Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf
Pendekar Bodoh - 3. Setan Selaksa Wajah Pendekar Bodoh - 4. Ratu Perut Bumi Pendekar Bodoh - 5. Ksatria Seribu Syair Pendekar Bodoh - 6. Muslihat Sang Durjana Pendekar Bodoh - 8. Pusaka Pedang Naga
Bab 19. Kebun seratus bunga. Ketika mencoba perhatikan suasana diseputar jembatan Lai-ho-kiau, terasa hawa setan yang menyeramkan menyelimuti tempat itu, coba berganti orang lain, sudah pasti dia akan belok ke kiri sesuai peringatan diatas patung. Tapi Tian Mong-pek teringat terus dengan perkataan orang berbaju kuning itu, tanpa ragu dia melompat turun dari patung, menyeberangi jembatan Lai-ho-kiau dan menuju ke kota setan yang menyeramkan. Udara terasa makin dingin, kabut putih menyebar diseg ala penjuru bumi. Dari balik kabut putih, terkadang muncul satu dua buah patung setan, ada yang berkepala kerbau, ada pula yang berwajah kuda, semua patung itu tampak menakutkan, dilihat dari balik tebalnya kabut, mendatangkan perasaan ngeri bagi siapa pun yang memandang. Semakin maju ke depan, lapisan kabut tampak makin menebal. Dengan hati yang teguh Tian Mong-pek melanjutkan perjalanan, dalam waktu singkat dia telah melewati neraka pencabut lidah, neraka minyak mendidih, neraka pencabut hidung, neraka penembus hati dan lain sebagainya. Tiba-tiba terlihat sebuah patung jaksa berdiri disisi jalan, tangan kirinya memegang pit, sedang tangan kanannya menggenggam pedang, ujung pedangnya menunjuk ke arah sebuah gua disisi kiri jalan. Tian Mong-pek mencoba memperhatikan tempat itu, tampak suasana dalam gua itu gelap gulita, nyaris susah untuk melihat ke lima jari tangan sendiri, tanpa membuang waktu dia menerobos masuk ke dalam gua. Angin dingin berhembus kencang didalam gua, menderu dengan tajamnya. Setelah melewati lubang angin, didepan terbentang dua buah tebing, satu mengarah ke kiri, yang lain mengarah ke kanan. sebuah patung setan perempuan beranak sembilan berdiri persis ditengah kedua jalan itu, sembilan patung bayi menggelendot disekeliling patung setan tadi, ada yang membawa siepoa, ada pula yang membawa keleningan. Tian Mong-pek merandek sejenak, karena tak nampak petunjuk jalan, buru-buru dia belok ke jalan sebelah kiri. Baru berjalan duya langkah, ia merasa udara dalam gua itu makin lama makin panas, makin lama panasnya bagaikan berada dalam tungku api. Dengan keringat yang bercucuran, tak tahan pemuda itu membuka bajunya, ketika mencoba menengok ke dua sisi dinding tebing, tampak permukaan batu sudah berubah merah kehitaman, seakan setiap saat dapat membara. Ia merasakan sekujur badannya seolah berada dalam bara api, jilatan hawa panas kian lama kian sukar ditahan, mendadak satu ingatan melintas lewat. “Aduh celaka!" pekiknya dihati, secepat kilat dia melompat mundur sejauh lima depa. Pada saat itulah, dari permukaan tanah dimana barusan ia berdiri terjadi satu ledakan keras diikuti menyemburnya bara api, coba ia tidak segera mundur, niscaya tubuhnya sudah tertelan oleh lidah api. Begitu cepat kobaran api itu menjalar, sebentar kemudian seluruh permukaan tanah sudah dilapisi lautan api. Cepat Tian Mong-pek membalikkan tubuh sambil kabur keluar, meski begitu, tak urung bajunya tertempel oleh berapa titik bintang api. Tanpa berpaling lagi, dia kabur keluar dari lorong api itu sebelum bisa menghembuskan napas lega. Setelah merasa bahwa keadaan makin lama semakin tak beres, pemuda itu sadar kalau dirinya telah salah jalan, begitu berhasil menenangkan hati, diapun mulai melakukan pemeriksaan dengan lebih seksama. Ternyata dugaannya benar, ditangan seorang bayi yang berada dipunggung patung setan perempuan berputra sembilan, terlihat sebilah pedang pendek sepanjang tujuh inci, ujung pedang menunjuk ke arah lorong bukit sebelah kanan. Diam diam ia menghela napas, pikirnya: “Sama sekali tak kusangka, lembah kaisar betul-betul berbahaya sekali, setengah langkah pun tak boleh salah langkah, bila salah jalan, niscaya