Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ilmu Silat Pengejar Angin - 18

$
0
0
Cerita Silat | Ilmu Silat Pengejar Angin | oleh Siasa | Ilmu Silat Pengejar Angin | Cersil Sakti | Ilmu Silat Pengejar Angin pdf

Pendekar Bodoh - 3. Setan Selaksa Wajah Pendekar Bodoh - 4. Ratu Perut Bumi Pendekar Bodoh - 5. Ksatria Seribu Syair Pendekar Bodoh - 6. Muslihat Sang Durjana Pendekar Bodoh - 8. Pusaka Pedang Naga

"Siapa tuan, siapa tuan..." demikianlah dengan ter- batuk2 orang tua atau kakek tersebut menggumam. "Saja, seorang tamu dekat, hendak bertemu menjambangi kedua Oey lo hiap..." sahut pemuda kita. "Oh. Bukankah tuan adalah tamu muda jang pada beberapa tahun tempo berkundjung kemari bersama tuan Satmi?" menegaskan kakek itu sambil mengangkat mukanja menatap muka Siang Tjoe. "Ja, saja Lie Siang Tjoe..." membenarkan si pemuda. Namun baharu sadja ia berkata-kata sampai disitu, tiba2 dilihatnja sikakek menundukkan kepalanja. Dan dilain saat tertampak pundaknja ber-gerak2, sambil dari mulutnja terdengar isak tangis. "Kek, mengapa kau?" tanja Siang Tjoe jang mendjadi terkedjut sekali melihat tiba2 orang dihadapannja menangis. Segera iapun mendapat firasat tidak baik. "Anak Siang Tjoe," demikian kakek itu langsung menjebut nama pemuda kita. "Kau tidak mengetahuinja..." Sampai disini, kakek itu mendadak berhenti berkata, melainkan dia menjilahkan pemuda kita memasuki ruang gedung tersebut. "Marilah nak, masuklah. Kita bitjara didalam," mengundang dia, jang lalu setelah menjilahkan Siang Tjoe duduk diapun masuk kedalam untuk kemudian balik kembali dengan membawa setajngkir air teh. Pada kedua matanja, tertampak bengkak besar, suatu tanda barusan ketika berada didalam dia telah menangis. Sedang pada kedua pipinja, disebelah bawah matanja djuga tampak bekas2 air mata jang baharu dihapus. "Kakek, mengapakah menangis?" Apakah malapetaka telah menimpa keluarga Oey ini?" mendahului Siang Tjoe jang mendjadi habis sabar. Mendengar ini, berulang kali si kakek menghela napas, akan kemudian setelah dia mengambil pula sebuah tempat duduk serta menempatkan diri disisi Siang Tjoe, diapun sambil menghapus matanja dengan lengan badjunja, membuka mulutnja. "Jah. Malapetaka malapetaka! Malah lebih dari itu..." kakek itu menghela napas. "Hari itu, kau dengarlah," si kakek jang berpakaian sebagai pembantu rumah tangga memulai tjeritanja. "Setahun setelah kedatangan kamu berdua dengan tuan Satmi kekampung ini telah datang dua orang asing berhidung bengkok serta memakai ikat kepala jang bentuknja aneh sekali. Oleh karena datangnja mereka itu pada malam hari sedang kulit mereka itu jang satu merah sedang lainnja kuning, maka hanja tertampak kedua matanja sadja jang bersinar-sinar bagai njalanja obor. Ternjata mereka tidak hanja datang berdua sadja. Djauh dibelakang mereka tertampak mengintil seorang dari kebangsaan kita. Langsung ketiga orang2 ini memasuki rumah gedung Oey Tjhungtju tanpa mereka hiraukan pula akan norma2 kesopanan. Ternjata kedua kedua manusia2 asing itu adalah orang2 dari India jang dibawa si orang dari kebangsaan kita itu. Seorang bekas begal jang pada enam tahun jang lalu pernah dikalahkan oleh kedua Tjhungtju kami dan sekarang datang hendak menuntut balas..." "Siapakah orang-orang itu?" tanja Siang Tjoe. "Kedua orang asing itu, jang wadjah mukanja sangat menjeramkan sekali seperti hantu benar2 sangat tidak tahu aturan sekali. Kehalusan budinja, melebihi rendahnja martabat binatang..." melandjutkan orang ini dengan sengit dan seperti tidak meladeni pertanjaan Siang Tjoe. "Mereka telengas sekali, dan kedua tangannja benar2 luar biasa sekali. Kesepuluh djarinja tadjam bagaikan udjung pedang! Demikian dihadapan kedua tjhungtju jang ketika itu sedang berbitjara dengan si orang bekas petjundang, mereka telah undjuk