Cerita Silat | Imam Tanpa Bayangan II | oleh Xiao Say | Imam Tanpa Bayangan II | Cersil Sakti | Imam Tanpa Bayangan II pdf
Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti
Ia menghembuskan napas panjang dan berjalan ke depan cermin, di situ perlahan-lahan ia lepaskan baju luarnya, melepaskan gelang emas yang dikenakan di lengannya dan unjukkan senyuman manis ke hadapan cermin gumamnya dengan suara lirih : "Mulai besok, kau telah menjadi Pek hujien!" Dari atas meja ia mengambil seutas kain tipis untuk mengikat rambutnya yang panjang dan lebar, kemudian melepaskan gaun dan pakaian hingga akhirnya tinggal kutang berwarna merah serta celana dalamnya yang tipis.. Diikuti ia menguap keras, memadamkan lampu lentera dalam kamar hingga suasana jadi gelap gulita... Di tengah kegelapan terdengar kelambu diturunkan serta suara gemericitan di atas pembaringan, setelah itu suasana pulih kembali dalam kesunyian... Malam itu adalah suatu malam yang lembut dan hangat... kelembutan yang membawa kemesraan serta keharuan... membuat orang susah melupakan kenangan manis itu... ..... Sambil berpangku tangan Pek In Hoei berdiri termangu-mangu di pinggir sungai yang membentang di sisi perkampungan Hong Yap Sancung, hatinya terasa amat risau dan diliputi oleh kesedihan. "Mungkin selama hidupku tak akan kujumpai suatu percintaan yang betul-betul kekal dan abadi... semua kelembutan, kemesraan serta kehangatan selamanya tak akan bisa berdiam terlalu lama di sisi tubuhku..." pikir di dalam hati. Kong Yo Siok Peng, Wie Chin Siang serta ibpt semua pernah membakar api cinta yang tersembunyi dalam hatinya, tetapi kobaran api cinta itu hanya kobaran sebentar saja, tidak lama kemudian padam dan musnah dengan sendirinya, kini ia harus berdiam dalam perkampung Hong Yap Sancung dan menerima perawatan serta cinta kasih dari Pek li Cian Cian. Nasib telah menentukan setiap gerak-geriknya, hidup yang terombang-ambing bagaikan daun kering terhembus angin memaksa dia harus muncul dalam dunia persilatan dan menghadapi pelbagai peristiwa dan kejadian dengan raut wajah yang berbeda. "Aaaa...! Inilah kesedihan yang terbesar dalam kehidupan seorang manusia," gumamnya dengan kepala tertunduk rendah-rendah. "Pekerjaan yang paling disukai tak bisa dilakukan, orang yang dicintai tak bisa didapatkan..." Suara gemerincingan merdu berkumandang datang dari arah belakang, tanpa berpaling lagi ia telah mengetahui siapa yang telah datang, tetapi ia pura- pura berlagak pilon, sorot matanya segera dialihkan ke atas mega putih yang melayang-layang di tengah udara. "Hey!" suara teguran merdu berkumandang datang dari arah belakang diikuti bau harum semerbak berhembus lewat menusuk penciuman, sebuah tangan yang lembut dan halus menepuk bahunya. Pek In Hoei mengerutkan alisnya dan perlahan-lahan menoleh ke belakang. "Hey, apa yang sedang kau pikirkan? Mengapa kau berdiri termangu-mangu di sini?" tegur Pek li Cian Cian dengan senyuman manis menghiasi bibirnya. "Tidak, aku tidak memikirkan apa-apa!" sahut si anak muda itu sambil menggeleng. "Sudahlah kau tak usah membohongi diriku, aku tahu apa yang sedang kau pikirkan!" "Kau tahu apa yang sedang kupikirkan?" Pek In Hoei tertawa hambar. "Bukankah kau sedang membenci diriku?" "Membenci dirimu?" si anak muda itu gelengkan kepalanya berulang kali. "Tidak... tak nanti aku membenci kepada orang lain, aku hanya membenci kepada diriku sendiri!" "Kenapa?... Hmmm! sekarang aku tahu sudah, kau tentu sedang memaki diriku, kau maki aku tidak sepantasnya mendapatkan dirimu dengan menggunakan tipu muslihat, bukankah begitu?" Pek In Hoei tidak menjawab, memandang awan putih yang bergerak di tengah udara, otaknya berputar ke sana kemari dengan kacaunya, ia merasa semua jalan yang ditempuh adalah buntu dan ia gagal untuk melepaskan