keselamatan jiwanya terancam.” Berpikir begitu, tanpa terasa ia merasa semangatnya mengendor separuh bagian. Belum lagi masuk ke dalam lembah, ternyata keadaannya sudah begitu berbahaya, entah mara bahaya apa lagi yang menantinya didalam lembah nanti? Dengan kemampuannya seorang, rasanya tidak mudah untuk menghadapi semua rintangan. Dengan tenang ia berdiri didepan patung, memandangn ya berapa saat, makin dipandang ia semakin merasa bahwa semua benda yang berada disekitar sana, diatur begitu hebat, begitu pas, pada hakekatnya bagaikan hasil karya para dewa. Keanehan patung manusia, kengerian alat jebakan , keseraman suasana, nyaris telah mengubah satu impian buruk menjadi suatu kenyataan. Entah berapa banyak beaya, pikiran dan tenaga yang telah dikorbankan untuk membangun semua peralatan itu, entah berapa banyak kecerdasan dan rancangan yang harus digunakan untuk menciptakan semuanya. Bila ingin menggunakan tenaga satu orang untuk berhadapan dengan gabungan kecerdasan, keuangan serta pengalaman yang terbentang didepan mata sekarang, kecuali harus memiliki kepintaran serta ilmu silat yang luar biasa, dituntut pula satu keberanian yang melebihi siapapun. Setelah berdiri tenang berapa saat, mendadak pemuda itu berpekik nyaring lalu menyusup masuk ke dalam lorong, seketika ia merasa hawa panas yang menyengat hilang lenyap tak berbekas, sebagai gantinya hembusan angin dingin terasa menderu dan menyayat tubuh. Deruan angin dingin itu terdengar bagaikan suara teriakan ditengah medan pertempuran, membuat lorong gua yang gelap itu terasa makin menakutkan dan diselimuti hawa pembunuhan. Perasaan Tian Mong-pek memberitahu kepadanya bahwa dalam lorong itu pasti terdapat pula jebakan . . . . . .. sedari dulu, kebanyakan jago silat berilmu tinggi pasti memiliki insting yang peka. Justru karena memiliki kepekaan yang luar biasa, mereka baru berhasil menangkan pelbagai pertarungan, lolos dari pelbagai bencana. Dengan sangat hati-hati Tian Mong-pek menelusuri lorong itu, berjalan sambil memperhatikan gerak gerik disekelilingnya. Mendadak dari dinding sisi kiri berkumandang suara aneh, diikuti segulung desingan angin tajam membelah angkasa. Begitu tajam suara desingan itu, seakan ada sebatang tombak ditangan seorang jago lihay sedang menusuk tubuhnya. Tian Mong-pek segera bergeser berapa depa ke samping, belum sempat berdiri tegak, dari dinding sebelah kanan kembali terdengar suara gemerutuk, dari balik kegelapan lagi lagi muncul sebatang tombak panjang. Ditengah kegelapan, terlihat setitik cahaya berkelebat lalu hilang lenyap kembali. Dengan andalkan ketajaman pendengarannya, secara beruntun Tian Mong-pek berhasil menghindari dua bokongan, hatinya tambah heran bercampur terkejut, pikirnya: “Jangan-jangan jalan inipun salah?” Baru saja ingatan itu melintas, dari arah depan lorong tiba tiba muncul dua titik cahaya lentera, cahaya itu bergerak dari kejauhan yang semakin mendekat. Tampaknya cahaya lentera itu merupakan sorot mata dari sesosok binatang aneh yang terbuat dari kayu dan besi, bukan saja bermata lentera, pada mulutnya tersisip pula sepucuk surat. Tak tahan Tian Mong-pek ambil surat itu dan membaca isinya: “Atas perintah Kokcu, hutan tombak dapat diabaikan." Biarpun hanya tulisan yang singkat, namun cukup membuat pemuda itu tercengang. “Begitu hebatkah kokcu lembah kaisar sehingga dia tahu kalau aku berada di sini?" Perlahan ia mendongakkan kepalanya, namun lagi-lagi dia dibuat terkesiap. Makhluk aneh terbuat dari kayu dan besi itu mendadak menggerakkan matanya sambil memperdengarkan suara ringkikan perlahan, menyusul kemudian kepalanya menerobos ke bawah ketiak pemuda itu. Mimpi pun Tian Mong-pek tidak menyangka kalau makhluk aneh itu ternyata merupakan makhluk asli, belum sempat berpikir lebih jauh, tubuhnya sudah terangkat dan didudukkan keatas punggungnya. Makhluk aneh ini meski berbentuk bebal, ternyata gerakan tubuhnya cepat bagaikan angin bahkan amat