kekedjamannja hingga membuat semua orang mendjadi kaget dan gusar sekali..." "Apakah jang mereka telah perbuat?" potong Siang Tjoe jang mendjadi tegang sendirinja. "Salah satu diantaranja, jang mukanja kuning, dengan kelima djeridji tangannja tiba2 membinasakan seorang djongos jang ketika itu tengah membawa nampan teh! Sebagai akibat dari tjengkeraman itu sangat hebat sekali dan benar2 diluar peri kemanusiaan sekali. Mereka mentjengkeram dengan membuat bagian muka kepala, dimana kedua kuping, mata, hidung tjopot terbelah lepas dari batok kepalanja..." "Hai! Demikian hebat!?" berseru Siang Tjoe jang mendjadi terperandjat sekali hingga tanpa terasa pula ia sudah mentjelat bangun. Ia tahu. Sebab pernah ia membatjanja dari kitab 'Pemetjahan Lukisan' ilmu ini jakni betot djiwa lima djari, suatu ilmu silat jang berasal dari India dan djarang sekali orang dapat mejakininja, sangat luar biasa sekali. "Tjepat sekali gerakan orang itu hingga siapa djuga tidak dapat melihat kedjadiannja dan sedetik kemudian setelah kedjadian itu, kedua tjhungtju telah bertempur hebat melawan si orang bekas begal. Ternjata bekas begal itu bukanlah tandingannja kedua tjhungtju, namun disaat itu tiba2 terdengar suara lengkingannja si manusia asing jang bermuka merah. Hebat sekali orang ini, karena dengan bertangan kosong dia telah berhasil memukul petjah pertahanan kedua tjhungtju dan sesaat kemudian terdengar suara djeritannja tjhungtju muda Oey Hong Gan. Ternjata dia telah mengalami nasib serupa dengan pembantu rumah tangganja..." "Aah...!" tanpa terasa Siang Tjoe telah menghela napas. "Melihat malapetaka hebat jang menimpa sang keponakan, Oey toa tjhungtju mendjadi gusar sekali. Namun sebelum ia berhasil membalaskan sakit hati keponakannja itu mendadak diapun telah mengalami kebinasaannja dengan batok kepala dan bagian mukanj terpisah satu sama lain. Hampir2 disaat itu djuga, aku jang tengah bersembunji diatas loteng dan melihat tegas semua peristiwa itu, mati lemas, dan selandjutnja dengan tubuh bergemetaran keras kumenjaksikan betapa kedua iblis jang ternjata bernama Ang Oey Mokko, menurunkan tangan djahatnja kepada semua orang jang ketika itu berada didalam rumah tersebut. Barulah kemudian setelah puas, dengan meninggalkan suara tertawanja jang menjeramkan, ketiga orang itupun berlalu. Tiada seorangpun jang ketinggalan, ketjuali aku dan..." "Ahh...!" kembali terdengar elahan napas Siang Tjoe. Ia sangat terpesona sekali mendengar tjerita ini, hingga untuk beberapa saat ia hanja berdiri memaku sadja. Tidak dapat ia mengeluarkan pendapatnja, karena disaat itu djuga diruang otaknja segera terbajang akan nasib jang menimpa keluarga Tek, gurunja almarhum. Ia heran mengapa didalam dunia ini ada manusia2 jang sedemikian kedjam, dan menjalahgunakan ilmu kepandaian. Siang Tjoe baharu sadar dengan terkedjut ketika ia merasakan tubuhnja digojang-gojang serta di- panggil2 si kakek. "Tuan, namun mudjur sekali," terdengar si kakek melandjutinja. "Dasar Thian memang tidak buta. Satu2nja turunan Oey tjhungtju telah berhasil meloloskan diri..." "Bukankah dia itu, Oey siotjia?" tanja Siang Tjoe. "Si kakek manggut membenarkan akan kemudian dia menambahkan. "Ja, dia dibawa lari Lioe siauwdji ketika kedua iblis mengamuk berangkara murka..." "Sjukurlah," memudji Siang Tjoe. "Hanja entah kemana mereka pergi. Eh tuan, tolonglah beri kabar padanja, kalau esok2 tuan menemukannja," memohon dia, dan permintaan ini diluluskan Siang Tjoe dengan ia manggutkan kepalanja. Setelah itu karena merasa tiada gunanja berdiam lama-lama dirumah tersebut, Siang Tjoe segera memasang hio bersembahjang dihadapan medja abu paman dan keponakan itu jang menurut si kakek telah mengalami nasib sangat menjedihkan sekali. Tidak lupa kepada sikakek jang setia ini djuga ia pun meminta diri. Siapa