Cerita Silat | Warisan Berdarah | oleh Rajakelana | Warisan Berdarah | Cersil Sakti | Warisan Berdarah pdf
Pendekar Bodoh - 9. Sengketa Ahli Sihir Pendekar Bodoh - 10. Raja Alam Sihir Pendekar Bodoh - 11. Rahasia Sumur Tua Pendekar Bodoh - 12. Munculnya Sang Pewaris Gento Guyon - 28. Semerah Darah
“putriku kenapa ku-ko ?” tanya Bu-siang cemas melihat putrinya di bopong suaminya “lan-ji bertempur dengan seseorang.” sahut sai-ku sambil membaringkan putrinya, dan memeriksanya dengan teliti “hmh….dia tidak apa-apa dan hanya pingsan, siang- moi.” “dengan siapa cicimu bertarung Tan-ji ?” “seorang lelaki seumuran dengan ayah, tapi dia melarikan diri ayah, dan kata cici sebelum pingsan, lelaki itu membokongnya dengan jarum” “mungkin dia jai-hoa-cat, koko, apakah tidak ada bekas luka koko ?” “bisa jadi, terlebih dia menggunakan pembius.” sahut Sai-ku dan kembali memeriksa putrinya, dan tidak ada sedikitpun bekas luka, lalu Sai-ku mengerahkan sedikit sin-kangnya untuk mengusir hawa beracun dari tubuh putrinya. “hmh…ah..” desah Ci-lan sambil membuka mata “ayah….tiba-tiba kepalaku merasa pusing.” “ya…ayah tahu, dan sekarang bagaimana perasaanmu ?” “sudah tidak pusing lagi, ayah.” “bagaimana laki-laki itu tiba-tiba menyerangmu Tan- ji ?” “lelaki hendak bermaksud kotor padaku ibu, kata- katanya sangat ceriwis, tapi untungnya ia dapat aku atasi hingga ia melarikan diri.” “lalu jarum yang digunakannya, apa tidak mengenaimu ?” “tidak ibu, aku berhasil menangkapnya dan melemparkan kembali kepadanya.” “bagaimana orangnya lan-ji ?” tanya Han-sai-ku “orangnya sepantaran dengan ayah, ia menyandang pedang beronce merah digagangnya, sin-kangnya kuat dan sepertinya tidak dibawahku ayah.” “hmh….baiklah, sekarang kalian disini saja, ayah dan ibu hendak mandi sebentar.” ujar Sai-ku, lalu suami istri itu keluar untuk membersihkan diri. Han-sai-ku mencoba menyelidiki para tamu, namun sampai larut malam, ia tidak menjumpai laki-laki seperti yang digambarkan putrinya, hal itu jelas karena lelaki itu setelah meninggalkan pertarungan langsung masuk kedalam kamarnya dan mengemasi barangnya dan meninggalkan kota khangsi dari pintu sebelah timur, akhirnya Han-sai-ku masuk kembali kedalam kamarnya. Keesokan harinya, keluarga Han melanjutkan perjalanan, Han-sai-ku membawa keluarganya keluar dari gerbang timur, menjelang siang han-sai-ku dan keluarga sampai di pinggir sebuah hutan, han-sai-ku berhenti “kenapa kita berhenti, koko ?” tanya istrinya “pamanku wan-peng tinggal dalam hutan ini, aku tidak tahu apakah ia masih tinggal disini” “sebaiknya kita lihat saja koko.” ujar Bu-siang sambil turun dari dalam kereta, ci-lan dan liu-tan juga turun “kalian tunggulah sebentar disini, aku akan coba lihat kedalam hutan.” ujar Sai-ku Han-sai-ku masuk kedalam hutan, gerakannya cepat dan gesit masuk lebih jauh kedalam hutan, tidak berapa lama, ia melihat pondok yang bersih dan dihalamnnya banyak ditumbuhi bunga botan, melihat halaman yang tertata rapi, menandakan pondok itu berpenghuni “paman !” panggil Sai-ku, dan tidak lama daun pintu terbuka, seorang lelaki tua berumur enam puluh lebih keluar, Han-sai-ku langsung berlutut setelah melihat pamannya yang keluar “apakah itu kamu ku-ji ?” ujar Wan-peng sambil menuruni anak tangga “benar peng-siok, anak datang