stabil, ketika menarik tubuhnya sambil mundur, gerak mundurnya sama cepat seperti gerakan disaat maju. Sementara Tian Mong-pek masih terperanjat, tubuhnya telah berada diluar gua, kini dia baru dapat melihat dengan jelas, ternyata seluruh tubuh makhluk aneh itu berwarna merah darah, bentuknya menyerupai singa tapi bukan singa, mirip kuda tapi bukan kuda. Waktu itu, si makhluk aneh sudah mengangkat kepalanya sambil melotot kearahnya, tak kuasa Tian Mong-pek melompat turun dan serunya sambil tertawa: “Terima kasih telah dihantar.” Makhluk aneh itu manggut-manggut sambil bergerak mundur, tak lama kemudian tubuhnya sudah lenyap dari pandangan. Diam-diam Tian Mong-pek menghela napas, pikirnya: “Ternyata pemilik lembah kaisar memang manusia luar biasa, kalau tidak, bagaimana mungkin dia mampu memelihara makhluk aneh yang begitu cerdas?” Ketika memandang ke depan, terlihat sebuah bukit berbentuk golok terbentang didepan mata, bebatuan cadas diatas bukit itu berjajar bagai hutan. Didepan bukit golok, berdiri sebuah patung hakim, hakim itu menggenggam pedang, ujung pedang menunjuk ke arah bukit. Tian Mong-pek ragu sesaat, tapi dengan cepat dia bergerak menuju keatas bukit. Tampak sepanjang jalan berjajar patung patung berwajah seram, bergigi taring. Mendadak, dari balik hutan batu muncul sesosok manusia. Betapapun besarnya nyali Tian Mong-pek, tak urung bergidik juga hatinya hingga bulu kuduk pada berdiri, tanpa sadar tubuhnya meluncur turun ke bawah bukit. Saat itulah, dari atas puncak bukit terdengar seseorang tertawa keras sambil mengejek: “Hahaha, manusia bernyali kecil macam begitupun berani menyatroni lembah kaisar?” Kontan Tian Mong-pek merasa emosinya terbakar, teriaknya penuh amarah: “Hmm, kalau penghuni lembah kaisar tak lebih hanya bangsa kurcaci yang mampunya bersembunyi dibalik kegelapan, mengundang aku kemaripun, belum tentu aku mau datang." Sambil mengumpat gusar, dia melongok keatas, ternyata dipuncak bukit golok berdiri seorang kakek bongkok yang berambut putih dan wajah penuh cambang. Kakek bungkuk itu mendengarkan umpatan itu hingga selesai, setelah itu sahutnya sambil tertawa nyaring: “Hahaha, biarpun nyalimu kecil, ternyata mulutnya sangat tajam, bagus, kemarilah, mari kita berbincang bincang.” Tian Mong-pek tertawa dingin. “Sauya ogah melayani manusia kurcaci yang bisanya hanya menakuti orang dari balik kegelapan, minggir kamu, biarkan aku lewat!” Tiba tiba kakek bungkuk itu membentak keras, suaranya nyaring bagaikan guntur membelah bumi, sambil melompat bangun, bentaknya: “Bocah keparat, kurangajar benar kau ini, sudah tahu siapakah lohu?” Orang ini bukan saja memiliki suara yang keras bagai geledek, perawakan tubuh pun tinggi kekar bagaikan malaikat langit, sangat menggetarkan hati. Sambil busungkan dada Tian Mong-pek menyongsong kedatangan orang itu, ketika sepasang mata saling beradu, dia tetap melotot tanpa berkedip, bentaknya gusar: “Peduli amat siapa dirimu, cepat minggir." Sambil bertolak pinggang kakek bungkuk itu menatapnya berapa saat, tiba tiba sambil tertawa dan duduk kembali, katanya: “Tidak gampang untuk melepaskan dirimu lewat." “Tidak gampang? Memangnya kau menantang berkelahi?" tegur pemuda itu marah. “Diantara kita berdua tak punya dendam sakit hati, kenapa harus berkelahi?” “Lantas apa maumu?" tanya Tian Mong-pek tertegun. “Berani bertaruh denganku?" “Huh, berkelahi saja tidak takut, masa takut untuk bertaruh?" “Hahaha, bagus sekali!” seru kakek bungkuk itu sambil tertawa nyaring, “bila kau menangkan taruhan ini, lohu segera akan melepaskan dirimu, sebaliknya bila lohu yang menang, kau harus segera merangkak balik.” “Bagaimana kita bertaruh?” Berkilat sepasang mata kakek bungkuk itu. “Aku akan mengajukan tiga pertanyaan, bila dapat menjawab, anggap kau yang menang, kalau tak sanggup menjawab, kau akan dianggap kalah." “Baik, kita tetapkan dengan sepatah kata ini." “Bertepuk tangan saja sebagai tanda jadi." Tanpa banyak bicara Tian