Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf
Animorphs 16. Memburu Yeerk kembar Pendekar Slebor - 68. Rantai Naga Siluman Gosebumps 31. Boneka Hidup Beraksi II Si Bungkuk Pendekar Aneh - Boe Beng Giok Pendekar Gila - 13. Kalung Keramat Warisan Iblis
Tujuan Hong Ji-siong memang ingin membuat lawannya habis kesabaran dan mengeluarkan jurus semacam ini, dalam girangnya dia tidak mundur lagi, sepasang tangannya bagai ular berbisa langsung menyerobot masuk ke balik cahaya pedang tianmjongpek. Jurus Hun-kong-tui-im (memecah cahaya mengejar bayangan) ini meski hebat, namun seandainya Tian Mong-pek tidak memperlihatkan titik kelemahan, diapun tak berani menggunakan jurus berbahaya ini. Dalam kagetnya, terlambat bagi Tian Mong-pek untuk memperbaiki posisi, seketika itu juga sikutnya terasa kaku, pedangnya tak mampu digenggam lagi, pedang yang berat itu segera terjatuh ke tanah. Waktu itu sepasang tangan Hong Ji-siong sudah menerobos masuk melewati posisi terbuka di depan dada pemuda itu. Walau berada dalam situasi kritis, Tian Mong-pek tidak menjadi kalut, telapak kirinya segera menangkis, sayang kekuatan yang ada dalam tangannya tinggal separuh, bagaimana mungkin bisa membendung serangan Hong Ji-siong yang dilancarkan sepenuh tenaga itu? Ketika sepasang tangan saling beradu, “Blaaam!" Tian Mong-pek merasakan tubuhnya tergoncang keras, tangannya kehilangan kekuatan, hawa darah dalam dadanya bergolak keras, tak kuasa lagi badannya roboh terjengkang. Namun Hong Ji-siong tidak membiarkan tubuhnya roboh terjungkal, dengan jurus Kim-si-huan-ti-jiu (serat emas membelit tangan) tangan kanannya balik menggaet dan mencengkeram urat nadi di pergelangan tangan Tian Mong-pek, sementara tangan kirinya membacok tenggorokannya. Dalam posisi sambungan tulang tangan kanannya terlepas, tangan kiri dicengkeram lawan, Tian Mong-pek sudah kehilangan tenaga perlawanan, tampaknya jika bacokan itu dilanjutkan, pemuda itu segera akan menemui ajalnya. Tian Mong-pek sadar, kini dia sudah tak mampu memberi perlawanan, mau berkelit pun tak mungkin, terpaksa dia pejamkan mata menanti kematian. Oo0oo Lam-yan dan Siau Hui-uh sudah berputar satu lingkaran, mereka belum juga menemukan jejak Kim Hui maupun Tu Hun-thian, hal ini membuat Lam-yan jadi panik dan cemas sekali. Buru buru Siau Hui-uh menghibur: “Engku maupun Tu Hun-thian adalah orang orang berusia enam, tujuh puluh II tahunan, mana mungkin mereka akan beradu nyawa? Siapa tahu . . . . . . . .. Setelah tersenyum, lanjutnya: “siapa tahu mereka berdua sengaja mencari tempat yang jauh dari manusia untuk adu kepandaian, siapa menang siapa kalah tak sampai diketahui orang lain.” “Aai,” Lam-yan menghela napas, “kau tahu apa? Tu Hun-thian punya julukan panah yang terlepas dari busur, artinya apa yang sudah diperbuat tak akan ditarik kembali, sekali mereka bertarung, kalau belum ada yang mati tak bakal berhenti." “Tapi usia mereka . . . . . .." “Kau pernah dengar orang berkata bukan, jahe itu makin tua semakin pedas, bila wataknya begitu, sampai matipun tak akan berubah, sedang engkumu, II dia . . . . . . .. Sesudah menghela napas, diapun berhenti bicara. Tentu saja Siau Hui-uh juga mengerti, setelah engku nya merasakan penderitaan selama