untuk berkunjung.” “hehehe..hahaha..oh anakku, setelah hampir dua puluh tahun, kamu datang lagi.” ujar Wan-peng mendekati keponakannya dan ia menarik bahu Sai-ku dan memeluknya dengan hati rindu, dan tidak terasa air matanya berderai. “bagaimana keadaan siok selama ini ?” “aku baik dan sehat ku-ji, lalu bagaimana dengan kamu, nak ?” “anak juga sehat siok, dan di luar hutan ini, anak membawa anak dan istri siok. “oh…begitukah, mari..mari kita kesana.” ujar Wan- peng dengan nada sesak, ia melompat dan berlari cepat menuju keluar hutan, dan di ikuti Sai-ku Bu-siang dan kedua anaknya menunggu di atas kereta, dua bayangan muncul dari dalam hutan, “itu ayah ibu !” teriak Liu-tan “siang-moi, ini adalah peng-siok, dan siok, ini adalah istriku Bu-siang, dan kedua anakku.” “hahaha..sungguh aku merasa bahagia bertemu kalian anak mantu dan kalian dua cucuku.” ujar Wan-peng dengan rasa haru bahagia yang tidak terlukiskan. Wan-peng dan keluarga keponakannya kembali kepondok, pertemuan itu demikian hangat dan menggembirakan “siok-kong ! kenapa tinggal didalam hutan, kenapa tidak dikota khangsi ?” tanya Liu-tan “hehehe..siok-kong sudah merasa betah disini, tan-ji” “siok-kong sudah berapa lama tinggal didalam hutan ini ?” sela Ci-lan “hmh..siok-kong sudah dua puluh lima tahun tinggal disini. “betul lan-ji, dan ayah juga pernah tinggal disini menemani siok-kong.” “hehehe…hmh…kemanakah kamu setelah meninggalkan paman ku-ji ?” “saya terus berkelana paman, hingga sampai kekota Kun-ming, dan bertemu dengan siang-moi dan menikah dengannya.” “jadi kalian tinggal di kun-ming ku-ji ?” “benar siok, dan aku bekerja membuka likoan di sana.” “hmh…..bagus sekali kehidupanmu ku-ji.” “berkat doa dan pengajaran siok, aku berusaha untuk tidak menyimpang.” “hehehe…syukurlah ku-ji, paman lega dan bangga dengan keadaanmu sekarang, dan kedua cucuku ini memiliki orang tua yang bisa jadi anutan” “ku-ji, perjalanan yang jauh ini, tentunya tidak hanya untuk mengunjungiku bukan ?” “benar siok, tujuan perjalanan ini untuk mengunjungi kerabatku dan memperkenalkan keluargaku, dan aku sangat gembira ternyata masih dipertemukan dengan siok.” “selain kesini, kemana lagi engkau akan pergi ?” “kami hendak ke huangsan untuk bertemu dengan ong-ko, lalu ke kota Bicu untuk bertemu dengan ayah, setelah itu kekota kaifeng untuk bertemu dengan “siauw-taihap” lun-ko ” “perjalanan yang sangat mulia anakku, niatmu untuk penyambungan kembali ikatan dengan ayahmu “bun- liong-taihap” sangat-sangat tepat, dan tujuanmu ke kaifeng juga untuk menemui saudaramu, membuat paman merasa bangga anakku, tapi benarkah siauw- taihap ada hubungan dengan kita ?” “benar paman, bahkan Lun-ko adalah anak tertua dari ayah.” “hmh…tidak kusangaka ”siauw-taihap” jadi kerabat kita, dia adalah manusia luar biasa, bengcu liok-lim yang sakti dan bersahaja.” “siok-kong, kenapa tidak tahu dengan Lun-pek ?” tanya Ci-lan sedikit heran mendengar pembicraan ayahnya dengan sok-kongnya.” “hehehe..karena siok-kong menyepi disini, dan lun-pek mu itu adalah saudara seyahnya ayah kalian” “benar lan-ji, dan kalian ketahuilah, bahwa baik lun- ko maupun ong-ko adalah saudara se ayah, ayah tidak punya saudara kandung, tapi hanya memiliki saudara se ayah. “selain lun-ko dan ong-ko, apa masih ada lagi saudara yang