Mong-pek segera bertepuk tangan dengan kakek itu. Mendadak kakek bungkuk itu mendongakkan kepalanya dan tertawa nyaring, serunya sambil bertepuk tangan: “Dasar bocah goblok, dasar bocah goblok." “Siapa yang kau anggap sebagai bocah goblok?" teriak Tian Mong-pek gusar. “Kaulah si bocah goblok itu, masa tidak kau lihat kalau taruhan ini tidak adil? Kalau aku kalah tak bakal berbuat apa apa, sebaliknya kalau kau yang kalah bakal pulang merangkak." “Aku tak bakal kalah." Tukas pemuda itu dingin. Kakek bungkuk itu agak melengak, tapi kemudian katanya lagi sambil tertawa: “Baiklah, tampaknya kau sangat percaya diri, dengarkan baik baik, pertanyaan pertama adalah: ada berapa banyak kancing dipakaian yang kau kenakan?" Mimik mukanya penuh senyuman, lagaknya amat bangga, karena dia telah memakai pertanyaan yang amat sederhana itu untuk menjatuhkan banyak jago silat, berhasil menangkan setiap taruhan. Perlu diketahui, pakaian ketat yang dikenakan waktu itu selalu dilengkapi dengan kancing dalam jumlah banyak, dari luar hingga ke dalam bisa dihiasi berpuluh biji kancing, tentu saja tak bakal ada orang yang memperhatikan jumlah kancing dari pakaian yang dikenakan. Siapa sangka paras muka Tian Mong-pek sama sekali tak berubah, setelah berpikir sejenak segera jawabnya: “Jumlah kancing dipakaianku adalah satu kali lipat dari setengah jumlah kancing yang berada ditubuhmu.” Kakek bungkuk itu melongo, tak tahan tanyanya: “Berapa banyak kancing dari setengah yang kau kenakan?' “Ini pertanyaanmu yang ke dua?” tegas Tian Mong-pek. “Bagus sekali,” diam diam kakek bungkuk itu berpikir, “kalau kulanjutkan pertanyaan ini, jawaban bocah itu pasti satu kali lipat dari setengah atau setengah dari satu kali lipat . . . . . .." Cepat dia ambil keputusan dan tak mau terperangkap oleh pertanyaan itu, jawabnya keras: “Bukan." “Kalau bukan pertanyaan, hitung saja sendiri, tentu akan kau peroleh jawabannya." “Aku tak bakal menghitung, anggap saja kau yang menang." “Apa pertanyaanmu yang kedua?" “Tunggu dulu," seru kakek bungkuk itu sambil goyang tangannya, “biar lohu pikirkan dulu.” Sesudah berpikir pulang pergi, tiba-tiba satu ingatan melintas lewat, dengan girang pikirnya: “Aaah, sudah ada, aku akan bertanya kepadanya" “berapa berat isi otaknya?", jika jawabannya adalah satu kali lipat dari setengah isi otaknya, akan kubelah otaknya untuk diperiksa . . . . .." Makin dibayangkan, dia merasa makin girang, akhirnya tak tahan tertawa terbahak-bahak. “Kau tampaknya begitu bangga, sudah diperoleh pertanyaannya?" tegur pemuda itu. “Tentu saja," sahut kakek bungkuk itu tertawa, “aku ingin bertanya, berapa berat otakmu?" “Lebih enteng satu kati dari otakmu." Lagi-lagi kakek bungkuk itu tertegun, teriaknya kemudian penuh amarah: “Memangnya aku harus menimbang berat otakku? Bukan begitu? Bukan begitu?” Saking mendongkol dan gusarnya, nyaris dia tak sanggup berkata kata. Siapa tahu Tian Mong-pek hanya tersenyum sambil menjawab: “Tak perlu menimbang otakmu pun, aku sudah tahu." Mendongkol, gusar, keheranan bercampur geli berkecamuk dibenak kakek bungkuk itu, teriaknya: “Bagus, aku sendiripun tak tahu berapa berat otakku, darimana kau bisa tahu?" “Kau ingin tahu?" “Betul, aku ingin tahu, otakku . . . . . . . .." Belum selesai ia bertanya, Tian Mong-pek telah menukas: “otakmu satu kati lebih berat dari otakku." “Kentut busuk!” umpat kakek bungkuk itu gusar. “Hahaha, kalau tak percaya, belah saja benakmu dan timbang otakmu, tapi kalau sudah percaya, minggir sana, beri aku jalan lewat." Sampai lama sekali kakek bungkuk itu berdiri tertegun, tiba tiba ia tertawa keras: “Hahaha, bagus . . . . .. bagus . . . . . .." Diiringi gelak tertawanya yang memekak telinga, kakek itu melompat pergi dari sana. Memandang bayangan punggungnya yang makin menjauh, pikir Tian Mong-pek: “Kakek ini pastilah tokoh pertama yang paling susah dihadapi seperti yang dikatakan cianpwee berbaju kuning. Tapi menurutku, dia tidak terlalu susah untuk dihadapi."
