Cerita Silat | Imam Tanpa Bayangan II | oleh Xiao Say | Imam Tanpa Bayangan II | Cersil Sakti | Imam Tanpa Bayangan II pdf
Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti
GADIS BERGELANG EMAS itu segera menggeleng. "Dengan kejadian ini maka racun ulat emas yang mengeram dalam tubuhnya, dalam waktu dua jam lagi bakal mati semua..." Ia merandek sejenak, lalu katanya lagi : "Sebab ulat-ulat emas itu adalah binatang pemakan darah, andaikata tak ada darah yang dimakan maka racun ulat emas itu bakal mati dengan sendirinya." "Ooooh karena itulah siaocia hendak mendesak ulat- ulat emas itu kembali ke jantung?" seru Sioe To menjadi paham. "Sedikit pun tidak salah, aku memang hendak berbuat demikian! Coba lihat bukankah di atas wajahnya sudah tidak terlihat tanda-tanda warna emas lagi bukan?" "Aaaah....!" mendadak Chee Thian Gak merintih, kemudian merangkak bangun dari atas tanah. Rupanya gadis bergelang emas itu tidak menyangka kalau pemuda she chee itu bisa mendusin demikian cepatnya, ia terperanjat dan segera serunya : "Kau... kau bisa merangkak bangun?" Perlahan-lahan Chee Thian Gak membuka matanya, ketika menjumpai seorang gadis bergelang emas dengan dandanan yang aneh sedang berdiri di hadapannya, ia segera menegur dengan nada tercengang : "Siapa kau? Tempat manakah ini?" "Aku bernama Pek-li Cien Cien, dan siapa kau?" "Cayhe..." Mendadak ia rasakan perutnya teramat sakit seolah- olah ada seekor ular yang sedang menggigit ususnya, ucapannya seketika merandek. Sambil tarik napas dalam-dalam ia segera salurkan hawa murninya mengelilingi seluruh badan dan mulai bersemedi. Dalam waktu singkat wajahnya telah berubah jadi merah padam, jubah merah yang dikenakan perlahan-lahan ikut mengembung, himpunan hawa murni yang amat dahsyat dengan mengikuti peredaran darahnya menyerang ke arah bagian tubuhnya yang terasa amat sakit. Pek-li Cien Cien yang menyaksikan keadaan itu dalam hati merasa amat terperanjat, ia tak menyangka kalau tenaga lweekang yang dimiliki lelaki berjubah merah itu demikian dahsyatnya. Gadis itu segera berpikir : "Mimpi pun aku tak pernah menyangka setelah tubuhnya terkena racun ulat emas dari suhu, dia masih mampu untuk mengerahkan tenaga dalamnya... ia betul-betul hebat..." Beberapa saat kemudian dari atas batok kepalanya mengepul kabut berwarna putih, makin lama makin menebal hingga akhirnya seluruh batok kepalanya terlapis oleh kabut berwarna putih itu. "Siaocia," seru Sioe To dengan nada terkesiap. "Dia jauh lebih hebat dari loo-ya kita..." "Sstt, jangan bicara!" seru Pek-li Cien Cien sambil merapatkan jari tangannya di atas bibir. Kemudian dengan wajah penuh napsu membunuh selangkah demi selangkah ia maju mendekati tubuh si anak muda itu, jari tangannya dipertegang siap-siap melancarkan totokan. Andaikata totokan tersebut bersarang di tubuh si anak muda itu, maka niscaya Chee Thian Gak bakal mengalami jalan api menuju neraka, hawa murninya seketika akan buyar dan tubuhnya jadi Pan-swie. Desiran angin tajam menderu-deru ujung jari gadis itu telah merobek jubah merah yang dikenakan Chee Thian Gak dan menotok jalan darah Beng-bun hiat di atas punggung lawan. Pada detik terakhir sebelum jarinya mengenai sasaran mendadak pemuda she Chee itu menggeser sedikit tubuhnya ke samping, tanpa menunjukkan reaksi apa pun ia meneruskan semedinya mengatur pernapasan. Air muka Pek-li Cien Cien berubah hebat, ia merasakan kedua jari