puluhan tahun, rasa dendamnya tak mungkin bisa mereda sebelum sakit hatinya terbalaskan. Ketika mereka berdua melanjutkan perondaan, tiba tiba dari balik pepohonan terdengar seseorang mendesis: “Hei!” “Siapa?" bentak Siau Hui-uh dan Lam-yan serentak. Orang dibalik semak itu tidak menjawab, terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat lewat menuju kearah kegelapan, gerakannya lincah dan cepat. Menyaksikan hal itu, Siau Hui-uh segera berbisik: “Kejar!" Gadis ini memang besar nyalinya, begitu mendapat sedikit petunjuk, tentu saja dia tak mau melepaskan begitu saja, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, dia melakukan pengejaran. Terpaksa Lam-yan mengintil dari belakang. Tampak bayangan manusia yang berada didepan itu bergerak diantara pepohonan bagaikan burung walet, terkadang dia tampilkan diri seakan sedang menanti Siau Hui-uh serta Lam-yan/ Setelah bergerak kurang lebih seperminum teh kemudian, suasana disekeliling tempat itu semakin sepi dan terpencil, pepohonan makin lebat tapi rumput dan bebungahan makin minim, sudah jelas mereka telah keluar dari lingkungan tempat tinggal keluarga Tong. Tiba tiba bayangan manusia itu melambung ke tengah udara, lalu lenyap tak berbekas. Siau Hui-uh dan Lam-yan tak mau menyerah begitu saja, mereka melanjutkan pencarian, tapi bayangan manusia itu sudah tidak muncul lagi, yang terdengar adalah suara bentakan yang lamat lamat dari balik hutan lebat. Tergerak hati mereka berdua, kini mereka tidak lagi mencari jejak bayangan manusia itu tapi bergerak menuju ke asal munculnya suara bentakan. Tak selang berapa saat, mereka saksikan ada dua sosok bayangan manusia sedang bertarung sengit. Kedua sosok bayanga manusia itu berlompatan bagaikan naga sakti, ketika berhenti bagaikan batu karang, ternyata mereka tak lain adalah Tu Hun-thian dan Kim Hui. Sambil berteriak Siau Hui-uh dan Lam-yan melompat maju, tapi Tu Hun-thian dan Kim Hui masih terlibat pertarungan sengit, hal ini membuat kedua orang wanita ini tak sanggup melerai. Suasana disekeling hutan itu amat kacau, ada tujuh delapan batang pohon yang bertumbangan, kelihatannya untuk mencari tempat bertarung, mereka telah merobohkan batang batang pohon itu sehingga terbuka sebuah lapangan luas. Pepohonan yang tumbuh diempat penjuru meski tidak ikut tumbang, namun ranting dan dedaunan berguguran dimana mana, jelas hal ini disebabkan terkena getaran angin pukulan mereka yang luar biasa. Selain pepohonan yang tumbang tadi, diatas permukaan tanah pun berserakan senjata rahasia yang berkilauan, namun jumlahnya tidak banyak, karena kedua orang ini bukan jagoan yang termashur karena mengandalkan senjata rahasia. Cukup ditinjau dari arena pertempuran yang kacau, bisa dibayangkan betapa sengitnya pertarungan tadi, namun baik Kim Hui maupun Tu Hun-thian tampak masih segar, sama sekali tak terlihat letih atau kehabisan tenaga. Aliran ilmu silat yang diandalkan kedua orang ini, yang satu lembut dan penuh perubahan, sedang yang lain keras dan mapan, untuk sesaat siapa pun jangan berharap bisa menempati posisi diatas angin. Ternyata selama berada dalam rawa rawa berlumpur, meski Kim Hui berhasil melatih ilmu yang aneh dan sakti, namun terhadap Tu Hun-thian, ia tetap