Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Panah Kekasih - 93

$
0
0
Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf

Dewi Sri Tanjung - 10. Rahasia Ki Ageng Tunjung Biru Jaka Sembung - 11. Badai Di Laut Arafuru Pendekar Rajawali Sakti - 103. Gadis Bertudung Bambu Warisan Berdarah - Rajakelana Pendekar Hina Kelana - Jin Yong

“Ayoh jalan!" “Jalan?" Hek-yan-cu semakin keheranan, “paling tidak aku harus mencarinya dan ajak dia berbicara . . . . . .." “Apa lagi yang dibicarakan,” tukas Hui Hong-hong sambil tertawa, “kenapa tidak menunggu sampai ia datang meminang, apalagi . . . . .. malu aku kalau musti bertemu dia lagi sekarang!" “Hahaha, ternyata kaupun tahu malu, tapi bagaimana dengan kuda kita?" “Kuda? Bukankah disini ada banyak sekali kuda liar!" “Hahaha, baik, kita berbicang sambil berjalan, toh penyaruan kita sudah terbongkar, ada baiknya ganti kuda tunggangan." Begitulah, kedua orang itupun melanjutkan perjalanan sambil berbincang bincang. Oo0oo Yo Swan merasa amat gembira, kini dia tinggal mencari kesempatan untuk mengirim rumput penghancur impian ke dalam perut Tian Mong-pek. Saking riang hatinya, dia merasa gerakan tubuhnya jauh lebih enteng dan lincah daripada di hari biasa. Lima orang penggembara dengan bertelanjang dada dan mengayun cambuknya, sedang menggiring sekawanan kuda menuju ke kandang, ilmu menunggang kuda yang dimiliki ke lima orang ini sangat hebat, sudah jelas mereka adalah penggembara unggulan. Saat itulah, mendadak terlihat sesosok bayangan manusia menyusup keluar dari bawah perut kuda, terlihat cahaya perak berkilauan, orang itu tak lain adalah manusia baju hitam bersenjata tombak itu. Kontan saja kawanan penggembala itu membentak keras: “Pencuri kuda . . . . . .. pencuri kuda . . . . . . .." Keadaan manusia berbaju hitam itu amat mengenaskan, matanya yang buta berputar kian kemari. Diiringi bentakan nyaring, Yo Swan menyongsong kedatangannya, bagaikan titiran air hujan dia lepaskan pukulan berantai ke tubuh lawan. Ibarat burung yang baru kaget karena dipanah, mana berani orang berbaju hitam itu bertarung lebih lama? Baru dua gebrakan, dia sudah balik badan melarikan diri. Belum jauh dia kabur, tiba tiba seutas tali laso telah menjerat tengkuknya. Sebagaimana diketahui, para penggembala ini boleh dibilang sangat mahir bermain tali laso, walaupun orang berbaju hitam itu memiliki kungfu yang hebat, namun dalam gugup dan paniknya, tak urung ia berhasil juga dipecundangi. Begitu pengembala itu menarik tali lasonya, orang berbaju hitam itu seketika terjatuh dari kudanya, masih untung dia adalah seorang jago lihay, walau terancam jiwanya namun tidak jadi gugup, cepat dia balik tangannya, balas menangkap tali laso itu dan membetotnya kuat kuat. Dengan cepat pengembala itu lari mendekat, diiringi caci maki, dia lontarkan satu pukulan ke depan. Secepat kilat orang berbaju hitam itu menangkis datangnya ancaman, kemudian dia balas cengkeram pergelangan tangan lawan. Baru saja dia akan patahkan pergelangan tangan itu, siapa tahu sedikit tenaga pun tak sanggup dikerahkan, entah sejak kapan, tahu tahu tangan sendiri sudah dicekal orang lain, diikuti badannya terangkat ke udara dan . . . . .. Blaaam! Terbanting diatas tanah keras-keras. Ternyata