Cerita Silat | Ilmu Silat Pengejar Angin | oleh Siasa | Ilmu Silat Pengejar Angin | Cersil Sakti | Ilmu Silat Pengejar Angin pdf
Pendekar Bodoh - 3. Setan Selaksa Wajah Pendekar Bodoh - 4. Ratu Perut Bumi Pendekar Bodoh - 5. Ksatria Seribu Syair Pendekar Bodoh - 6. Muslihat Sang Durjana Pendekar Bodoh - 8. Pusaka Pedang Naga
Segera setelah mengetahui ada seorang lihay jang melindungi lawannja, iapun memutar tubuh. Namun ia mendjadi heran sekali, ketika ia mendapat kenjataan, kalau disitu, ketjuali seorang pemuda jang tidak mungkin untuk ditjurigai tiada kedapatan lagi orang2 lain atau sesuatu jang mentjurigakan. Djustru itu karena ini, ia mendjadi lengah, dan tanpa ia menjadarinja pula, udjung pedang Tek Tek telah menjambar dadanja. Namun untung walaupun dalam keadaan lengah, ia mempunjai ilmu kepandaian jang tinggi dan ketadjaman perasaan jang dalam sekali. Demikianlah tjepat sekali, mendahului tibanja serangan, ia melompat kekanan seraja memutar sendjata alat tulisnja menangkis pedang lawan seraja tangan kirinja dengan telundjuk dan djari manis diluruskan, dia totok djalan darah Tay tui hiat Tek Tek dibagian lambung. Kembali gerakannja jang sangat sebat ini telah membuat Tek Tek mendjadi gelagapan pula, dan karena ini tampaknja dia mendjadi nekat. Melupakan akan bahaja jang dapat membuat ia mati lemas terkena totokan, dia madjukan tubuhnja kekanan seraja ajunkan pedangnja. Demikianlah kedua orang ini tanpa keduanja dapat menjingkirkan diri atau mengendalikan pula serangannja terantjam akan bahaja ke-dua2nja mendjadi binasa, serangan masing2 meluntjur tjepat sekali! Namun dalam saat itu, pada waktu kedua orang ini dalam keadaan kritis, tiba2 sebuah bajangan berkelebat dan menjelak berdiri diantara kedua orang serta memisahkan pedang dan kedua djeridji jang hampir menjentuh masing2 sasarannja. Hebat sekali tenaga lweekang jang dikeluarkan dari kedua tangan bajangan itu jang ternjata bukan lain dari Lie Siang Tjoe adanja, hingga disaat itu djuga kedua orang si imam dan Giok Tek Tek tergempur mundur sedjauh kira2 lima enam tombak. "Maafkan aku," demikian Siang Tjoe memohon seraja rangkapkan kedua tangannja memberi hormat. "Sudahkanlah soal jang tidak berarti ini!" Kedua orang terutama si imam jang kini sudah dapat memperbaiki diri pula, diam2 merasa amat terkedjut merasai akan kehebatan tenaga sianak muda jang mereka lihat tadi ketika bertempur hanja duduk diam menonton sadja. Imam ini jang merasa dirinja adalah orang dari tingkatan lebih tua merasa malu dan terhina sekali. Namun karena barusan dia telah merasakan kehebatannja tenaga lweekang sianak muda, maka iapun menjabarkan diri jang sebenarnja me-londjak2 itu. "Baik, baik. Baku Loo Kek Sie hari ini mengaku kalah namun agar aku djangan sampai ketjewa, tinggalkan nama sietju agar pintoo djangan sampai penasaran dan kalau sempat datanglah menjambangi gubukku..." "Dikota sebelah timur!" menjelak Tek Tek sambil mempermainkan matanja. "Tentu, tentu, saudaraku tentu pergi," menambahkan dia, sambil memalingkan mukanja kepada Siang Tjoe dan manggut2kan kepalanja seperti laku dengan pemuda kita ini dia sudah kenal baik. Kelakuan orang ini membuat Siang Tjoe mendjadi tertjengang jang kemudian agar kawan muda jang baru dikenal dan suka gujon itu djangan sampai ketjewa, manggut memastikan, seraja memperkenalkan namanja. "Ha. Apa kubilang. Saudaraku adalah seorang laki2, pastilah dia akan tepati djandjinja," Tek Tek bertepuk tangan dan menambahkannja. "Sudah sekarang kau boleh pergi!" "Budak anak haram!" membentak si imam, Kek Sie Todjin, dan mendapat tjatjian ini tampak wadjah Tek Tek dalam sekedjap berubah merah seperti kepiting direbus. "Hari ini, memandang kawanmu itu, aku lepaskan tubuh busukmu, namun nanti satu