Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ksatria Panji Sakti - 14

$
0
0
Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf

Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana

Thiat Tiong—tong tahu kalau Seng Cun-hau berniat melepaskan dia, maka pemuda ini lari sekuat kuatnya menjauhi tempat itu, namun baru kabur sejauh puluhan depa, tiba tiba lututnya terasa kesemutan, tiga batang jarum gadis langit yang lembut bagai bulu tahu tahu sudah bersarang telak ditubuhnya. Rasa sakit yang merasuk hingga ke tulang sumsum membuat langkahnya jadi terhuyung, hampir saja ia jatuh terjerembab, meski begitu perasaan hatinya agak lega karena dia tahu jarum itu tak beracun. Apabila jarum itu beracun maka mulut luka tak bakal menimbulkan rasa sakit, ini disebabkan tujuan Seng Toa-nio memang ingin membekuk lawannya hidup hidup, oleh sebab itu jarum yang digunakan adalah jarum tanpa racun. Thiat Tiong—tong menghembuskan napas panjang, dengan satu pukulan kuat dia menghantam bagian tubuhnya yang terluka, jarum yang menancap pun seketika terpental hingga mencuat setengah bagian dari permukaan kulit. Sambil menjepit dengan kedua jari tangannya, ia cabut keluar jarum perak itu lalu sambil menahan sakit melanjutkan kembali larinya. Kini dia bergerak makin berhati hati, dengan membawa berapa gumpal lumpur, setiap berjalan belasan langkah diapun segera melemparkan segumpal tanah ke sisi kiri dan kanan untuk memancing perhatian lawan, ketika mencapai pada lemparan yang ke lima, mendadak dari balik ranting pohon bergema suara desingan angin tajam. Buru buru Thiat Tiong-tong menyelinap ke samping dengan menempelkan punggungnya rapat rapat diatas dahan pohon. Terlihat belasan anak panah berhamburan dari empat penjuru mengarah dimana tanah tadi dilempar. Melihat itu sambil menggertak gigi Thiat Tiong-tong melemparkan lagi gumpalan tanah yang terakhir jauh ke depan sana. Kontan suara bentakan bergema dari atas dahan pohon: “Sasaran lari ke arah sana!” Empat sosok bayangan manusia meluncur turun dari atas pohon dan bersama sama melakukan pengejaran. Melihat itu Thiat Tiong—tong menghela napas panjang, sambil membalikkan badan dia menyelinap ke arah yang berlawanan. Meskipun dengan mengandalkan kecerdasannya beberapa kali ia berhasil membohongi musuh musuhnya, namun dia sendiripun tak tahu akhirnya dia mesti kabur ke mana. Dalam perjalanan berikut dia sama sekali tidak menjumpai penghadangan, Thiat Tiong—tong kembali berpikir: “Kalau hari ini aku berhasil lolos, berarti Thian telah membantuku, kalau tidak . . . . . ..” Belum selesai ingatan itu melintas, kembali terdengar suara bentakan memecahkan kesunyian: “Berhenti!” Cepat pemuda itu menyelinap ke sisi kiri, tampak dari balik pohon disisi kiri muncul sebuah busur dengan anak panah yang siap dilepaskan. Dengan tubuh penuh luka, jelas ia tak berani menerjang secara kekerasan, baru saja akan membalikkan badan tahu tahu dari belakang pohon disebelah kanan telah muncul seorang lelaki sambil membentak: “Mau kabur ke mana kau!” Sambil pejamkan mata Thiat Tiong—tong berbalik tubuh menerjang ke muka, tapi seseorang muncul lagi dari belakang pohon sambil menghardik: “Jangan harap bisa lolos dari sini!” seorang lelaki kekar dengan golok terhunus dan senyuman dingin telah menghadang jalan perginya. Anak muda itu mulai mengeluh: “Habis sudah riwayatku kali ini!” pikirnya. Dalam waktu singkat muncul empat orang lelaki kekar dari arah depan, belakang, kiri maupun kanan, dua diantaranya bersenjata golok dan dua lainnya membawa busur dan anak panah. Seandainya Thiat Tiong—tong seorang diri dan tenaganya masih kuat, tentu saja dia tak akan pandang sebelah mata terhadap ke empat orang lelaki itu, tapi sekarang, bukan saja ia sudah terluka, Im Ceng yang berada dalam bopongan pun