau kuudji dengan muridku Soen Siawdji." Lie Siang Tjoe tertawa dia manggut2kan kepalanja, kemudian tubuhnja diputar kekanan, dan sesaat kemudian diapun sudah berada dilereng gunung jang menudju ke puntjak. Sedang Satmijagatze menggerakkan kakinja kearah barat, ke Thibet, untuk melandjutkan usahanja mentjari patung emas, jang mana beberapa tahun kemudian setelah melakukan beberapa pertempuran, dimana dia harus mempertaruhkan djiwanja, diantaranja dengan orang2 dari pulaunja sendiri achirnja diapun dengan selamat berhasil membawa pulang barang pusaka itu untuk kemudian diserahkannja kepada gurunja. ***** Lie Siang Tjoe setelah melakukan pula pendakian beberapa lama, ia pun beberapa saat kemudian telah berada pula dipuntjaknja dari gunung Than-ala-san. Disepandjang djalan, diatas puntjak gunung jang penuh dengan hutan tjemara itu, tidak sedetik pun pikirannja melupakan An Sioe Lian. Hingga achirnja karena rindunja, dia merasa se-olah2 disekelilingnja, dibalik pohon2 tjemara ia melihat An Sioe Lian tengah menjembunjikan diri. Hingga achirnja seperti laku seorang gila, dia menghampiri setiap pohon2 tersebut dan memutarinja dengan tentunja ia memperoleh hasil jang sia2 belaka. Ketika itu, hari pun telah naik tinggi. Matahari tepat berada di atas kepala. Ber-djam2 sudah Siang Tjoe ber-putar2 mendjeladjahi setiap pelosok hutan. Hingga achirnja dia masuki setiap lubang guha, sampai2 ketika hari sudah hampir lohor, baharu ia tersadar kalau dari pagi2 buta dia belum mengisi perutnja dengan sebutir nasipun. Sekedjab, mengingat ini, perutnja berkerujukan meminta makan. Lie Siang Tjoe segera menghampiri sebatang pohon. Lalu dengan golok ketjilnja ia membatjok. Namun ketika batjokannja tepat mengenai batang pohon tersebut, tiba2 ia merasakan tangannja kesakitan hingga ia merasa ngilu sampai ketulang-tulang sumsum. Sedjurus kemudian dengan menahan sakit, kembali tangannja ia ajun dengan tenaga dua kali lebih besar dari batjokan jang pertama tadi. Namun kembali pula ia dibuat kesakitan karenanja. Malah kali ini ia merasakan otaknja seperti tergetar. Sedang pohon tjemara gunung itu tetap tegak berdiri tanpa sedikitpun bergeming. Dibuat penasaran oleh ketangguhan pohon tersebut Siang Tjoe mendjadi panas. Ia ajun pula goloknja, satu kali, dua kali, tiga... peluh se-besar2 katjang kedelai penuh membasahi seluruh mukanja, sedang giginja berkerotan menahan sakit... terus ia membatjok, empat, lima... tapi pohon itu tetap berdiri dengan sedikit pun tiada bundas bekas tanda2 batjokan, sampai2 ketika pada batjokan jang kesebelas ia tidak tahan pula, karena banjak tenaga jang ia hamburkan, achirnja ia djatuh pingsan dibawah pohon tjemara gunung tersebut jang puntjaknja me-lambai2 seperti menertawakan. Setelah beberapa lama kemudian iapun telah sadar kembali. Terbajang dimatanja bagaimana si orang dari pulau sembilan dengan hanja tenaga sambarannja telah merubuhkan puntjak dari pohon sebangsa tersebut dengan hanja menggunakan beberapa belas ekor burung pemakan bangkai sebagai sendjata pelurunja, hingga kekagumannja kepada orang setengah umur itu semakin men-djadi2, dan ia merasakan betapa kepandaiannja masih djauh rendah sekali. Ketika itu, tengah ia menundukkan kepala