Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf
Pendekar Bodoh - 9. Sengketa Ahli Sihir Pendekar Bodoh - 10. Raja Alam Sihir Pendekar Bodoh - 11. Rahasia Sumur Tua Pendekar Bodoh - 12. Munculnya Sang Pewaris Gento Guyon - 28. Semerah Darah
Ketika berhasil mengalahkan kakek bungkuk yang suka bertaruh itu secara gampang, pemuda ini merasa bangga sekali, ia pun melompat turun dari bukit golok dan melanjutkan perjalanan ke depan. Setelah berjalan kurang lebih dua tombak, jalanan kembali bercabang dua, ditengah jalan itu terlihat sebuah liang yang cukup dalam, karena tertutup kabut, tidak jelas seberapa dalam liang tersebut. sebuah patung hakim bercambang berdiri menengadah disisi liang, tangan sebelah membelai jenggot, tangan yang lain memegang pedang, tapi ujung pedang justru menunjuk ke bawah tanah. “Masa aku harus melompat masuk ke dalam liang itu?" pikir Tian Mong-pek tertegun. Mendadak dari bawah liang berkumandang suara pekikan setan yang amat nyaring. Tian Mong-pek segera merentangkan lengannya sambil melompat masuk ke dalam liang itu. Dari balik kegelapan segera terdengar seseorang membentak nyaring: “Bocah muda, cukup pemberani, cukup penurut." “Siapa disitu?” bentak Tian Mong-pek, dia mencoba periksa sekeliling tempat itu, tapi dalam liang dipenuhi patung manusia yang dililit patung ular, sama sekali tak tampak bayangan manusia. Hembusan angin di dasar liang itu sangat kencang, lapisan kabut lebih tebal, empat penjuru dipenuhi bayangan setan, dia tak tahu bayangan setan itu beneran atau hanya bayangan manusia, pemuda ini mulai menyesal, mengapa tidak menyediakan korek api dalam sakunya. Yang paling dia kuatirkan adalah bila salah jalan, melakukan perjalanan dalam kegelapan semacam ini sudah pasti membawa resiko besar, sekalipun ada petunjuk jalan, dalam kegelapan begini, mana mungkin ia dapat membacanya? Kalau sampai salah langkah, apa jadinya nanti?" Berpikir sampai disitu, tanpa terasa keringat dingin mulai membasahi tangannya. Mendadak . . . . . .. “Kraaak!" diiringi suara lirih, patung-patung di empat penjuru mulai bergerak. sebuah patung tiba tiba berlompatan menuju ke hadapan Tian Mong-pek, patung ini dibuat dari batu gips, tingginya delapan depa, berambut abu-abu, alis mata abu-abu, wajah, hidung, mata, pakaian, semuanya berwarna abu-abu . . . . . . .. Walaupun berada dibalik kegelapan, namun siapa pun pasti tahu kalau patung itu bukan manusia hidup, tapi “dia” justru bertingkah laku seperti orang hidup, gerakan tubuhnya ringan dan lincah, sama sekali tidak menimbulkan suara. Dengan kening berkerut, Tian Mong-pek membentak nyaring: “Setan iblis, mundur kau!” Ditengah bentakan nyaring, sepasang tangannya diayunkan berbareng melepaskan satu pukulan. Deruan angin serangan yang dahsyat seketika terlontar keluar, jika “dia” adalah sebuah patung, niscaya tubuhnya akan hancur berantakan termakan serangan itu. Siapa tahu, ketika angin pukulan itu tiba dihadapan patung tersebut, mendadak patung itu menggetarkan tubuhnya, angin serangan yang maha dahsyat itupun bagaikan kerbau tanah liat tercebur ke laut, hilang lenyap tak berbekas. Peluh dingin semakin membasahi tubuh Tian Mong-pek, kembali bentaknya: “Sebetulnya kau ini manusia atau setan?" Patung itu tertawa terkekeh, sahutnya sepatah demi sepatah kata: “Hahaha, menurutmu, memangnya aku mirip manusia?" Nada suaranya tinggi, tajam, melengking. Memang sama sekali tak membawa hawa manusia. “Hmm, sekalipun kau setan, aku orang she-Tian tetap akan berduel melawanmu.” “Hahaha, tak perlu duel lagi, kalau kau berani meraba hidungku, akan kuanggap kau adalah seorang enghiong hohan." Suara tertawanya yang aneh