kali, apabila lima belas potong emasku jang aku berani pastikan kaulah jang mentjurinja tidak kau kembalikan dalam waktu lima hari ini, djangan baru kau berkawan dengan seorang jang berkepandaian seperti tuan ini, walau sepuluh pun tidak akan aku berlaku sungkan pula," dan tanpa menunggu pula sipemuda nakal memberi kepastiannja, iapun sudah membaliki tubuh untuk kemudian setelah memberi aba2 kepada kawan2nja supaja lekas berlalu diapun meninggalkan rumah makan itu. Namun baharu sadja ia melangkahkan kakinja sedjauh kira2 tiga tindak dari muka pintu, tiba2 ia dengar suara sipemuda nakal jang membuat kalau seandainja tidak ada Siang Tjoe tentulah ia sudah balik kembali untuk memberi hadjaran. "Ha ha ha!" demikian ia mendengar. "Memang, barang2 murni itu sekarang berada padaku dan baiklah nanti lima hari lagi aku akan mengundjungi gubukmu bersama kawanku ini untuk mengembalikan emas2mu itu jang sudah kutjiptakan mendjadi lima belas potong kaju arang, ha ha ha!" Bukan main mendelunja imam ini dan kawan2nja mendengar kata2 edjekan tersebut, namun apa daja, karena disitu ada Siang Tjoe mereka tidak berani untuk memberikan hadjaran pada pemuda tersebut, karena disitu ada Siang Tjoe jang kelihajannja si imam sendiri telah merasakannja walau hanja dalam sekali melihat gerakannja. Dengan menebalkan perasaan kulit tubuh dan memekakkan telinga mereka berdjalan terus. "Anak nakal!" mentjatji Siang Tjoe dalam hati, jang diam2 pun merasa hatinja geli dan agak marah. Betapa tidak, baru hari ini bertemu dan berkenalan sudah mengaku saudara, dan sudah berani meluluskan permintaan orang jang ditudjukan kepadanja jang ia sendiri belum memberikan keputusannja. Sungguh lutju dan menjebalkan. "Sahabat Siang Tjoe," terdengar Tek Tek mamanggil, membangunkan perasaan Siang Tjoe dari lautan kesangsiannja. "Mari landjutkan dahar jang barusan sudah terganggu!" sambil menarik lengan pemuda kita kemedjanja, dimana kemudian dia meneriakkan djongos jang lantas datang dengan segera. Terlebih telaten, dan hormat. "Tjoe toako," berkata Tek Tek tanpa sungkan2 pla menjebut nama orang dan memanggil toako, saudara jang terlebih tua, karena memang dilihat dari raut wadjah sadja kedua orang muda ini, tampaklah dengan njata kalau Siang Tjoe terlebih tua dari pemuda nakal itu. "Kau memiliki ilmu kepandaian jang benar2 dapat membuat kagum setiap orang jang menjaksikannja. Bolehkah aku mengetahui dari partai manakah toako dan siapakah gurumu?" "Aku adalah orang dari partai sembilan," mendusta Siang Tjoe jang segera ingat kalau dia tidak boleh menerangkan kepada siapa djuga akan nama perguruannja. Dan keterangan ini sesungguhnja membuat Tek Tek mendjadi keheranan sekali. Karena sepandjang jang ia ketahui, belumlah pernah mendengar nama partai sematjam ini. "Sedang guruku, adalah seorang jang tidak mempunjai nama. Usianja sudah lebih dari seratus tahun serta kurus sekali... dan kau sendiri siauwtee!" "Aneh, aneh sekali! Partai dari partai sembilan?" menegasi Tek Tek. "He ehhh!" membenarkan Siang Tjoe seraja manggutkan kepalanja jang tapinja didalam hatinja tertawa ter-pingkal2 hingga hampir2 perasaan itu ia keluarkan. "Gurumu seorang tiada bernama, berusia lebih dari seabad? Dan kurus sekali?" Dan kembali Siang Tjoe manggutkan kepalanja serta se-dapat2nja ia menahan perasaan hendak ketawanja jang ketika itu hendak muntah keluar. "Heran belum pernah kudengar nama tersebut!" berseru dia achirnja setelah lama ber-pikir2 tanpa sedikitpun dapat merabanja, dan mengangkat tjawan araknja seraja berkata. "Aku tidak berpartai, sedang guruku banjak sekali, tjampur aduk, dari kota jang djauh dari kota ini. Dan agar toako djangan sampai menuduh aku adalah seorang jang bukan2, karena beberapa kali orang2 tadi me-njebut2 