Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Panah Kekasih - 90

$
0
0
Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf

Pendekar Bodoh - 9. Sengketa Ahli Sihir Pendekar Bodoh - 10. Raja Alam Sihir Pendekar Bodoh - 11. Rahasia Sumur Tua Pendekar Bodoh - 12. Munculnya Sang Pewaris Gento Guyon - 28. Semerah Darah

Kembali sang kakek memanggil seorang “kiak-cu” atau pemuda lainnya untuk menghantar Tian Mong-pek berdua, kembali katanya: “Kiak-cu ini mengerti bahasa Han, hanya saja kurang begitu lancar." Tampaknya kiak-cu ini punya kesan baik terhadap mereka berdua, wajahnya pun tidak cemberut seperti pemuda tadi, katanya kemudian sambil tertawa: “Silahkan kalian berdua mengikuti diriku." Selesai mengucapkan terima kasih kepada tuan rumah, Tian Mong-pek berdua pun mengikuti dibelakang pemuda itu menuju ke sebuah tenda dipaling ujung. Waktu itu semua lentera telah dipadamkan, ditengah remang remangnya cuaca, hanya suara kambing dan sapi yang bergema memecahkan keheningan malam Sewaktu mereka memasuki tenda itu, tiba tiba dari balik tenda terdengar suara jeritan kaget. Rupanya sepasang muda mudi itu sudah tertidur didalam tenda itu, ketika melihat kedatangan mereka, nona berbaju putih itu seketika melompat bangun sambil menjerit: “Mau apa kalian?" “Mau tidur." Jawab Kiak-cu itu ketus. “Cepat pergi," teriak nona berbaju putih itu dengan wajah berubah, “mana boleh kalian tidur disini?" Kiak-cu itu tertawa terkekeh. “Kalau tidak tidur disini, lantas kami harus tidur dimana? Beginilah adat kami suku Tibet, merasa keberatan pun percuma saja," “Benarkah begitu?" nona berbaju putih itu segera berpaling kearah rekannya. Pemuda berbaju putih itu manggut manggut, kepada kiak-cu itu tanyanya: “Apakah masih ada tempat tidur lain?" “Ada, ada, tenda ku masih ada tempat, jadi kalian berdua mau tidur bersamaku? Tempat itu jauh lebih ramai ketimbang tempat ini." “Kau..... kentut busukmu!" umpat nona berbaju putih itu dengan wajah berubah. Kiak-cu itu sama sekali tak ambil peduli, sambil mengerdipkan matanya kearah Tian Mong-pek, serunya seraya tertawa: “Sampai besok pagi!" Diiringi gelak tertawa, kiak-cu itupun berlalu dengan langkah lebar. “Memuakkan . . . . .. sungguh memuakkan . . . . . . .." sumpah nona berbaju putih itu. Sambil menghela napas tukas pemuda berbaju putih itu: “Beginilah adat istiadat mereka, sudahlah, toh malam akan cepat berlalu!" Diam diam Tian Mong-pek saling berpandangan sekejap dengan Yo Swan, dalam hati mereka merasa kegelian. Tidak mempedulikan lagi kedua orang itu, mereka segera merebahkan diri sambil menarik selimut. Cepat nona berbaju putih itu melompat bangun, teriaknya: “Keluar, kalian . . . . .. kalian segera enyah dari sini.” Tian Mong-pek sama sekali tak ambil peduli, sambil menggeliat katanya: “Toako, mari kita tidur, kalau masih menganggap tempat ini kurang nyaman, biarkan saja tidur bersama anak bini orang lain." Kontan saja nona berbaju putih itu meradang, dengan alis mata berkenyit, tampaknya dia ingin menendang pantat Tian Mong-pek. Tapi niatnya itu segera dicegah pemuda berbaju putih itu, bisiknya: “Kita sedang mengemban tugas penting, lebih baik berhati hati dalam setiap tindakan, buat apa mengumbar hawa amarahmu? Cepat tidur!" “Mereka berada