Pendekar Bodoh - 3. Setan Selaksa Wajah Pendekar Bodoh - 4. Ratu Perut Bumi Pendekar Bodoh - 5. Ksatria Seribu Syair Pendekar Bodoh - 6. Muslihat Sang Durjana Pendekar Bodoh - 8. Pusaka Pedang Naga
Bab 19. Kebun seratus bunga. Ketika mencoba perhatikan suasana diseputar jembatan Lai-ho-kiau, terasa hawa setan yang menyeramkan menyelimuti tempat itu, coba berganti orang lain, sudah pasti dia akan belok ke kiri sesuai peringatan diatas patung. Tapi Tian Mong-pek teringat terus dengan perkataan orang berbaju kuning itu, tanpa ragu dia melompat turun dari patung, menyeberangi jembatan Lai-ho-kiau dan menuju ke kota setan yang menyeramkan. Udara terasa makin dingin, kabut putih menyebar diseg ala penjuru bumi. Dari balik kabut putih, terkadang muncul satu dua buah patung setan, ada yang berkepala kerbau, ada pula yang berwajah kuda, semua patung itu tampak menakutkan, dilihat dari balik tebalnya kabut, mendatangkan perasaan ngeri bagi siapa pun yang memandang. Semakin maju ke depan, lapisan kabut tampak makin menebal. Dengan hati yang teguh Tian Mong-pek melanjutkan perjalanan, dalam waktu singkat dia telah melewati neraka pencabut lidah, neraka minyak mendidih, neraka pencabut hidung, neraka penembus hati dan lain sebagainya. Tiba-tiba terlihat sebuah patung jaksa berdiri disisi jalan, tangan kirinya memegang pit, sedang tangan kanannya menggenggam pedang, ujung pedangnya menunjuk ke arah sebuah gua disisi kiri jalan. Tian Mong-pek mencoba memperhatikan tempat itu, tampak suasana dalam gua itu gelap gulita, nyaris susah untuk melihat ke lima jari tangan sendiri, tanpa membuang waktu dia menerobos masuk ke dalam gua. Angin dingin berhembus kencang didalam gua, menderu dengan tajamnya. Setelah melewati lubang angin, didepan terbentang dua buah tebing, satu mengarah ke kiri, yang lain mengarah ke kanan. sebuah patung setan perempuan beranak sembilan berdiri persis ditengah kedua jalan itu, sembilan patung bayi menggelendot disekeliling patung setan tadi, ada yang membawa siepoa, ada pula yang membawa keleningan. Tian Mong-pek merandek sejenak, karena tak nampak petunjuk jalan, buru-buru dia belok ke jalan sebelah kiri. Baru berjalan duya langkah, ia merasa udara dalam gua itu makin lama makin panas, makin lama panasnya bagaikan berada dalam tungku api. Dengan keringat yang bercucuran, tak tahan pemuda itu membuka bajunya, ketika mencoba menengok ke dua sisi dinding tebing, tampak permukaan batu sudah berubah merah kehitaman, seakan setiap saat dapat membara. Ia merasakan sekujur badannya seolah berada dalam bara api, jilatan hawa panas kian lama kian sukar ditahan, mendadak satu ingatan melintas lewat. “Aduh celaka!" pekiknya dihati, secepat kilat dia melompat mundur sejauh lima depa. Pada saat itulah, dari permukaan tanah dimana barusan ia berdiri terjadi satu ledakan keras diikuti menyemburnya bara api, coba ia tidak segera mundur, niscaya tubuhnya sudah tertelan oleh lidah api. Begitu cepat kobaran api itu menjalar, sebentar kemudian seluruh permukaan tanah sudah dilapisi lautan api. Cepat Tian Mong-pek membalikkan tubuh sambil kabur keluar, meski begitu, tak urung bajunya tertempel oleh berapa titik bintang api. Tanpa berpaling lagi, dia kabur keluar dari lorong api itu sebelum bisa menghembuskan napas lega. Setelah merasa bahwa keadaan makin lama semakin tak beres, pemuda itu sadar kalau dirinya telah salah jalan, begitu berhasil menenangkan hati, diapun mulai melakukan pemeriksaan dengan lebih seksama. Ternyata dugaannya benar, ditangan seorang bayi yang berada dipunggung patung setan perempuan berputra sembilan, terlihat sebilah pedang pendek sepanjang tujuh inci, ujung pedang menunjuk ke arah lorong bukit sebelah kanan. Diam diam ia menghela napas, pikirnya: “Sama sekali tak kusangka, lembah kaisar betul-betul berbahaya sekali, setengah langkah pun tak boleh salah langkah, bila salah jalan, niscaya keselamatan jiwanya