aku telah mentjuri lima belas potong emasnja..." "Boleh kau mengotjeh terus bersihkanlah namamu, aku tidak peduli. Jang kutahu, kau adalah seorang pemuda nakal..." berkata Siang Tjoe dalam hatinja, sambil menghirup araknja. "Pada empat tahun jang lalu, karena tidak tahan akan tekanan batin jang menindih djiwaku, aku meninggalkan rumahku..." "Nah, satu bukti!" hati Siang Tjoe berkata pula. "Siapa nama orang tuamu?" achirnja Siang Tjoe bertanja djuga. "Orang tuaku? Apabila orang tuaku masih hidup, tiadalah hidup batinku tertekan mendjadi begini rupa dan sampai mengaburkan diri..." "Ah!" tanpa terasa Siang Tjoe berseru dan seketika itu djuga terlintas di rongga otaknja akan wadjah Ong Kauw Lian, murid murtad jang telah membinasakan ajahnja. "Empat tahun lamanja aku merantau, hingga bolehlah dikatakan pengalamanku tentang dunia kangouw luas djuga, dan mengetahui bagaimana tjara bekerdjanja orang djahat atau baik. Demikianlah pada sepuluh hari jang lalu, ketika aku hendak memasuki kota ini, kira2 empat puluh lie dari pintu selatan, aku berpapasan dengan segerombolan begal jang anggotanja terdiri dari orang2 lihay tengah menerindili seorang saudagar tanpa dia ini berdaja apa2 dan membiarkan lima belas potong emasnja dirampas. Karena apa daja dia hanjalah seorang saudagar bertubuh terokmok, gerombolan jang mula pertamanja kukira adalah dari kumpulan begal ini dipimpin seorang tosu bernama Kek Sie Todjin dan seorang lain, seorang imam djuga. Malah imam kawannja Kek Sie Todjin djauh lebih lihay dari Kek Sie Todjin sendiri, hingga dikala aku saksikan betapa ketika ia menakut-nakuti si saudagar dengan membuat patah tiga sebuah golok besar, akupun membatalkan diri untuk membantui si saudagar. Maka selandjutnja, adikmu ini hanja membajangi gerombolan begal ini, dari djarak kira2 dua puluh tombak tanpa mereka menjadari karena kebetulan ternjata ilmu meringankan tubuhku djauh terlebih tinggi dari mereka. Ternjata mereka memasuki kota kang-po ini, hingga benar2 ketika itu aku merasa heran dan tidak habis pikir, sebab apakah mungkin berani kaum begal mendirikan pesanggerahan didalam kota jang tjukup ramai dan mempunjai hukum? Didalam kota, terus mereka kubajangi, mereka menudju terus keutara dan ternjata mereka adalah orang2 dari partai Pek bie pay, partai alis putih jang dipimpin oleh lima orang ketua, diantaranja dua imam tadi jang turut membegal. Setelah menjelidiki, malamnja dengan menggunakan Ja heng ie (Pakaian malam) dan memakai kain hitam penutup muka, aku satroni rumah perkumpulan tersebut. Kebenaran, malam itu mungkin karena untuk merajakan pesta hasil mereka jang diduga seharga tidak kurang dari tiga puluh ribu tahil, mereka berpesta makan minum sampai ber-mabuk2, hingga dengan mudah aku pun dapat mentjuri kembali seluruh potongan emas hasil rampokan mereka jang berdjumlah lima belas potong dan berharga tidak kurang dari tiga puluh ribu tahil itu dan kemudian membawanja pulang. Namun apa latjur ketika kutengah melarikan diri dan sampai diluar pekarangan, aku berpapasan dengan Kek Sie Todjin jang segera ketika melihat aku ber-lari2 membawa karung, dengan tindakan limbung karena pengaruh arak, membentak dan lalu menjerang aku. Dengan mudah sadja serangannja dapat kukelitkan kemudian tjepat luar biasa tubuhku kulajangkan keatas genteng untuk kemudian terus lari meningalkannja. Imam itu sendiri segera rubuh djatuh karena mungkin terlalu banjaknja dia menenggak air kata2. Agaknja ketika tadi aku melawan dia bertempur, dia mengenali tubuh dan gerakanku, hingga hampir2 sadja aku terdjatuh sebagai korbannja barusan, kalau tiada datang pertolonganmu... Hai tidak tahunja hari sudah malam," dia menambahkan. "Marilah toako ikut aku ber-sama2 tidur di pondokku. Sekalian lihat