menyeramkan, bikin hati bergidik, bulu kuduk bangun berdiri. Tertegun juga hati Tian Mong-pek, dia tak menyangka kalau patung itu menantangnya untuk meraba hidungnya, biar nyalinya sekeras baja pun, tak urung pemuda ini dibuat serba salah . . . . .. “Berani tidak? Berani tidak?" ejek patung itu sambil tertawa aneh. Tiba-tiba satu ingatan melintas lewat, seolah menyadari akan sesuatu, pikir Tian Mong-pek: “Ternyata lagi-lagi si tua bungkuk yang bikin ulah." Maka sahutnya lantang: “Siapa bilang tak berani?” “Ayoh, dicoba!" mendadak patung itu melejit ke tengah udara. Tian Mong-pek tak mau kalah, tiba tiba dia bersalto di tengah udara, dengan kepala dibawah kaki diatas, ia menyelinap ke belakang patung itu dan sahutnya sambil tertawa keras: “Aku sudah datang!" Ternyata dugaannya tidak salah, benar saja, dibelakang patung itu berdiri si kakek bungkuk, sepuluh jari tangannya yang tajam bagai kaitan menancap dalam-dalam di pinggang patung tinggi besar itu. Si kakek memang memiliki kekuatan lengan yang luar biasa, bukan hal yang sulit baginya untuk mengangkat patung itu. Biarpun dia membuat patung itu dapat bergerak dan melompat, namun tak pernah membiarkan patung tadi menyentuh tanah, itulah sebabnya sewaktu bergerak, sama sekali tidak menimbulkan suara. Karena hal itu pula, angin pukulan yang dilancarkan Tian Mong-pek berhasil dia punahkan. Kini, setelah rahasia penyamarannya terbongkar, kakek bungkuk itu tertawa terbahak-bahak, sambil melepaskan patung tersebut, tegurnya: “Bocah muda, ternyata kau memang bernyali, cara inipun gagal membuat dirimu ketakutan." “Sudah, tak usah banyak bicara, ayoh bawa kemari!” “Apanya yang bawa kemari?" tanya si kakek keheranan. “Kepalamu!" sambil berkata, pemuda itu mulai meraba kepala kakek itu. “Hei, mau apa kau?" teriak kakek bungkuk itu dengan wajah berubah. “Mau apa? Tentu saja meraba hidungmu!” jawab Tian Mong-pek sambil tertawa. “Siapa yang berani meraba hidungku?' teriak kakek bungkuk itu semakin marah. “Bukankah kau sendiri yang berkata begitu? Yaa sudahlah, bila kau ingin menjilat ludah sendiri, anggap saja tak pernah bicara, akupun tak ingin meraba hidungmu lagi!” Sambil mengebaskan ujung bajunya, tanpa melirik lagi, diiringi tertawa dingin pemuda itu beranjak pergi. “Berhenti!” tiba tiba kakek bungkuk itu membentak nyaring. Sepasang lengannya direntangkan, rambutnya berdiri semua bagaikan landak, bentaknya penuh amarah: “Siapa bilang aku adalah orang yang suka menjilat ludah sendiri?" “Kalau memang tak ingin menjadi orang yang menjilat ludah sendiri, ulurkan kepalamu, biar kuraba hidungmu." sahut Tian Mong-pek ketus. “Lohu suruh kau meraba hidung patung itu." “Hmm, tadi, patung itu yang berbicara? Atau kau yang mengatakan?" ejek Tian Mong-pek sambil tertawa dingin. Sampai lama sekali kakek bungkuk itu termangu, tiba tiba ia menghela napas panjang, sekujur tubuhnya terasa lemas. “Betul, lohu yang mengatakan." sahutnya kemudian. Sambil tersenyum, Tian Mong-pek segera menggapai kearahnya: “Kemari, cepat kemari!” Kakek bungkuk itu mundur berulang kali, sambil menjura berulang kali, pintanya: “Saudara cilik, asal kau tidak meraba hidung lohu, urusan yang lain pasti akan kukabulkan." “Kan bukan aku yang minta diraba." Kembali dia melanjutkan perjalanan. Tiba tiba pandangan matanya jadi kabur, kakek bungkuk itu sudah melayang turun dihadapannya dan membujuk sambil tertawa paksa: “Lohu punya sebilah pedang bagus, bagaimana kalau kuhadiahkan untukmu?" “Siapa yang pingin pedangmu?" Kakek bungkuk itu gelengkan kepalanya, kembali ia membujuk sambil tertawa: “Kalau begitu, bagaimana kalau lohu temani kau masuk ke dalam lembah?” “Siapa yang butuh