terancam.” Berpikir begitu, tanpa terasa ia merasa semangatnya mengendor separuh bagian. Belum lagi masuk ke dalam lembah, ternyata keadaannya sudah begitu berbahaya, entah mara bahaya apa lagi yang menantinya didalam lembah nanti? Dengan kemampuannya seorang, rasanya tidak mudah untuk menghadapi semua rintangan. Dengan tenang ia berdiri didepan patung, memandangn ya berapa saat, makin dipandang ia semakin merasa bahwa semua benda yang berada disekitar sana, diatur begitu hebat, begitu pas, pada hakekatnya bagaikan hasil karya para dewa. Keanehan patung manusia, kengerian alat jebakan , keseraman suasana, nyaris telah mengubah satu impian buruk menjadi suatu kenyataan. Entah berapa banyak beaya, pikiran dan tenaga yang telah dikorbankan untuk membangun semua peralatan itu, entah berapa banyak kecerdasan dan rancangan yang harus digunakan untuk menciptakan semuanya. Bila ingin menggunakan tenaga satu orang untuk berhadapan dengan gabungan kecerdasan, keuangan serta pengalaman yang terbentang didepan mata sekarang, kecuali harus memiliki kepintaran serta ilmu silat yang luar biasa, dituntut pula satu keberanian yang melebihi siapapun. Setelah berdiri tenang berapa saat, mendadak pemuda itu berpekik nyaring lalu menyusup masuk ke dalam lorong, seketika ia merasa hawa panas yang menyengat hilang lenyap tak berbekas, sebagai gantinya hembusan angin dingin terasa menderu dan menyayat tubuh. Deruan angin dingin itu terdengar bagaikan suara teriakan ditengah medan pertempuran, membuat lorong gua yang gelap itu terasa makin menakutkan dan diselimuti hawa pembunuhan. Perasaan Tian Mong-pek memberitahu kepadanya bahwa dalam lorong itu pasti terdapat pula jebakan . . . . . .. sedari dulu, kebanyakan jago silat berilmu tinggi pasti memiliki insting yang peka. Justru karena memiliki kepekaan yang luar biasa, mereka baru berhasil menangkan pelbagai pertarungan, lolos dari pelbagai bencana. Dengan sangat hati-hati Tian Mong-pek menelusuri lorong itu, berjalan sambil memperhatikan gerak gerik disekelilingnya. Mendadak dari dinding sisi kiri berkumandang suara aneh, diikuti segulung desingan angin tajam membelah angkasa. Begitu tajam suara desingan itu, seakan ada sebatang tombak ditangan seorang jago lihay sedang menusuk tubuhnya. Tian Mong-pek segera bergeser berapa depa ke samping, belum sempat berdiri tegak, dari dinding sebelah kanan kembali terdengar suara gemerutuk, dari balik kegelapan lagi lagi muncul sebatang tombak panjang. Ditengah kegelapan, terlihat setitik cahaya berkelebat lalu hilang lenyap kembali. Dengan andalkan ketajaman pendengarannya, secara beruntun Tian Mong-pek berhasil menghindari dua bokongan, hatinya tambah heran bercampur terkejut, pikirnya: “Jangan-jangan jalan inipun salah?” Baru saja ingatan itu melintas, dari arah depan lorong tiba tiba muncul dua titik cahaya lentera, cahaya itu bergerak dari kejauhan yang semakin mendekat. Tampaknya cahaya lentera itu merupakan sorot mata dari sesosok binatang aneh yang terbuat dari kayu dan besi, bukan saja bermata lentera, pada mulutnya tersisip pula sepucuk surat. Tak tahan Tian Mong-pek ambil surat itu dan membaca isinya: “Atas perintah Kokcu, hutan tombak dapat diabaikan." Biarpun hanya tulisan yang singkat, namun cukup membuat pemuda itu tercengang. “Begitu hebatkah kokcu lembah kaisar sehingga dia tahu kalau aku berada di sini?" Perlahan ia mendongakkan kepalanya, namun lagi-lagi dia dibuat terkesiap. Makhluk aneh terbuat dari kayu dan besi itu mendadak menggerakkan matanya sambil memperdengarkan suara ringkikan perlahan, menyusul kemudian kepalanya menerobos ke bawah ketiak pemuda itu. Mimpi pun Tian Mong-pek tidak menyangka kalau makhluk aneh itu ternyata merupakan makhluk asli, belum sempat berpikir lebih jauh, tubuhnya sudah terangkat dan didudukkan keatas punggungnya. Makhluk aneh ini meski berbentuk bebal, ternyata gerakan tubuhnya cepat bagaikan angin bahkan amat stabil, ketika menarik tubuhnya