lain ?” sela Bu-siang “benar siang-moi, selain dari lun-ko dan ong-ko, saudaraku yang lain adalah adik-adik yang berada di Bicu, kemudian liang-ko yang bernama Han-ok-liang.” “benar mantu, dan supaya jelas bagimu dan anak- anakmu, ketahuilah, bahwa suamimu dan paman dulunya orang yang menyimpang, tapi bersyukurlah kalian bahwa thian merobah hati hambanya, hingga engkau dapat suami yang sudah berubah, dan untuk itu tetaplah engkau kuat mengawal suamimu, jangan jera untuk mengingatkannya.” “sekarang jelaslah bagiku gak-hu, dan aku bangga dengan suamiku.” “siok-kong, apakah lun-pek lebih sakti dari ayah ?” sela Liu-tan “hehehe..hahaha……kalau itu coba kita tanya apada ayahmu, dan kita dengar apa jawabannya.” “tan-ji, pertanyaanmu ada-ada saja, jelaslah lun-pek mu lebih sakti dari ayah, ilmu lun-pek mu tidak dapat di ukur.” “oh…kalau begitu, ayah izinkanlah aku belajar pada lun-pek.” “ih..kamu inikan manja, apa sanggup berpisah dengan ibu, hah.” sela Ci-lan, liu-tan melengak melihat ibunya yang tersenyum. Han-sai-ku sekeluarga tinggal bersama pamannya selama dua hari, mereka berangkat dilepas Wan-peng di luar hutan, kereta kuda berjalan perlahan melintasi jalan menanjak, Han-sai-ku duduk didepan bersama istrinya “ku-ko, bagaimana sih sebenarnya keluarga yang akan kita kunjungi ini, bagaimana saudara se ayah ini bisa banyak, dan masa kelam koko benarkah itu ?” “hmh…memang demikianlah siang-moi, dan dengarlah, ayah kami memiliki banyak hubungan dengan perempuan, selain dari istri ayah yang sekarang, yaitu ibuku, ibu kwi-ong, ibu ok-liang, bahkan jauh sebelum itu dengan ibunya Han-fei-lun.” “maksudnya, selain dari istri gak-hu yang sekarang, orang-orang tua itu tidak menikah dengan gak-hu ?” sela Bu-siang, Han-sai-ku mengangguk. “dan ibu-ibu kami bertiga sangat memusuhi ayah, dan mendidik kami untuk mencelakakan ayah, kami hdup didunia hitam dan berbuat semaunya, tapi panji hek- to yang kami bina itu ambruk dengan kemunculan lun-ko Han-fei-lun, setelah tiga suhu, ketga ibu kami, dan kami sendiri dikalahkan lun-ko, bahkan tiga suhu tewas, kami tidak berkutik, dan yang menyedihkan ibu-ibu kami tewas ditangan ayah, sejak itu kami berpisah, tapi syukur aku bertemu dengan paman wan-peng yang satu-satunya adik ibuku, ia memberikan penerangan padaku.” “apakah menurut ku-ko, ong-ko dan liang-ko sudah berubah ?” “hal itu aku tidak tahu, siang-moi, tapi bagaimanapun, keduanya adalah saudaraku, jadi apapun karakternya, kita akan tetap menjalin hubungan baik dengan mereka.” “lalu bagaimana dengan Lun-ko, apakah dia orang baik ?” “benar, lun-ko adalah orang baik yang bersahaja, dia adalah bengcu pek-to, dia sastrawan yang banyak hikmat.” jawab Han-sai-ku mengenang wajah Han- fei-lun saat bertemu di kota chang-an. Sebulan kemudian, Han-sai-ku dan keluarga memasuki kota huangsan, Han-sai-ku berhenti di depan sebuah rumah yang tergolong besar, seorang perempuan sedang duduk santai menikmati semilir hembusan angin di kesenjaan itu, ia berdiri saat melihat kereta kuda berhenti didepan rumahnya, Han- sai-ku turun bersama anak dan istrinya “maaf, apakah Han-kwi-ong masih menempati rumah ini ?” “maaf, saudara ini siapa ?” tanya Siangkoan-hoa “aku adalah Han-sai-ku, adik dari Han-kwi-ong, dan ini adalah anak dan istriku” “oh, begitukah, mar…mari