tangannya seakan menotok di atas papan baja yang keras membuat tangannya jadi linu dan kaku. Dengan hati terkesiap ia mundur satu langkah ke belakang, pikirnya : "Tidak aneh kalau suhu terpaksa harus melepaskan racun ulat emas untuk menghadapi dirinya, dalam mengatur pernapasan untuk menyembuhkan lukanya pun ia masih mampu untuk melindungi diri sendiri, kepandaian dahsyat seperti ini boleh dibilang jauh melebihi kemampuan suhuku sendiri..." Ia gigit ujung bibirnya lalu berpikir lebih jauh : "Andaikata aku berhasil menangkap dirinya, betapa senang dan gembiranya suhu, waktu itu dia pasti akan memuji diriku jauh lebih mengerti akan urusan." Dalam pada itu Chee Thian Gak telah berhasil menyudutkan racun ulat emas yang dilepaskan si Dukun sakti berwajah jelek di dlm jalan darah Ci Tong hiat dengan andalkan hawa murni aliran panasnya, setelah itu semua jalan darahnya ditutup rapat-rapat. Ia menghembuskan napas panjang dan siap meloncat bangun. Menggunakan kesempatan itulah Pek-li Cien Cien tiba-tiba meloncat ke depan, telapaknya segera ditekankan ke atas batok kepala si anak muda itu. "Jangan berdiri!" bentaknya dengan wajah penuh napsu membunuh. Chee Thian Gak melengak, segera tegurnya : "Eeeei... apa yang hendak kau lakukan?" ****** Bagian 18 "APAKAH KAU bermusuhan dengan si Dukun sakti berwajah jelek dari wilayah Biauw sehingga ia melepaskan racun ulat emas ke dalam tubuhmu?" tegur Pek-li Cien Cien. Dalam hati Chee Thian Gak sadar bahwa ia telah bertemu lagi dengan musuh tangguh, ia hanya heran bahwa dirinya sama sekali tidak kenal dengan dara berdandan aneh ini, apa sebabnya sekarang ia malah diancam? Maka sahutnya : Sedikit pun tidak salah, siapa kau ?" "Kau tak usah mengurusi siapakah aku!" "Haaaah... haaaah... haaaah... sudah lama cayhe berkelana di dalam dunia persilatan, tapi belum pernah kujumpai ada orang berani mengancam keselamatanku dengan cara begini." "Sekarang akan kusuruh kau rasakan bagaimanakah rasanya kalau diancam orang..." sahut Pek-li Cien Cien sambil tertawa dingin. Chee Thian Gak tersenyum. "Sebenarnya apa yang hendak kau lakukan terhadap diriku?" "Putar wajahmu menghadap kemari!" "Seandainya aku tidak mau mendengarkan perkataanmu?" jengek Chee Thian Gak diam-diam merasa geli. "Kalau kau berani membangkang maka sekali tepuk kuhajar jalan darah 'Pek Hoei hiat'mu, kau tentu tahu bukan bagaimana akibatnya?" "Hingga detik belum pernah aku diancam orang dengan cara seperti ini," pikir pemuda she Chee ini di dalam hati. "Pengin kulihat siapakah sebenarnya orang ini?" Perlahan-lahan ia menoleh, tampaklah seraut wajah yang amat cantik terpancang di depan matanya, meski ayu rupawan sayang matanya membawa napsu membunuh dan bibirnya tersungging senyuman yang amat dingin, membuat hati orang yang melihat merasa bergidik. Pek-li Cien Cien sendiri diam-diam mengerutkan dahinya sewaktu menyaksikan cambang serta rambut Chee Thian Gak yang awut-awutan, tegurnya dengan nada jengkel : "Hey, sudah berapa lama sih kau belum mandi?" Pertanyaan ini bukan saja lucu bahkan menunjukkan wataknya yang polos da bersifat kekanak-kanakan, membuat Chee Thian Gak yang mendengar mau tertawa tak bisa mau menangis pun sungkan, ia tertawa getir : "Apa maksudmu mengajukan pertanyaan seperti ini? Apakah kau hendak ajak dirimu mandi bersama?" "Sebelum kukirim dirimu menghadap suhu, kau pasti akan kumandikan lebih dahulu!" Haruslah diketahui sejak