mula2 berniat menahan Siang Tjoe agar bermalam dulu karena melihat hari sudah magrib. Namun karena keras niat si anak muda untuk berangkat djuga iapun tidak dapat memaksanja. Hanja diantarkannja tamunja itu sampai djauh diluar kampung akan kemudian mereka pun berpisahan dengan Siang Tjoe melandjutkan perdjalanannja, sedang si kakek setelah mengulangi pula permohonannja, ia pun balik pulang ke Oey kee tjung untuk mengurus lebih landjut rumah madjikannja sambil dengan sabar menantikan kedatangannja sang madjikan muda. Empat hari Siang Tjoe lakukan perdjalanannja, sampai pada hari kelimanja dari suatu dusun, ia membeli seekor kuda, hingga pada keesokannja ia pun tibalah di Kang-po jang ramai. Setibanja didalam kota, ia tampak banjak rumah makan. Ia segera merasa lapar. "Sudah lama aku dengar, arak giok-tjioe keluaran Kang-po ini tersohor harum. Hari ini baiklah aku tjoba2 minum satu dua tjawan," pikir pemuda ini. Lantas dia hampirkan sebuah rumah makan dimuka mana ia tampak ditambat seekor kuda merah. Tegap kuda itu serta bagus sekali. Sedang keempat kakinja djuga berwarna merah. Polos tiada bernoda lain warna. Ia menghampirinja lebih dekat untuk meneliti. Djustru itu matanja bentrok dengan satu tanda rahasia kangouw dipodjok tembok. Ia mendjadi heran, sedang itu ia ketahui karena bukankah ia pada sepuluh tahun jang lampau pernah merantau sebagai piauwsu? Tenang-tenang ia bertindak masuk, hingga ia dapatkan dipodjok utara, setumbak kira2 dari djendela, duduk seorang pemuda berpakaian seperti orang jang mengerti silat. Berseorang diri dia itu minum araknja. Siang Tjoe merasa heran, akan wadjah orang jang tjakap sekali jang tidak seharusnja dimiliki seorang laki2. Kulit mukanja halus sekali. Disebelah barat dari tempat pemuda tjakap itu mengambil kedudukan, terdapat pula duduk dua orang laki2 jang tubuh dan wadjahnja kasar. Jang satu gemuk, sedang lainnja kurus. Asjik sekali kedua orang ini menenggak araknja. Tetapi dimata Siang Tjoe, njatalah mereka ini sering2 melirik pada si pemuda tjakap. Pemuda tjakap berpakaian orang kang-ouw itu djuga minum seorang diri setjawan demi setjawan. Dia lebih mirip dengan seorang perempuan. Karena dia agaknja sudah minum terlampau banjak, tubuhnja tampak sedikit limbung. Namun walaupun demikian tampak dari air mukanja dia itu seperti sedang bersusah hati. Ini djuga tertampak dari kelakuannja jang sebentar2 menggojang-gojangkan kepalanja serta tangan di-kepal2, dan kembali ia sudah teguk satu tjawan araknja, hingga terdengar tenggorokannja berbunji. "Pemuda ini, dilihat dari ratu mukanja, seperti mempunjai sesuatu urusan, mengapa dia masih tungkuli araknja hingga tidak menjadari kalau ia sedang diintjar orang2 djahat. Apakah benar2 dia begini tolol?" Sementara itu si gemuk dibarat tiba2 terdengar berseru : "Hajo kawan, kamu harus minum habis dua ratus tjangkir. Tidak boleh tjurang!" Sang kawan, jang tubuhnja kurus berdjingkerak. "Kau sinting!" bentaknja. "Kau sendiri belum djuga menghabiskan tudjuh tjawan, sudah dewaka ku supaja minum dua ratus tjangkir?" "Tapi kamu harus ingat, kau bertubuh kurus. Kau membutuhkan banjak air kata2 agar tubuhmu mendjadi panas hingga setiap kali minum, kau paling sedikit harus minum tiga ratus. Tidak boleh kurang!" "Angin busuk! Angin bau!" si kurus mendumel dongkol. "Tidak. Aku tidak mau minum pula!" "Eh! Tidak mau minum?" bentak si gemuk, seraja angkat sebuah potji arak, untuk kemudian dia selugukkan kedalam mulut si kurus. Gusar si kurus. Tangannja dikebaskan buat menolak dengan keras, hingga arak tumpah melulahan menjiram tubuhnja. Sigemuk tetap memaksa, malah dia melawan, maka bergumullah mereka, keduanja seperti disengadja menghujungkan tubuhnja hingga melanggar si pemuda tjakap. "Kurang adjar!" pemuda itu membentak. Ia gusar dan lalu