menaruh perasaan jeri. Sebaliknya Tu Hun-thian selalu memandang lawan sebagai bekas musuh yang pernah dikalahkan, ketika bertarung semangat dan keberaniannya tetap berkobar. Oleh karena itu walaupun bicara soal ilmu silat Tu Hun-thian bukan tandingan Kim Hui, tapi keberanian dan wibawa Tu Hun-thian memaksa Kim Hui bertarung seimbang. Tatkala Siau Hui-uh dan Lam-yan tiba disana, kedua belah pihak sedang bertempur sengit sengitnya. Dengan suara lengking, Lam-yan segera menjerit: “Kim Hui, aku mohon, kau yangan berkelahi lagi!” Baik Tu Hun-thian maupun Kim Hui, mereka sama sama terperanjat, agaknya kedua orang itu tidak menyangka ada orang yang bisa temukan tempat itu. Dengan cepat Tu Hun-thian melepaskan satu serangan tipuan lalu mundur berapa langkah. “Kau mengaku kalah?” tegur Kim Hui. Tu Hun-thian tertawa dingin. “Tunggu sampai bala bantuanmu tiba semua, lohu baru akan turun tangan lagi." Berubah paras muka Kim Hui, teriaknya penuh amarah: “Kentut!" Mendadak dia patahkan sebatang ranting pohon lalu mematahkan jadi dua. “Kau..... mau apa kau?" tanya Lam-yan dengan wajah berubah. “Bila ada yang membantuku, aku segera akan mengaku kalah, bila tidak mentaati sumpah, biar sama seperti ranting ini!" Dia sambit kedua ranting itu hingga menancap diatas tanah. Berubah paras muka Lam-yan, tubuhnya jadi lemas hingga bersandar di pohon. Sedang Siau Hui-uh segera berputar biji matanya kemudian bertanya: “Apa yang harus dilakukan mereka yang mengaku kalah?" Sedang dalam hati berpikir: “Bila dua ekor harimau bertarung, pasti ada yang terluka, bila tak ingin mereka berdua beradu nyawa, lebih baik paksa Kim Hui untuk mengaku kalah, daripada membuat Lam-yan sedih." Terdengar Tu Hun-thian menjawab sambil tersenyum: “Orang yang mengaku kalah harus bunuh diri didepan lawannya." Siau Hui-uh tertegun, dia tak mampu berbicara lagi. Kembali Tu Hun-thian berkata sambil tertawa keras: “Hebat kamu Kim Hui, setelah lewat dua puluh tahun, akhirnya watakmu mulai berubah, tidak lagi menjadi budak yang mencari menang dengan andalkan jumlah banyak, mari, mari, mari, kuhormati kau dengan satu kepalan." Swesss! Sebuah pukulan tinju langsung dikirim ke bahu kiri lawan. Perlu diketahui, ilmu silat yang dimiliki kedua orang ini hampir seimbang, karena itu siapa pun enggan menyerempet bahaya dengan menghantam dada lawan. Begitu pukulan itu dilontarkan, kedua orang itu tidak bicara lagi, pertempuran sengit kembali berkobar. Puluhan gebrakan kemudian, situasi dimedan pertempuran semakin garang, angin pukulan yang menderu deru membuat kawasan hutan itu seolah sedang dilanda angin topan. Tiba tiba terdengar Lam-yan menghela napas panjang, serunya keras: “Jika kau tidak segera berhenti, biar aku mati dihadapanmu saja!” Biasanya kata jimat itu sangat manjur hasilnya. Siapa tahu Kim Hui bukannya menghentikan serangan, dia malah menjawab sambil tertawa keras: “Hahaha, kali ini ancamanmu itu tidak manjur.” “Apa kau bilang?" teriak Lam-yan gusar, “kalau tidak percaya biar aku mati dulu dihadapanmu.” Gelak tertawa Kim Hui semakin keras. “Hahaha, pertarungan kali ini merupakan pertarungan mati hidup, bila aku menghentikan serangan, belum tentu si tua bangka Tu akan berhenti menyerang, artinya aku bakal mati