ilmu bantingan yang digunakan penggembala itu adalah ilmu gulat yang paling tersohor dari wilayah perbatasan, orang ini sangat menguasahi ilmu gulat, asal tubuh lawan teraba, biar dia seorang dewa pun pasti akan terbanting jatuh. Kendatipun ilmu gulat tidak mampu menandingi kehebatan Tian-ih- cap-pwe-tiap dari Bu-tong-lay, namun kehebatannya patut diacungi jempol, khususnya bila digunakan disaat lawan tidak menduga. Biarpun ilmu silat yang dimiliki orang berbaju hitam itu jauh diatas kemampuannya, tak urung orang itu terbanting juga hingga pusing tujuh keliling, saat itulah berapa orang rekannya telah menyusul tiba, mereka segera menghimpitnya diatas tanah lalu mengikat tubuhnya kuat kuat. Seorang penggembala segera maju dan merampas tombak peraknya, lalu tanpa buang waktu langsung menusuk tubuhnya berulang kali. Sambil menusuk, umpatnya berulang kali: “Dasar pencuri kuda sialan, dasar pencuri kuda sialan . . . . . .." Perlu diketahui, para penggembala yang hidup diluar perbatasan sangat tergantung dengan kehadiran kuda, mereka paling benci terhadap para pencuri kuda, menurut tradisi dan kebiasaan, asal ada pencuri kuda yang tertangkap maka kalau bukan dikirim ke pengadilan, pastilah mereka jatuhi hukuman mati. Termakan berapa puluh tusukan tombak, sekujur tubuh orang berbaju merah itu penuh luka merekah, darah dan hancuran daging berceceran dimana mana, tombak perak itupun nyaris berubah warna jadi merah darah. Selama ini Yo Swan hanya berpangku tangan, sama sekali tak berusaha untuk menghalangi. Orang berbaju hitam itu sudah terhajar hingga sekujur tubuhnya bermandikan darah, namun ia sama sekali tak mengeluh atau menjerit kesakitan, Tian Mong-pek yang kebetulan lewat jadi tak tega setelah menyaksikan kejadian ini. Tiba tiba muncul seorang penggembala yang melontarkan satu tendangan, membuat manusia berbaju hitam itu terguling ke samping. Akibatnya kain kerudung hitam yang dikenakan terlepas dari wajahnya, apalagi dia roboh terlentang, begitu Tian Mong-pek melihat wajah orang itu, kontan saja ia menjerit kaget. Ternyata manusia berbaju hitam yang dihajar sampai setengah mati itu tak lain adalah jago kenamaan dari kota Hangciu, Kiu-lian-huan (sembilan berantai) Lim Luan-hong. Saking kagetnya, tanpa sadar Tian Mong-pek membentak nyaring: Il “Lepaskan dia . . . . . . . .. Banyak diantara penggembala yang mengerti bahasa Han, lagipula merekapun tahu kalau dia adalah tamu majikannya, begitu mendengar suara bentakan, serentak mereka menghentikan pukulan dengan hati tercengang. Tian Mong-pek segera memburu ke depan, membopong bahu Lim Luan-hong lalu bisiknya lirih: “Saudara Lim, saudara Lim, mengapa kau datang kemari? Mengapa kau sampai seperti ini?" Lim Luan-hong membuka m atanya, memandang pemuda itu dengan tatapan kosong, kemudian matanya terpejam dan tidak bicara lagi. Sesudah menghela napas, kembali ujar Tian Mong-pek: “Setelah menyaksikan jurus serangan yang digunakan saudara Lim, seharusnya aku bisa menduga siapakah dirimu . . . . .. aai, alangkah baiknya bila aku dapat mengenalimu sejak tadi." Lim Luan-hong tetap tidak ambil peduli. Rupanya Lim Luan-hong sadar kalau senjata Kiu-lian-huan miliknya kelewat mencolok mata, karena itu dia menukar senjatanya dengan