Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Panah Kekasih - 135

$
0
0
Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf

Pendekar Naga Putih - 80. Iblis Angkara Murka Panah Kekasih II - Gu Long Tom Swift - Misi Penolong Pendekar Pedang Siluman Darah - 27. Takanata Iblis Nippon Siluman Ular Putih - 25. Rahasia Kalung Permata Hijau

Bab 41. Bunga terbang memenuhi ruangan. II “Yang kumaki adalah besan putrimu, seru Kim Hui, “hei makhluk tua, kalau merasa tidak puas, kenapa tidak sekalian maju?” Terjadi kegemparan diantara para jago, semua orang menganggap orang ini pasti sudah sinting, berada dalam ruang pertemuan keluarga Tong, ternyata berani bersikap kurang ajar terhadap Tong Bu-im, bukankah sama artinya sedang mencari kematian? Tiba tiba Si tangan pencabut nyawa Tong Ti membalikkan badan, wajahnya dingin menyeramkan, telapak tangan Tong-bun-cap-pwee-hong (delapan belas lebah dari perguruan Tong) serentak merogoh ke dalam kantong senjata rahasia, siap melancarkan serangan mematikan. Siapa tahu kembali Tong Bu-im tertawa terbahak bahak, katanya: “Aku si orang tua sudah hidup sampai kini, boleh dikata setiap tahun bertemu kejadian aneh, tapi belum sebanyak hari ini.” Sambil menuding Siau Hui-uh, lanjutnya sambil tertawa: “Seorang gadis perawan dari keluarga baik baik, datang kerumah orang untuk merebut menantu, kejadian ini sudah aneh, ternyata masih ada orang dirumah keluarga Tong di Suchuan, memaki aku si orang tua dan Tu Hun-thian, hahaha.... kalau kejadian ini diceritakan keluar, mungkin tiada orang yang mau percaya." “Kenapa tak ada orang yang percaya? Tu Hun-thian itu manusia macam apa? Kenapa pula kalau maki dia? Tua bangka tak tahu mampus, makhluk aneh . . . . .." Tiba tiba pandangan mata terasa kabur, Tu Hun-thian dengan tubuh yang kurus sudah melompat kehadapannya, paras yang semula pucat, kini muncul cahaya kemerahan. Deretan tamu yang berdiri dipaling depan jadi tegang, ramai ramai mereka mundur ke samping. Menyaksikan musuh yang selama dua puluhan tahun selalu terbayang, selalu terkenang dan tak pernah dilupakan itu kini berdiri dihadapannya, Kim Hui menggertak gigi makin kencang, dalam keadaan begini dia malah tak sanggup berbicara. Tian Mong-pek sendiri meski tak ingin kedua orang ini bertarung, namun diapun sadar bahwa rasa benci dan dendam ini sulit diurai, merasa cemas pun tak ada gunanya, maka diapun ikut berdiam diri. Dalam keheningan, yang terdengar hanya suara gigi Kim Hui yang gemerutukan, sama sekali tak terdengar suara lain. Lam-yan merasa kasihan dan sedih ketika menyaksikan sikap suaminya, kepada Tu Hun-thian ujarnya: “Kau jangan salahkan dia bila memakimu, membencimu, karena kau telah mencelakainya hingga hidup dia kelewat menderita." Bagaimanapun cinta kasih suami istri memang amat dalam, dia bukannya menyalahkan Kim Hui yang dimasa lalu banyak melakukan kejahatan, sebaliknya malah menyalahkan orang lain. Tu Hun-thian tertegun ketika mendengar teguran itu, tanyanya keheranan: “Kapan aku pernah celakai dirimu?" “Kau.... kau tidak.... tidak kenali aku lagi.....? bagus!” teriak Kim Hui. Tiba tiba sepasang tinjunya disodok ke depan, setelah membuat gerak setengah lingkaran busur, secara terpisah menohok jalan darah tay-yang-hiat dikening lawan. Jurus ini mirip sekali dengan ilmu Siang-dong-jiu dari partai utara, tapi kedahsyatan dan keampuhannya justru merupakan salah satu jurus dari ilmu Bu-ciong-cap-jit-si (tujuh belas gerakan tak berusus) yang diandalkan Kim Hui dimasa lalu, japitan