logam2 murni itu, jang mana kalau kau kehendaki aku dapat membaginja separuh," akan kemudian tanpa menunggu djawaban lagi dari Siang Tjoe, setelah membajar uang makanan dan minuman, ditariknja tangan pemuda ini untuk diadjaknja keluar jang mana iapun mengikutinja dengan pikiran kalau mungkin ia hendak menasehati agar pemuda itu pulangkan sadja emas2 barang rampasan itu kepada pemilik aslinja. Dengan separuh menarik tangan Siang Tjoe pemuda itu terus membawa pemuda kita sampai keluar kota jang mana kemudian membawanja terus menjusuri sebuah sungai ketjil jang airnja djernih. Tak lama kemudian, mereka berduapun telah berada sepuluh lie kira2 dari pintu kota, dan berada disuatu tempat jang penuh bertumbuhan pohon2 liar. Dan dilain saat, setelah menempuh pula kira2 enam lie, Siang Tjoe pun merasakan bahwa dia bukan lagi berada disuatu daerah hutan, melainkan disuatu padang rumput, dimana banjak sekali kedapatan bukit2 ketjil. "Dimanakah rumah pondokmu," tanja Siang Tjoe achirnja jang tidak dapat menahan pula rasa herannja. Karena tadinja ia kira, pemuda itu menginap dihotel atau sedikitnja berdiam disuatu rumah biasa didalam kota. "Kurang lebih tiga puluh lie lagi," djawab pemuda itu singkat seperti tidak memperdulikannja, Siang Tjoe akan keterangan ini mendjadi ter-heran2. "Tiga puluh lie lagi?" mengulang Siang Tjoe. "Ja," membenarkan Tek Tek. "Apakah kau tjuriga? Dapat berbuat apakah aku terhadap toako jang berkepandaian seratus kali lipat daripadaku? Dan pula bukankah tadi waktu dirumah makan aku sudah tjeritakan bahwa padaku ada terdapat lima belas potong uang emas jang tentunja tidak mungkin untuk dapat di-bawa2 didalam kota." Dengan keterangan ini Siang Tjoe manggut2kan kepalanja dan tahulah ia akan sebabnja mengapa pemuda itu tidak mengambil tempat menginap didalam kota. Selandjutnja ia pun tidak ber-tanja2 lagi, hanja diikutinja terus pemuda itu jang membawanja terus dengan arah tetap kebarat. Ketika itu sang rembulan jang terang sudah sampai di- tengah2 tjakrawala. Sinarnja menerangi rumput tebal. Siang Tjoe jang bermata djeli, segera melihat diantara tumpukan2 bukit2 ketjil, terdapat tiga tumpukan bukit jang bentuk dan kedudukannja lain sekali dengan bukit2 seumumnja. Pada tiga tumpukan jang membuat timbulnja ketjurigaan Siang Tjoe ini memantulkan kembali sinar sang bulan jang menimpanja, tampaklah aneh sekali. Tjepat sekali Siang Tjoe lompat menghampiri sesuatu jang menarik hatinja itu, maka segera ia pun mengenali itulah sekumpulan tengkorak manusia, jang bertumpuk rapi dalam empat tumpukan. "Ternjata didaerah sini banjak sekali begal2 kedjam..." katanja. "Eh, siauwtee. Apakah artinja ini? Siauwtee tjoba kemari!" Suara itu suara kaget, maka segeralah Tek Tek pun menghampirinja. "Tengoklah!" berseru pemuda ini, jang angsurkan sebuah tengkorak kepala manusia kepada Tek Tek, jang kemudian memeriksanja. Dia ini pun tidak kurang pula terkedjutnja. Ia dapatkan lima lubang pada lubang2 kuping, mata dan hidung sebelah kiri terdapat lebih besar seperti bekas dilubangi dengan paksa, rupanja bekas ditusuk dengan djari tangan, djadi bukan bekas tusukan pedang atau alat sendjata lain. Pemuda ini, jang pengalamannja tjukup luas segera ulur tangannja, dan kelima djeridjinja tepat masuk dengan lebih kelonggaraan sedikit masuk kedalam semua liang itu. Djadi tentulah itu bukan perbuatan manusia2 biasa, apalagi kaum begal. Ia djumput tiga tengkorak lain, disitu djuga kedapatan masing2 lima liang pada kuping, hidung sebelah kiri dan mata. Dengan segera air mukanja pun berubah. "Tjoba toako, kau periksa tiga tumpukan lainnja. Apakah djumlah dan susunannja sama dengan jang ini?" berkata ia separuh memerintah. "Jah, benar djumlahnja sama. Sebelas. Sedang susunannja sebagai segitiga," memberitahu Siang Tjoe setelah ia selesai memeriksa.