memikirkan sendjata apakah jang harus digunakan untuk dipakai berburu, tiba2 ia merasakan diatas kepalanja ada angin keras menjambar. Mengira ada sendjata gelap, tjepat sekali dengan menggunakan tipu ikan leehi meletik, tubuhnja dilengakkan meletik untuk menghindarkan 'sendjata rahasia' itu. Namun ia kurang tjepat atau dengan perkataan lain, 'sendjata rahasia' itu ada terlebih tjepat dari gerakannja, demikianlah tidak ampun pula batok kepalanja telah terhantam tepat. Bagaikan disambar petir, ia merasakan kepalanja pusing sekali, hingga dengan mengeluarkan tjatjian 'Kurang adjar!' iapun sudah melesat kesamping dengan pedang sudah terhunus ditangan. Namun setelah menantikan beberapa lama, ia tidak melihat sesuatu gerakan jang mentjurigakan. Keadaan disitu tetap tenang, tiada tanda2 adanja manusia atau binatang. Ia mendjadi heran, dan iapun menjangka jang bukan2. Segera karena takut kepada sendjata beratjun, kepalanja diraba untuk mentjabutnja. Ia merasa pasti, bahwa kalau benar itu adalah sendjata rahasia, setidak-tidaknja sendjata itu terbuat dari bahan logam jang terberat. Namun ia mendjadi terperandjat sekali ketika kenjataannja, bahwa benda itu bukanlah sendjata rahasia ataupun potongan logam, melainkan... sepotong kaju jang pandjang tidak lebih dari tiga intji! "Ah!" tanpa terasa ia mengeluh, bahna heran. Dan iapun menengadahkan kepalanja menengok keatas. Tapi djustru itu kira2 dua tiga keping potongan kaju kembali gugur meluntjur turun dari puntjak pohon. Tjepat sekali serta mantap tidak melajang, kepingan2 itu dalam sekedjap sadja telah berada kira2 dua tumbak diatas kepalanja. Namun kali ini, Siang Tjoe melihat datangnja 'serangan' dan iapun telah bersiap sedia, maka dengan mudah sadja ia dapat mengelitnja dengan kepingan2 itu lewat disisinja serta menghadjar tanah. Hebat sekali tenaga sambaran itu hingga, kepingan2 masuk melesak sedalam kira2 delapan-sembilan bagiannja. Ia bingung, adakah diatas pohon itu ada bersembunji musuh gelap, Siang Tjoe segera dengan menggunakan ilmu tjetjak, melapay menaiki pohon itu. Sebentar sadja ia sudah mentjapai puntjak. Karena kuatir dibokong, ia tjabut pedangnja untuk dihunus. Demikianlah dengan pedang ditangan, mulutnja tidak berhenti mentjatji maki. Namun ia tidak memperoleh djawaban, malah ketika ia menengok kesisi kanannja, ia melihat pada suatu dahan pohon jang besarnja sepelukan anak2 terdapat duri2 jang djumlahnja banjak sekali. Bentuknja serupa benar dengan jang tiga keping tadi menghadjar dirinja. Pandjang serta tumpulnja. Segera ia mendekati dan mentjabut dua tiga antaranja. Ia mendapat kenjataan kalau selain batang2 ketjil itu tumpul serta mantap ternjata djuga duri2 itu mempunjai bentuk sebagai sendjata rahasia jang biasa dipakai oleh ahli2 silat. Kebetulan disaat itu, disaat ia tengah me-nimang2 duri2 pohon tersebut, diatas kepalanja dengan menerbitkan suara menggelepak-gelepak, tampak beberapa ekor burung pemakan bangkai terbang lalu. "Ha! Makanan!" berteriak Siang Tjoe. Dan... tunai ia merasakan perutnja kembali berkerujukan. Segera ditjabut pedangnja hendak dilontarkannja kearah salah satu dari binatang2 bersajap itu. Tapi dilain saat, dalam sedetik, pikirannja berubah. Tidak djadi ia