disini, mana mungkin aku bisa tidur?" keluh nona itu sambil menghentakkan kakinya jengkel. “Kalau tak bisa tidur, duduklah bersamadi sambil mengembalikan tenaga." Mendengar pembicaraan itu, Tian Mong-pek berdua merasa makin kegelian, walaupun masing masing berlagak mendengkur, padahal semua orang tak dapat tertidur nyenyak, mereka tenggelam pada masalah masing masing. Ditengah keheningan malam, hanya terdengar suara hembusan angin diluar tenda diikuti ringkikan kuda dan dengusan kerbau. Berada dalam lingkungan yang asing dengan suasana yang aneh, mau tak mau Tian Mong-pek merasakan hatinya semakin sendu. Entah berapa lama sudah lewat, rasa mengantuk mulai menyelimuti dirinya . . . . . .. Pada saat itulah mendadak terdengar nona berbaju putih itu berbisik: “Jiko, ayah berpesan agar kau tidak meninggalkan buntalan itu dari sisi tubuhmu, apakah kau masih ingat?” “Mana mungkin aku melupakannya . . . . . . .. Il jawab sang pemuda. “Sungguh aneh, sepanjang jalan tiada pertanda atau peringatan apapun, jangan jangan . . . . .. kedua orang itu adalah . . . . . . . .." “Aah, tidak mungkin . . . . . . . . . .." Suasana kembali dicekam dalam keheningan. Diam diam Tian Mong-pek berpikir: “Rupanya dalam buntalan sepasang muda mudi ini terdapat benda mustika yang tak ternilai harganya . . . . . .." Belum habis dia berpikir . . . . . .. “Bruuk!" sebatang anak panah telah meluncur tiba dan menembusi tenda, tenaga bidikan anak panah itu sangat kuat dan membawa desingan angin tajam. Dengan perasaan terkejut pemuda berbaju putih itu melompat bangun sambil mencabut anak panah itu, selembar kain terlilit diujung anak panah, diatas kain tertera berapa huruf. “Akhirnya datang juga,” teriak nona berbaju putih itu kaget, “apa yang tertulis dalam surat itu?” Baca pemuda berbaju putih itu dengan suara lirih: “Kalau tidak segera keluar, kubakar tenda itu." Kontan saja nona berbaju putih itu tertawa dingin, serunya: “Keluar yaa keluar, memang aku bakal takut dengan kalian?" “Yang muncul tidak berniat baik, yang berniat baik tak bakal datang, kau harus berhati-hati!" pesan pemuda itu. “Aku mengerti, justru kau yang harus lebih berhati hati dengan barang yang kau gembol." Pemuda berbaju putih itu mendengus, tiba tiba katanya dengan suara berat: “Lebih baik sobat berdua tetap tidur disini, jangan mencampuri urusan orang lain, mengerti?” Sambil tertawa dingin sela nona berbaju putih itu: “Mereka berdua sudah tertidur macam babi, buat apa banyak bicara?" Diikuti hembusan angin, dua bersaudara itu sudah keluar dari balik tenda. Dengan cepat Tian Mong-pek serta Yo Swan ikut melompat bangun. Dengan suara setengah berbisik kata Yo Swan: “Kedua orang ini meski masih muda belia, tampaknya mereka menggembol benda mustika yang tak ternilai harganya, entah siapa musuh yang mereka hadapi? Lebih baik kita jangan mencampuri urusan mereka!" “Biarpun kedua orang itu agak sombong dan jumawa, mereka tidak mirip orang jahat,” kata Tian Mong-pek dengan kening berkerut, “apalagi kita pernah tidur setenda, paling tidak kita pun tak boleh berpeluk tangan saja." Berputar biji mata Yo Swan, ujarnya kemudian: “Kalau begitu kita harus keluar untuk menengok keadaan." Mereka berdua memang tidur tanpa membuka baju, karena itu dengan cepat mereka