Pendekar Bodoh - 3. Setan Selaksa Wajah Pendekar Bodoh - 4. Ratu Perut Bumi Pendekar Bodoh - 5. Ksatria Seribu Syair Pendekar Bodoh - 6. Muslihat Sang Durjana Pendekar Bodoh - 8. Pusaka Pedang Naga
Segera setelah mengetahui ada seorang lihay jang melindungi lawannja, iapun memutar tubuh. Namun ia mendjadi heran sekali, ketika ia mendapat kenjataan, kalau disitu, ketjuali seorang pemuda jang tidak mungkin untuk ditjurigai tiada kedapatan lagi orang2 lain atau sesuatu jang mentjurigakan. Djustru itu karena ini, ia mendjadi lengah, dan tanpa ia menjadarinja pula, udjung pedang Tek Tek telah menjambar dadanja. Namun untung walaupun dalam keadaan lengah, ia mempunjai ilmu kepandaian jang tinggi dan ketadjaman perasaan jang dalam sekali. Demikianlah tjepat sekali, mendahului tibanja serangan, ia melompat kekanan seraja memutar sendjata alat tulisnja menangkis pedang lawan seraja tangan kirinja dengan telundjuk dan djari manis diluruskan, dia totok djalan darah Tay tui hiat Tek Tek dibagian lambung. Kembali gerakannja jang sangat sebat ini telah membuat Tek Tek mendjadi gelagapan pula, dan karena ini tampaknja dia mendjadi nekat. Melupakan akan bahaja jang dapat membuat ia mati lemas terkena totokan, dia madjukan tubuhnja kekanan seraja ajunkan pedangnja. Demikianlah kedua orang ini tanpa keduanja dapat menjingkirkan diri atau mengendalikan pula serangannja terantjam akan bahaja ke-dua2nja mendjadi binasa, serangan masing2 meluntjur tjepat sekali! Namun dalam saat itu, pada waktu kedua orang ini dalam keadaan kritis, tiba2 sebuah bajangan berkelebat dan menjelak berdiri diantara kedua orang serta memisahkan pedang dan kedua djeridji jang hampir menjentuh masing2 sasarannja. Hebat sekali tenaga lweekang jang dikeluarkan dari kedua tangan bajangan itu jang ternjata bukan lain dari Lie Siang Tjoe adanja, hingga disaat itu djuga kedua orang si imam dan Giok Tek Tek tergempur mundur sedjauh kira2 lima enam tombak. "Maafkan aku," demikian Siang Tjoe memohon seraja rangkapkan kedua tangannja memberi hormat. "Sudahkanlah soal jang tidak berarti ini!" Kedua orang terutama si imam jang kini sudah dapat memperbaiki diri pula, diam2 merasa amat terkedjut merasai akan kehebatan tenaga sianak muda jang mereka lihat tadi ketika bertempur hanja duduk diam menonton sadja. Imam ini jang merasa dirinja adalah orang dari tingkatan lebih tua merasa malu dan terhina sekali. Namun karena barusan dia telah merasakan kehebatannja tenaga lweekang sianak muda, maka iapun menjabarkan diri jang sebenarnja me-londjak2 itu. "Baik, baik. Baku Loo Kek Sie hari ini mengaku kalah namun agar aku djangan sampai ketjewa, tinggalkan nama sietju agar pintoo djangan sampai penasaran dan kalau sempat datanglah menjambangi gubukku..." "Dikota sebelah timur!" menjelak Tek Tek sambil mempermainkan matanja. "Tentu, tentu, saudaraku tentu pergi," menambahkan dia, sambil memalingkan mukanja kepada Siang Tjoe dan manggut2kan kepalanja seperti laku dengan pemuda kita ini dia sudah kenal baik. Kelakuan orang ini membuat Siang Tjoe mendjadi tertjengang jang kemudian agar kawan muda jang baru dikenal dan suka gujon itu djangan sampai ketjewa, manggut memastikan, seraja memperkenalkan namanja. "Ha. Apa kubilang. Saudaraku adalah seorang laki2, pastilah dia akan tepati djandjinja," Tek Tek bertepuk tangan dan menambahkannja. "Sudah sekarang kau boleh pergi!" "Budak anak haram!" membentak si imam, Kek Sie Todjin, dan mendapat tjatjian ini tampak wadjah Tek Tek dalam sekedjap berubah merah seperti kepiting direbus. "Hari ini, memandang kawanmu itu, aku lepaskan tubuh busukmu, namun nanti satu kali, apabila lima belas potong emasku jang aku berani pastikan