ditemani?” Kakek bungkuk itu segera menghela napas panjang, keluhnya: “Masa kau bersikeras ingin meraba hidungku? Masa kau paksa lohu jadi orang yang jilat ludah sendiri? Aaai, saudara cilik, jangan kelewat kejanu" Mendengar ucapan itu, Tian Mong-pek jadi kegelian, tak tahan ia tertawa terbahak. “Hahaha, bila kau adalah orang yang terbiasa menjilat ludah sendiri, kalau bukan sudah turun tangan membunuhku, pasti telah pergi dari sini, masa masih bertahan ditempat ini?" “Ah, jadi kau percaya kalau aku bukan orang yang biasa menjilat ludah sendiri?" “Tentu saja bukan!" Kakek bungkuk itu segera mendongakkan kepala dan tertawa terbahak. Tiba tiba ia berhenti tertawa, dengan alis mata berkenyi t dan menghela napas panjang, ujarnya: “Mending kau raba saja hidungku ini!" “Kenapa?” tanya Tian Mong-pek tercengang. Kembali kakek bungkuk itu menghela napas. “Selama hidup, lohu selalu menepati setiap ucapan yang kukatakan, tapi kali ini kau tidak menyalahkan aku, ini membuat lohu merasa tak tenang, II kecuali kau . . . . . .. “Kalau begitu kuharap kau menjawab satu pertanyaanku, anggap saja aku telah meraba hidungmu. Bagaimana?” tukas Tian Mong-pek. “Sungguh?” teriak kakek bungkuk itu kegirangan, “saudara cilik, kau benar-benar orang baik, apapun pertanyaanmu, asal lohu tahu, pasti akan kujawab." “Ternyata orang ini berjiwa terbuka, ramah, bahkan sifat kekanak kanakannya belum hilang." Pikir Tian Mong-pek, “aku percaya pertanyaanku pasti akan dijawab dengan jujur.” Maka dengan wajah serius, tanyanya: “Tahukah siapa majikan panah kekasih? Apa kegunaan dan kehebatan dari senjata rahasia beracun ini?" “Apa itu panah kekasih?" kakek bungkuk itu balik bertanya dengan kening berkerut, “lohu sama sekali tak tahu." “Bukankah kau adalah anggota lembah kaisar? Masa tidak tahu senjata rahasia beracun macam apa panah kekasih itu?" “Memang apa hubungan panah kekasih dengan lembah kaisar?" tanya kakek bungkuk itu keheranan. Tian Mong-pek agak tertegun, katanya kemudian dengan nada dalam: “Apakah kau yakin, semua orang yang berada dalam lembah kaisar tak ada hubungannya dengan panah kekasih?" Kakek bungkuk itu menggeleng. “Sebagian besar penghuni lembah kaisar adalah makhluk aneh, kejadian aneh seperti apapun sanggup mereka lakukan, lohu tidak tahu, juga tak yakin.” Tian Mong-pek tertegun berapa saat, serunya sambil menjura: “Terima kasih banyak!" Dia percaya orang tua ini tak bakal berbohong, karenanya ia segera balik badan siap pergi. Siapa tahu kakek bungkuk itu kembali berseru: “Tunggu sebentar!" Sewaktu Tian Mong-pek berpaling, ia saksikan kakek itu berjalan maju dua langkah kemudian membuka lantai yang berada dibawah patung orang jahat dililit ular batu itu. “Kraaak!" dari balik dinding liang muncul sebuah pintu rahasia. “Lewat sini lebih dekat, kau masuk lewat sini saja!" seru kakek bungkuk itu. Tanpa ragu kembali Tian Mong-pek menjura mengucapkan terima kasih, kemudian cepat menyusup masuk ke balik pintu. Dibalik pintu rahasia merupakan sebuah lorong yang sangat panjang, kedua sisi dinding tergantung lentera tembaga. “Saudara cilik, perbesar nyalimu, pergilah segera!" terdengar kakek bungkuk itu berteriak mengingatkan. Menyusul kemudian..... “Kraak!" pintu rahasia itu kembali tertutup rapat. Tian Mong-pek sama sekali tak berpaling, sambil melanjutkan langkahnya dia berpikir: “Orang tua ini minta aku perbesar nyali, jangan-jangan didepan sana bakal terjadi sesuatu yang menakutkan?” Tapi ia sudah mengambil keputusan untuk mempercayai orang tua itu, apapun yang bakal terjadi dalam lorong rahasia, tak akan membuatnya menyesal, semisal terjadi sesuatu pun, dia akan menganggapnya sebagai nasib sendiri. Makin