sepasang kepalangnya persis seperti japitan dari kepiting. Tu Hun-thian segera bersalto diudara menghindari ancaman tersebut, dengan wajah berubah, jeritnya kaget: “Kau adalah malaikat tak berusus Kim Hui?" Biarpun sudah tak mengenal wajah Kim Hui, namun keanehan jurus serangannya, sampai mati pun tak bakal dia lupakan. “Hahaha, betul, apa yang kau katakan betul sekali,” sahut Kim Hui sambil tertawa seram, “kau pasti tak mengira bukan kalau aku Kim Hui ternyata belum mati ditanganmu?” Tiong-tiau-jit-ok (tujuh orang jahat dari Tiong-tiau) sudah mati banyak tahun, kalangan muda dunia persilatan sudah tidak banyak yang mengenali nama malaikat tak berusus, tapi bagi angkatan tua, nama tersebut seketika membuat tangan dan kaki mereka berubah jadi dingin kaku. Tong Bu-im ayah beranak pun segera tunjukkan wajah tercengang, sebaliknya Tong Pa yang tidak kenal asal usul Kim Hui, dia hanya tahu penghinaan yang diperolehnya tadi, kontan teriaknya: “Peduli siapapun dirimu, jangan coba coba bikin onar dalam perguruan keluarga Tong." Cambuk lemasnya digetar, dengan jurus Kuan-jit-tiang-hong (bianglala menembus sang surya), ujung cambuk yang tegang lurus langsung menyodok jalan darah Hian-ki-hiat didada Kim Hui. Sudah hampir dua puluh tahun dia tekuni ilmu Leng-coa-san-pian (cambuk ular lincah) ini, dalam harapannya, kepandaian itu bisa merebut kembali kehilangan wajahnya tadi. Tangan pencabut nyawa Tong Ti cukup tahu akan kekejian Kim Hui, dalam kagetnya dia menjerit: “Pa-ji, tidak boleh.” Ketika menyusul ke muka, keadaan sudah terlambat. Terdengar Kim Hui tertawa latah, tubuhnya berputar, dia balik cengkeram ujung cambuk pemuda itu. Kuatir dengan keselamatan jiwa putranya, Tong Ti segera menjerit keras: “Saudara Kim, ampuni jiwanya." “Hahaha," Kim Hui tertawa keras, “jangan kuatir manusia she-Tong, aku tak bakal mencabut nyawa angkatan muda." Tidak jelas jurus serangan apa yang digunakan, tahu tahu Tong Pa sudah terlempar jauh dan terjungkal ke tanah. Sekarang para hadirin baru tahu kalau kehebatan silat manusia aneh ini tak terlukiskan dengan perkataan. Tiba tiba Tu Hun-thian melepas jubah panjangnya, lalu dengan suara dalam berkata: “Orang she-Kim, kalau memang dirimu, kita pun tak perlu banyak bicara, toh pertarungan mati hidup tak mungkin bisa terhindarkan.” “Tepat sekali, terhitung kau si setan tua belum pikun.” “Tapi hari ini merupakan pertarungan antara kau dan aku, terlepas siapa menang siapa kalah, kau tak boleh sembarangan turun tangan melukai orang lain.” “Hahaha, bagus, kita tetapkan begitu." Kata Kim Hui sambil tertawa makin keras. Selama ini Tu Kuan hanya mengawasi ayahnya dengan mata terbelalak lebar, tiba tiba ia tertawa bodoh sambil berkata: “Bagus..... hore bagus sekali, ayah lagi lagi mau menghajar orang, kali ini jangan salah pukul lagi!" Biarpun otaknya kurang waras, namun dihati kecilnya selalu teringat akan peristiwa Tu Hun-thian yang salah melukai Tian Mong-pek tempo hari, tak heran semua orang jago melongo ketika secara tiba tiba dia mengucapkan perkataan itu. Hanya Tu Hun-thian dan Tian Mong-pek yang merasa sedih sekali, perlahan Tu Hun-thian membalikkan tubuh dan menengok kearah putrinya. Ia sadar, pertarungannya hari ini merupakan pertempuan untuk menentukan mati hidup, sepanjang hidup ia sudah malang melintang dalam dunia persilatan, sekalipun harus mati hari ini, tak ada yang perlu disesalkan. Tapi sayang putrinya masih muda, sekarang pun linglung tak sadar, tidak jelas bagaimana masa depannya nanti, kalau