dihajar dia. Masa kau tega membiarkan aku mati?" Lam-yan tertegun, dia tak bisa bersuara lagi. Sebagaimana diketahui, kata jimat kaum wanita terhadap suaminya, paling banter hanya ancaman kematian, begitu kata jimat ini tidak manjur, Lam-yan pun kehabisan daya. Siau Hui-uh pun sangat gelisah, dia hanya menghela napas tanpa sanggup berbuat apa apa. Dengan andalkan jurus serangan dan gerakan tubuh yang aneh, lambat laun Kim Hui berhasil merebut posisi diatas angin, ternyata semangat tempurnya semakin berkobar, apalagi berada dihadapan Lam-yan, dia semakin ingin mempamerkan kebolehannya. Tu Hun-thian sudah puluhan tahun malang melintang dalam dunia persilatan, diapun sudah menjumpai banyak jago lihay, tapi belum pernah sekali pun menjumpai gerakan tubuh seaneh yang dimiliki Kim Hui. Makin bertempur hatinya makin terkejut, semangat tempurnya jadi melemah, begitu melemah, dia semakin tak mampu melawn. Ketika melihat Kim Hui melontarkan satu pukulan, Tu Hun-thian tidak berusaha menghindar, diapun memapaki serangan itu dengan satu pukulan. “Blaaam!" begitu empat tangan saling beradu, dengan cepat melengket satu dengan lainnya. Dengan terjadinya keadaan ini, paras muka Lam-yan serta Siau Hui-uh berubah hebat, mereka sadar bila kedua orang ini mulai beradu tenaga dalam, maka akan semakin sulit untuk melerainya. Jangan lagi kedua orang itu, Kim Hui sendiripun ikut terperanjat, dia tak mengira kalau Tu Hun-thian bakal nekad melakukan tindakan tersebut. Sebab siapapun tahu, bila dua jago saling beradu tenaga dalam maka sebelum ada yang mati tak mungkin bisa berhenti dan tak bisa dilerai siapa pun, bahkan pada akhirnya bisa menyebabkan kedua belah pihak sama sama terluka. Bagi yang kalah, sudah pasti mati, sedang yang menang pun paling tidak akan terluka parah. Darimana mereka tahu kalau Tu Hun-thian sebagai jagoan yang pernah menjagoi dunia persilatan memiliki pengalaman yang luar biasa, bagaimana mungkin orang yang berpengalaman tidak bisa membedakan mana yang berbahaya mana yang tidak, tindakan kali ini memang sengaja dia lakukan karena punya maksud lain. Dia sadar, bicara soal gerakan tubuh, jelas dia bukan tandingan Kim Hui, bila pertarungan dilanjut maka pihaknya yang akan kalah, daripada begitu mending dia beradu nasib dengan mengambil langkah berbahaya ini. Begitu pertempuran berlangsung, Lam-yan dan Siau Hui-uh dibikin semakin terkesiap. Tampak paras muka kedua orang itu makin lama semakin bertambah serius, peluh yang membasahi jidat pun makin lama semakin bertambah banyak. Mendadak . . . . .. tubuh kedua orang itu terlihat lebih pendek berapa inci, setelah diamati, baru diketahui ternyata kaki mereka berdua sudah mulai amblas ke dalam tanah. Lam-yan menggenggam pergelangan tangan Siau Hui-uh erat-erat, dia nyaris tak berani melihat lagi, sedang Siau Hui-uh pun membelalakkan matanya tanpa berkedip, peluh dingin telah membasahi tubuh mereka berdua. Mereka sadar, walaupun Kim Hui dan Tu Hun-thian sudah tidak lagi menggerakkan tubuhnya, namun situasi bertambah gawat, setiap saat kemungkinan besar ada seorang diantara mereka yang bakal roboh terluka. Berbicara soal ilmu gerakan tubuh, biarpun Kim Hui jauh lebih sempurna ketimbang Tu Hun-thian, tapi bicara soal tenaga dalam, dia masih belum