ke depan lorong itu semakin menurun ke bawah, tidak jelas berapa panjang lorong rahasia itu, ketika Tian Mong-pek coba memeriksa sekitar situ, terlihat lentera yang menerangi kedua dinding lorong tampak bersih dan rapi, sudah jelas tempat itu seringkali dilalui orang. Pemuda ini memang tak ingin menyusup masuk secara diam diam, maka dia sengaja memperberat langkah kakinya. Langkah berat itu seketika menimbulkan suara pantulan, mendadak dari tempat kejauhan terdengar seseorang menegur: “Siapa yang berani sembarangan menelusuri lorong rahasia ini?" “Aku!” jawab Tian Mong-pek lantang. Tampaknya orang itu agak tertegun, berapa saat kemudian ia baru berteriak gusar: “Siapa kau? Memangnya kau tidak tahu, lorong rahasia ini khusus digunakan untuk siapa?" “Aku tidak tahu!" Tampaknya orang itu sekali lagi tertegun, sampai lama sekali tak kedengaran suaranya. Setelah hening sampai lama sekali, suara teriakan itu kembali berkumandang: “Peduli siapapun dirimu, akan kuhitung sampai angka ke tiga, kalau tetap tidak kembali, jangan salahkan kalau nona mu bertindak keji." “Hahaha, ternyata kau seorang wanita, kenapa caramu bicara persis seperti jeritan kuntilanak yang sedang menangis, betul betul bikin hati muak.” “Baik, tertawalah, akan kulihat sampai kapan kau bisa tertawa?” Biarpun sedang tertawa keras, Tian Mong-pek tak berani bertindak gegabah, diam-diam ia mempersiapkan diri menghadapi segala yang tak diinginkan. Tiba tiba terdengar orang itu kembali membentak nyaring: “Siau-hong, gigit orang itu!" “Hahaha, Siau-hong? Ternyata kau bernama Siau-hong?" kembali Tian Mong-pek mengejek sambil tertawa keras, “tak kusangka kaupun pintar menggigit orang.” Baru selesai dia bicara, dari depan sana muncul dua buah lentera besar. Begitu lampu bersinar, Tian Mong-pek segera tahu kalau makhluk aneh menyerupai singa itu akan muncul kembali. Betul saja, belum habis dia berpikir, diiringi teriakan marah, makhluk aneh itu sudah muncul dihadapannya. Dibawah sinar lentera, dapat dilihat kalau makhluk aneh itu memiliki bulu panjang bagaikan jilatan api, semuanya berdiri tegak. Lidahnya menyerupai lidah ular berbisa, ekornya seperti tiang bendera, sepasang mata yang besar mengawasi Tian Mong-pek dengan amat garang. Tian Mong-pek tahu, makhluk aneh itu dapat bergerak cepat bagai hembusan angin, bisa diduga kekuatannya luar biasa, ia tak berani bertindak gegabah, sambil menghimpun tenaga dalamnya, dia bersiap siapa menghadapi segala kemungkinan. Siapa tahu, setelah mengawasi Tian Mong-pek berapa saat, makhluk aneh itu manggut-manggut berulang kali, bagaikan bertemu orang yang dikenal, bulu serta ekornya segera menunduk rata. “Hahaha, Siau-hong, ternyata kau kenal dengan aku?” seru Tian Mong-pek tertawa geli. Makhluk aneh itu kembali manggut-manggut, lalu mundur bagaikan hembusan angin. Tian Mong-pek tidak berayal lagi, dia ikut bergerak ke depan, diujung lorong terdapat lagi sebuah pintu tembaga yang setengah terbuka. Dari luar pintu, terdengar seseorang bertanya dengan suara kasar: “Siau-hong, sudah kau gigit mampus orang itu?” II “Jangan lagi digigit hingga mampus, sambung seorang yang lain dengan nada lembut, “biarpun dia seorang jago lihay kelas satu pun, jangan harap bisa menahan serangan Siau-hong.” Baru selesai pembicaraan itu, Tian Mong-pek sudah menerjang keluar dari pintu. Diluar pintu merupakan sebuah kebun bunga yang amat luas, kebun itu dikelilingi tanah perbuatan, aneka bunga tumbuh dalam kebun itu, bukan saja indah bahkan menyiarkan bau harum semerbak. Berada dalam kebun itu, pemuda itu merasa dirinya seolah terperosok ditengah samudra bunga. sebuah jalanan kecil beralas batu granit putih membentang jauh ke depan,