melontarkan sendjatanja melainkan tangan kirinja jang menggenggam duri2 dari pohon tjemara, terajun, dan tiga batang duri telah melesat kearah tiga ekor burung jang terbang disebelah terbelakang. Ketjil tidak sampai empat intji duri2 itu. Tetapi kenjataannja benda2 alam tersebut mempunjai gaja berat jang istimewa sekali. Demikianlah sesaat kemudian diiringi dengan gaokan2 kesakitan, maka tiga diantaranja sesaat sadja telah melajang djatuh, dan setelah menggelepar-gelepar sebentar diatas tanah, binatang2 itupun tidak bergerak lagi. Sementara itu, Siang Tjoe setelah menjaksikan kehebatannja duri2 itu mendjadi kegirangan. Selandjutnja ia pun memeriksa dahan2 pohon jang lainnja, ternjata hampir pada setiap dahan sampai ke- tjabang2nja penuh ditumbuhi duri2 tumpul. Segera setelah mentjabuti pula beberapa batang, ia lalu melapai turun.
Pendekar Bodoh - 9. Sengketa Ahli Sihir Pendekar Bodoh - 10. Raja Alam Sihir Pendekar Bodoh - 11. Rahasia Sumur Tua Pendekar Bodoh - 12. Munculnya Sang Pewaris Gento Guyon - 28. Semerah Darah Pendekar Bodoh - 3. Setan Selaksa Wajah Pendekar Bodoh - 4. Ratu Perut Bumi Pendekar Bodoh - 5. Ksatria Seribu Syair Pendekar Bodoh - 6. Muslihat Sang Durjana Pendekar Bodoh - 8. Pusaka Pedang Naga
"Tahu sih tahu, hanja aku baharu mengetahui tjerita kulitnja sadja," djawab Satmijagatze. Sementara itu Hong Gan telah perintahkan dua orang pembantunja untuk menukar semua barang2 hidangan jang telah mendjadi dingin dengan jang baru serta masih hangat. "Sebagaimana Sat loosoe jang tentunja telah mengetahui, demikian Bian Lip memulai tjeritanja, sesaat kemudian setelah kelima orang itu menghabiskan pula semua hidangan jang baru. "Pada kira2 dua puluh tahun jang lalu, dunia Kangouw telah digemparkan oleh adanja sebilah pedang jang ditinggalkan seorang tjianpwee jang kepandaiannja tiada keduanja pula di kolong langit ini. Ketika itu, pada dua puluh tahun jang lalu itu, banjak sekali orang2 gagah saling mempertaruhkan djiwanja untuk memperebutkan pedang tersebut hingga sampai2 Auwjang Keng Liak dan salah satu naga Soetjoan menurut katanja turut pula mengukur tenaganja. Kau tahu Sat Loosu, apakah keistimewaan pedang tersebut maka sampai demikian hebat diperebutkan?" "Ah, Lip heng ada2 sadja," kata Satmijagatze sambil tertawa. "Aku toh adalah seorang dari penduduk pulau semblan, mengapa kau tanjakan padaku mengenai keistimewaannja?" "Sat Loosu, kau tidak mengetahuinja, tidak mendjadi apa. Aku harap kau tidak mendjadi ketjil hati, harap maafkan pamanku ini," menghibur Hong Gan. "Mengenai keistimewaannja," melandjutkan pula Bian Lip, "pada pedang itu menurut kata orang, diseluruh badannja terdapat ukiran2 jang melukiskan gerakan2 ilmu silat jang ditjiptakan seorang luar biasa jang meninggalkan pedang itu sendiri..." "Demikian hebat?" njeletuk Siang Tjoe jang mendjadi terpesona bahna kagumnja. "Siapakah nama orang luar biasa itu?" tanja Satmijagatze tidak kurang pula kagumnja sambil dia ini masukkan sepotong bakpau kedalam mulutnja. Bian Lip gojangkan kepalanja, kemudian dia pun berkata : "Sebegitu djauh semua lapisan orang2 Kangouw bersitegang memperebutkan benda pusaka tersebut, tidak seorang pun jang tahu siapakah nama orang tua jang kepandaiannja