Animorphs 16. Memburu Yeerk kembar Pendekar Slebor - 68. Rantai Naga Siluman Gosebumps 31. Boneka Hidup Beraksi II Si Bungkuk Pendekar Aneh - Boe Beng Giok Pendekar Gila - 13. Kalung Keramat Warisan Iblis
Tujuan Hong Ji-siong memang ingin membuat lawannya habis kesabaran dan mengeluarkan jurus semacam ini, dalam girangnya dia tidak mundur lagi, sepasang tangannya bagai ular berbisa langsung menyerobot masuk ke balik cahaya pedang tianmjongpek. Jurus Hun-kong-tui-im (memecah cahaya mengejar bayangan) ini meski hebat, namun seandainya Tian Mong-pek tidak memperlihatkan titik kelemahan, diapun tak berani menggunakan jurus berbahaya ini. Dalam kagetnya, terlambat bagi Tian Mong-pek untuk memperbaiki posisi, seketika itu juga sikutnya terasa kaku, pedangnya tak mampu digenggam lagi, pedang yang berat itu segera terjatuh ke tanah. Waktu itu sepasang tangan Hong Ji-siong sudah menerobos masuk melewati posisi terbuka di depan dada pemuda itu. Walau berada dalam situasi kritis, Tian Mong-pek tidak menjadi kalut, telapak kirinya segera menangkis, sayang kekuatan yang ada dalam tangannya tinggal separuh, bagaimana mungkin bisa membendung serangan Hong Ji-siong yang dilancarkan sepenuh tenaga itu? Ketika sepasang tangan saling beradu, “Blaaam!" Tian Mong-pek merasakan tubuhnya tergoncang keras, tangannya kehilangan kekuatan, hawa darah dalam dadanya bergolak keras, tak kuasa lagi badannya roboh terjengkang. Namun Hong Ji-siong tidak membiarkan tubuhnya roboh terjungkal, dengan jurus Kim-si-huan-ti-jiu (serat emas membelit tangan) tangan kanannya balik menggaet dan mencengkeram urat nadi di pergelangan tangan Tian Mong-pek, sementara tangan kirinya membacok tenggorokannya. Dalam posisi sambungan tulang tangan kanannya terlepas, tangan kiri dicengkeram lawan, Tian Mong-pek sudah kehilangan tenaga perlawanan, tampaknya jika bacokan itu dilanjutkan, pemuda itu segera akan menemui ajalnya. Tian Mong-pek sadar, kini dia sudah tak mampu memberi perlawanan, mau berkelit pun tak mungkin, terpaksa dia pejamkan mata menanti kematian. Oo0oo Lam-yan dan Siau Hui-uh sudah berputar satu lingkaran, mereka belum juga menemukan jejak Kim Hui maupun Tu Hun-thian, hal ini membuat Lam-yan jadi panik dan cemas sekali. Buru buru Siau Hui-uh menghibur: “Engku maupun Tu Hun-thian adalah orang orang berusia enam, tujuh puluh II tahunan, mana mungkin mereka akan beradu nyawa? Siapa tahu . . . . . . . .. Setelah tersenyum, lanjutnya: “siapa tahu mereka berdua sengaja mencari tempat yang jauh dari manusia untuk adu kepandaian, siapa menang siapa kalah tak sampai diketahui orang lain.” “Aai,” Lam-yan menghela napas, “kau tahu apa? Tu Hun-thian punya julukan panah yang terlepas dari busur, artinya apa yang sudah diperbuat tak akan ditarik kembali, sekali mereka bertarung, kalau belum ada yang mati tak bakal berhenti." “Tapi usia mereka . . . . . .." “Kau pernah dengar orang berkata bukan, jahe itu makin tua semakin pedas, bila wataknya begitu, sampai matipun tak akan berubah, sedang engkumu, II dia . . . . . . .. Sesudah menghela napas, diapun berhenti bicara. Tentu saja Siau Hui-uh juga mengerti, setelah engku nya merasakan penderitaan selama puluhan tahun, rasa dendamnya