sambil mundur, gerak mundurnya sama cepat seperti gerakan disaat maju. Sementara Tian Mong-pek masih terperanjat, tubuhnya telah berada diluar gua, kini dia baru dapat melihat dengan jelas, ternyata seluruh tubuh makhluk aneh itu berwarna merah darah, bentuknya menyerupai singa tapi bukan singa, mirip kuda tapi bukan kuda. Waktu itu, si makhluk aneh sudah mengangkat kepalanya sambil melotot kearahnya, tak kuasa Tian Mong-pek melompat turun dan serunya sambil tertawa: “Terima kasih telah dihantar.” Makhluk aneh itu manggut-manggut sambil bergerak mundur, tak lama kemudian tubuhnya sudah lenyap dari pandangan. Diam-diam Tian Mong-pek menghela napas, pikirnya: “Ternyata pemilik lembah kaisar memang manusia luar biasa, kalau tidak, bagaimana mungkin dia mampu memelihara makhluk aneh yang begitu cerdas?” Ketika memandang ke depan, terlihat sebuah bukit berbentuk golok terbentang didepan mata, bebatuan cadas diatas bukit itu berjajar bagai hutan. Didepan bukit golok, berdiri sebuah patung hakim, hakim itu menggenggam pedang, ujung pedang menunjuk ke arah bukit. Tian Mong-pek ragu sesaat, tapi dengan cepat dia bergerak menuju keatas bukit. Tampak sepanjang jalan berjajar patung patung berwajah seram, bergigi taring. Mendadak, dari balik hutan batu muncul sesosok manusia. Betapapun besarnya nyali Tian Mong-pek, tak urung bergidik juga hatinya hingga bulu kuduk pada berdiri, tanpa sadar tubuhnya meluncur turun ke bawah bukit. Saat itulah, dari atas puncak bukit terdengar seseorang tertawa keras sambil mengejek: “Hahaha, manusia bernyali kecil macam begitupun berani menyatroni lembah kaisar?” Kontan Tian Mong-pek merasa emosinya terbakar, teriaknya penuh amarah: “Hmm, kalau penghuni lembah kaisar tak lebih hanya bangsa kurcaci yang mampunya bersembunyi dibalik kegelapan, mengundang aku kemaripun, belum tentu aku mau datang." Sambil mengumpat gusar, dia melongok keatas, ternyata dipuncak bukit golok berdiri seorang kakek bongkok yang berambut putih dan wajah penuh cambang. Kakek bungkuk itu mendengarkan umpatan itu hingga selesai, setelah itu sahutnya sambil tertawa nyaring: “Hahaha, biarpun nyalimu kecil, ternyata mulutnya sangat tajam, bagus, kemarilah, mari kita berbincang bincang.” Tian Mong-pek tertawa dingin. “Sauya ogah melayani manusia kurcaci yang bisanya hanya menakuti orang dari balik kegelapan, minggir kamu, biarkan aku lewat!” Tiba tiba kakek bungkuk itu membentak keras, suaranya nyaring bagaikan guntur membelah bumi, sambil melompat bangun, bentaknya: “Bocah keparat, kurangajar benar kau ini, sudah tahu siapakah lohu?” Orang ini bukan saja memiliki suara yang keras bagai geledek, perawakan tubuh pun tinggi kekar bagaikan malaikat langit, sangat menggetarkan hati. Sambil busungkan dada Tian Mong-pek menyongsong kedatangan orang itu, ketika sepasang mata saling beradu, dia tetap melotot tanpa berkedip, bentaknya gusar: “Peduli amat siapa dirimu, cepat minggir." Sambil bertolak pinggang kakek bungkuk itu menatapnya berapa saat, tiba tiba sambil tertawa dan duduk kembali, katanya: “Tidak gampang untuk melepaskan dirimu lewat." “Tidak gampang? Memangnya kau menantang berkelahi?" tegur pemuda itu marah. “Diantara kita berdua tak punya dendam sakit hati, kenapa harus berkelahi?” “Lantas apa maumu?" tanya Tian Mong-pek tertegun. “Berani bertaruh denganku?" “Huh, berkelahi saja tidak takut, masa takut untuk bertaruh?" “Hahaha, bagus sekali!” seru kakek bungkuk itu sambil tertawa nyaring, “bila kau menangkan taruhan ini, lohu segera akan melepaskan dirimu, sebaliknya bila lohu yang menang, kau harus segera merangkak balik.” “Bagaimana kita bertaruh?” Berkilat sepasang mata kakek bungkuk itu. “Aku akan mengajukan tiga pertanyaan, bila dapat menjawab, anggap kau yang menang, kalau tak sanggup menjawab, kau akan dianggap kalah." “Baik, kita tetapkan dengan sepatah kata ini." “Bertepuk tangan saja sebagai tanda jadi." Tanpa banyak bicara Tian Mong-pek segera bertepuk