tinggi itu, hanja menurut kabar angin dia adalah seorang jang berhasil mentjiptakan ilmu silat gubahan sendiri..." "Apakah dia menamakannja?" potong Satmijagatze dan Siang Tjoe hampir berbareng. "Dia namakan tjiptaannja ilmu dari partai pengedjar angin atau Toei hong pay..." "Nama jang luar biasa sekali!" memudji Siang Tjoe, "tentulah ilmu silatnja djuga luar biasa," menambahkan pula dia. "Jah demikian djuga djalan anggapan kami dan semua orang2 gagah pada zaman itu, hanja..." "Hanja mengapa saudara Bian?" tanja Siang Tjoe tjepat. "Hanja sajang, pedang pusaka itu kemudian achirnja terdjatuh ketangan seorang ahli Yoga bangsa India. Aku ingat betul, ketika itu, Auwjang Keng Liak dan lain2nja tengah hebat bertempur satu dengan lain hingga berkali-kali pedang pusaka itu berpindah tangan. Sampai achirnja seperti tadi telah aku katakan pusaka tersebut terdjatuh ketangan si orang India jang bernama Hek Mahie..." "Djadi, Auwjang Keng Liak rubuh djatuh ditangan si orang India?" tanja Satmijagatze. Kembali Bian Lip geleng2kan kepalanja. Dan berbitjara sampai disini, air mukanja menundjukkan rasa dari penjesalan. "Pada waktu mana, walaupun benar dia (jang dimaksudkan Auwjang Keng Liak) belum sah untuk memegang gelar ahli kelas utama, tapi kepandaiannja sudah luar biasa sekali. Djangankan baharu satu Hek Mahie, meski sepuluh belumlah tentu dapat menandinginja," ber-kata2 sampai disini orang dari usia empat puluhan ini berhenti sebentar. Dengan sumpit dimasukkannja sepotong kue phia kedalam mulutnja. Untuk kemudian dengan mulut masih mengunjah, dengan bersemangat dia melandjutkan tjeritanja : "Sat Loosu, Auwjang Keng Liak dan lain2 orang2 gagah dari daratan Tionggoan ini sebenarnja bukanlah dikalahkan oleh ahli Yoga itu, melainkan mereka telah kena tipu jang litjin sekali. Dan latjurnja sampai sekarang ini, tiada seorang pun jang mengetahui bagaimana si orang seh Hek mendjalankan penipuannja..." "Apakah para orang2 gagah dari negerimu setelah pedang tersebut terdjatuh ketangannja orang India jang berkepandaian ilmu Yoga itu tinggal berpeluk tangan sadja?" tanja Satmijagatze. Mendengar pertanjaan ini, kembali Bian Lip menggojangkan kepalanja. "Untuk waktu lima tahun kami semua berusaha mentjari orang India itu, hingga achirnja setelah ber- pajah2 dengan tiada memperoleh hasil kami pun mendjadi putus asa hingga, diantara kami, orang2 Kangouw dari tanah Tionggoan ini, banjak jang beranggapan kalau Hek Mahie itu tengah menjembunjikan diri mempeladjari rahasia2 ilmu silat jang menurut tjerita banjak terlukis diseluruh badan pedang," ia berhenti sebentar, kembali sepotong phia dimasukkan kedalam mulutnja, kemudian setelah dia hirup teh-nja dia pun membuka pula pembitjaraannja : "Namun setahun kemudian setelah lima tahun kami ber-susah2 tersiarlah tjerita angin jang berasal dari Thibet ini, bahwa katanja pada pedang itu bukanlah terdapat lukisan2 peladjaran ilmu silat, melainkan disitu terdapat ukiran2 jang berupa tulisan jang menerangkan bahwa katanja pada gunugn Thang-ala- san ini terdapat, entah kitab entah tempat pertapaan jang didalamnja terkandung suatu rahasia ilmu silat hingga, beberapa tahun kemudian dunia Kangouw kembali telah digemparkan dengan