Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Panah Kekasih - 134

$
0
0
Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf

Dewi Sri Tanjung - 10. Rahasia Ki Ageng Tunjung Biru Jaka Sembung - 11. Badai Di Laut Arafuru Pendekar Rajawali Sakti - 103. Gadis Bertudung Bambu Warisan Berdarah - Rajakelana Pendekar Hina Kelana - Jin Yong

Waktu itu pandangan mata Tong Lojin sudah terpecah oleh penampilan Tian Mong-pek, sedikit saja lengah, sebuah telapak tangan yang putih mulus telah muncul dihadapannya, sekalipun tenaga pukulannya tidak berat, namun dengan status dan posisinya sekarang, mana boleh ia biarkan serangan itu mengenai sasaran? Diiringi bentakan keras, pergelangan tangannya digetarkan, tubuh Siau Hui-uh seketika dilemparnya ke depan, melewati batok kepala para jago dan meluncur ke depan. Sungguh hebat tenaga lemparan orang tua itu, kuatir kejatuhan tubuh Siau Hui-uh, tergopoh gopoh para jago menyingkir ke samping. Siapa tahu . . . . . .. “Wesss!” orang merasa pandangannya silau, tahu tahu Siau Hui-uh sudah terbang balik kehadapan orang tua itu, ujarnya sambil tertawa: “Kalau kau mampu menangkapku lagi, anggap saja kau memang hebat." Padahal tenaga bantingan itu sangat dahsyat, dalam kenyataan, si nona bukan saja tak terbanting, tubuhnya malahan meluncur balik ke posisi semula. Sambil tertawa dingin seru Tong Ti: “Ilmu ginkang yang hebat, biar aku orang she-Tong menjajal kemampuanmu.” Siapa sangka belum sempat dia melangkah, Tong Bu-im kembali sudah tertawa keras, serunya: “Bagus, bagus, ternyata putri dari lembah kaisar, nyaris lohu salah lihat." Rupanya ilmu meringankan tubuh Ing-hong-hui-liu (menyongsong angin membalik pohon liu) yang baru saja digunakan Siau Hui-uh tak lain adalah ilmu simpanan lembah kaisar, di kolong langit dewasa ini, tiada perguruan lain yang sanggup menggunakannya. Terperanjat juga Siau Hui-uh begitu tahu orang tua itu berhasil menebak asal usulnya hanya dalam sekali pandangan, teriaknya: “Betul, tapi kedatanganku kali ini adalah atas inisiatip aku sendiri, sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan ayahku." Setelah mendengar “lembah kaisar" disinggung, para jago semakin tak berani bersuara. Kembali orang tua itu tertawa dingin, katanya: “Siau Ong-sun wahai Siau Ong-sun, kau telah merebut kekasih hati lohu dimasa lalu, apakah hari ini kau masih ingin merampas cucu menantuku?" Tiba tiba dengan suara lantang dia berseru: “Tian Mong-pek, kau segera melakukan akad nikah dengan anak Hong, barang siapa berani mengacau, hadiahkan senjata rahasia perguruan kita kepadanya, anak Ti, siap." “Siapkan senjata rahasia!” bentak Si Tangan pencabut nyawa Tong Ti, tubuhnya mundur selangkah, tangannya menyingkap jubah panjang, ternyata dibaliknya merupakan pakaian ringkas, lima buah kantung kulit macan tergantung dipinggangnya. Ditengah bentakan tadi, dari empat penjuru segera bermunculan delapan belas orang lelaki kekar, mereka semua mengenakan pakaian ringkas warna hitam, dipinggang masing masing pun tergantung empat-lima buah kantung kulit. Begitu melihat kesiagaan keluarga Tong meski dalam pesta perkawinan, bahkan menunjukkan reaksi yang begitu cepat, para jago baru sadar bahwa nama besar keluarga Tong yang bisa bertahan selama banyak tahun, ternyata memang bukan nama kosong. Ke delapan belas orang lelaki kekar itu tak lain adalah Tong-bun- cap-pwe-hong (delapan belas tawon dari keluarga Tong), kini mereka bersiaga di empat penjuru gedung, biarpun belum melakukan suatu tindakan, namun tak seorangpun dari para jago yang berani bertindak sembarangan. Siau Hui-uh sendiripun tidak menyangka urusan bakal berubah sedrastis itu, diapun tak mengira kalau antara orang tua ini masih terikat dendam lama dengan ayahnya. “Waah.... dengan perbuatanku hari ini, bukankah sama halnya menambah kesulitan bagi ayah?" demikian dia berpikir, untuk sesaat diapun ikut