kecil gadis ini telah dibawa si dukun sakti berwajah seram pindah ke wilayah Biauw, pergaulannya dengan bangsa Biauw membuat dara ini terbiasa pula mengikuti tata cara mereka untuk mandi tiga kali setiap harinya. Kini menyaksikan keadaan tubuh Chee Thian Gak yang dekil dan kotor, badannya tanpa terasa jadi ikut gatal hingga timbul niatnya untuk memandikan tubuh si anak muda itu. Sebaliknya bagi Chee Thian Gak sendiri, ketika dilihatnya sifat kekanak-kanakan gadis itu belum hilang, bahkan bicara pun blak-blakan tanpa tedeng aling-aling, niatnya untuk menusuk telapak tangan gadis itu dengan rambutnya kemudian menawan dirinya segera dibatalkan. Setelah hidup dalam ketegangan selama beberapa tahun, timbul keinginan dalam hati si pemuda ini untuk mencari sedikit hiburan. Ia mendehem lalu bertanya : "Sungguhkah kau hendak memandikan diriku?" "Apakah kau merasa keberatan untuk menghilangkan kotoran serta dekil yang melekat tubuhmu?" Pek-li Cien Cien balik bertanya dengan mata terbelalak besar. "Kau hendak mandikan diriku, apakah tidak takut dimarahi gurumu?" Untuk sesaat Pek-li Cien Cien tak dapat menangkap makna sebenarnya dari ucapan itu, dengan nada serius sahutnya : "Suhuku dia orang tua paling suka akan kebersihan, tentu saja dia tak akan memarahi diriku." "Haaaah... haaaah... haaaah... dengan keadaan suhumu yang dekil dan kotor masa ia suka akan kebersihan?" "Kau berani memaki suhuku? Hati-hati, kubunuh dirimu!" ancam Pek-li Cien Cien dengan mata melotot. Chee Thian Gak berhenti tertawa, tanyanya : "Benarkah suhumu adalah si dukun sakti berwajah seram?" "Sedikit pun tidak salah, kali ini aku telah mengikuti dia orang tua kembali ke daratan Tionggoan." Chee Thian Gak melirik sekejap ke arah gadis berbaju hijau yang berdiri di samping itu, kemudian katanya lagi : "Kalau begitu rumahmu pastilah berada di sekitar sini?... Siapakah ayahmu?" Pek-li Cien Cien tidak menjawab, sebaliknya menatap sepasang mata si anak muda itu pujinya : "Ooooh, sungguh indah sepasang matamu!" Sioe To yang berdiri di samping, ketika dilihatnya secara tiba-tiba nona majikannya memegang batok kepala lelaki setengah baya itu dengan tangan telanjang kemudian bergurau dan bercakap-cakap dengan bebasnya, dalam hati segera berpikir : "Sungguh besar nyali siaocia ini, bukan saja tangan dan kakinya telanjang bahkan bergurau dan bercakap-cakap seenaknya dengan seorang pria asing... tidak aneh kalau orang bilang manusia- manusia dari wilayah Biauw adalah manusia-manusia liar..." Ketika ia mendengar pujian dari siaocia-nya barusan, tanpa terasa gadis itu ikut alihkan sinar matanya ke arah sepasang mata Chee Thian Gak, tapi begitu sorot matanya terbentur dengan sorot mata lawan, jantungnya kontan berdebar keras, buru-buru ia melengos ke samping. Tampak Chee Thian Gak tersenyum, ujarnya : "Eeei... aku toh sedang bertanya siapakah nama ayahmu, mengapa kau alihkan pembicaraan ke situ?" "Looya kami adalah setengah kilat Pek li Sie yang amat tersohor namanya di daerah sekitar Su cuan," buru-buru Sioe To menjawab. "Hey," tiba-tiba terdengar Pek-li Cien Cien berseru lagi dengan nada kesemsem, "Secara mendadak kutemukan bahwa gigimu rapi dan putih, waktu tertawa nampak sangat indah dan menarik. Hey, seandainya cambangmu dicukur mungkin wajahmu kelihatan semakin menarik!" Chee Thian Gak mengerutkan alisnya. "Apakah ayahmu juga tidak mengurusi dirimu?" serunya. "Hey, Pek-li Cien