berketjamuknja perkelahian satu sama lain saling bunuh, dan dalam hal ini, orang2 gagah dari tingkatan jang sudah tua djuga tidak mau ketinggalan..." "Lip-heng," tiba2 Satmijagatze memotong. "Kau katakan tadi, para orang2 gagah telah saling bunuh..." Mendapat pertanjaan ini, Bian Lip manggut membenarkan. "Apakah diantara orang2 gagah itu sudah ada jang dapat menemukannja?" tanja orang dari pulau sembilan itu. "Sat Loosu, pertanjaanmu ini memang beralasan djuga..." mengakui Bian Lip. "Tapi menurut kabar2 jang sampai kini, kami berdua dengar belum ada seorang djuga jang mendapatkannja. Hanja, tjerita2 mengatakan bahwa tempat rahasia itu berada dipuntjak dari gunung Thang ini mendjadi semakin santer hingga, pernah terdjadi pada tahun jang lalu, pada kira2 dua ratus lie dari rumahku ini terdjadi suatu perkelahian jang meminta korban kira2 delapan atau sembilan puluh orang gagah..." demikianlah Bian Lip mengachiri tjeritanja. "Lip-heng, siapakah diantaranja selain Auwjang Siang Yong orang2 gagah dari tingkatan tua lainnja jang djuga turut terdjun kedalam kantjah ini?" tanja Satmijagatze. "Menurut apa jang kami berdua dengar, selain dari keponakannja Auwjang Keng Liak, katanja salah satu naga Sutjoan dan salah seorang murid Hek Mahie djuga telah turun tangan. Dan katanja, murid Hek Mahie jang telah turut ambil bagian, adalah seorang Turki jang kepandaiannja sangat tinggi sekali." "Dan dalam persengketaan ini, aku jang mempunjai urusan sendiri telah ditjurigai oleh Auwjang Siang Yong, hingga ditantang untuk mengundjungi daerahnja nanti, disepuluh tahun jang akan datang!" kata Satmijagatze sambil tertawa. Bian Lip tertawa djuga. Ia belesakkan pula sepotong bakpau kedalam mulutnja untuk kemudian dikunjahnja. Setelah selesai bersantap dan saling bertjerita, tuan rumah perintahkan dua orang pembantunja sediakan sebuah kamar untuk kedua tamunja bermalam. Keesokannja pagi2 kedua tuan rumah serta anak, memberikan selamat djalan kepada kedua tetamu tersebut. Sementara itu, sesudah meninggalkan kira2 sepuluh lie dari rumah kedua paman dan keponakan itu, Satmijagatze berdua pun kemudian mengambil selamat berpisah. "Anak Siang Tjoe," bilang Satmijagatze kepada Siang Tjoe sebelum keduanja mengambil djalan sendiri2. "Aku harap kau benar2 mewudjudkan tjita2mu, dan nanti, kalau kau telah mendjadi seorang dewasa, datanglah nanti kepulauku untuk nanti kau kuudji dengan muridku Soen Siawdji." Lie Siang Tjoe tertawa dia manggut2kan kepalanja, kemudian tubuhnja diputar kekanan, dan sesaat kemudian diapun sudah berada dilereng gunung jang menudju ke puntjak. Sedang Satmijagatze menggerakkan kakinja kearah barat, ke Thibet, untuk melandjutkan usahanja mentjari patung emas, jang mana beberapa tahun kemudian setelah melakukan beberapa pertempuran, dimana dia harus mempertaruhkan djiwanja, diantaranja dengan orang2 dari pulaunja sendiri achirnja diapun dengan selamat berhasil membawa pulang barang pusaka itu untuk kemudian diserahkannja kepada gurunja. ***** Lie Siang Tjoe setelah melakukan pula pendakian beberapa lama, ia pun beberapa saat kemudian telah berada pula dipuntjaknja dari gunung Than-ala-san. Disepandjang djalan, diatas puntjak gunung jang penuh dengan hutan tjemara