kaulah jang mentjurinja tidak kau kembalikan dalam waktu lima hari ini, djangan baru kau berkawan dengan seorang jang berkepandaian seperti tuan ini, walau sepuluh pun tidak akan aku berlaku sungkan pula," dan tanpa menunggu pula sipemuda nakal memberi kepastiannja, iapun sudah membaliki tubuh untuk kemudian setelah memberi aba2 kepada kawan2nja supaja lekas berlalu diapun meninggalkan rumah makan itu. Namun baharu sadja ia melangkahkan kakinja sedjauh kira2 tiga tindak dari muka pintu, tiba2 ia dengar suara sipemuda nakal jang membuat kalau seandainja tidak ada Siang Tjoe tentulah ia sudah balik kembali untuk memberi hadjaran. "Ha ha ha!" demikian ia mendengar. "Memang, barang2 murni itu sekarang berada padaku dan baiklah nanti lima hari lagi aku akan mengundjungi gubukmu bersama kawanku ini untuk mengembalikan emas2mu itu jang sudah kutjiptakan mendjadi lima belas potong kaju arang, ha ha ha!" Bukan main mendelunja imam ini dan kawan2nja mendengar kata2 edjekan tersebut, namun apa daja, karena disitu ada Siang Tjoe mereka tidak berani untuk memberikan hadjaran pada pemuda tersebut, karena disitu ada Siang Tjoe jang kelihajannja si imam sendiri telah merasakannja walau hanja dalam sekali melihat gerakannja. Dengan menebalkan perasaan kulit tubuh dan memekakkan telinga mereka berdjalan terus. "Anak nakal!" mentjatji Siang Tjoe dalam hati, jang diam2 pun merasa hatinja geli dan agak marah. Betapa tidak, baru hari ini bertemu dan berkenalan sudah mengaku saudara, dan sudah berani meluluskan permintaan orang jang ditudjukan kepadanja jang ia sendiri belum memberikan keputusannja. Sungguh lutju dan menjebalkan. "Sahabat Siang Tjoe," terdengar Tek Tek mamanggil, membangunkan perasaan Siang Tjoe dari lautan kesangsiannja. "Mari landjutkan dahar jang barusan sudah terganggu!" sambil menarik lengan pemuda kita kemedjanja, dimana kemudian dia meneriakkan djongos jang lantas datang dengan segera. Terlebih telaten, dan hormat. "Tjoe toako," berkata Tek Tek tanpa sungkan2 pla menjebut nama orang dan memanggil toako, saudara jang terlebih tua, karena memang dilihat dari raut wadjah sadja kedua orang muda ini, tampaklah dengan njata kalau Siang Tjoe terlebih tua dari pemuda nakal itu. "Kau memiliki ilmu kepandaian jang benar2 dapat membuat kagum setiap orang jang menjaksikannja. Bolehkah aku mengetahui dari partai manakah toako dan siapakah gurumu?" "Aku adalah orang dari partai sembilan," mendusta Siang Tjoe jang segera ingat kalau dia tidak boleh menerangkan kepada siapa djuga akan nama perguruannja. Dan keterangan ini sesungguhnja membuat Tek Tek mendjadi keheranan sekali. Karena sepandjang jang ia ketahui, belumlah pernah mendengar nama partai sematjam ini. "Sedang guruku, adalah seorang jang tidak mempunjai nama. Usianja sudah lebih dari seratus tahun serta kurus sekali... dan kau sendiri siauwtee!" "Aneh, aneh sekali! Partai dari partai sembilan?" menegasi Tek Tek. "He ehhh!" membenarkan Siang Tjoe seraja manggutkan kepalanja jang tapinja didalam hatinja tertawa ter-pingkal2 hingga hampir2 perasaan itu ia keluarkan. "Gurumu seorang tiada bernama, berusia lebih dari seabad? Dan kurus sekali?" Dan kembali Siang Tjoe manggutkan kepalanja serta se-dapat2nja ia menahan perasaan hendak ketawanja jang ketika itu hendak muntah keluar. "Heran belum pernah kudengar nama tersebut!" berseru dia achirnja setelah lama ber-pikir2 tanpa sedikitpun dapat merabanja, dan mengangkat tjawan araknja seraja berkata. "Aku tidak berpartai, sedang guruku banjak sekali, tjampur aduk, dari kota jang djauh dari kota ini. Dan agar toako djangan sampai menuduh aku adalah seorang jang bukan2, karena beberapa kali orang2 tadi me-njebut2 aku telah mentjuri lima belas potong emasnja..." "Boleh kau