tak mungkin bisa mereda sebelum sakit hatinya terbalaskan. Ketika mereka berdua melanjutkan perondaan, tiba tiba dari balik pepohonan terdengar seseorang mendesis: “Hei!” “Siapa?" bentak Siau Hui-uh dan Lam-yan serentak. Orang dibalik semak itu tidak menjawab, terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat lewat menuju kearah kegelapan, gerakannya lincah dan cepat. Menyaksikan hal itu, Siau Hui-uh segera berbisik: “Kejar!" Gadis ini memang besar nyalinya, begitu mendapat sedikit petunjuk, tentu saja dia tak mau melepaskan begitu saja, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, dia melakukan pengejaran. Terpaksa Lam-yan mengintil dari belakang. Tampak bayangan manusia yang berada didepan itu bergerak diantara pepohonan bagaikan burung walet, terkadang dia tampilkan diri seakan sedang menanti Siau Hui-uh serta Lam-yan/ Setelah bergerak kurang lebih seperminum teh kemudian, suasana disekeliling tempat itu semakin sepi dan terpencil, pepohonan makin lebat tapi rumput dan bebungahan makin minim, sudah jelas mereka telah keluar dari lingkungan tempat tinggal keluarga Tong. Tiba tiba bayangan manusia itu melambung ke tengah udara, lalu lenyap tak berbekas. Siau Hui-uh dan Lam-yan tak mau menyerah begitu saja, mereka melanjutkan pencarian, tapi bayangan manusia itu sudah tidak muncul lagi, yang terdengar adalah suara bentakan yang lamat lamat dari balik hutan lebat. Tergerak hati mereka berdua, kini mereka tidak lagi mencari jejak bayangan manusia itu tapi bergerak menuju ke asal munculnya suara bentakan. Tak selang berapa saat, mereka saksikan ada dua sosok bayangan manusia sedang bertarung sengit. Kedua sosok bayanga manusia itu berlompatan bagaikan naga sakti, ketika berhenti bagaikan batu karang, ternyata mereka tak lain adalah Tu Hun-thian dan Kim Hui. Sambil berteriak Siau Hui-uh dan Lam-yan melompat maju, tapi Tu Hun-thian dan Kim Hui masih terlibat pertarungan sengit, hal ini membuat kedua orang wanita ini tak sanggup melerai. Suasana disekeling hutan itu amat kacau, ada tujuh delapan batang pohon yang bertumbangan, kelihatannya untuk mencari tempat bertarung, mereka telah merobohkan batang batang pohon itu sehingga terbuka sebuah lapangan luas. Pepohonan yang tumbuh diempat penjuru meski tidak ikut tumbang, namun ranting dan dedaunan berguguran dimana mana, jelas hal ini disebabkan terkena getaran angin pukulan mereka yang luar biasa. Selain pepohonan yang tumbang tadi, diatas permukaan tanah pun berserakan senjata rahasia yang berkilauan, namun jumlahnya tidak banyak, karena kedua orang ini bukan jagoan yang termashur karena mengandalkan senjata rahasia. Cukup ditinjau dari arena pertempuran yang kacau, bisa dibayangkan betapa sengitnya pertarungan tadi, namun baik Kim Hui maupun Tu Hun-thian tampak masih segar, sama sekali tak terlihat letih atau kehabisan tenaga. Aliran ilmu silat yang diandalkan kedua orang ini, yang satu lembut dan penuh perubahan, sedang yang lain keras dan mapan, untuk sesaat siapa pun jangan berharap bisa menempati posisi diatas angin. Ternyata selama berada dalam rawa rawa berlumpur, meski Kim Hui berhasil melatih ilmu yang aneh dan sakti, namun terhadap Tu Hun-thian, ia tetap menaruh perasaan jeri. Sebaliknya