itu, tidak sedetik pun pikirannja melupakan An Sioe Lian. Hingga achirnja karena rindunja, dia merasa se-olah2 disekelilingnja, dibalik pohon2 tjemara ia melihat An Sioe Lian tengah menjembunjikan diri. Hingga achirnja seperti laku seorang gila, dia menghampiri setiap pohon2 tersebut dan memutarinja dengan tentunja ia memperoleh hasil jang sia2 belaka. Ketika itu, hari pun telah naik tinggi. Matahari tepat berada di atas kepala. Ber-djam2 sudah Siang Tjoe ber-putar2 mendjeladjahi setiap pelosok hutan. Hingga achirnja dia masuki setiap lubang guha, sampai2 ketika hari sudah hampir lohor, baharu ia tersadar kalau dari pagi2 buta dia belum mengisi perutnja dengan sebutir nasipun. Sekedjab, mengingat ini, perutnja berkerujukan meminta makan. Lie Siang Tjoe segera menghampiri sebatang pohon. Lalu dengan golok ketjilnja ia membatjok. Namun ketika batjokannja tepat mengenai batang pohon tersebut, tiba2 ia merasakan tangannja kesakitan hingga ia merasa ngilu sampai ketulang-tulang sumsum. Sedjurus kemudian dengan menahan sakit, kembali tangannja ia ajun dengan tenaga dua kali lebih besar dari batjokan jang pertama tadi. Namun kembali pula ia dibuat kesakitan karenanja. Malah kali ini ia merasakan otaknja seperti tergetar. Sedang pohon tjemara gunung itu tetap tegak berdiri tanpa sedikitpun bergeming. Dibuat penasaran oleh ketangguhan pohon tersebut Siang Tjoe mendjadi panas. Ia ajun pula goloknja, satu kali, dua kali, tiga... peluh se-besar2 katjang kedelai penuh membasahi seluruh mukanja, sedang giginja berkerotan menahan sakit... terus ia membatjok, empat, lima... tapi pohon itu tetap berdiri dengan sedikit pun tiada bundas bekas tanda2 batjokan, sampai2 ketika pada batjokan jang kesebelas ia tidak tahan pula, karena banjak tenaga jang ia hamburkan, achirnja ia djatuh pingsan dibawah pohon tjemara gunung tersebut jang puntjaknja me-lambai2 seperti menertawakan. Setelah beberapa lama kemudian iapun telah sadar kembali. Terbajang dimatanja bagaimana si orang dari pulau sembilan dengan hanja tenaga sambarannja telah merubuhkan puntjak dari pohon sebangsa tersebut dengan hanja menggunakan beberapa belas ekor burung pemakan bangkai sebagai sendjata pelurunja, hingga kekagumannja kepada orang setengah umur itu semakin men-djadi2, dan ia merasakan betapa kepandaiannja masih djauh rendah sekali. Ketika itu, tengah ia menundukkan kepala memikirkan sendjata apakah jang harus digunakan untuk dipakai berburu, tiba2 ia merasakan diatas kepalanja ada angin keras menjambar. Mengira ada sendjata gelap, tjepat sekali dengan menggunakan tipu ikan leehi meletik, tubuhnja dilengakkan meletik untuk menghindarkan 'sendjata rahasia' itu. Namun ia kurang tjepat atau dengan perkataan lain, 'sendjata rahasia' itu ada terlebih tjepat dari gerakannja, demikianlah tidak ampun pula batok kepalanja telah terhantam tepat. Bagaikan disambar petir, ia merasakan kepalanja pusing sekali, hingga dengan mengeluarkan tjatjian 'Kurang adjar!' iapun sudah melesat kesamping dengan pedang sudah terhunus ditangan. Namun setelah menantikan beberapa lama, ia tidak melihat sesuatu gerakan jang mentjurigakan. Keadaan disitu tetap tenang, tiada tanda2 adanja manusia atau binatang. Ia mendjadi