dalam keadaan pingsan, jangan lagi dikepung berempat, cukup seorang lelaki biasa pun sudah cukup untuk merobohkan dirinya. Padahal ke empat orang itu selain gesit dan cekatan, khususnya lelaki bergolok itu, matanya tajam, ginkangnya tangguh, jelas dia adalah seorang jago pilihan dari dunia persilatan. Detik itu juga ia merasa putus asa, hilang lenyap seluruih rasa percaya dirinya. “Ooh suhu.....” pekiknya dalam hati, “tecu sungguh menyesal karena tak bisa mewakilimu melindungi sute, biarlah setelah jadi setan gentayangan nanti, akan kubantu kau orang tua dari alam baka!” Berpikir sampai disitu perasaan hatinya jadi jauh lebih tenang, sambil menghentikan langkahnya dan busungkan dada, dia menanti datangnya kematian. Selangkah demi selangkah ke empat orang lelaki itu berjalan mendekat, kelihatannya mereka masih takut bila Thiat Tiong—tong melakukan perlawanan, karena itu paras muka mereka rata rata tegang bercampur serius. “Hahahaha . . . . ..Kenapa mesti tegang?” ejek Thiat Tiong-tong sambil tertawa tergelak, “silahkan maju mendekat, sauya mu sudah siap memenuhi keinginan kalian, jangan kuatir, aku tak bakal menyerang!" Dengan wajah berubah lelaki bergolok itu tertawa dingin, hardiknya: “Manusia she-Thiat, ajal sudah didepan mata kau masih berani garang?” “Hmm, sauya mu sudah lama merasakan bagaimana enaknya mati, ayoh maju saja, jangan takut, Thiat sauya tak bakalan mengernyitkan dahi!” Sambil tertawa dingin lelaki bergolok itu memberi tanda, ujarnya: “Tangkap bangsat itu hidup hidup, jangan sakiti jiwanya, pocu butuh dia untuk diinterogasi!” Tampaknya lelaki bergolok itu adalah pemimpin rombongan, tiga orang lelaki lainnya segera menyahut, sambil menyimpan kembali senjatanya mereka maju mendekat. Meski begitu gerak geriknya masih kelihatan tegang dan penuh kewaspadaan. Thiat Tiong—tong berdiri tanpa bergerak, walaupun senyuman masih menghiasi wajahnya namun perasaan hatinya terasa kecut. Budi gurunya belum dibayar, dendam belum terbalas, dia tidak seharusnya tewas dengan begitu saja. Tapi keadaan berkata lain, dalam keadaan seperti ini kecuali jalan kematian memang tak ada pilihan lagi yang bisa diambil, karena itu dia hadapi kenyataan secara gagah berani. Lelaki bergolok itu masih berdiri dengan perasaan tegang, tak tenang dan penuh gejolak emosi, goloknya dipegang erat erat sementara telapak tangan kirinya telah menggenggam berapa batang senjata rahasia. Menanti ke tiga orang lelaki itu sudah hampir mendekati Thiat Tiong—tong, tiba tiba ia membentak: “Tunggu sebentar!” Sambil berseru dia maju ke depan. Sementara ke tiga orang lelaki itu masih melengak, tahu tahu lelaki itu sudah mengayunkan goloknya membacok lelaki yang ada disebelah kiri, sedangkan senjata rahasianya disambitkan ke dada lelaki yang ada di sebelah kanan. Lelaki ke tiga jadi terkesiap, buru buru dia lontarkan sebuah pukulan ke punggung Thiat Tiong—tong membuat pemuda itu terhuyung berapa langkah ke depan dan akhirnya jatuh tertelungkup. Lelaki bergolok itu membentak nyaring, cahaya golok berkelebat, ia bacok tengkuk lelaki itu kuat kuat. Cepat lelaki itu berkelit ke samping, teriaknya kaget: “Hey, kau sudah gila?” Kembali lelaki bergolok itu melancarkan tiga bacokan berantai, cahaya golok yang tercipta bagaikan sebuah rantai panjang yang mengurung lelaki itu rapat rapat. Pecah nyali lelaki itu menghadapi serangan maut tersebut, sambil menjerit keras dia membalikkan badan dan melarikan diri. Hawa napsu membunuh telah menyelimuti wajah lelaki bergolok itu, dia sama sekali tidak mengejar, menunggu sampai orang itu kabur sejauh tiga langkah, mendadak lelaki itu melemparkan goloknya ke muka dengan sepenuh tenaga. Sekilas bianglala membelah angkasa, bagai sambaran kilat golok itu meluncur ke depan dan menghujam di punggung lelaki itu. Bukan