sebuah tombak perak. Dia telah melebur semua jurus serangan Kiu-lian-huan miliknya ke dalam tombak perak itu, tak heran bila Tian Mong-pek dan Hek-yan-cu sekalian tak dapat menebak asal usulnya. Sementara itu si kakek dan pemuda kekar itu sudah muncul dari kejauhan, para penggembala pun maju merubung dan menceritakan kejadian dengan bahasa Tibet. Setelah manggut-manggut, orang tua itu menghampiri Tian Mong-pek dan bertanya: “Apakah pencuri kuda ini sahabat kalian?" Dari nada pertanyaannya, sudah jelas ia merasa tak puas. Tian Mong-pek menghela napas panjang, sahutnya: “Sebetulnya saudara Lim mempunyai sedikit dendam pribadi dengan sepasang muda mudi itu, karenanya ia datang menyatroninya." “Jadi mereka bukan datang untuk mencuri kuda?” kembali kakek itu bertanya. “Dia bukan pencuri kuda, cayhe berani menjamin dengan nyawaku.” “Baiklah," ujar kakek itu kemudian sambil tertawa, “aku mempercayaimu, sungguh beruntung nasib orang ini karena ia dapat memiliki seorang sahabat seperti kau." Dalam pada itu, kawanan kuda yang kalut telah berhasil ditenangkan kawanan penggembala itu, semua hewan sudah kembali ke kandang, suasana di padang rumput pun telah pulih dalam ketenangan. Langit pun lambat laun jadi terang kembali. Balik ke dalam tenda, kakek itu segera perintahkan untuk menggotong Lim Luan-hong dan dirawat lukanya, berada dalam keadaan seperti ini, walaupun ada banyak masalah yang ingin ditanyakan Tian Mong-pek, mau tak mau terpaksa dia harus urungkan dulu niatnya. Terdengar kakek itu berkata: “Keponakanku telah melukai sahabatmu, kau tidak marah bukan?" “Aah, kejadian timbul karena salah paham, jadi bisa dimaklumi," jawab Tian Mong-pek sambil tertawa, “seandainya aku berganti kalian, mungkin saja akan kulecuti dia dengan cambuk berduri." “Hahaha, bagus, sungguh beruntung aku bisa berkenalan dengan pemuda macam II kau, seru kakek itu sambil tertawa tergelak, “Kakcu, perintahkan anak-anak untuk menyiapkan hidangan." Selama ini Yo Swan hanya membungkam tanpa menjawab, saat itulah terlihat dua orang penggembala menggotong Lim Loan-hong menuju ke tenda lain. Ia termenung berapa saat kemudian melengos kearah lain, pura pura tidak melihat. Begitu menyaksikan kedua orang gembala itu sudah meninggalkan tenda, tanpa membuang waktu lagi, Yo Swan segera menyelinap masuk ke dalam tenda. Waktu itu Lim Luan-hong sedang berusaha untuk bangun, agak kaget ketika secara tiba tiba melihat seseorang masuk ke dalam tenda. Dengan wajah berubah, tegurnya: “Siapa kau?” Yo Swan tidak menjawab, dia mendekat sambil membebaskan ikatan tali ditubuh orang itu, kemudian katanya dingin: “Luka yang kau derita hanya luka lecet, tidak masalah, sekarang cepat pergi dari sini!" “Sii.....siapa kau?" tanya Lim Luan-hong tercengang. “Mungkin kau tidak mengenaliku, tapi aku kenal kau.” II “Jadi kaupun . . . . . . . .. seru Lim Luan-hong semakin kaget. “Betul sekali," Yo Swan manggut-manggut, “akupun sama seperti dirimu, hanya sayang kau tidak mengontakku sejak awal hingga urusan jadi berantakan. Sekarang, terpaksa aku harus selamatkan proyek ini dengan cara lain." “Aah, jadi kau Yo Swan?" berkilat sorot mata Lim Luan-hong. “Baguslah bila kau sudah tahu.” Terkejut bercampur girang, bisik Lim Luan-hong lagi: “Majikan sangat minat dengan rumput penghancur impian, kali ini . . . . . . . .." Mendadak terdengar suara langkah manusia berkumandang dari luar tenda. “Jangan banyak bicara!” bentak Yo Swan. Sambil membopong Lim Luan-hong, dia cabut pisau belati, merobek tenda bagian belakang kemudian menyelinap keluar dengan kecepatan tinggi. Kebetulan kedua ekor kuda putih tunggangan dua bersaudara Tong tertambat dibelakang tenda, cepat Yo Swan memutus tali les kuda kemudian sambil mendorong Lim Luan-hong naik ke punggung kuda, serunya: “Cepat pergi." “Bagaimana dengan Yo-heng . . . . . . .." Yo Swan tidak menjawab, dia ayun tangannya menabok pantat kuda, diiringi ringkikan, kuda putih itu segera berlarian menembus padang rumput yang luas. Waktu itu kekacauan baru saja mereda, semua orang sudah balik ke tenda untuk beristirahat, karenanya tak seorangpun yang me naruh perhatian akan kejadian tersebut. Setelah sembunyikan pisau belatinya, sambil bergendong tangan, seakan akan tak pernah terjadi sesuatu, Yo Swan berjalan balik ke tenda nya. Semua tingkah lakunya, baik sewaktu masuk maupun sewaktu keluar, dilakukan begitu santai, tak heran kalau tak ada orang yang perhatikan perbuatan busuknya itu. Dalam pada itu Tian Mong-pek sedang mengawasi tombak perak yang digenggam dalam tangannya, warna tombak sudah dinodai darah kering, bekas noda yang membeku disana sini, tak ubahnya seperti karat pada batang besi. Sampai lama sekali dia awasi senjata itu, kemudian setelah menghela napas panjang gumamnya: “Padahal selama ini sepak terjang Lim Luan-hong selalu jujur, terbuka dan lurus, kenapa sekarang berubah jadi begitu aneh dan mencurigakan?" “Tiada urusan yang tak bakal berubah di dunia ini,” sahut orang tua itu menghela napas, “manusia pun dapat berubah, orang yang dulunya jahat sekali bisa berubah jadi baik, ada yang dulunya sangat baik berubah jadi jahat." “Aaai, kelihatannya dia memang agak berubah, kalau tidak, mustahil dia bakal kasak kusuk sampai memperlihatkan wajah asli pun tak berani, II namun . . . . . . . . . Sesudah berkerut kening dan menghela napas, lanjutnya: “Kenapa dia harus menempuh perjalanan jauh datang kemari? Apa pula barang yang dia harapkan?" “Bila sahabatmu telah berubah, tak mungkin kau bisa menebak apa yang hendak mereka lakukan,” kakek itu menerangkan, “bila kau sudah seusiaku nanti, teori ini pasti akan kau pahami.” Dengan tatapan kosong Tian Mong-pek memandang kejauhan, kembali gumamnya: “Berubah, dia benar-benar telah berubah, tapi . . . . . .. karena alasan apa dia harus berubah?" Tiba-tiba terlihat seorang penggembala berlarian masuk dengan panik, berbicara dengan gugup. “Apa yang dia katakan?" tanya Tian Mong-pek terperanjat. “Dia bilang, sahabatmu telah merobek kain tenda dan melarikan diri.” Jawaban kakek itu sangat tawar. Saking terperanjatnya, mendadak Tian Mong-pek melompat bangun, tapi..... lagi lagi ia terduduk, bisiknya bimbang: “Dia kabur? Mengapa dia harus kabur?" “Mungkin dia malu bertemu kau, maka terpaksa angkat kaki dari sini." Sahut Yo Swan. Perlahan Tian Mong-pek mengangguk, untuk berapa saat dia tak sanggup berbicara. II “Sudahlah, tak perlu dicemaskan, ucap si kakek pula sambil tertawa,

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>