masuk ku-te, saya adalah istri dari ong-ko.” “terimakasih soso.” sahut Han-sai-ku, lalu mereka masuk dan duduk diruang tengah “bagaimanakah keadaan keluarga disini, dan kemanakah ong-ko, soso ?” “hmh….sebenarnya ong-ko sudah lama pergi, sejak tiga belas tahun yang lalu.” “heh…bagaimana bisa, kenapa ia meninggalkan soso dan keluarga?” “ong-ko awalnya hidup dengan mewah, kota huangsan diperas dan menjadi kota mati, dan itu menyebabkan lun-ko datang kemari untuk memperingatkannya, semua harta dikembalikan pada warga, dan ong-ko tidak terima, dan dengan marah meninggalkan kota.” “apakah ong-ko tidak pernah balik kesini ?” “sampai hari ini, dia belum pernah kembali, tapi perlu kamu ketahui ku-te, ong-ko buta saat pergi.” “bagaimana ong-ko bisa buta ?” “seminggu sebelum kedatangan lun-ko, kami didatangi oleh seorang kakek yang mengaku susiok kalian, dan mereka membicarakan sebuah kitab, dan mungkin terjadi ketegangan antar keduanya, akhirnya ong-ko mengalami kebutaan. “apakah ong-ko berkelahi dengan kakek itu ?” “tidak, tapi kakek itu luar biasa, matanya berwarna merah, dan hanya beradu pandang dengan ong-ko, telah mengakibatkan ong-ko buta.” “lalu apa yang terjadi, soso ? “kakek itu berada disini satu mala, dan mengobati mata ong-ko, seminggu setelah ia pergi, lun-ko datang, dan ia marah lalu pergi dan tidak pernah kembali, bahkan tiga tahun yang lalu liang-te datang untuk mengunjunginya.” “liang-ko kesini, apakah soso tahu dimana ia tinggal ?” “katanya ia tinggal di kota shinyang, tapi ia segera pergi ke chang-an dimana kakek itu tinggal.” “Di chang-an, dimana tepatnya soso ?” “di “hoa-kok” itu yang saya dengar dari pembicaraan ong-ko dengan kakek itu.”
Pendekar Bodoh - 9. Sengketa Ahli Sihir Pendekar Bodoh - 10. Raja Alam Sihir Pendekar Bodoh - 11. Rahasia Sumur Tua Pendekar Bodoh - 12. Munculnya Sang Pewaris Gento Guyon - 28. Semerah Darah
“putriku kenapa ku-ko ?” tanya Bu-siang cemas melihat putrinya di bopong suaminya “lan-ji bertempur dengan seseorang.” sahut sai-ku sambil membaringkan putrinya, dan memeriksanya dengan teliti “hmh….dia tidak apa-apa dan hanya pingsan, siang- moi.” “dengan siapa cicimu bertarung Tan-ji ?” “seorang lelaki seumuran dengan ayah, tapi dia melarikan diri ayah, dan kata cici sebelum pingsan, lelaki itu membokongnya dengan jarum” “mungkin dia jai-hoa-cat, koko, apakah tidak ada bekas luka koko ?” “bisa jadi, terlebih dia menggunakan pembius.” sahut Sai-ku dan kembali memeriksa putrinya, dan tidak ada sedikitpun bekas luka, lalu Sai-ku mengerahkan sedikit sin-kangnya untuk mengusir hawa beracun dari tubuh putrinya. “hmh…ah..” desah Ci-lan sambil membuka mata “ayah….tiba-tiba kepalaku merasa pusing.” “ya…ayah tahu, dan sekarang bagaimana perasaanmu ?” “sudah tidak pusing lagi, ayah.” “bagaimana laki-laki itu tiba-tiba menyerangmu Tan- ji ?” “lelaki hendak bermaksud kotor padaku ibu, kata- katanya sangat ceriwis, tapi untungnya ia dapat aku atasi hingga ia melarikan diri.” “lalu jarum yang digunakannya, apa tidak mengenaimu ?” “tidak ibu, aku berhasil menangkapnya dan melemparkan kembali kepadanya.” “bagaimana orangnya lan-ji ?” tanya Han-sai-ku “orangnya sepantaran dengan ayah, ia menyandang pedang beronce merah digagangnya, sin-kangnya kuat dan sepertinya tidak dibawahku