berdiri mematung. Sejak Tong Ti mempersiapkan serangan hingga kini, semua berlangsung hanya dalam waktu singkat. “Tian Mong-pek," bentak Kim Hui, “cepat jawab, kau ingin menjadi menantunya keluarga Siau atau menantunya keluarga Tong? Katakan saja, tak usah takut." Belum sempat Tian Mong-pek menjawab, sambil tertawa dingin Tong Lojin telah berkata: “Tian Mong-pek sudah pasti akan jadi menantu keluarga Tong kami, budak Hong, ayoh keluar, siap siap upacara pernikahan." Dengan kepala tertunduk Hui-hong-hong berjalan keluar, tiba tiba ujarnya sambil angkat kepala: “Aku tak akan menikah dengan dia." “Kau..... kau sudah gila?" hardik Tong Bu-im gusar. “Aku tak akan menikah dengan dia." Kembali Hui-hong-hong mengulang, tatapan matanya lurus, mimik mukanya kaku tanpa ekspresi, tapi hampir setiap orang yang hadir seolah tidak menyangka kalau dia bakal berkata begitu. “Kenapa . . . . .. kenapa . . . . . .." tanya Tong Bu-im. Dari balik kerumunan orang banyak terdengar seseorang menyahut sambil tertawa ringan: “Mungkin dalam hal ini hanya cayhe yang bisa jelaskan.” Hong Sin sambil menggandeng tangan Hong It berjalan keluar dari balik kerumunan tamu. Begitu melihat siapa yang tampil, baik Lam-yan maupun Siau Hui-uh sama sama berseru kaget: “Hah, kalian berdua pun berada disini?" Hong Sin segera memberi hormat kepada mereka berdua dan ujarnya seraya tertawa: “Selamat bertemu hujin, selamat berjumpa nona." Dia tarik tangan Hong It menuju ke hadapan Tong Bu-im, lalu katanya: “Anak It, cepat bersujud dihadapan Lo-cou-cong." “Manusia macam apa kau?" bentak Tong Bu-im gusar, “siapa yang menjadi Lo-cou-cong mu?” Hong Sin tertawa, katanya: “Putraku Hong It lah yang sesungguhnya menjadi cucu menantu cianpwee, mereka berduapun sudah mengikat janji untuk hidup bersama, karena itu pula nona Hong tak bakal mau menikah dengan orang lain, bukan begitu nona Hong?" “Kentut . . . . .. kentut..... budak Hong, kau . . . . . .." Tapi begitu melihat Tong Hong hanya berdiri tertunduk dengan air mata berlinang, bergetar perasaan hatinya, dia tahu dibalik kejadian ini pasti sudah terjadi sesuatu, rasa kaget, mendongkol, cemas, gusar membuat telapak tangannya tertahan di udara. Begitu pula dengan si Tangan pencabut nyawa, paras mukanya pucat pasi bagai mayat. Kawanan jago yang hadir dalam ruangan pun terperangah, melongo, tercengang, suasana jadi hening, sepi sekali. Akhirnya Tong Bu-im menghela napas panjang, ujarnya perlahan: “Baik, baiklah . . . . .. pasangan yang kalut, pasangan yang kacau..." “Ayah, ini . . . . . . . .." paras muka Tong Ti berubah. Tong Bu-im mengulapkan tangannya. “Kau sangka aku tidak kenal dengan ayah beranak dua orang ini?” tanyanya ketus. Tong Ti tak berani menyahut, tapi paras mukanya yang pucat kini telah menghijau, jelas amarahnya sudah memuncak. II “Budak Hong, kemari kau. Panggil Tong Bu-im. Burung Hong api Tong Hong berjalan mendekat dengan tubuh kaku. “Kau pun kemari." Undang kakek itu lagi. Hong Sin segera mendorong tubuh Hong It sambil bisiknya: “Lo-cou-cong memanggilmu, cepat kesana." Rasa girang sudah menghiasi raut mukanya, dalam sa ngkaan dia, kali ini dia berhasil menggaet burung hong untuk putranya. “Budak Hong,” kembali Tong Bu-im berkata, “apakah kau bersedia kawin dengan dia?” Air mata bercucuran membasahi wajah Tong Hong, tapi akhirnya dia mengangguk. “Bagus," ucap Tong Bu-im, “Hong It, kemari kau..... coba lebih dekat lagi . . . . . .." Tiba tiba tangannya menyambar ke depan, bayangkan saja, sambaran yang sedemikian cepatnya sampai Siau Hui-uh pun tak sanggup berkelit, bagaimana mungkin Hong It dapat menghindar? Baru saja hatinya bergidik, sepasang tangannya sudah jatuh dalam cengkeraman orang tua itu. Kembali Buddha berlengan emas mengebaskan tangannya, tubuh Hong It seketika mencelat ke tengah udara. Tapi sebelum tubuhnya melambung, sepasang kakinya kembali sudah terjatuh ke