tangan dengan kakek itu. Mendadak kakek bungkuk itu mendongakkan kepalanya dan tertawa nyaring, serunya sambil bertepuk tangan: “Dasar bocah goblok, dasar bocah goblok." “Siapa yang kau anggap sebagai bocah goblok?" teriak Tian Mong-pek gusar. “Kaulah si bocah goblok itu, masa tidak kau lihat kalau taruhan ini tidak adil? Kalau aku kalah tak bakal berbuat apa apa, sebaliknya kalau kau yang kalah bakal pulang merangkak." “Aku tak bakal kalah." Tukas pemuda itu dingin. Kakek bungkuk itu agak melengak, tapi kemudian katanya lagi sambil tertawa: “Baiklah, tampaknya kau sangat percaya diri, dengarkan baik baik, pertanyaan pertama adalah: ada berapa banyak kancing dipakaian yang kau kenakan?" Mimik mukanya penuh senyuman, lagaknya amat bangga, karena dia telah memakai pertanyaan yang amat sederhana itu untuk menjatuhkan banyak jago silat, berhasil menangkan setiap taruhan. Perlu diketahui, pakaian ketat yang dikenakan waktu itu selalu dilengkapi dengan kancing dalam jumlah banyak, dari luar hingga ke dalam bisa dihiasi berpuluh biji kancing, tentu saja tak bakal ada orang yang memperhatikan jumlah kancing dari pakaian yang dikenakan. Siapa sangka paras muka Tian Mong-pek sama sekali tak berubah, setelah berpikir sejenak segera jawabnya: “Jumlah kancing dipakaianku adalah satu kali lipat dari setengah jumlah kancing yang berada ditubuhmu.” Kakek bungkuk itu melongo, tak tahan tanyanya: “Berapa banyak kancing dari setengah yang kau kenakan?' “Ini pertanyaanmu yang ke dua?” tegas Tian Mong-pek. “Bagus sekali,” diam diam kakek bungkuk itu berpikir, “kalau kulanjutkan pertanyaan ini, jawaban bocah itu pasti satu kali lipat dari setengah atau setengah dari satu kali lipat . . . . . .." Cepat dia ambil keputusan dan tak mau terperangkap oleh pertanyaan itu, jawabnya keras: “Bukan." “Kalau bukan pertanyaan, hitung saja sendiri, tentu akan kau peroleh jawabannya." “Aku tak bakal menghitung, anggap saja kau yang menang." “Apa pertanyaanmu yang kedua?" “Tunggu dulu," seru kakek bungkuk itu sambil goyang tangannya, “biar lohu pikirkan dulu.” Sesudah berpikir pulang pergi, tiba-tiba satu ingatan melintas lewat, dengan girang pikirnya: “Aaah, sudah ada, aku akan bertanya kepadanya" “berapa berat isi otaknya?", jika jawabannya adalah satu kali lipat dari setengah isi otaknya, akan kubelah otaknya untuk diperiksa . . . . .." Makin dibayangkan, dia merasa makin girang, akhirnya tak tahan tertawa terbahak-bahak. “Kau tampaknya begitu bangga, sudah diperoleh pertanyaannya?" tegur pemuda itu. “Tentu saja," sahut kakek bungkuk itu tertawa, “aku ingin bertanya, berapa berat otakmu?" “Lebih enteng satu kati dari otakmu." Lagi-lagi kakek bungkuk itu tertegun, teriaknya kemudian penuh amarah: “Memangnya aku harus menimbang berat otakku? Bukan begitu? Bukan begitu?” Saking mendongkol dan gusarnya, nyaris dia tak sanggup berkata kata. Siapa tahu Tian Mong-pek hanya tersenyum sambil menjawab: “Tak perlu menimbang otakmu pun, aku sudah tahu." Mendongkol, gusar, keheranan bercampur geli berkecamuk dibenak kakek bungkuk itu, teriaknya: “Bagus, aku sendiripun tak tahu berapa berat otakku, darimana kau bisa tahu?" “Kau ingin tahu?" “Betul, aku ingin tahu, otakku . . . . . . . .." Belum selesai ia bertanya, Tian Mong-pek telah menukas: “otakmu satu kati lebih berat dari otakku." “Kentut busuk!” umpat kakek bungkuk itu gusar. “Hahaha, kalau tak percaya, belah saja benakmu dan timbang otakmu, tapi kalau sudah percaya, minggir sana, beri aku jalan lewat." Sampai lama sekali kakek bungkuk itu berdiri tertegun, tiba tiba ia tertawa keras: “Hahaha, bagus . . . . .. bagus . . . . . .." Diiringi gelak tertawanya yang memekak telinga, kakek itu melompat pergi dari sana. Memandang bayangan punggungnya yang makin menjauh, pikir Tian Mong-pek: “Kakek ini pastilah tokoh pertama yang paling susah dihadapi seperti yang dikatakan cianpwee berbaju kuning. Tapi menurutku, dia tidak terlalu susah untuk dihadapi."