Pendekar Bodoh - 9. Sengketa Ahli Sihir Pendekar Bodoh - 10. Raja Alam Sihir Pendekar Bodoh - 11. Rahasia Sumur Tua Pendekar Bodoh - 12. Munculnya Sang Pewaris Gento Guyon - 28. Semerah Darah
Ketika berhasil mengalahkan kakek bungkuk yang suka bertaruh itu secara gampang, pemuda ini merasa bangga sekali, ia pun melompat turun dari bukit golok dan melanjutkan perjalanan ke depan. Setelah berjalan kurang lebih dua tombak, jalanan kembali bercabang dua, ditengah jalan itu terlihat sebuah liang yang cukup dalam, karena tertutup kabut, tidak jelas seberapa dalam liang tersebut. sebuah patung hakim bercambang berdiri menengadah disisi liang, tangan sebelah membelai jenggot, tangan yang lain memegang pedang, tapi ujung pedang justru menunjuk ke bawah tanah. “Masa aku harus melompat masuk ke dalam liang itu?" pikir Tian Mong-pek tertegun. Mendadak dari bawah liang berkumandang suara pekikan setan yang amat nyaring. Tian Mong-pek segera merentangkan lengannya sambil melompat masuk ke dalam liang itu. Dari balik kegelapan segera terdengar seseorang membentak nyaring: “Bocah muda, cukup pemberani, cukup penurut." “Siapa disitu?” bentak Tian Mong-pek, dia mencoba periksa sekeliling tempat itu, tapi dalam liang dipenuhi patung manusia yang dililit patung ular, sama sekali tak tampak bayangan manusia. Hembusan angin di dasar liang itu sangat kencang, lapisan kabut lebih tebal, empat penjuru dipenuhi bayangan setan, dia tak tahu bayangan setan itu beneran atau hanya bayangan manusia, pemuda ini mulai menyesal, mengapa tidak menyediakan korek api dalam sakunya. Yang paling dia kuatirkan adalah bila salah jalan, melakukan perjalanan dalam kegelapan semacam ini sudah pasti membawa resiko besar, sekalipun ada petunjuk jalan, dalam kegelapan begini, mana mungkin ia dapat membacanya? Kalau sampai salah langkah, apa jadinya nanti?" Berpikir sampai disitu, tanpa terasa keringat dingin mulai membasahi tangannya. Mendadak . . . . . .. “Kraaak!" diiringi suara lirih, patung-patung di empat penjuru mulai bergerak. sebuah patung tiba tiba berlompatan menuju ke hadapan Tian Mong-pek, patung ini dibuat dari batu gips, tingginya delapan depa, berambut abu-abu, alis mata abu-abu, wajah, hidung, mata, pakaian, semuanya berwarna abu-abu . . . . . . .. Walaupun berada dibalik kegelapan, namun siapa pun pasti tahu kalau patung itu bukan manusia hidup, tapi “dia” justru bertingkah laku seperti orang hidup, gerakan tubuhnya ringan dan lincah, sama sekali tidak menimbulkan suara. Dengan kening berkerut, Tian Mong-pek membentak nyaring: “Setan iblis, mundur kau!” Ditengah bentakan nyaring, sepasang tangannya diayunkan berbareng melepaskan satu pukulan. Deruan angin serangan yang dahsyat seketika terlontar keluar, jika “dia” adalah sebuah patung, niscaya tubuhnya akan hancur berantakan termakan serangan itu. Siapa tahu, ketika angin pukulan itu tiba dihadapan patung tersebut, mendadak patung itu menggetarkan tubuhnya, angin serangan yang maha dahsyat itupun bagaikan kerbau tanah liat tercebur ke laut, hilang lenyap tak berbekas. Peluh dingin semakin membasahi tubuh Tian Mong-pek, kembali bentaknya: “Sebetulnya kau ini manusia atau setan?" Patung itu tertawa terkekeh, sahutnya sepatah demi sepatah kata: “Hahaha, menurutmu, memangnya aku mirip manusia?" Nada suaranya tinggi, tajam, melengking. Memang sama sekali tak membawa hawa manusia. “Hmm, sekalipun kau setan, aku orang she-Tian tetap akan berduel melawanmu.” “Hahaha, tak perlu duel lagi, kalau kau berani meraba hidungku, akan kuanggap kau adalah seorang enghiong hohan." Suara tertawanya yang aneh menyeramkan, bikin hati bergidik, bulu