melompat keluar dari tenda, ditengah kegelapan malam, terasa hembusan angin makin membekukan badan. Kumpulan hewan terlihat berbaring belasan tombak disekeliling tenda, dalam waktu singkat muda mudi berbaju putih itu sudah berjalan keluar dari lingkaran tenda. “Hebat juga ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua orang itu." Bisik Tian Mong-pek. “Gerak gerik kita harus berhati hati, jangan sampai ketahuan mereka." Pesan Yo Swan. Sementara berbicara, kedua orang itu sudah ikut melesat keluar dari tenda. Setelah meninggalkan tenda, muda mudi berbaju putih itu langsung menuju kearah berasalnya anak panah itu, gerak gerik mereka lincah, ringan dan cepat, tak salah kalau berasal dari perguruan kenamaan. Sejauh mata memandang, hanya kerumunan kerbau dalam jumlah yang banyak, tak nampak sesosok bayangan manusia pun. Dengan suara rendah tapi berat bentak pemuda berbaju putih itu: “Sobat, setelah mengundang kehadiran kami dua bersaudara, kenapa masih bersembunyi dibalik kegelapan macam kura kura?" Hanya suara kerbau yang terdengar, tiada jawaban dari empat penjuru. Kembali nona berbaju putih itu mengumpat sambil tertawa dingin: “Dasar manusia busuk yang takut bertemu manusia, lihat saja nona mu akan menyeret kalian keluar.” Sembari berkata, dia melompat naik ke punggung kerbau dan mulai bergerak ke depan. Kawanan kerbau itu berdiri saling berhimpit hingga minim sekali tempat luang untuk bergerak, tapi kedua orang itu bergerak lewat punggung kerbau kerbau itu, saking ringannya tubuh mereka, ternyata kawanan kerbau itu sama sekali tidak merasa terusik. Diiringi suara tertawa dingin, nona berbaju putih itu bergerak cepat menggeledah seputar tempat itu. Tiba tiba terdengar suara tertawa dingin bergema dari arah belakang, tahu tahu lima sosok bayangan manusia telah muncul dari balik perut kawanan kerbau itu. Mereka mengenakan baju ringkas warna hitam dengan kain kerudung hitam, yang tampak hanya sepasang mata yang bersinar tajam. Begitu munculkan diri, kelima orang itu serentak menyebarkan diri dan mengepung sepasang muda mudi itu. Agak terkejut hardik pemuda berbaju putih itu: “Apa maksud kehadiran sobat sekalian?” Berdiri dihadapannya adalah seorang lelaki jangkung berbaju hitam, sahutnya ketus: “Kami datang untuk mencari kalian." Setelah memandang sekeliling sekejap, kembali ujar pemuda berbaju putih itu: “Kami dua bersaudara sedang melakukan perjalanan jauh, bila bersikap kurang sopan terhadap sobat sekalian, kami harap dengan memandang nama benteng keluarga Tong dari Cuan-tiong, sudilah kalian memberi muka!" Ternyata dua bersaudara ini memang berasal dari perguruan kenamaan, rupanya mereka adalah anggota benteng Tong-ke-po dari propinsi Suchuan yang tersohor karena kelihayan senjata rahasianya. Orang berbaju hitam itu tertawa dingin, dengusnya: “Hek-yan-cu, Hui-hong-hong, kalian sangka kamu tidak mengenali asal usulmu? Cepat serahkan barang dalam gembolan atau tidak kuampuni nyawa kalian." “Kami tidak membawa barang yang kau inginkan . . . . . .." tukas pemuda berbaju putih itu. “Dasar keparat," umpat seorang pemuda berbaju hitam, “buat apa berlagak pilon? Mau diserahkan tidak?" Hek-yan-cu dan Hui-hong-hong saling bertukar pandangan sekejap, bersamaan waktu mereka berdua