Cien, apakah ia setuju kalau kau mandikan diriku?" Rupanya pada saat itulah Sioe To baru menyadari maksud lain dari ucapan Chee Thian Gak barusan, ia segera berteriak : "Siaocia, kau tertipu, ia sudah mengejek dan menghina dirimu!" Pek-li Cien Cien termenung dan berpikir sebentar, akhirnya dia pun menyadari akan maksud lain daripada ucapan itu, merah jengah selembar wajahnya. "Ciiss, berani benar kau bermaksud jelek terhadap diriku," makinya kalang kabut. Hawa murninya segera disalurkan ke dalam telapak, dalam gusar dan malunya ia telah himpun segenap kemampuannya untuk melancarkan sebuah tabokan. Chee Thian Gak sendiri baru menyesal setelah ucapan itu meluncur keluar, ia merasa tidak sepantasnya kalau mengucapkan kata-kata serendah itu, tapi ia tak pernah menyangka kalau Pek-li Cien Cien secara tiba-tiba bisa melancarkan serangan. Dalam keadaan tidak bersiap sedia, hawa murninya segera buyar, kepalanya terasa pusing tujuh keliling dan seketika itu juga pemuda tersebut jatuh tak sadarkan diri. Andaikata peristiwa ini diketahui oleh Song Kim Toa Lhama atau Hoa Pek Tuo sekalian jago-jago lihay, mereka pasti tak akan percaya dengan kemampuan silat yang dimiliki Chee Thian Gak ternyata berhasil dihajar pingsan oleh seorang gadis cilik, andaikata Oorchad mengetahui akan hal ini maka ia pasti tak akan mempercayai pandangan matanya sendiri. Melihat musuhnya roboh tak sadarkan diri, Pek-li Cien Cien segera berseru sambil tertawa dingin : "Hmmm, aku masih mengira dia punya kemampuan yang begitu hebat sehingga berani mengucapkan kata-kata semacam itu terhadap diriku. Hmmm! Sekarang akan coba kulihat perkataan apa lagi yang sanggup dia utarakan keluar!" "Siaocia, apa yang hendak kau lakukan terhadap dirinya?" "Boyong di pulang ke rumah, kemudian cari orang suruh mandikan dirinya, setelah itu menunggu sampai suhu pulang. Akan kuserahkan keparat ini pada suhu." "Tapi siaocia... bagaimana caranya kita boyong lelaki ini pulang ke dalam perkampungan?" Sioe To merengek kesulitan. "Goblok, gotong saja dia keatas kuda kemudian kita masuk melalui pintu belakang perkampungan, bukankah beres sudah persoalannya?" Bicara sampai di situ sinar matanya dialihkan ke atas wajah Chee Thian Gak, di antara bibirnya yang terbungkam terlintas rasa penyesalan yang tebal, apakah ia sedang menyesal karena telah melakukan perbuatan salah? ..... Entah berapa saat lamanya telah lewat, Chee Thian Gak mendusin kembali, ia merasa dirinya berada di sebuah taman bunga yang sedang mekar dan menyiarkan bau harum... Mendadak... ia mendengar ada orang memanggil dirinya, suara itu seolah-olah datang dari suatu tempat yang sangat jauh tapi terasa dekat pula di sisi tubuhnya. Ia lari menuju ke tengah kebun, mencari sumber asal mulanya suara tadi... akhirnya dia benar-benar mendusin. "Thian... terima kasih atas kemurahanmu, akhirnya aku sadar kembali!" Serentetan suara yang merdu berkumandang dari sisi telinganya, si anak muda itu terperanjat, sekarang ia baru sadar bahwa dirinya bukan berada dalam impian. Mengikuti arah berasalnya suara tadi, ia saksikan Pek- li Cien Cien sedang berdiri di sisi pembaringan sambil memandang ke arahnya dengan wajah berseri-seri, dua buah lampu lentera tergantung di kedua belah samping menyoroti wajahnya yang cantik. Hanya sekejap saja, ia segera teringat bagaimana mungkin dirinya bisa berbaring di atas pembaringan yang menyiarkan bau wangi ini, pemuda itu berseru tertahan kemudian meloncat bangun dari atas ranjang.
Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti
GADIS BERGELANG EMAS itu segera menggeleng. "Dengan kejadian ini maka racun ulat emas yang mengeram dalam tubuhnya, dalam waktu dua jam lagi bakal mati semua..." Ia merandek sejenak, lalu katanya lagi : "Sebab ulat-ulat emas itu adalah binatang pemakan darah, andaikata tak ada darah yang dimakan maka racun ulat emas itu bakal mati dengan sendirinya." "Ooooh karena itulah siaocia hendak mendesak ulat- ulat emas itu kembali ke jantung?" seru Sioe To menjadi paham. "Sedikit pun tidak salah, aku memang hendak berbuat demikian! Coba lihat bukankah di atas wajahnya sudah tidak terlihat tanda-tanda warna emas lagi bukan?" "Aaaah....!" mendadak Chee Thian Gak merintih, kemudian merangkak bangun dari atas tanah. Rupanya gadis bergelang emas itu tidak menyangka kalau pemuda she chee itu bisa mendusin demikian cepatnya, ia terperanjat dan segera serunya : "Kau... kau bisa merangkak bangun?" Perlahan-lahan Chee Thian Gak membuka matanya, ketika menjumpai seorang gadis bergelang emas dengan dandanan yang aneh sedang berdiri di hadapannya, ia segera menegur dengan nada tercengang : "Siapa kau? Tempat manakah ini?" "Aku bernama Pek-li Cien Cien, dan siapa kau?" "Cayhe..." Mendadak ia rasakan perutnya teramat sakit seolah- olah ada seekor ular yang sedang menggigit ususnya, ucapannya seketika merandek. Sambil tarik napas dalam-dalam ia segera salurkan hawa murninya mengelilingi seluruh badan dan mulai bersemedi. Dalam waktu singkat wajahnya telah berubah jadi merah padam, jubah merah yang dikenakan perlahan-lahan ikut mengembung, himpunan hawa murni yang amat dahsyat dengan mengikuti peredaran darahnya menyerang ke arah bagian tubuhnya yang terasa amat sakit. Pek-li Cien Cien yang menyaksikan keadaan itu dalam hati merasa amat terperanjat, ia tak menyangka kalau tenaga lweekang yang dimiliki lelaki berjubah merah itu demikian dahsyatnya. Gadis itu segera berpikir : "Mimpi pun aku tak pernah menyangka setelah tubuhnya terkena racun ulat emas dari suhu, dia masih mampu untuk mengerahkan tenaga dalamnya... ia betul-betul hebat..." Beberapa saat kemudian dari atas batok kepalanya mengepul kabut berwarna putih, makin lama makin menebal hingga akhirnya seluruh batok kepalanya terlapis oleh kabut berwarna putih itu. "Siaocia," seru Sioe To dengan nada terkesiap. "Dia jauh lebih hebat dari loo-ya kita..." "Sstt, jangan bicara!" seru Pek-li Cien Cien sambil merapatkan jari tangannya di atas bibir. Kemudian dengan wajah penuh napsu membunuh selangkah demi selangkah ia maju mendekati tubuh si anak muda itu, jari tangannya dipertegang siap-siap melancarkan totokan. Andaikata totokan tersebut bersarang di tubuh si anak muda itu, maka niscaya Chee Thian Gak bakal mengalami jalan api menuju neraka, hawa murninya seketika akan buyar dan tubuhnya jadi Pan-swie. Desiran angin tajam menderu-deru ujung jari gadis itu telah merobek jubah merah yang dikenakan Chee Thian Gak dan menotok jalan darah Beng-bun hiat di atas punggung lawan. Pada detik terakhir sebelum jarinya mengenai sasaran mendadak pemuda she Chee itu menggeser sedikit tubuhnya ke samping, tanpa menunjukkan reaksi apa pun ia meneruskan semedinya mengatur pernapasan. Air muka Pek-li Cien Cien berubah hebat, ia merasakan kedua jari tangannya seakan menotok di atas papan baja yang keras membuat