Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Panah Kekasih - 136

$
0
0
Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf

Animorphs 16. Memburu Yeerk kembar Pendekar Slebor - 68. Rantai Naga Siluman Gosebumps 31. Boneka Hidup Beraksi II Si Bungkuk Pendekar Aneh - Boe Beng Giok Pendekar Gila - 13. Kalung Keramat Warisan Iblis

Tampak jari tangan Tong Bu-im yang kurus dan panjang, dengan lembut membelai ukiran diatas kantung kulitnya, kembali dia berkata: “Sejak terjun ke dalam dunia persilatan hingga kini, belum pernah kulukai jago tanpa nama, tapi setiap kali berhasil merobohkan seseorang maka lohu akan tinggalkan satu tanda diatas kantungku ini, bila dihitung sampai sekarang, sudah ada seratus dua puluh tujuh goresan yang tertinggal, tak nyana hari ini bakal bertambah lagi dengan satu goresan. Kim Hui wahai Kim Hui, hati hati kau, lohu segera akan turun tangan.” Tiba tiba ia membentak: “Kena!" Ditengah bentakan yang menggelegar bagai suara geledek, para jago merasakan jantung mereka berdebar keras, pandangan mata terasa kabur, pada hakekatnya tak seorangpun yang dapat melihat orang tua itu melepaskan senjata rahasianya. Tampak Kim Hui membentak nyaring, tiba tiba badannya melejit ke udara, bersalto beberapa kali ditengah udara dan tiba tiba hilang lenyap entah ke mana. Didepan ruang gedung terdengar serentetan suara dentingan, lalu terlihat jarum perak berjatuhan ke lantai. Sebelum jarum itu menyentuh lantai, tak seorangpun dari kawanan jago yang hadir disana dapat melihat bayangan dari senjata rahasia itu. Selewat dua kali bentakan, suasana didalam ruangan berubah jadi hening dan sepi sekali. Berapa orang yang bernyali kecil, saat itu sudah jatuh terduduk dilantai karena ketakutan, sementara mereka yang bernyali lebih besar, merasakan tubuh mereka gemetar keras, peluh dingin membasahi seluruh badan. Lam-yan merasa kepalanya pening, dia tak berani membuka matanya. Tian Mong-pek merasa jantungnya berdebar keras, sedang Siau Hui-uh tanpa sadar telah menggenggam kencang tangan Tian Mong-pek, telapak tangan mereka berdua jadi basah, basah karena keringat dingin. Dalam pada itu paras muka kakek itu tanpa ekspresi, kaku dan tenang. Tiba tiba dari atas tiang penglari, kurang lebih tiga kaki diatap ruangan, berkumandang suara tertawa keras. “Hahaha, bagus, senjata rahasia yang amat cepat, sayang belum berhasil melukai aku Kim Hui." “Turun kau." Teriak si kakek. “Baik, turun, aku turun . . . . ..” Kim Hui tertawa keras. Bagaikan burung walet dia segera meluncur turun. Padahal diruangan itu hadir beratus pasang mata, ternyata tak satupun diantara mereka yang melihat sejak kapan ia sudah melompat naik keatas tiang penglari. Berubah juga paras muka Tu Hun-thian setelah mengetahui ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Kim Hui mengalami kemajuan yang amat pesat. Sambil pejamkan matanya kata orang tua itu: “Coba kau perhatikan, ada apa di ujung bajumu sebelah kiri dan kanan.” Kim Hui terperanjat, ketika ditengok, ternyata diujung bajunya sebelah kiri dan kanan masing masing tertancap tiga batang jarum perak, dalam kagetnya dia berseru: “Ini..... ini . . . . . ..” “Ini terhitung apa?" tanya orang tua itu tersenyum, matanya tetap terpejam. Sesudah tertegun sesaat, jawab Kim Hui sambil menghela napas panjang: “Terhitung aku sudah kalah.” “Bagaimana kalau sudah kalah . . . . . . ..” Belum selesai perkataan itu, tiba tiba terdengar