hanya begitu, kekuatan yang tersisa segera menyeret lelaki tadi hingga terpantek diatas dahan pohon. Tak sempat lagi menjerit kesakitan, tewaslah lelaki itu dalam keadaan mengenaskan. Thiat Tiong—tong berusaha meronta untuk duduk, meski lukanya cukup parah namun dia masih memeluk tubuh Im Ceng erat erat. Masih untung gempuran lelaki tadi dilancarkan dalam keadaan gugup hingga tidak sampai menimbulkan luka, karena itu setelah berhasil duduk, dengan perasaan tercengang bercampur tak habis mengerti, ditatapnya lelaki bergolok itu sambil bertanya: “Sobat, kau.... kenapa . . . . . ..” Sambil membesutkan noda darah pada laras sepatunya, lelaki itu menukas: “Tempat dan saat ini bukan saat yang tepat untuk bicara, Thiat kongcu, mari ikut aku kabur dari sini” “Kalau tidak kau jelaskan, mana mungkin aku bisa mengikutimu?” Setelah menghela napas lelaki bergolok itu berkata: “Dua puluh tahun berselang, Thiat locianpwee, leluhur dari Thiat kongcu pernah mengampuni jiwa seorang pemuda yang bernama Tio Ki—kong, meskipun Tio Ki—kong hanya seorang kasar namun selama dua puluh tahun tak pernah melupakan budi kebaikan itu, sayangnya Thiat locianpwee keburu pulang ke langit barat” Suaranya kedengaran agak gemetar, tapi dengan Cepat lanjutnya lagi: “oleh karena Tio Ki-kong tak mungkin bisa membayar budi ini dengan Thiat locianpwee, maka akan menyumbangkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk membantu keturunannya. Kongcu, tak jauh didepan sana adalah jalan menuju ke luar gunung, silahkan mengikuti Tio Ki—kong, berilah kesempatan kepadaku untuk membalas budi ini......" Thiat Tiong—tong berusaha bangkit berdiri, tapi ia terjatuh kembali ke tanah. Berubah paras muka Tio Ki-kong, buru buru dia membangunkan pemuda itu sambil berseru: “Cepat! Sedikit terlambat, semuanya akan berakhir!” Thiat Tiong—tong menggelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya sambil tertawa sedih: “Saudara Tio, boponglah saudaraku ini dan kaburlah dari sini, aku ....” “Bagaimana dengan kau?” “Aku sudah tak sanggup lagi, sementara kaupun tak mungkin II membopong kami berdua sekaligus.... “Kenapa tidak mungkin? Biar harus pertaruhkan nyawapun aku.....” “Kalau berbuat begitu berarti kita bertiga akan mati bersama, tinggalkan aku disini untuk menahan pasukan pengejar, dengan begitu kalian baru punya harapan untuk lolos” “Kongcu” dengan gemas Tio Ki—kong menghentakkan kakinya, “kenapa kau berkata begitu? Jika kongcu enggan pergi, biarlah aku orang she-Tio tetap tinggal disini untuk menemani kongcu” “Saudara Tio” kata Thiat Tiong—tong dengan suara berat, “kau adalah seorang lelaki sejati yang bisa membedakan mana budi mana dendam, apakah kau berharap aku menjadi seorang manusia yang lupa budi dan tidak setia kawan? Aku sudah banyak berhutang budi kepada guru, bila meninggalkan dia disini sementara aku melarikan diri, bukankah tindakanku ini lebih rendah dari hewan? Saudara Tio, jika kau menolak keinginanku, biarlah Thiat Tiong—tong bunuh diri sekarang juga!” Tio Ki-kong terkesiap dan tertegun untuk sesaat. Setelah menghela napas kembali Thiat Tiong—tong berkata: “Aku serahkan keselamatan saudaraku ini kepadamu, cepatlah tinggalkan tempat ini, asal kau berhasil selamatkan jiwanya, ayah pasti akan berterima kasih pula di alam baka” Pucat pias paras muka Tio Ki-kong, untuk sesaat dia malah berdiri mematung. “Cepat lari!” seru Thiat Tiong—tong lagi, “menolong dia sama seperti menolongku, kalau tidak segera pergi, aku akan mati dulu dihadapanmu” Sambil menggertak gigi Tio Ki-kong berseru kemudian: “Tak kusangka kongcu adalah seorang lelaki sejati . . . . . .. baik! Kukabulkan permintaanmu!” Sambil berjongkok dia bopong tubuh Im Ceng, kemudian berlalu dari situ dengan langkah lebar.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>