mengotjeh terus bersihkanlah namamu, aku tidak peduli. Jang kutahu, kau adalah seorang pemuda nakal..." berkata Siang Tjoe dalam hatinja, sambil menghirup araknja. "Pada empat tahun jang lalu, karena tidak tahan akan tekanan batin jang menindih djiwaku, aku meninggalkan rumahku..." "Nah, satu bukti!" hati Siang Tjoe berkata pula. "Siapa nama orang tuamu?" achirnja Siang Tjoe bertanja djuga. "Orang tuaku? Apabila orang tuaku masih hidup, tiadalah hidup batinku tertekan mendjadi begini rupa dan sampai mengaburkan diri..." "Ah!" tanpa terasa Siang Tjoe berseru dan seketika itu djuga terlintas di rongga otaknja akan wadjah Ong Kauw Lian, murid murtad jang telah membinasakan ajahnja. "Empat tahun lamanja aku merantau, hingga bolehlah dikatakan pengalamanku tentang dunia kangouw luas djuga, dan mengetahui bagaimana tjara bekerdjanja orang djahat atau baik. Demikianlah pada sepuluh hari jang lalu, ketika aku hendak memasuki kota ini, kira2 empat puluh lie dari pintu selatan, aku berpapasan dengan segerombolan begal jang anggotanja terdiri dari orang2 lihay tengah menerindili seorang saudagar tanpa dia ini berdaja apa2 dan membiarkan lima belas potong emasnja dirampas. Karena apa daja dia hanjalah seorang saudagar bertubuh terokmok, gerombolan jang mula pertamanja kukira adalah dari kumpulan begal ini dipimpin seorang tosu bernama Kek Sie Todjin dan seorang lain, seorang imam djuga. Malah imam kawannja Kek Sie Todjin djauh lebih lihay dari Kek Sie Todjin sendiri, hingga dikala aku saksikan betapa ketika ia menakut-nakuti si saudagar dengan membuat patah tiga sebuah golok besar, akupun membatalkan diri untuk membantui si saudagar. Maka selandjutnja, adikmu ini hanja membajangi gerombolan begal ini, dari djarak kira2 dua puluh tombak tanpa mereka menjadari karena kebetulan ternjata ilmu meringankan tubuhku djauh terlebih tinggi dari mereka. Ternjata mereka memasuki kota kang-po ini, hingga benar2 ketika itu aku merasa heran dan tidak habis pikir, sebab apakah mungkin berani kaum begal mendirikan pesanggerahan didalam kota jang tjukup ramai dan mempunjai hukum? Didalam kota, terus mereka kubajangi, mereka menudju terus keutara dan ternjata mereka adalah orang2 dari partai Pek bie pay, partai alis putih jang dipimpin oleh lima orang ketua, diantaranja dua imam tadi jang turut membegal. Setelah menjelidiki, malamnja dengan menggunakan Ja heng ie (Pakaian malam) dan memakai kain hitam penutup muka, aku satroni rumah perkumpulan tersebut. Kebenaran, malam itu mungkin karena untuk merajakan pesta hasil mereka jang diduga seharga tidak kurang dari tiga puluh ribu tahil, mereka berpesta makan minum sampai ber-mabuk2, hingga dengan mudah aku pun dapat mentjuri kembali seluruh potongan emas hasil rampokan mereka jang berdjumlah lima belas potong dan berharga tidak kurang dari tiga puluh ribu tahil itu dan kemudian membawanja pulang. Namun apa latjur ketika kutengah melarikan diri dan sampai diluar pekarangan, aku berpapasan dengan Kek Sie Todjin jang segera ketika melihat aku ber-lari2 membawa karung, dengan tindakan limbung karena pengaruh arak, membentak dan lalu menjerang aku. Dengan mudah sadja serangannja dapat kukelitkan kemudian tjepat luar biasa tubuhku kulajangkan keatas genteng untuk kemudian terus lari meningalkannja. Imam itu sendiri segera rubuh djatuh karena mungkin terlalu banjaknja dia menenggak air kata2. Agaknja ketika tadi aku melawan dia bertempur, dia mengenali tubuh dan gerakanku, hingga hampir2 sadja aku terdjatuh sebagai korbannja barusan, kalau tiada datang pertolonganmu... Hai tidak tahunja hari sudah malam," dia menambahkan. "Marilah toako ikut aku ber-sama2 tidur di pondokku. Sekalian lihat logam2 murni itu, jang mana kalau kau kehendaki aku dapat membaginja