kuduk bangun berdiri. Tertegun juga hati Tian Mong-pek, dia tak menyangka kalau patung itu menantangnya untuk meraba hidungnya, biar nyalinya sekeras baja pun, tak urung pemuda ini dibuat serba salah . . . . .. “Berani tidak? Berani tidak?" ejek patung itu sambil tertawa aneh. Tiba-tiba satu ingatan melintas lewat, seolah menyadari akan sesuatu, pikir Tian Mong-pek: “Ternyata lagi-lagi si tua bungkuk yang bikin ulah." Maka sahutnya lantang: “Siapa bilang tak berani?” “Ayoh, dicoba!" mendadak patung itu melejit ke tengah udara. Tian Mong-pek tak mau kalah, tiba tiba dia bersalto di tengah udara, dengan kepala dibawah kaki diatas, ia menyelinap ke belakang patung itu dan sahutnya sambil tertawa keras: “Aku sudah datang!" Ternyata dugaannya tidak salah, benar saja, dibelakang patung itu berdiri si kakek bungkuk, sepuluh jari tangannya yang tajam bagai kaitan menancap dalam-dalam di pinggang patung tinggi besar itu. Si kakek memang memiliki kekuatan lengan yang luar biasa, bukan hal yang sulit baginya untuk mengangkat patung itu. Biarpun dia membuat patung itu dapat bergerak dan melompat, namun tak pernah membiarkan patung tadi menyentuh tanah, itulah sebabnya sewaktu bergerak, sama sekali tidak menimbulkan suara. Karena hal itu pula, angin pukulan yang dilancarkan Tian Mong-pek berhasil dia punahkan. Kini, setelah rahasia penyamarannya terbongkar, kakek bungkuk itu tertawa terbahak-bahak, sambil melepaskan patung tersebut, tegurnya: “Bocah muda, ternyata kau memang bernyali, cara inipun gagal membuat dirimu ketakutan." “Sudah, tak usah banyak bicara, ayoh bawa kemari!” “Apanya yang bawa kemari?" tanya si kakek keheranan. “Kepalamu!" sambil berkata, pemuda itu mulai meraba kepala kakek itu. “Hei, mau apa kau?" teriak kakek bungkuk itu dengan wajah berubah. “Mau apa? Tentu saja meraba hidungmu!” jawab Tian Mong-pek sambil tertawa. “Siapa yang berani meraba hidungku?' teriak kakek bungkuk itu semakin marah. “Bukankah kau sendiri yang berkata begitu? Yaa sudahlah, bila kau ingin menjilat ludah sendiri, anggap saja tak pernah bicara, akupun tak ingin meraba hidungmu lagi!” Sambil mengebaskan ujung bajunya, tanpa melirik lagi, diiringi tertawa dingin pemuda itu beranjak pergi. “Berhenti!” tiba tiba kakek bungkuk itu membentak nyaring. Sepasang lengannya direntangkan, rambutnya berdiri semua bagaikan landak, bentaknya penuh amarah: “Siapa bilang aku adalah orang yang suka menjilat ludah sendiri?" “Kalau memang tak ingin menjadi orang yang menjilat ludah sendiri, ulurkan kepalamu, biar kuraba hidungmu." sahut Tian Mong-pek ketus. “Lohu suruh kau meraba hidung patung itu." “Hmm, tadi, patung itu yang berbicara? Atau kau yang mengatakan?" ejek Tian Mong-pek sambil tertawa dingin. Sampai lama sekali kakek bungkuk itu termangu, tiba tiba ia menghela napas panjang, sekujur tubuhnya terasa lemas. “Betul, lohu yang mengatakan." sahutnya kemudian. Sambil tersenyum, Tian Mong-pek segera menggapai kearahnya: “Kemari, cepat kemari!” Kakek bungkuk itu mundur berulang kali, sambil menjura berulang kali, pintanya: “Saudara cilik, asal kau tidak meraba hidung lohu, urusan yang lain pasti akan kukabulkan." “Kan bukan aku yang minta diraba." Kembali dia melanjutkan perjalanan. Tiba tiba pandangan matanya jadi kabur, kakek bungkuk itu sudah melayang turun dihadapannya dan membujuk sambil tertawa paksa: “Lohu punya sebilah pedang bagus, bagaimana kalau kuhadiahkan untukmu?" “Siapa yang pingin pedangmu?" Kakek bungkuk itu gelengkan kepalanya, kembali ia membujuk sambil tertawa: “Kalau begitu, bagaimana kalau lohu temani kau masuk ke dalam lembah?” “Siapa yang butuh ditemani?” Kakek bungkuk itu segera