Siau Hui-uh berseru lantang: “Itu tidak adil." Tiba tiba orang tua itu membuka matanya, sinar setajam petir memancar keluar dari balik mata itu, katanya: “Kenapa tidak adil? Bukankah sebelum melepaskan senjata rahasia, aku sudah memberitahukan." Siau Hui-uh maju lagi selangkah, teriaknya: “Tapi sebelum kau lepaskan senjata rahasia, dengan segala obrolan kau sudah mengacaukan konsentrasinya, tentu saja tak bisa dibilang kau berhasil meraih kemenangan karena menggunakan senjata rahasia." Orang tua itu memandangnya berapa kejap, lalu tertawa terbahak bahak. “Hahaha... bocah perempuan, kau tahu apa?" Siau Hui-uh mendengus, katanya: “Aku hanya tahu, jurus Bunga terbang memenuhi ruangan yang cianpwee barusan gunakan meski hebat, tapi kalau tidak menggunakan akal muslihat, jangan harap kau bisa menyentuh seujung rambut engku ku." Orang tua itu tersenyum, katanya: “Aku mau tanya, bagaimana dengan ilmu silat yang dimiliki ayahmu?" “Bukan aku yang jadi putrinya ingin memuji kehebatan dia orang tua, kehebatan ilmu silat ayahku sudah menjago seluruh kolong langit, siapa pun tahu akan hal ini." “Dengan ilmu silat yang dimiliki ayahmu, dapatkah ia merobohkan engku mu dalam sepuluh gebrakan?" “Tentu saja mungkin . . . . . ..” “Tapi jika ayahmu menyerang disaat dia tak siap, sudah pasti engku mu bakal dirobohkan bukan?" Siau Hui-uh jadi gusar, teriaknya: “Ayahku adalah seorang lelaki sejati, tak mungkin dia akan menyerang dikala orang lain tak siap." orang tua itu segera tertawa terbahak-bahak. “Hahaha, itulah dia, tentu saja ayahmu tak akan menyerang disaat orang tak siap. Ini dikarenakan yang dia andalkan adalah kepalan dan kaki, sementara yang kuandalkan adalah senjata rahasia. Diurai dari kata am-gi, senjata gelap atau senjata rahasia, artinya senjata ini hanya bisa digunakan disaat orang lain tidak siap, kalau tidak, bagaimana mungkin dapat melukai orang yang berilmu silat tinggi? Coba bayangkan saja, ayahmu saja tak mungkin bisa melukai Kim Hui dalam sepuluh gebrakan, bagaimana mungkin aku si orang tua dapat saling berhadapan dengan Kim Hui dan berhasil melukainya? Tentu saja aku musti kacaukan dulu konsentrasinya." II “Tapi . . . . . . .. II “Bocah perempuan, ujar orang tua itu lagi lembut, “kau harus mengerti, mengacau konsentrasi orang serta melepas senjata rahasia sesungguhnya merupakan dua masalah yang tak mungkin terpisahkan, orang yang dapat melepaskan senjata rahasia harus pandai pula mengacukan konsentrasi orang, begitu pikiran orang mulai kalut, disaat itulah kau akan menyerang, kalau tidak begitu, senjata rahasia hanya dapat melukai mereka yang berilmu silat cetek dan mustahil dapat melukai jagoan ampuh semacam Kim Hui, kalau bukan begitu, bagaimana mungkin aku si orang tua dapat menempati urutan dalam dunia persilatan dan bertahan hampir puluhan tahun? Oleh karena itu disaat Kim Hui harus berjaga atas serangan senjata rahasiaku, dia harus mewaspadi dulu usahaku untuk mengacau konsentrasinya, disinilah letak rahasia dari ilmu senjata rahasia dan merupakan kunci kesuksesan dari senjata rahasia. Bocah perempuan, kau harus ingat baik baik apa yang telah kuucapkan hari ini." Para jago yang hadir dalam ruangan hanya bisa saling bertukar pandangan, dalam hati mereka merasa sangat kagum. Tanpa terasa Siau Hui-uh ikut menundukkan kepalanya sambil berpikir: “Benar juga, secepat apapun orang melepaskan senjata rahasia, tak mungkin dia mampu melukai