separuh," akan kemudian tanpa menunggu djawaban lagi dari Siang Tjoe, setelah membajar uang makanan dan minuman, ditariknja tangan pemuda ini untuk diadjaknja keluar jang mana iapun mengikutinja dengan pikiran kalau mungkin ia hendak menasehati agar pemuda itu pulangkan sadja emas2 barang rampasan itu kepada pemilik aslinja. Dengan separuh menarik tangan Siang Tjoe pemuda itu terus membawa pemuda kita sampai keluar kota jang mana kemudian membawanja terus menjusuri sebuah sungai ketjil jang airnja djernih. Tak lama kemudian, mereka berduapun telah berada sepuluh lie kira2 dari pintu kota, dan berada disuatu tempat jang penuh bertumbuhan pohon2 liar. Dan dilain saat, setelah menempuh pula kira2 enam lie, Siang Tjoe pun merasakan bahwa dia bukan lagi berada disuatu daerah hutan, melainkan disuatu padang rumput, dimana banjak sekali kedapatan bukit2 ketjil. "Dimanakah rumah pondokmu," tanja Siang Tjoe achirnja jang tidak dapat menahan pula rasa herannja. Karena tadinja ia kira, pemuda itu menginap dihotel atau sedikitnja berdiam disuatu rumah biasa didalam kota. "Kurang lebih tiga puluh lie lagi," djawab pemuda itu singkat seperti tidak memperdulikannja, Siang Tjoe akan keterangan ini mendjadi ter-heran2. "Tiga puluh lie lagi?" mengulang Siang Tjoe. "Ja," membenarkan Tek Tek. "Apakah kau tjuriga? Dapat berbuat apakah aku terhadap toako jang berkepandaian seratus kali lipat daripadaku? Dan pula bukankah tadi waktu dirumah makan aku sudah tjeritakan bahwa padaku ada terdapat lima belas potong uang emas jang tentunja tidak mungkin untuk dapat di-bawa2 didalam kota." Dengan keterangan ini Siang Tjoe manggut2kan kepalanja dan tahulah ia akan sebabnja mengapa pemuda itu tidak mengambil tempat menginap didalam kota. Selandjutnja ia pun tidak ber-tanja2 lagi, hanja diikutinja terus pemuda itu jang membawanja terus dengan arah tetap kebarat. Ketika itu sang rembulan jang terang sudah sampai di- tengah2 tjakrawala. Sinarnja menerangi rumput tebal. Siang Tjoe jang bermata djeli, segera melihat diantara tumpukan2 bukit2 ketjil, terdapat tiga tumpukan bukit jang bentuk dan kedudukannja lain sekali dengan bukit2 seumumnja. Pada tiga tumpukan jang membuat timbulnja ketjurigaan Siang Tjoe ini memantulkan kembali sinar sang bulan jang menimpanja, tampaklah aneh sekali. Tjepat sekali Siang Tjoe lompat menghampiri sesuatu jang menarik hatinja itu, maka segera ia pun mengenali itulah sekumpulan tengkorak manusia, jang bertumpuk rapi dalam empat tumpukan. "Ternjata didaerah sini banjak sekali begal2 kedjam..." katanja. "Eh, siauwtee. Apakah artinja ini? Siauwtee tjoba kemari!" Suara itu suara kaget, maka segeralah Tek Tek pun menghampirinja. "Tengoklah!" berseru pemuda ini, jang angsurkan sebuah tengkorak kepala manusia kepada Tek Tek, jang kemudian memeriksanja. Dia ini pun tidak kurang pula terkedjutnja. Ia dapatkan lima lubang pada lubang2 kuping, mata dan hidung sebelah kiri terdapat lebih besar seperti bekas dilubangi dengan paksa, rupanja bekas ditusuk dengan djari tangan, djadi bukan bekas tusukan pedang atau alat sendjata lain. Pemuda ini, jang pengalamannja tjukup luas segera ulur tangannja, dan kelima djeridjinja tepat masuk dengan lebih kelonggaraan sedikit masuk kedalam semua liang itu. Djadi tentulah itu bukan perbuatan manusia2 biasa, apalagi kaum begal. Ia djumput tiga tengkorak lain, disitu djuga kedapatan masing2 lima liang pada kuping, hidung sebelah kiri dan mata. Dengan segera air mukanja pun berubah. "Tjoba toako, kau periksa tiga tumpukan lainnja. Apakah djumlah dan susunannja sama dengan jang ini?" berkata ia separuh memerintah. "Jah, benar djumlahnja sama. Sebelas. Sedang susunannja sebagai segitiga," memberitahu Siang Tjoe setelah ia selesai memeriksa.