Tu Hun-thian selalu memandang lawan sebagai bekas musuh yang pernah dikalahkan, ketika bertarung semangat dan keberaniannya tetap berkobar. Oleh karena itu walaupun bicara soal ilmu silat Tu Hun-thian bukan tandingan Kim Hui, tapi keberanian dan wibawa Tu Hun-thian memaksa Kim Hui bertarung seimbang. Tatkala Siau Hui-uh dan Lam-yan tiba disana, kedua belah pihak sedang bertempur sengit sengitnya. Dengan suara lengking, Lam-yan segera menjerit: “Kim Hui, aku mohon, kau yangan berkelahi lagi!” Baik Tu Hun-thian maupun Kim Hui, mereka sama sama terperanjat, agaknya kedua orang itu tidak menyangka ada orang yang bisa temukan tempat itu. Dengan cepat Tu Hun-thian melepaskan satu serangan tipuan lalu mundur berapa langkah. “Kau mengaku kalah?” tegur Kim Hui. Tu Hun-thian tertawa dingin. “Tunggu sampai bala bantuanmu tiba semua, lohu baru akan turun tangan lagi." Berubah paras muka Kim Hui, teriaknya penuh amarah: “Kentut!" Mendadak dia patahkan sebatang ranting pohon lalu mematahkan jadi dua. “Kau..... mau apa kau?" tanya Lam-yan dengan wajah berubah. “Bila ada yang membantuku, aku segera akan mengaku kalah, bila tidak mentaati sumpah, biar sama seperti ranting ini!" Dia sambit kedua ranting itu hingga menancap diatas tanah. Berubah paras muka Lam-yan, tubuhnya jadi lemas hingga bersandar di pohon. Sedang Siau Hui-uh segera berputar biji matanya kemudian bertanya: “Apa yang harus dilakukan mereka yang mengaku kalah?" Sedang dalam hati berpikir: “Bila dua ekor harimau bertarung, pasti ada yang terluka, bila tak ingin mereka berdua beradu nyawa, lebih baik paksa Kim Hui untuk mengaku kalah, daripada membuat Lam-yan sedih." Terdengar Tu Hun-thian menjawab sambil tersenyum: “Orang yang mengaku kalah harus bunuh diri didepan lawannya." Siau Hui-uh tertegun, dia tak mampu berbicara lagi. Kembali Tu Hun-thian berkata sambil tertawa keras: “Hebat kamu Kim Hui, setelah lewat dua puluh tahun, akhirnya watakmu mulai berubah, tidak lagi menjadi budak yang mencari menang dengan andalkan jumlah banyak, mari, mari, mari, kuhormati kau dengan satu kepalan." Swesss! Sebuah pukulan tinju langsung dikirim ke bahu kiri lawan. Perlu diketahui, ilmu silat yang dimiliki kedua orang ini hampir seimbang, karena itu siapa pun enggan menyerempet bahaya dengan menghantam dada lawan. Begitu pukulan itu dilontarkan, kedua orang itu tidak bicara lagi, pertempuran sengit kembali berkobar. Puluhan gebrakan kemudian, situasi dimedan pertempuran semakin garang, angin pukulan yang menderu deru membuat kawasan hutan itu seolah sedang dilanda angin topan. Tiba tiba terdengar Lam-yan menghela napas panjang, serunya keras: “Jika kau tidak segera berhenti, biar aku mati dihadapanmu saja!” Biasanya kata jimat itu sangat manjur hasilnya. Siapa tahu Kim Hui bukannya menghentikan serangan, dia malah menjawab sambil tertawa keras: “Hahaha, kali ini ancamanmu itu tidak manjur.” “Apa kau bilang?" teriak Lam-yan gusar, “kalau tidak percaya biar aku mati dulu dihadapanmu.” Gelak tertawa Kim Hui semakin keras. “Hahaha, pertarungan kali ini merupakan pertarungan mati hidup, bila aku menghentikan serangan, belum tentu si tua bangka Tu akan berhenti menyerang, artinya aku bakal mati dihajar dia. Masa kau tega