berbangkit. Berbareng dengan itu terdengar suara barang djatuh. Itulah kantung sulam si anak muda dan dari mana tampak meletik keluar sepotong emas serta beberapa tahil uang perak. Tjepat sekali, mendahului kedua orang jang berlagak gila tersebut, pemuda itu indjak kantungnja. Lalu ia membungkuk seraja diraupnja beberapa tahil uang peraknja dan potongan emasnja. "Kamu hendak merampas?" ia berseru. Dua orang gemuk dan kurus itu berhenti bergulat. Satu diantaranja, Si gemuk, membentak, "Siapa rampas barangmu?" "Kamu berani sembarangan tuduh orang? Nanti kuhadjar kau!" mengantjam djuga si kurus. Menjaksikan ketiga tamu ini hendak ribut. Beberapa orang tamu segera madju. Memisahkan. Siang Tjoe tertawa melihat kelakuan orang2 itu. Terutama kedua orang jang mukanja kasar itu. Terang mereka itu bukanlah manusia baik2. Mereka sengadja bergumul hanja untuk mendjatuhkan kantung uang orang untuk dirampas, dan sedikitnja untuk mengetahui dahulu, apakah isinja. Namun karena mereka kalah tjepat dengan si pemilik, maksud mereka tidak kesampaian. Pemuda ini berbangkit. Dihampirinja kedua orang itu. Lalu dengan tangannja, dia tolak kedua orang gemuk dan kurus ini. "Kalian sudah sinting? Mengapa bergumul hingga ketempat lain orang?" ia tegur mereka. Sambil berkata demikian, sebat sekali ia raba saku orang, akan dengan diam2 ia pindahkan uangnja, tanpa mereka menjadarinja. Sesudah mana ia tolak dada kedua orang itu. Agak keras tolakan ini hingga mereka djadi kesakitan dan kaget sekali, hingga selandjutnja mereka tidak berani bertingkah lagi. "Siapa suruh dia sembarangan tuduh kita merampas..." mereka menggerutu. "Sudah, sudahlah. habiskan sadja!" menasehati seorang tamu. "Kalian toh jang bersalah menubruk orang. Baik pulang sadja. Minumlah dirumah sepuas kalian." Pemuda tjakap berpakaian orang kang-ouw itu angkat tjawannja. "Saudara, mari minum bersama!" dia mengundang. Suaranja menjiarkan bau arak jang keras. "Terima kasih," sahut Siang Tjoe. Ia duduk pula dikursinja. Dari tempat ini, ia awasi kedua orang jang tadi hendak merampas itu. Mereka ini agaknja masih mendongkol. Mereka masih melihati sipemuda tjakap dengan sorot mata tadjam. Lalu satu diantaranja, jang kurus, teriaki tuan rumah untuk berhitungan. Orang jang kedua, kawannja, meraba sakunja. Agaknja ia hendak mengeluarkan uang. Tiba2 ia melengak, wadjahnja mendadak berubah putjat. Si kurus lihat perubahan wadjah orang. Ia terkedjut. Lantas ia raba pula sakunja. Ia pun tiba2 mendjadi berdiri tertegun dengan mendadak. Sebab ia pun dapatkan sakunja kosong. Keduanja, satu sama lain, lantas saling mengawasi. Mulut mereka terkantjing rapat. Tak dapat mereka berkata. "Djumlah semua. Dua tahil lima tjie," kata si kuasa, jang menhampiri kedua tamunja itu. Kedua orang itu menjeringai, seperti monjet kena terasi, sedang tangannja masih belum ditarik dari saku mereka. "Tuan2. Semua berdjumlah dua tahil lima tjie," mengulangi tuan rumah. "Apakah boleh kami membajar lain hari sadja?" tanja si gemuk achirnja. Tuan rumah, si kuasa, memperlihatkan wadjah heran, sesudah mana ia tertawa dingin. "Tidakkah rumah makan kami akan pailit, apabila semua tamu berhutang!" edjek dia. Djongos, jang djuga mendjadi tidak senang, turut bitjara : "Apakah kalian berdua bukannja sengadja hendak mengganggu kita? Sudah minum ber-puas2, berlagak berkelahi sampai menubruk orang. kalau bukan hendak menganglap, apa lagi? Djika kalian benar2tidak beruang, buka sadja semua badju kalian!" Kasar serta keras suara djongos ini, tapi ia membuatnja lain2 tamu mendjadi tertawa. Hingga ruangan riuh ramai. "Memang mereka berdua jang salah..." beberapa orang turut bitjara memberatkan kedua orang gemuk dan kurus itu. Melihat suasana tidak baik, kedua orang itu membuka badjunja.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>