tangannya jadi linu dan kaku. Dengan hati terkesiap ia mundur satu langkah ke belakang, pikirnya : "Tidak aneh kalau suhu terpaksa harus melepaskan racun ulat emas untuk menghadapi dirinya, dalam mengatur pernapasan untuk menyembuhkan lukanya pun ia masih mampu untuk melindungi diri sendiri, kepandaian dahsyat seperti ini boleh dibilang jauh melebihi kemampuan suhuku sendiri..." Ia gigit ujung bibirnya lalu berpikir lebih jauh : "Andaikata aku berhasil menangkap dirinya, betapa senang dan gembiranya suhu, waktu itu dia pasti akan memuji diriku jauh lebih mengerti akan urusan." Dalam pada itu Chee Thian Gak telah berhasil menyudutkan racun ulat emas yang dilepaskan si Dukun sakti berwajah jelek di dlm jalan darah Ci Tong hiat dengan andalkan hawa murni aliran panasnya, setelah itu semua jalan darahnya ditutup rapat-rapat. Ia menghembuskan napas panjang dan siap meloncat bangun. Menggunakan kesempatan itulah Pek-li Cien Cien tiba-tiba meloncat ke depan, telapaknya segera ditekankan ke atas batok kepala si anak muda itu. "Jangan berdiri!" bentaknya dengan wajah penuh napsu membunuh. Chee Thian Gak melengak, segera tegurnya : "Eeeei... apa yang hendak kau lakukan?" ****** Bagian 18 "APAKAH KAU bermusuhan dengan si Dukun sakti berwajah jelek dari wilayah Biauw sehingga ia melepaskan racun ulat emas ke dalam tubuhmu?" tegur Pek-li Cien Cien. Dalam hati Chee Thian Gak sadar bahwa ia telah bertemu lagi dengan musuh tangguh, ia hanya heran bahwa dirinya sama sekali tidak kenal dengan dara berdandan aneh ini, apa sebabnya sekarang ia malah diancam? Maka sahutnya : Sedikit pun tidak salah, siapa kau ?" "Kau tak usah mengurusi siapakah aku!" "Haaaah... haaaah... haaaah... sudah lama cayhe berkelana di dalam dunia persilatan, tapi belum pernah kujumpai ada orang berani mengancam keselamatanku dengan cara begini." "Sekarang akan kusuruh kau rasakan bagaimanakah rasanya kalau diancam orang..." sahut Pek-li Cien Cien sambil tertawa dingin. Chee Thian Gak tersenyum. "Sebenarnya apa yang hendak kau lakukan terhadap diriku?" "Putar wajahmu menghadap kemari!" "Seandainya aku tidak mau mendengarkan perkataanmu?" jengek Chee Thian Gak diam-diam merasa geli. "Kalau kau berani membangkang maka sekali tepuk kuhajar jalan darah 'Pek Hoei hiat'mu, kau tentu tahu bukan bagaimana akibatnya?" "Hingga detik belum pernah aku diancam orang dengan cara seperti ini," pikir pemuda she Chee ini di dalam hati. "Pengin kulihat siapakah sebenarnya orang ini?" Perlahan-lahan ia menoleh, tampaklah seraut wajah yang amat cantik terpancang di depan matanya, meski ayu rupawan sayang matanya membawa napsu membunuh dan bibirnya tersungging senyuman yang amat dingin, membuat hati orang yang melihat merasa bergidik. Pek-li Cien Cien sendiri diam-diam mengerutkan dahinya sewaktu menyaksikan cambang serta rambut Chee Thian Gak yang awut-awutan, tegurnya dengan nada jengkel : "Hey, sudah berapa lama sih kau belum mandi?" Pertanyaan ini bukan saja lucu bahkan menunjukkan wataknya yang polos da bersifat kekanak-kanakan, membuat Chee Thian Gak yang mendengar mau tertawa tak bisa mau menangis pun sungkan, ia tertawa getir : "Apa maksudmu mengajukan pertanyaan seperti ini? Apakah kau hendak ajak dirimu mandi bersama?" "Sebelum kukirim dirimu menghadap suhu, kau pasti akan kumandikan lebih dahulu!" Haruslah diketahui sejak kecil gadis ini telah dibawa si dukun sakti berwajah seram