jagoan setangguh engku, jika senjata rahasia tak sanggup melukai jago lihay, bukankah semua jago senjata rahasia yang ada didunia ini tak mungkin bisa menjadi jagoan tangguh dunia persilatan? Aaai, teori ini sangat jelas dan gamblang, kenapa belum pernah terpikir olehku? Dan kecuali orang tua ini, tak mungkin orang lain mau menjelaskan." Tian Mong-pek ikut menghela napas, detak jantungnya tiba tiba tambah cepat, dia jadi teringat kembali dengan kata kata Chin Mo-cuan, ketua perkumpulan panji kain putih menjelang ajalnya. Orang tua itu pernah berkata begini: “ . . . . .. bagian paling rahasia dari panah kekasih adalah hubungannya deng kartu kematian Si-sin-tiap..... bila ingin mewaspadai panah itu, bukan disaat panah itu dilepaskan melainkan disaat menerima kartu Si-sin-tiap, jika menunggu sampai panah dilepas, segalanya akan terlambat . . . . .. dengan pengalamanku dalam ilmu meringankan tubuh, begitu melihat panah kekasih, tubuhku segera melompat menghindar, namun tak urung terkena panah juga . . . . .. Tatkala ucapan itu dijajarkan dengan penjelasan dari Tong Bu-im tadi, II dengan cepat pemuda itu jadi paham akan duduknya masalah. “Sudah pasti Si-sin-tiap digunakan sebagai benda pengacau konsentrasi orang, sama seperti apa yang dikatakan Tong Lojin hari ini, sedang Chin Mo-cuan bisa terkena panah, alasannya pasti sama seperti hari ini Kim Hui termakan jarum perak, ditinjau dari sini dapat disimpulkan bahwa panah kekasih sesungguhnya bukan benda yang menakutkan dan teori yang digunakan sesungguhnya telah diketahui Tong Bu-im." Berpendapat begitu, rasa ngeri dan takutnya terhadap panah kekasih pun seketika berkurang banyak. Terdengar orang tua itu bertanya lagi sambil tertawa terbahak-bahak: “Hahaha, sudah tunduk bocah perempuan?" “Bukan hanya dia yang tunduk," teriak Kim Hui, “aku Kim Hui pun merasa tunduk dengan kehebatan ilmu senjata rahasiamu, tapi kedatanganku hari ini adalah untuk mencari balas, bukan beradu silat, biar aku tunduk kepadamu, tetap akan kucari dia.” “Kalau kau sudah tunduk dengan orang lain," ejek Tu Hun-thian sambil tertawa dingin, “tidak seharusnya bertarung ditengah ruang upacara perkawinan orang, jika ingin adu nyawa, kita adu nyawa di luar sana.” “Bagus, ayoh jalan." “Bila kau ingin dia pergi dari sini, seharusnya tunggulah setelah dia II menghadiri upacara perkawinan putrinya. Kata orang tua itu. Tiba tiba Kim Hui mencak mencak, bentaknya: “Kenapa dia harus melihat putrinya naik ke pelaminan? Gara gara dia celakai lohu, sampai saat inipun aku tak sempat melihat wajah putriku." Orang tua itu mendengus. “Aku tak ingin mencampuri urusan dendam kesumat antara kalian berdua, tapi sebelum upacara perkawinan selesai diselenggarakan, siapa pun jangan harap bisa pergi dari sini." Kim Hui rentangkan sepasang lengannya sambil melotot garang kearah orang tua itu, tapi sekejap kemudian ia menghela napas. “Baik, baiklah, kalian cepat selenggarakan akad nikah." Sambil tersenyum kakek itu segera bertepuk tangan. "Musik 2 " Dengan usianya yang sudah uzur, dia selalu berharap pesta perkawinan yang diselenggarakan hari ini dapat berjalan dengan lancar, dapat menyaksikan cucu sendiri menikah, sudah pasti merupakan harapan setiap orang tua. Para pemusik meski masih ketakutan dengan semua peristiwa yang terjadi disana, tapi tetap memainkan alat musik dengan muka murung. Begitu musik dimainkan, suasana kegembiraan pun berangsur pulih