dipikir kembali, memang dialah penyebab putrinya jadi begini. Berpikir demikian, diapun menghela napas panjang, kepada Tong Bu-im dia memberi hormat, lalu katanya: “Kehidupan putriku . . . . . .. selanjutnya kuserahkan kepada cianpwe." Oleh karena putrinya dipersunting cucu Tong Bu-im, otomatis dia harus menyebut orang tua itu sebagai cianpwee. Berkilat sorot mata Tong Bu-im, tanyanya: “Kau benar benar akan beradu jiwa dengannya?" Tu Hun-thian manggut manggut. Saat itulah Kim Hui berseru sambil tertawa: “Jadi lelaki jangan lemah seperti perempuan, cepat maju dan hantar kematianmu!" Sambil menggigit bibir, Tu Hun-thian membalikkan badan. Kim Hui kembali tertawa aneh, cepat dia tanggalkan jubah panjangnya. Tiba tiba terdengar Lam-yan memanggil dengan lirih: "Kim Hui . . . . . . . . " Kim Hui tertegun, perlahan ia berpaling. Air mata menggenangi kelopak mata Lam-yan, dia seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi akhirnya dia hanya berpesan: “Kau..... kau harus hati hati.” Kepalanya tertunduk dan tidak lagi menatap kearahnya. Tiba tiba Kim Hui jadi teringat, sejak dia kawin mendapat dirinya, sepanjang hidup selalu terlunta lunta dan tak tenteram, dengan susah payah akhirnya hari ini mereka dapat menikmati kehidupan yang nyaman, tapi sekarang dia harus beradu jiwa dengan orang lain, masih mending kalau menang, bila kalah, bukankah dia akan sia siakan seluruh kehidupannya? Perasaan ini kontan membuat hatinya cengeng, tapi sesudah menatap Tu Hun-thian sekejap, tiba tiba serunya sambil tertawa seram: “Kau tak usah kuatir, aku tak bakal mati." “Hmm, belum tentu begitu.” Ejek Tu Hun-thian sambil tertawa dingin. “kalau tak percaya, coba saja." Seru Kim Hui gusar. Kedua orang itu saling mempersiapkan diri, situasi ibarat anak panah yang sudah berada di gendawa, setiap saat dapat dilepas. Orang orang diseputar arena menyingkir jauh jauh, mereka sadar, pertempuran yang bakal berlangsung pasti luar biasa. Tiba tiba terdengar Tong Bu-im membentak: “Tu Hun-thian, cepat menyingkir." Sementara Tu Hun-thian masih tertegun, kereta roda Tong Bu-im telah bergerak maju. Dengan nada berat seru Tu Hun-thian: “Dendamku dengan dia sedalam lautan, tak seorangpun dapat mengurai, buat apa cianpwee ikut campur?" Setelah mengerdipkan matanya, teriak Tong Bu-im: “Kau hanya tahu kalau dendam kesumatmu dengan dia tak mungkin diurai, lantas bagaimana pula dengan perselisihan aku si orang tua dengan dia?" “Perselisihan apa antara cianpwee dengan dia?" Sambil memukul pegangan tangan kursi rodanya, ujar Tong Bu-im gusar: “Makhluk tua ini telah melukai cucuku, memaki aku, kalau dibilang tak ada perselisihan denganku, lantas dia berselisih dengan siapa?" “Kalau begitu biarlah kuselesaikan semua hutangku terlebih dulu, baru cianpwee cari dia untuk bikin perhitungan.” “Omong kosong, jika kau berhasil membunuhnya, lantas aku si orang tua harus bikin perhitungan dengan siapa?” “Jadi . . . . .. jadi . . . . . .." untuk sesaat Tu Hun-thian jadi tertegun. Tong Bu-im tidak ambil peduli lagi, sambil menuding Kim Hui, serunya: “Orang she-Kim, karena kau sudah berani bersikap jumawa disini, beranikah menerima senjata rahasia ku?" “Jangankan baru satu tangan, sepuluh tanganpun tidak masalah, asal kau berhasil melukai seujung rambutku, anggap saja aku Kim Hui yang kalah." “Bagusl” seru Tong Bu-im sambil bertepuk tangan, tiba tiba sambil menarik muka, sepatah demi sepatah kata ujarnya, “siapkan senjata rahasia.” Walaupun hanya ucapan yang singkat, namun setiap