ayah.” “hmh….baiklah, sekarang kalian disini saja, ayah dan ibu hendak mandi sebentar.” ujar Sai-ku, lalu suami istri itu keluar untuk membersihkan diri. Han-sai-ku mencoba menyelidiki para tamu, namun sampai larut malam, ia tidak menjumpai laki-laki seperti yang digambarkan putrinya, hal itu jelas karena lelaki itu setelah meninggalkan pertarungan langsung masuk kedalam kamarnya dan mengemasi barangnya dan meninggalkan kota khangsi dari pintu sebelah timur, akhirnya Han-sai-ku masuk kembali kedalam kamarnya. Keesokan harinya, keluarga Han melanjutkan perjalanan, Han-sai-ku membawa keluarganya keluar dari gerbang timur, menjelang siang han-sai-ku dan keluarga sampai di pinggir sebuah hutan, han-sai-ku berhenti “kenapa kita berhenti, koko ?” tanya istrinya “pamanku wan-peng tinggal dalam hutan ini, aku tidak tahu apakah ia masih tinggal disini” “sebaiknya kita lihat saja koko.” ujar Bu-siang sambil turun dari dalam kereta, ci-lan dan liu-tan juga turun “kalian tunggulah sebentar disini, aku akan coba lihat kedalam hutan.” ujar Sai-ku Han-sai-ku masuk kedalam hutan, gerakannya cepat dan gesit masuk lebih jauh kedalam hutan, tidak berapa lama, ia melihat pondok yang bersih dan dihalamnnya banyak ditumbuhi bunga botan, melihat halaman yang tertata rapi, menandakan pondok itu berpenghuni “paman !” panggil Sai-ku, dan tidak lama daun pintu terbuka, seorang lelaki tua berumur enam puluh lebih keluar, Han-sai-ku langsung berlutut setelah melihat pamannya yang keluar “apakah itu kamu ku-ji ?” ujar Wan-peng sambil menuruni anak tangga “benar peng-siok, anak datang untuk berkunjung.” “hehehe..hahaha..oh anakku, setelah hampir dua puluh tahun, kamu datang lagi.” ujar Wan-peng mendekati keponakannya dan ia menarik bahu Sai-ku dan memeluknya dengan hati rindu, dan tidak terasa air matanya berderai. “bagaimana keadaan siok selama ini ?” “aku baik dan sehat ku-ji, lalu bagaimana dengan kamu, nak ?” “anak juga sehat siok, dan di luar hutan ini, anak membawa anak dan istri siok. “oh…begitukah, mari..mari kita kesana.” ujar Wan- peng dengan nada sesak, ia melompat dan berlari cepat menuju keluar hutan, dan di ikuti Sai-ku Bu-siang dan kedua anaknya menunggu di atas kereta, dua bayangan muncul dari dalam hutan, “itu ayah ibu !” teriak Liu-tan “siang-moi, ini adalah peng-siok, dan siok, ini adalah istriku Bu-siang, dan kedua anakku.” “hahaha..sungguh aku merasa bahagia bertemu kalian anak mantu dan kalian dua cucuku.” ujar Wan-peng dengan rasa haru bahagia yang tidak terlukiskan. Wan-peng dan keluarga keponakannya kembali kepondok, pertemuan itu demikian hangat dan menggembirakan “siok-kong ! kenapa tinggal didalam hutan, kenapa tidak dikota khangsi ?” tanya Liu-tan “hehehe..siok-kong sudah merasa betah disini, tan-ji” “siok-kong sudah berapa lama tinggal didalam hutan ini ?” sela Ci-lan “hmh..siok-kong sudah dua puluh lima tahun tinggal disini. “betul lan-ji, dan ayah juga pernah tinggal disini menemani siok-kong.” “hehehe…hmh…kemanakah kamu setelah meninggalkan paman ku-ji ?” “saya terus berkelana paman, hingga sampai kekota Kun-ming, dan bertemu dengan siang-moi dan menikah dengannya.” “jadi kalian tinggal di kun-ming ku-ji ?” “benar siok, dan aku bekerja membuka likoan di sana.” “hmh…..bagus sekali kehidupanmu ku-ji.” “berkat