kembali didalam ruangan itu. Siapa tahu tiba tiba dari luar gedung berlarian masuk dua orang lelaki, mereka lari dengan tergopoh, wajahnya diliputi rasa panik dan kaget. “Urusan apa membuat kalian gugup?" tegur Tong Ti dengan wajah berubah. Dengan napas tersengkal kata lelaki itu: “Tandu pengantin dari keluarga Chin telah tiba, sekarang telah berada di . . . . . . ..” Dia hanya mengucapkan perkataan itu, karena kata selanjutnya tenggelam dibalik teriakan kaget para jago. Si Tangan pencabut nyawa Tong Ti terbelalak, putranya, Tong Yan kelihatan gugup dan panik, bahkan sedikit gelagapan. Bahkan Tu Hun-thian sendiripun ikut tertegun, dengan termangu dia awasi putrinya. Andaikata Chin Ki betul-betul telah datang, bukankah Tu Kuan bakal gagal jadi pengantin? Tong Bu-im terlebih kaget bercampur marah, selama melang melintang dalam dunia persilatan, banyak kejadian aneh yang pernah dia alami, tapi kejadian yang berlangsung hari ini, hampir semuanya berada diluar dugaan. “Ayah," bisik Tong Ti sambil bungkukkan badan, “bagaimana baiknya sekarang?” ll “Tua bangka sialan, cucu kura kura, umpat Tong Bu-im dengan gusar, “disaat harus datang, dia justru tak datang, tak ingin dia datang, dia justru muncul semaunya sendiri." Pada dasarnya tabiat orang tua ini memang bertemperamen tinggi, begitu marah, semua umpatan kasar pun dilontarkan, tapi sesudah diucapkan, dia baru teringat kalau usianya sudah lanjut dan tak pantas mengumbar kasar kasar didepan anak cucu. Maka sambil tertawa katanya: “Bagaimana baiknya? Hm, terpaksa harus keluar dulu untuk melihat keadaan.” Sambil berkata, dia mendorong kursi rodanya dan menuju ke ruang depan. Buru buru para jago menyingkir memberi jalan, pikir mereka: “Biarpun arak kegirangan kali ini kurang bisa dinikmati, namun keramaiannya sungguh memuaskan pandangan mata." Semua orang ingin tahu, ketika seorang pengantin lelaki kedatangan dua orang pengantin wanita, bagaimana penyelesaian akhir dari persoalan ini? Tanpa banyak bicara, semua orang pun ikut meluruk keluar, siapapun tak mau ketinggalan. Tian Mong-pek sudah meraba gagang pedangnya dan digenggam kencang. Dalam pada itu si walet hitam Tong Yan dengan mengenakan pakaian pengantin menarik Tu Kuan berdiri di sudut ruangan, dia tak bernyali untuk menghadapi masalah, pun tak bernyali untuk melarikan diri. Semakin dilihat Tian Mong-pek merasa semakin jengkel, namun karena musuh besar berada didepan mata, diapun enggan mencampuri urusan lain. Dengan satu lompatan, dia melewati atas kepala para tamu dan menuju ke pintu keluar. Baru saja berdiri tegak, tiba tiba terasa desingan angin bergetar disisi tubuhnya, lalu terdengar seseorang berkata sambil tertawa merdu: “Keramaian kali ini bakal tambah seru...." Ternyata Siau Hui-uh sudah ikut menyusul keluar. Tian Mong-pek ingin sekali melempar senyuman kearahnya, apa mau dikata rasa tegang yang mencekam, membuat dia tak sanggup tersenyum. Dibawah cahaya lampu, terlihat beberapa orang menggotong sebuah tandu pengantin, diatas tandu itu bertuliskan: “Perkawinan keluarga Chin” Tapi tandu yang digotong hanya satu, sedang pengikutnya kebanyakan adalah orang dusun yang disewa keluarga Chin. “Apa yang terjadi?" terdengar banyak orang berbisik keheranan,”kenapa tak nampak Chin Siu-ang?" Tong Bu-im marah sekali, umpatnya: “Jangan jangan si tua bangka Chin sudah mampus, kenapa belum juga

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423