patah kata diutarakan dengan tandas. Setiap jago yang hadir didalam ruangan menarik napas dingin, semua orang tahu bahwa cianpwee dari keluarga Tong ini merupakan jago senjata rahasia nomor wahid dikolong langit, serangan yang dilancarkan sudah pasti luar biasa. Serentak orang orang yang berdiri disekeliling dan belakang Kim Hui membubarkan diri, tak lama tempat itu sudah bersih dari manusia. Walaupun tadi Tong Pa terbanting cukup keras dilantai, kini dia lari paling cepat, tak lama kemudian dari ruang belakang dia sudah membawa sebuah kantung kulit macan yang ukurannya jauh lebih besar daripada ukuran biasa. Biarpun warna kulit kantung itu sudah mulai memudar sehingga kelihatan cukup antik, namun berhubung benda ini menjadi milik Tong Bu-im dimasa jayanya dulu, maka dalam pandangan orang banyak, kantung antik itu seakan membawa daya pengaruh iblis yang sukar dilukiskan dengan kata, cukup sekali pandang, mereka tak berani lagi memandang untuk kedua kalinya. Begitu memegang kantung kulit itu, tubuh Tong Lojin yang semula loyo, seketika dipenuhi tenaga kehidupan, ditatapnya Kim Hui dengan sorot mata tajam, lalu tanyanya: “Apakah kau sudah siap?" Kim Hui tertawa seram. “Kalau ingin menyerang, silahkan saja turun tangan." sahutnya. Biarpun dia sempat tertawa latah, sedikit banyak hati kecilnya mulai merasa tegang, tanpa sadar dia mundur setengah langkah. Sambil tetap menatap wajah lawannya, kembali orang tua itu berkata dingin: “Tahukah kau, dalam enam puluh tahun terakhir, sudah berapa banyak jago persilatan yang tewas oleh senjata rahasia yang ada didalam kantung ini?" Tidak menunggu Kim Hui menjawab, dia telah melanjutkan: “Sejak enam puluh tahun berselang, ketika lohu menggunakan darah segar dari Hoa-yang-ji-pa untuk memuja dewa, selanjutnya dalam pertarungan di Cwan-tang aku berhasil melukai lima harimau dari keluarga Li, kemudian seorang diri menerjang Tay-heng, dengan ilmu pasir dingin hujan bunga memenuhi angkasa kubantai Tay-heng-kun-to, kemudian ditengah badai salju di bukit ci-lian-san ku bunuh tiga beruang dari Kwan-gw a . . . . . . . . .." Hampir setiap nama yang dia sebut, tak satupun bukan jago silat yang pernah menghebohkan dunia persilatan waktu itu, semuanya merupakan tokoh kelas wahid jaman itu. Para jago yang memenuhi ruangan dapat merasakan, dibalik sorot matanya, dibalik setiap ucapannya, tersimpan hawa napsu membunuh yang luar biasa, setiap kali dia berbicara sepatah kata, para jago merasakan tubuh mereka ikut gemetar. Kim Hui sendiri, biarpun dia yakin ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sangat lihay, tak sejenispun senjata rahasia didunia ini yang mampu melukainya. Tapi kini, keyakinannya sedikit ikut goyah, perasaan hatinya terasa ikut goncang. Hampir seluruh hadirin sudah dibuat tertegun oleh perkataan orang tua itu, ibarat orang mabuk, mereka tertegun, terperana, melongo dan terbelalak. Tampak jari tangan Tong Bu-im yang kurus dan panjang, dengan lembut membelai ukiran diatas kantung kulitnya, kembali dia berkata: “Sejak terjun ke dalam dunia persilatan hingga kini, belum pernah kulukai jago tanpa nama, tapi setiap kali berhasil merobohkan seseorang maka lohu akan tinggalkan satu tanda diatas kantungku ini, bila dihitung sampai sekarang, sudah ada seratus dua puluh tujuh goresan yang tertinggal, tak nyana hari ini bakal bertambah lagi dengan satu goresan. Kim Hui wahai Kim Hui, hati hati kau, lohu segera akan turun tangan.”

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>