menghela napas panjang, keluhnya: “Masa kau bersikeras ingin meraba hidungku? Masa kau paksa lohu jadi orang yang jilat ludah sendiri? Aaai, saudara cilik, jangan kelewat kejanu" Mendengar ucapan itu, Tian Mong-pek jadi kegelian, tak tahan ia tertawa terbahak. “Hahaha, bila kau adalah orang yang terbiasa menjilat ludah sendiri, kalau bukan sudah turun tangan membunuhku, pasti telah pergi dari sini, masa masih bertahan ditempat ini?" “Ah, jadi kau percaya kalau aku bukan orang yang biasa menjilat ludah sendiri?" “Tentu saja bukan!" Kakek bungkuk itu segera mendongakkan kepala dan tertawa terbahak. Tiba tiba ia berhenti tertawa, dengan alis mata berkenyi t dan menghela napas panjang, ujarnya: “Mending kau raba saja hidungku ini!" “Kenapa?” tanya Tian Mong-pek tercengang. Kembali kakek bungkuk itu menghela napas. “Selama hidup, lohu selalu menepati setiap ucapan yang kukatakan, tapi kali ini kau tidak menyalahkan aku, ini membuat lohu merasa tak tenang, II kecuali kau . . . . . .. “Kalau begitu kuharap kau menjawab satu pertanyaanku, anggap saja aku telah meraba hidungmu. Bagaimana?” tukas Tian Mong-pek. “Sungguh?” teriak kakek bungkuk itu kegirangan, “saudara cilik, kau benar-benar orang baik, apapun pertanyaanmu, asal lohu tahu, pasti akan kujawab." “Ternyata orang ini berjiwa terbuka, ramah, bahkan sifat kekanak kanakannya belum hilang." Pikir Tian Mong-pek, “aku percaya pertanyaanku pasti akan dijawab dengan jujur.” Maka dengan wajah serius, tanyanya: “Tahukah siapa majikan panah kekasih? Apa kegunaan dan kehebatan dari senjata rahasia beracun ini?" “Apa itu panah kekasih?" kakek bungkuk itu balik bertanya dengan kening berkerut, “lohu sama sekali tak tahu." “Bukankah kau adalah anggota lembah kaisar? Masa tidak tahu senjata rahasia beracun macam apa panah kekasih itu?" “Memang apa hubungan panah kekasih dengan lembah kaisar?" tanya kakek bungkuk itu keheranan. Tian Mong-pek agak tertegun, katanya kemudian dengan nada dalam: “Apakah kau yakin, semua orang yang berada dalam lembah kaisar tak ada hubungannya dengan panah kekasih?" Kakek bungkuk itu menggeleng. “Sebagian besar penghuni lembah kaisar adalah makhluk aneh, kejadian aneh seperti apapun sanggup mereka lakukan, lohu tidak tahu, juga tak yakin.” Tian Mong-pek tertegun berapa saat, serunya sambil menjura: “Terima kasih banyak!" Dia percaya orang tua ini tak bakal berbohong, karenanya ia segera balik badan siap pergi. Siapa tahu kakek bungkuk itu kembali berseru: “Tunggu sebentar!" Sewaktu Tian Mong-pek berpaling, ia saksikan kakek itu berjalan maju dua langkah kemudian membuka lantai yang berada dibawah patung orang jahat dililit ular batu itu. “Kraaak!" dari balik dinding liang muncul sebuah pintu rahasia. “Lewat sini lebih dekat, kau masuk lewat sini saja!" seru kakek bungkuk itu. Tanpa ragu kembali Tian Mong-pek menjura mengucapkan terima kasih, kemudian cepat menyusup masuk ke balik pintu. Dibalik pintu rahasia merupakan sebuah lorong yang sangat panjang, kedua sisi dinding tergantung lentera tembaga. “Saudara cilik, perbesar nyalimu, pergilah segera!" terdengar kakek bungkuk itu berteriak mengingatkan. Menyusul kemudian..... “Kraak!" pintu rahasia itu kembali tertutup rapat. Tian Mong-pek sama sekali tak berpaling, sambil melanjutkan langkahnya dia berpikir: “Orang tua ini minta aku perbesar nyali, jangan-jangan didepan sana bakal terjadi sesuatu yang menakutkan?” Tapi ia sudah mengambil keputusan untuk mempercayai orang tua itu, apapun yang bakal terjadi dalam lorong rahasia, tak akan membuatnya menyesal, semisal terjadi sesuatu pun, dia akan menganggapnya sebagai nasib sendiri. Makin ke depan lorong itu