doa dan pengajaran siok, aku berusaha untuk tidak menyimpang.” “hehehe…syukurlah ku-ji, paman lega dan bangga dengan keadaanmu sekarang, dan kedua cucuku ini memiliki orang tua yang bisa jadi anutan” “ku-ji, perjalanan yang jauh ini, tentunya tidak hanya untuk mengunjungiku bukan ?” “benar siok, tujuan perjalanan ini untuk mengunjungi kerabatku dan memperkenalkan keluargaku, dan aku sangat gembira ternyata masih dipertemukan dengan siok.” “selain kesini, kemana lagi engkau akan pergi ?” “kami hendak ke huangsan untuk bertemu dengan ong-ko, lalu ke kota Bicu untuk bertemu dengan ayah, setelah itu kekota kaifeng untuk bertemu dengan “siauw-taihap” lun-ko ” “perjalanan yang sangat mulia anakku, niatmu untuk penyambungan kembali ikatan dengan ayahmu “bun- liong-taihap” sangat-sangat tepat, dan tujuanmu ke kaifeng juga untuk menemui saudaramu, membuat paman merasa bangga anakku, tapi benarkah siauw- taihap ada hubungan dengan kita ?” “benar paman, bahkan Lun-ko adalah anak tertua dari ayah.” “hmh…tidak kusangaka ”siauw-taihap” jadi kerabat kita, dia adalah manusia luar biasa, bengcu liok-lim yang sakti dan bersahaja.” “siok-kong, kenapa tidak tahu dengan Lun-pek ?” tanya Ci-lan sedikit heran mendengar pembicraan ayahnya dengan sok-kongnya.” “hehehe..karena siok-kong menyepi disini, dan lun-pek mu itu adalah saudara seyahnya ayah kalian” “benar lan-ji, dan kalian ketahuilah, bahwa baik lun- ko maupun ong-ko adalah saudara se ayah, ayah tidak punya saudara kandung, tapi hanya memiliki saudara se ayah. “selain lun-ko dan ong-ko, apa masih ada lagi saudara yang lain ?” sela Bu-siang “benar siang-moi, selain dari lun-ko dan ong-ko, saudaraku yang lain adalah adik-adik yang berada di Bicu, kemudian liang-ko yang bernama Han-ok-liang.” “benar mantu, dan supaya jelas bagimu dan anak- anakmu, ketahuilah, bahwa suamimu dan paman dulunya orang yang menyimpang, tapi bersyukurlah kalian bahwa thian merobah hati hambanya, hingga engkau dapat suami yang sudah berubah, dan untuk itu tetaplah engkau kuat mengawal suamimu, jangan jera untuk mengingatkannya.” “sekarang jelaslah bagiku gak-hu, dan aku bangga dengan suamiku.” “siok-kong, apakah lun-pek lebih sakti dari ayah ?” sela Liu-tan “hehehe..hahaha……kalau itu coba kita tanya apada ayahmu, dan kita dengar apa jawabannya.” “tan-ji, pertanyaanmu ada-ada saja, jelaslah lun-pek mu lebih sakti dari ayah, ilmu lun-pek mu tidak dapat di ukur.” “oh…kalau begitu, ayah izinkanlah aku belajar pada lun-pek.” “ih..kamu inikan manja, apa sanggup berpisah dengan ibu, hah.” sela Ci-lan, liu-tan melengak melihat ibunya yang tersenyum. Han-sai-ku sekeluarga tinggal bersama pamannya selama dua hari, mereka berangkat dilepas Wan-peng di luar hutan, kereta kuda berjalan perlahan melintasi jalan menanjak, Han-sai-ku duduk didepan bersama istrinya “ku-ko, bagaimana sih sebenarnya keluarga yang akan kita kunjungi ini, bagaimana saudara se ayah ini bisa banyak, dan masa kelam koko benarkah itu ?” “hmh…memang demikianlah siang-moi, dan dengarlah, ayah kami memiliki banyak hubungan dengan perempuan, selain dari istri ayah yang sekarang, yaitu ibuku, ibu kwi-ong, ibu ok-liang, bahkan jauh sebelum itu dengan ibunya Han-fei-lun.” “maksudnya, selain dari istri gak-hu yang sekarang, orang-orang tua itu tidak