heran, dan iapun menjangka jang bukan2. Segera karena takut kepada sendjata beratjun, kepalanja diraba untuk mentjabutnja. Ia merasa pasti, bahwa kalau benar itu adalah sendjata rahasia, setidak-tidaknja sendjata itu terbuat dari bahan logam jang terberat. Namun ia mendjadi terperandjat sekali ketika kenjataannja, bahwa benda itu bukanlah sendjata rahasia ataupun potongan logam, melainkan... sepotong kaju jang pandjang tidak lebih dari tiga intji! "Ah!" tanpa terasa ia mengeluh, bahna heran. Dan iapun menengadahkan kepalanja menengok keatas. Tapi djustru itu kira2 dua tiga keping potongan kaju kembali gugur meluntjur turun dari puntjak pohon. Tjepat sekali serta mantap tidak melajang, kepingan2 itu dalam sekedjap sadja telah berada kira2 dua tumbak diatas kepalanja. Namun kali ini, Siang Tjoe melihat datangnja 'serangan' dan iapun telah bersiap sedia, maka dengan mudah sadja ia dapat mengelitnja dengan kepingan2 itu lewat disisinja serta menghadjar tanah. Hebat sekali tenaga sambaran itu hingga, kepingan2 masuk melesak sedalam kira2 delapan-sembilan bagiannja. Ia bingung, adakah diatas pohon itu ada bersembunji musuh gelap, Siang Tjoe segera dengan menggunakan ilmu tjetjak, melapay menaiki pohon itu. Sebentar sadja ia sudah mentjapai puntjak. Karena kuatir dibokong, ia tjabut pedangnja untuk dihunus. Demikianlah dengan pedang ditangan, mulutnja tidak berhenti mentjatji maki. Namun ia tidak memperoleh djawaban, malah ketika ia menengok kesisi kanannja, ia melihat pada suatu dahan pohon jang besarnja sepelukan anak2 terdapat duri2 jang djumlahnja banjak sekali. Bentuknja serupa benar dengan jang tiga keping tadi menghadjar dirinja. Pandjang serta tumpulnja. Segera ia mendekati dan mentjabut dua tiga antaranja. Ia mendapat kenjataan kalau selain batang2 ketjil itu tumpul serta mantap ternjata djuga duri2 itu mempunjai bentuk sebagai sendjata rahasia jang biasa dipakai oleh ahli2 silat. Kebetulan disaat itu, disaat ia tengah me-nimang2 duri2 pohon tersebut, diatas kepalanja dengan menerbitkan suara menggelepak-gelepak, tampak beberapa ekor burung pemakan bangkai terbang lalu. "Ha! Makanan!" berteriak Siang Tjoe. Dan... tunai ia merasakan perutnja kembali berkerujukan. Segera ditjabut pedangnja hendak dilontarkannja kearah salah satu dari binatang2 bersajap itu. Tapi dilain saat, dalam sedetik, pikirannja berubah. Tidak djadi ia melontarkan sendjatanja melainkan tangan kirinja jang menggenggam duri2 dari pohon tjemara, terajun, dan tiga batang duri telah melesat kearah tiga ekor burung jang terbang disebelah terbelakang. Ketjil tidak sampai empat intji duri2 itu. Tetapi kenjataannja benda2 alam tersebut mempunjai gaja berat jang istimewa sekali. Demikianlah sesaat kemudian diiringi dengan gaokan2 kesakitan, maka tiga diantaranja sesaat sadja telah melajang djatuh, dan setelah menggelepar-gelepar sebentar diatas tanah, binatang2 itupun tidak bergerak lagi. Sementara itu, Siang Tjoe setelah menjaksikan kehebatannja duri2 itu mendjadi kegirangan. Selandjutnja ia pun memeriksa dahan2 pohon jang lainnja, ternjata hampir pada setiap dahan sampai ke- tjabang2nja penuh ditumbuhi duri2 tumpul. Segera setelah mentjabuti pula beberapa batang, ia lalu melapai turun.