semakin menurun ke bawah, tidak jelas berapa panjang lorong rahasia itu, ketika Tian Mong-pek coba memeriksa sekitar situ, terlihat lentera yang menerangi kedua dinding lorong tampak bersih dan rapi, sudah jelas tempat itu seringkali dilalui orang. Pemuda ini memang tak ingin menyusup masuk secara diam diam, maka dia sengaja memperberat langkah kakinya. Langkah berat itu seketika menimbulkan suara pantulan, mendadak dari tempat kejauhan terdengar seseorang menegur: “Siapa yang berani sembarangan menelusuri lorong rahasia ini?" “Aku!” jawab Tian Mong-pek lantang. Tampaknya orang itu agak tertegun, berapa saat kemudian ia baru berteriak gusar: “Siapa kau? Memangnya kau tidak tahu, lorong rahasia ini khusus digunakan untuk siapa?" “Aku tidak tahu!" Tampaknya orang itu sekali lagi tertegun, sampai lama sekali tak kedengaran suaranya. Setelah hening sampai lama sekali, suara teriakan itu kembali berkumandang: “Peduli siapapun dirimu, akan kuhitung sampai angka ke tiga, kalau tetap tidak kembali, jangan salahkan kalau nona mu bertindak keji." “Hahaha, ternyata kau seorang wanita, kenapa caramu bicara persis seperti jeritan kuntilanak yang sedang menangis, betul betul bikin hati muak.” “Baik, tertawalah, akan kulihat sampai kapan kau bisa tertawa?” Biarpun sedang tertawa keras, Tian Mong-pek tak berani bertindak gegabah, diam-diam ia mempersiapkan diri menghadapi segala yang tak diinginkan. Tiba tiba terdengar orang itu kembali membentak nyaring: “Siau-hong, gigit orang itu!" “Hahaha, Siau-hong? Ternyata kau bernama Siau-hong?" kembali Tian Mong-pek mengejek sambil tertawa keras, “tak kusangka kaupun pintar menggigit orang.” Baru selesai dia bicara, dari depan sana muncul dua buah lentera besar. Begitu lampu bersinar, Tian Mong-pek segera tahu kalau makhluk aneh menyerupai singa itu akan muncul kembali. Betul saja, belum habis dia berpikir, diiringi teriakan marah, makhluk aneh itu sudah muncul dihadapannya. Dibawah sinar lentera, dapat dilihat kalau makhluk aneh itu memiliki bulu panjang bagaikan jilatan api, semuanya berdiri tegak. Lidahnya menyerupai lidah ular berbisa, ekornya seperti tiang bendera, sepasang mata yang besar mengawasi Tian Mong-pek dengan amat garang. Tian Mong-pek tahu, makhluk aneh itu dapat bergerak cepat bagai hembusan angin, bisa diduga kekuatannya luar biasa, ia tak berani bertindak gegabah, sambil menghimpun tenaga dalamnya, dia bersiap siapa menghadapi segala kemungkinan. Siapa tahu, setelah mengawasi Tian Mong-pek berapa saat, makhluk aneh itu manggut-manggut berulang kali, bagaikan bertemu orang yang dikenal, bulu serta ekornya segera menunduk rata. “Hahaha, Siau-hong, ternyata kau kenal dengan aku?” seru Tian Mong-pek tertawa geli. Makhluk aneh itu kembali manggut-manggut, lalu mundur bagaikan hembusan angin. Tian Mong-pek tidak berayal lagi, dia ikut bergerak ke depan, diujung lorong terdapat lagi sebuah pintu tembaga yang setengah terbuka. Dari luar pintu, terdengar seseorang bertanya dengan suara kasar: “Siau-hong, sudah kau gigit mampus orang itu?” II “Jangan lagi digigit hingga mampus, sambung seorang yang lain dengan nada lembut, “biarpun dia seorang jago lihay kelas satu pun, jangan harap bisa menahan serangan Siau-hong.” Baru selesai pembicaraan itu, Tian Mong-pek sudah menerjang keluar dari pintu. Diluar pintu merupakan sebuah kebun bunga yang amat luas, kebun itu dikelilingi tanah perbuatan, aneka bunga tumbuh dalam kebun itu, bukan saja indah bahkan menyiarkan bau harum semerbak. Berada dalam kebun itu, pemuda itu merasa dirinya seolah terperosok ditengah samudra bunga. sebuah jalanan kecil beralas batu granit putih membentang jauh ke depan,