pindah ke wilayah Biauw, pergaulannya dengan bangsa Biauw membuat dara ini terbiasa pula mengikuti tata cara mereka untuk mandi tiga kali setiap harinya. Kini menyaksikan keadaan tubuh Chee Thian Gak yang dekil dan kotor, badannya tanpa terasa jadi ikut gatal hingga timbul niatnya untuk memandikan tubuh si anak muda itu. Sebaliknya bagi Chee Thian Gak sendiri, ketika dilihatnya sifat kekanak-kanakan gadis itu belum hilang, bahkan bicara pun blak-blakan tanpa tedeng aling-aling, niatnya untuk menusuk telapak tangan gadis itu dengan rambutnya kemudian menawan dirinya segera dibatalkan. Setelah hidup dalam ketegangan selama beberapa tahun, timbul keinginan dalam hati si pemuda ini untuk mencari sedikit hiburan. Ia mendehem lalu bertanya : "Sungguhkah kau hendak memandikan diriku?" "Apakah kau merasa keberatan untuk menghilangkan kotoran serta dekil yang melekat tubuhmu?" Pek-li Cien Cien balik bertanya dengan mata terbelalak besar. "Kau hendak mandikan diriku, apakah tidak takut dimarahi gurumu?" Untuk sesaat Pek-li Cien Cien tak dapat menangkap makna sebenarnya dari ucapan itu, dengan nada serius sahutnya : "Suhuku dia orang tua paling suka akan kebersihan, tentu saja dia tak akan memarahi diriku." "Haaaah... haaaah... haaaah... dengan keadaan suhumu yang dekil dan kotor masa ia suka akan kebersihan?" "Kau berani memaki suhuku? Hati-hati, kubunuh dirimu!" ancam Pek-li Cien Cien dengan mata melotot. Chee Thian Gak berhenti tertawa, tanyanya : "Benarkah suhumu adalah si dukun sakti berwajah seram?" "Sedikit pun tidak salah, kali ini aku telah mengikuti dia orang tua kembali ke daratan Tionggoan." Chee Thian Gak melirik sekejap ke arah gadis berbaju hijau yang berdiri di samping itu, kemudian katanya lagi : "Kalau begitu rumahmu pastilah berada di sekitar sini?... Siapakah ayahmu?" Pek-li Cien Cien tidak menjawab, sebaliknya menatap sepasang mata si anak muda itu pujinya : "Ooooh, sungguh indah sepasang matamu!" Sioe To yang berdiri di samping, ketika dilihatnya secara tiba-tiba nona majikannya memegang batok kepala lelaki setengah baya itu dengan tangan telanjang kemudian bergurau dan bercakap-cakap dengan bebasnya, dalam hati segera berpikir : "Sungguh besar nyali siaocia ini, bukan saja tangan dan kakinya telanjang bahkan bergurau dan bercakap-cakap seenaknya dengan seorang pria asing... tidak aneh kalau orang bilang manusia- manusia dari wilayah Biauw adalah manusia-manusia liar..." Ketika ia mendengar pujian dari siaocia-nya barusan, tanpa terasa gadis itu ikut alihkan sinar matanya ke arah sepasang mata Chee Thian Gak, tapi begitu sorot matanya terbentur dengan sorot mata lawan, jantungnya kontan berdebar keras, buru-buru ia melengos ke samping. Tampak Chee Thian Gak tersenyum, ujarnya : "Eeei... aku toh sedang bertanya siapakah nama ayahmu, mengapa kau alihkan pembicaraan ke situ?" "Looya kami adalah setengah kilat Pek li Sie yang amat tersohor namanya di daerah sekitar Su cuan," buru-buru Sioe To menjawab. "Hey," tiba-tiba terdengar Pek-li Cien Cien berseru lagi dengan nada kesemsem, "Secara mendadak kutemukan bahwa gigimu rapi dan putih, waktu tertawa nampak sangat indah dan menarik. Hey, seandainya cambangmu dicukur mungkin wajahmu kelihatan semakin menarik!" Chee Thian Gak mengerutkan alisnya. "Apakah ayahmu juga tidak mengurusi dirimu?" serunya. "Hey, Pek-li Cien Cien, apakah ia setuju kalau kau mandikan diriku?" Rupanya pada