dalam cengkeraman Tong Bu-im, lalu . . . . .. “Kraaak! Kraaak!" Hong It menjerit kesakitan, tahu tahu sepasang kakinya sudah dipatahkan orang tua itu. “Kau..... Kau . . . . . .." jerit Hong Sin kaget. Tong Hong ikut menjerit, tubuhnya langsung roboh terkulai ke tanah, tak sadarkan diri. Dengan wajah kaku tanpa ekspresi, ujar orang tua itu ketus: “Wajah putramu penuh kelicikan dan buas, dikemudian hari bisa mati dibantai orang, sekarang aku sengaja menghancurkan sepasang kakinya, asal dikemudian hari bisa jaga kelakukan dan tidak lagi berbuat jahat, meski cucu perempuanku kawin dengan orang cacat, rasanya jauh lebih baik daripada masih muda sudah menjanda." Biarpun nada suaranya dingin kaku, namun kedengaran agak gemetar. Saat itu para jago sudah dibuat tertegun atas kekejian orang tua ini, tak seorangpun yang bisa menangkap niat baik dibalik tindakan tegasnya itu. Hanya Tian Mong-pek dan Tu Hun-thian sekalian yang diam diam kagum, biarpun mereka berdua amat membenci kebusukan hati ayah beranak itu, tapi kini hanya bisa berpikir sambil menghela napas: “Asalkan dikemudian hari mau bertobat, yaa sudahlah.” Tiba tiba mereka teringat kalau apa yang dilakukan orang tua itu, bukankah bermaksud agar para musuhnya bersedia mengampuni kesalahannya dan tidak mencari balas? Teringat hal ini, mereka merasa makin kagu, dia tahu inilah tindakan yang dilakukan orang tua itu untuk melindungi cucu perempuannya. Perlu diketahui, dalam situasi dan keadaan seperti ini, sudah tak mungkin bagi Tong Hong untuk kawin dengan orang lain, karenanya selain berbuat begitu, memang sudah tak ada cara lain lagi. Hong Sin berdiri mematung, air mata berlinang membasahi pipinya yang mulai berkeriput, katanya: “Lo-cou-cong, sekalipun kau berharap ia bertobat, kenapa . . . . . .." Sambil membopong tubuh Hong It, air matanya bercucuran makin deras. “Apa yang kulakukan kali ini bukan saja telah selamatkan dia, juga selamatkan dirimu," kata Tong Bu-im, “kalau tidak, cepat atau lambat suatu hari nanti, nyawamu bakal hilang ditangan putramu ini." Mengawasi putranya yang tak sadarkan diri, Hong Sin sudah tak mampu berbicara lagi. “Pa-ji, kemari," teriak Tong Bu-im, “bangunkan adikmu." Tong Pa menurut dan membangunkan Tong Hong. Kembali perintah Tong Bu-im: “Geledah semua senjata rahasia yang ada ditubuhnya." Tong Pa tertegun, tapi dengan cepat dia lepas kantung kulit yang tergembol dipinggang Tong Hong, meski dengan tangan gemetar. Tong Ti segera melompat ke depan, serunya dengan wajah berubah: “Ayah!" Tong Bu-im sama sekali tidak menengok kearah mereka berdua, ujarnya dengan suara keras: “Semua sahabat dikolong langit, dengarkan baik baik, mulai detik ini Tong Hong adalah anggota keluarga Hong, dengan keluarga Tong kami sudah sama sekali tak ada sangkut paut lagi, selanjutnya bila mereka suami istri melakukan perbuatan jahat atau kesalahan, silahkan teman teman turun tangan untuk membasminya, aku Tong Bu-im tak akan campur tangan." “Kau . . . . .." jerit Hong Sin dengan wajah berubah, “kau mengusir II dia . . . . . .. Tong Bu-im tertawa dingin, katanya: “Bukankah yang diinginkan putramu adalah orangnya? Kini lohu sudah serahkan orangnya kepadamu, apa lagi yang kau kehendaki? Cepat bawa mereka pergi dari sini!" Bagaikan diguyur dengan satu tong air dingin, Hong Sin berdiri tertegun, berulang kali dia atur rencana dan siasat busuk, tujuannya agar putra sendiri bisa masuk ke kalangan yang terhormat, bisa menonjolkan diri. Siapa sangka semua rencana busuknya berhasil dibongkar orang tua yang cerdas, bahkan bukan saja rencananya gagal total, putranya malah jadi orang cacat. Untuk sesaat Hong Sin merasa ujung kepala hingga ujung kakinya dingin bagaikan es, dia mencoba berpaling kearah Tong Ti, berharap orang tua itu mau mintakan ampun bagi putrinya. Siapa tahu si Tangan pencabut nyawa hanya membungkam dengan wajah hijau membesi, apalagi