menikah dengan gak-hu ?” sela Bu-siang, Han-sai-ku mengangguk. “dan ibu-ibu kami bertiga sangat memusuhi ayah, dan mendidik kami untuk mencelakakan ayah, kami hdup didunia hitam dan berbuat semaunya, tapi panji hek- to yang kami bina itu ambruk dengan kemunculan lun-ko Han-fei-lun, setelah tiga suhu, ketga ibu kami, dan kami sendiri dikalahkan lun-ko, bahkan tiga suhu tewas, kami tidak berkutik, dan yang menyedihkan ibu-ibu kami tewas ditangan ayah, sejak itu kami berpisah, tapi syukur aku bertemu dengan paman wan-peng yang satu-satunya adik ibuku, ia memberikan penerangan padaku.” “apakah menurut ku-ko, ong-ko dan liang-ko sudah berubah ?” “hal itu aku tidak tahu, siang-moi, tapi bagaimanapun, keduanya adalah saudaraku, jadi apapun karakternya, kita akan tetap menjalin hubungan baik dengan mereka.” “lalu bagaimana dengan Lun-ko, apakah dia orang baik ?” “benar, lun-ko adalah orang baik yang bersahaja, dia adalah bengcu pek-to, dia sastrawan yang banyak hikmat.” jawab Han-sai-ku mengenang wajah Han- fei-lun saat bertemu di kota chang-an. Sebulan kemudian, Han-sai-ku dan keluarga memasuki kota huangsan, Han-sai-ku berhenti di depan sebuah rumah yang tergolong besar, seorang perempuan sedang duduk santai menikmati semilir hembusan angin di kesenjaan itu, ia berdiri saat melihat kereta kuda berhenti didepan rumahnya, Han- sai-ku turun bersama anak dan istrinya “maaf, apakah Han-kwi-ong masih menempati rumah ini ?” “maaf, saudara ini siapa ?” tanya Siangkoan-hoa “aku adalah Han-sai-ku, adik dari Han-kwi-ong, dan ini adalah anak dan istriku” “oh, begitukah, mar…mari masuk ku-te, saya adalah istri dari ong-ko.” “terimakasih soso.” sahut Han-sai-ku, lalu mereka masuk dan duduk diruang tengah “bagaimanakah keadaan keluarga disini, dan kemanakah ong-ko, soso ?” “hmh….sebenarnya ong-ko sudah lama pergi, sejak tiga belas tahun yang lalu.” “heh…bagaimana bisa, kenapa ia meninggalkan soso dan keluarga?” “ong-ko awalnya hidup dengan mewah, kota huangsan diperas dan menjadi kota mati, dan itu menyebabkan lun-ko datang kemari untuk memperingatkannya, semua harta dikembalikan pada warga, dan ong-ko tidak terima, dan dengan marah meninggalkan kota.” “apakah ong-ko tidak pernah balik kesini ?” “sampai hari ini, dia belum pernah kembali, tapi perlu kamu ketahui ku-te, ong-ko buta saat pergi.” “bagaimana ong-ko bisa buta ?” “seminggu sebelum kedatangan lun-ko, kami didatangi oleh seorang kakek yang mengaku susiok kalian, dan mereka membicarakan sebuah kitab, dan mungkin terjadi ketegangan antar keduanya, akhirnya ong-ko mengalami kebutaan. “apakah ong-ko berkelahi dengan kakek itu ?” “tidak, tapi kakek itu luar biasa, matanya berwarna merah, dan hanya beradu pandang dengan ong-ko, telah mengakibatkan ong-ko buta.” “lalu apa yang terjadi, soso ? “kakek itu berada disini satu mala, dan mengobati mata ong-ko, seminggu setelah ia pergi, lun-ko datang, dan ia marah lalu pergi dan tidak pernah kembali, bahkan tiga tahun yang lalu liang-te datang untuk mengunjunginya.” “liang-ko kesini, apakah soso tahu dimana ia tinggal ?” “katanya ia tinggal di kota shinyang, tapi ia segera pergi ke chang-an dimana kakek itu tinggal.” “Di chang-an, dimana tepatnya soso ?” “di “hoa-kok” itu yang saya dengar dari pembicaraan ong-ko dengan kakek itu.”