membiarkan aku mati?" Lam-yan tertegun, dia tak bisa bersuara lagi. Sebagaimana diketahui, kata jimat kaum wanita terhadap suaminya, paling banter hanya ancaman kematian, begitu kata jimat ini tidak manjur, Lam-yan pun kehabisan daya. Siau Hui-uh pun sangat gelisah, dia hanya menghela napas tanpa sanggup berbuat apa apa. Dengan andalkan jurus serangan dan gerakan tubuh yang aneh, lambat laun Kim Hui berhasil merebut posisi diatas angin, ternyata semangat tempurnya semakin berkobar, apalagi berada dihadapan Lam-yan, dia semakin ingin mempamerkan kebolehannya. Tu Hun-thian sudah puluhan tahun malang melintang dalam dunia persilatan, diapun sudah menjumpai banyak jago lihay, tapi belum pernah sekali pun menjumpai gerakan tubuh seaneh yang dimiliki Kim Hui. Makin bertempur hatinya makin terkejut, semangat tempurnya jadi melemah, begitu melemah, dia semakin tak mampu melawn. Ketika melihat Kim Hui melontarkan satu pukulan, Tu Hun-thian tidak berusaha menghindar, diapun memapaki serangan itu dengan satu pukulan. “Blaaam!" begitu empat tangan saling beradu, dengan cepat melengket satu dengan lainnya. Dengan terjadinya keadaan ini, paras muka Lam-yan serta Siau Hui-uh berubah hebat, mereka sadar bila kedua orang ini mulai beradu tenaga dalam, maka akan semakin sulit untuk melerainya. Jangan lagi kedua orang itu, Kim Hui sendiripun ikut terperanjat, dia tak mengira kalau Tu Hun-thian bakal nekad melakukan tindakan tersebut. Sebab siapapun tahu, bila dua jago saling beradu tenaga dalam maka sebelum ada yang mati tak mungkin bisa berhenti dan tak bisa dilerai siapa pun, bahkan pada akhirnya bisa menyebabkan kedua belah pihak sama sama terluka. Bagi yang kalah, sudah pasti mati, sedang yang menang pun paling tidak akan terluka parah. Darimana mereka tahu kalau Tu Hun-thian sebagai jagoan yang pernah menjagoi dunia persilatan memiliki pengalaman yang luar biasa, bagaimana mungkin orang yang berpengalaman tidak bisa membedakan mana yang berbahaya mana yang tidak, tindakan kali ini memang sengaja dia lakukan karena punya maksud lain. Dia sadar, bicara soal gerakan tubuh, jelas dia bukan tandingan Kim Hui, bila pertarungan dilanjut maka pihaknya yang akan kalah, daripada begitu mending dia beradu nasib dengan mengambil langkah berbahaya ini. Begitu pertempuran berlangsung, Lam-yan dan Siau Hui-uh dibikin semakin terkesiap. Tampak paras muka kedua orang itu makin lama semakin bertambah serius, peluh yang membasahi jidat pun makin lama semakin bertambah banyak. Mendadak . . . . .. tubuh kedua orang itu terlihat lebih pendek berapa inci, setelah diamati, baru diketahui ternyata kaki mereka berdua sudah mulai amblas ke dalam tanah. Lam-yan menggenggam pergelangan tangan Siau Hui-uh erat-erat, dia nyaris tak berani melihat lagi, sedang Siau Hui-uh pun membelalakkan matanya tanpa berkedip, peluh dingin telah membasahi tubuh mereka berdua. Mereka sadar, walaupun Kim Hui dan Tu Hun-thian sudah tidak lagi menggerakkan tubuhnya, namun situasi bertambah gawat, setiap saat kemungkinan besar ada seorang diantara mereka yang bakal roboh terluka. Berbicara soal ilmu gerakan tubuh, biarpun Kim Hui jauh lebih sempurna ketimbang Tu Hun-thian, tapi bicara soal tenaga dalam, dia masih belum