putar setengah badan sambil melepas jubah putih berwarna putih itu. Kini, terlihatlah pakaian ringkas yang mereka kenakan. Yang lelaki memakai baju ringkas berwarna hitam sementara yang perempuan berbaju serba merah, kantung kulit macan tutul tergantung dipinggang, sementara dipunggung Hek Yan-cu si walet hitam terdapat sebuah buntalan berwarna ungu. “Menginginkan barang kami?" ejek burung Hong api sambil tertawa dingin, “tanyakan dulu kepadanya, apakah diijinkan atau tidak." Sambil berkata, tangan kanannya menepuk kantung kulit dipinggangnya sementara tangan kirinya mengenakan sebuah sarung tangan yang terbuat dari kulit macan tutul. Dengan wajah serius, burung walet hitam menambahkan: “Senjata rahasia beracun dari keluarga Tong sudah termashur dimana-mana, aku yakin kalian pasti pernah mendengarnya, aku nasehati kalian lebih baik cepatnya menyingkir dari sini!" Orang berbaju hitam itu serentak tertawa dingin, tiba tiba ke lima orang itu memutar badan sambil meloloskan senjata di tangan kanan dan sebuah tameng tebal ditangan kiri. Berubah paras muka Hek-yan-cu, teriaknya: “Ternyata kalian sudah mempersiapkan diri." Lelaki berbaju hitam yang ada dipaling depan tertawa dingin, dengan menggetarkan ujung goloknya, dia sabet pundak Hek-yan-cu, hardiknya: “Jika tidak kau serahkan benda itu, serahkan saja nyawamu!" Goloknya bergera secepat kilat, dengan satu bacokan maut dia ancam tubuh lawan. Baru saja Hek-yan-cu berkelit ke samping, sebuah tombak perak lagi lagi menyapu datang dari sisi kiri. Jurus serangan yang digunakan golok maupun tombak itu cepat, kilat dan telengas, belum lewat sepuluh gebrakan, Hek-yan-cu yang bertelanjang tangan telah dipaksa berada dibawah angin. Disisi lain, Hui-hong-hong dengan suara nyaring telah membentak: “Nonamu ingin tahu apakah tameng rongsokan milik kalian itu memang sanggup membendung kelihayan senjata rahasia dari keluarga Tong kami!" Siapa tahu, belum sempat senjata amgi disambit, dua bilah pedang telah menyambar tiba, jurus serangan yang digunakan lembek tapi bersambungan, kerja sama kedua pedang itu sungguh rapat dan luar biasa. Tergopoh-gopoh Hui Hong-hong melejit kian kemari berusaha meloloskan diri, apa mau dibilang ia justru tak sanggup melepaskan diri dari belenggu cahaya pedang lawan, apalagi merogoh senjata amginya. Berada dalam keadaan begini, terpaksa dia harus mengandalkan sepasang kepalannya untuk menghadapi kedua bilah senjata lawan. Perlu diketahui, biarpun ke lima orang manusia berbaju hitam itu sudah membuat persiapan matang, tak urung timbul juga perasaan jeri dan ngeri untuk menghadapi senjata rahasia beracun keluarga Tong. Kini, kecuali lelaki bersenjata cambuk yang masih berdiri diluar arena, ke empat orang lainnya telah memainkan senjata mereka dengan sepenuh tenaga, pada hakekatnya tidak memberi peluang bagi dua bersaudara itu untuk melepaskan senjata rahasia beracunnya. Kerja sama kedua bilah pedang itu mendatangkan daya tekanan yang amat besar, apalagi jurus serangan yang digunakan pemain tombak berantai itu aneh dan ampuh, hampir semua gerakannya berbeda dengan jurus yang biasa dijumpai dalam dunia persilatan, hal ini membuat Hek yan-cu terkejut bercampur keheranan.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>