saat itulah Sioe To baru menyadari maksud lain dari ucapan Chee Thian Gak barusan, ia segera berteriak : "Siaocia, kau tertipu, ia sudah mengejek dan menghina dirimu!" Pek-li Cien Cien termenung dan berpikir sebentar, akhirnya dia pun menyadari akan maksud lain daripada ucapan itu, merah jengah selembar wajahnya. "Ciiss, berani benar kau bermaksud jelek terhadap diriku," makinya kalang kabut. Hawa murninya segera disalurkan ke dalam telapak, dalam gusar dan malunya ia telah himpun segenap kemampuannya untuk melancarkan sebuah tabokan. Chee Thian Gak sendiri baru menyesal setelah ucapan itu meluncur keluar, ia merasa tidak sepantasnya kalau mengucapkan kata-kata serendah itu, tapi ia tak pernah menyangka kalau Pek-li Cien Cien secara tiba-tiba bisa melancarkan serangan. Dalam keadaan tidak bersiap sedia, hawa murninya segera buyar, kepalanya terasa pusing tujuh keliling dan seketika itu juga pemuda tersebut jatuh tak sadarkan diri. Andaikata peristiwa ini diketahui oleh Song Kim Toa Lhama atau Hoa Pek Tuo sekalian jago-jago lihay, mereka pasti tak akan percaya dengan kemampuan silat yang dimiliki Chee Thian Gak ternyata berhasil dihajar pingsan oleh seorang gadis cilik, andaikata Oorchad mengetahui akan hal ini maka ia pasti tak akan mempercayai pandangan matanya sendiri. Melihat musuhnya roboh tak sadarkan diri, Pek-li Cien Cien segera berseru sambil tertawa dingin : "Hmmm, aku masih mengira dia punya kemampuan yang begitu hebat sehingga berani mengucapkan kata-kata semacam itu terhadap diriku. Hmmm! Sekarang akan coba kulihat perkataan apa lagi yang sanggup dia utarakan keluar!" "Siaocia, apa yang hendak kau lakukan terhadap dirinya?" "Boyong di pulang ke rumah, kemudian cari orang suruh mandikan dirinya, setelah itu menunggu sampai suhu pulang. Akan kuserahkan keparat ini pada suhu." "Tapi siaocia... bagaimana caranya kita boyong lelaki ini pulang ke dalam perkampungan?" Sioe To merengek kesulitan. "Goblok, gotong saja dia keatas kuda kemudian kita masuk melalui pintu belakang perkampungan, bukankah beres sudah persoalannya?" Bicara sampai di situ sinar matanya dialihkan ke atas wajah Chee Thian Gak, di antara bibirnya yang terbungkam terlintas rasa penyesalan yang tebal, apakah ia sedang menyesal karena telah melakukan perbuatan salah? ..... Entah berapa saat lamanya telah lewat, Chee Thian Gak mendusin kembali, ia merasa dirinya berada di sebuah taman bunga yang sedang mekar dan menyiarkan bau harum... Mendadak... ia mendengar ada orang memanggil dirinya, suara itu seolah-olah datang dari suatu tempat yang sangat jauh tapi terasa dekat pula di sisi tubuhnya. Ia lari menuju ke tengah kebun, mencari sumber asal mulanya suara tadi... akhirnya dia benar-benar mendusin. "Thian... terima kasih atas kemurahanmu, akhirnya aku sadar kembali!" Serentetan suara yang merdu berkumandang dari sisi telinganya, si anak muda itu terperanjat, sekarang ia baru sadar bahwa dirinya bukan berada dalam impian. Mengikuti arah berasalnya suara tadi, ia saksikan Pek- li Cien Cien sedang berdiri di sisi pembaringan sambil memandang ke arahnya dengan wajah berseri-seri, dua buah lampu lentera tergantung di kedua belah samping menyoroti wajahnya yang cantik. Hanya sekejap saja, ia segera teringat bagaimana mungkin dirinya bisa berbaring di atas pembaringan yang menyiarkan bau wangi ini, pemuda itu berseru tertahan kemudian meloncat bangun dari atas ranjang.