Tong Pa, dia sama sekali tak berani bersuara. Tampak Tong Bu-im pejamkan matanya dan berkata lagi: “Sampai lohu membuka mata kembali, bila melihat kalian bertiga masih berada disini, jangan harap kalian bertiga bisa pergi lagi.” Biarpun perkataan itu disampaikan secara datar dan tenang, namun terselip hawa dingin yang sukar dilukiskan dengan kata. Hong Sin termangu berapa saat, akhirnya sambil menggigit bibir dia bopong Hong It lalu menengok Tong Hong. Waktu itu Tong Hong sudah mendusin, ia pun berlutut memberi hormat kepada Tong Bu-im serta Tong Ti, setelah itu diiringi isak tangis yang amat sedih berlari keluar dari ruangan. Hong Sin mengintil dari belakang, wajahnya diliputi perasaan benci dan dendam yang luar biasa. Para jago pun segera membuka sebuah jalan bagi mereka, dalam waktu singkat ke tiga orang itu sudah keluar dari gedung, isak tangis Tong Hong pun lambat laun makin menjauh sebelum akhirnya hilang dari pendengaran. Pada saat inilah air mata terlihat mengembang dalam kelopak mata orang tua itu, sedang si Tangan pencabut nyawa berpaling ke arah lain, mengawasi sepasang lilin diatas altar dan sampai lama sekali tidak berpaling. Suasana dalam ruang gedung hening sepi tak kedengaran sedikit suara pun, Tong Pa sambil memegang kantung amgi milik adiknya menatap kosong ke tempat kejauhan, air mata tampak meleleh membasahi pipinya. Sekonyong-konyong terdengar Tong Lojin tertawa terbahak-bahak, lalu katanya: “Sepasang pengantin baru sudah pergi, masih ada pasangan pengantin batu disini, aah, cepat hidangkan arak dan sayur, biar aku menyulang teman teman dengan arak kegirangan.” Para tamu kembali duduk ke tempat masing masing dan arakpun segera diedarkan, namun sesudah menyaksikan peristiwa yang sama sekali diluar dugaan tadi, siapa yang benar benar masih bisa gembira? Dengan langkah lebar Siau Hui-uh berjalan menuju ke depan orang tua itu, katanya: “Kau orang tua perlu tahu, kedatanganku hari ini betul betul karena keinginanku sendiri, ayah sama sekali tak tahu. Dengan tatapan termangu Tong Bu-im mengawasi gadis itu sekejap lalu mengawasi pula Tian Mong-pek, setelah tertawa getir katanya: “Perduli barang bagus seperti apa pun, aku selalu gagal merebutnya dari Siau Ong-sun." Disisi lain, Tu Hun-thian telah menghampiri pula Siau Hui-uh dan berkata: “Terima kasih banyak nona karena kau telah membantu menemukan II putriku . . . . .. Sambil tertawa dingin tukas Kim Hui: “Bukan hanya menemukan kembali, kalau bukan lohu turun tangan menolong, putrimu sudah dibuang orang ke dalam sungai untuk umpan ikan." Berubah paras muka Tu Hun-thian, teriaknya: “Kenapa caramu berbicara begitu tak tahu sopan?” “Hahaha. Tu Hun-thian, masa kau sudah tak kenal lohu?” kata Kim Hui sambil tertawa keras. Tu Hun-thian tertegun, dia mencoba mengamati dengan seksama, terasa mimik muka orang ini mirip sekali dengan binatang buas, selama hidup belum pernah ia jumpai tokoh silat semacam ini. Perlu diketahui, paras muka asli Kim Hui seperti puluhan tahun berselang telah hilang lenyap, bukan saja telah terjadi perubahan drastis, bahkan istri sendiripun tak dapat mengenalnya, apa lagi Tu Hun-thian? Suara tertawa Kim Hui semakin keras, katanya: “Tua bangka yang tak sanggup menjaga putri sendiri, tua bangka tak kenal mampus, bangsat tua, makhluk tua . . . . . . . . .." Semua rasa benci dan dendamnya yang tertimbun hampir dua puluh tahun seketika dilontarkan semua lewat umpatan itu, kemudian caci maki pun makin menghebat. Tu Hun-thian yang dimaki orang jadi tertegun, biarpun hatinya gusar tapi dia jadi gelagapan sendiri hingga tak mampu bersuara. Perlu diketahui, sepanjang hidup dia adalah orang kenamaan, sejak kapan dia pernah diumpat orang semacam ini? Tong Bu-im tak kuat menahan gusarnya, dia ikut berteriak: “Hei monyet tua, tahukah kau siapa yang sedang kau maki?"

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>