simpul mati yang membelenggu pikirannya. Dalam waktu yang amat singkat sudah amat banyak... banyak sekali yang dipikirkan, semua persoalan yang belum pernah ia pikirkan pada masa yang silam atau persoalan yang pernah dipikirkan tetapi belum berhasil diselesaikan, saat ini berkumpul dan berkecamuk semua jadi satu dalam benaknya. Dengan perasaan penuh penderitaan ia berpikir : "Aku tidak sepantasnya belajar ilmu silat... sejak aku mengerti persoalan dan tahu urusan aku sudah tidak berminat untuk belajar silat, sungguh tak kusangka saat ini aku bisa menjadi anggota dunia persilatan, aku harus menanggung banyak resiko dan kerepotan..." Dengan tajam ia menyapu sekejap wajah Pek li Cian Cian, kemudian pikirnya lebih jauh : "Kalau tidak tak nanti aku bisa berjumpa dengan dirinya, dan terjebak ke dalam tipu muslihatnya..." Ia gelengkan kepalanya berulang kali dan berpikir kembali. "Sungguh tak kusangka kecerdikanku selama ini ternyata percuma saja, akhirnya aku masih juga terjerumus ke dalam jebakannya!" Ketika dilihatnya si anak muda itu tidak berbicara, Pek li Cian Cian segera berkata : "meskipun aku tahu bahwa perbuatan aku itu salah besar, tetapi hati kecilku mengatakan bahwa aku benar-benar telah jatuh cinta kepadamu, aku tidak ingin kehilangan dirimu lagi!" "Tetapi... benarkah perbuatanmu itu? Apakah cinta kasih bisa didapatkan dengan akal dan tipu muslihat?" seru Pek In Hoei tertawa getir. Dengan mata terbelalak Pek li Cian Cian memandang wajah si anak muda itu tak berkedip, sepatah kata pun tak sanggup diucapkan. "Tahukah kau? Meskipun kau telah berhasil mendapatkan badanku tetapi kau tak akan memperoleh hatiku," ujar Pek In Hoei lagi dengan gemas bercampur mendongkol. "Andaikata aku tidak cinta kepadamu, bagaimanapun juga kau tak akan berhasil memaksa aku jatuh cinta kepadamu!" Titik air mata mulai jatuh bercucuran membasahi wajah Pek li Cian Cian, dengan wajah termangu- mangu ia menatap wajah Pek In Hoei, bibirnya bergetar keras dan air mata bercucuran semakin deras... Melihat gadis itu menangis, Pek In Hoei menghela napas panjang. "Aaaai...! sudah, sudahlah, anggap saja aku yang tidak benar, tidak sepantasnya kuucapkan kata-kata semacam ini kepadamu!" "Kau... kalau aku... aku tidak berbuat demikian... aku... aku tak akan berhasil mendapatkan dirimu," seru Pek li Cian Cian dengan suara sesenggukan. "Pek In Hoei, kau tak tahu betapa cintanya aku terhadap dirimu, aku rela mengorbankan apa pun juga yang kumiliki demi dirimu... aku rela mengorbankan jiwa ragaku..." "Kalau begitu mulai sekarang janganlah kau berdandan semacam ini!" tukas si anak muda itu dengan alis berkerut. "Baik! Aku pasti akan menuruti perkataanmu, aku pasti akan melakukan perbuatan yang menyenangkan hatimu!" "Aaaai...! Aku harus melakukan perjalanan lagi di dalam dunia persilatan, aku masih mempunyai banyak persoalan dan pekerjaan yang belum selesai kulakukan, apakah kau rela mengikuti diriku untuk berkelana dan menjelajahi seluruh penjuru dunia?? Bukankah kau masih punya suhu dan ayah?? Apakah kau tega meninggalkan mereka semua?" "Aku tidak akan mempedulikan mereka lagi, aku tak akan memikirkan mereka lagi, aku bersumpah akan turut serta dirimu walau kau hendak pergi kemana pun juga." "Tapi... apa gunanya kita berbuat demikian?" seru Pek In Hoei sambil geleng kepala dan tertawa getir. "Bukankah ilmu silat yang kau miliki sangat lihay? Apakah dengan kemampuan yang kau miliki kau masih jeri terhadap mereka?" pin terkesiap, dengan rasa kaget ia angkat kepala dan menatap tajam wajah gadis itu, mimpi pun ia tak pernah menyangka kalau Pek li Cian Cian bisa memiliki keteguhan imam serta kebulatan tekad yang begitu kukuh. Pikirnya dalam hati : "Belum pernah kujumpai di kolong langit ini terdapat manusia yang berani menghianati guru dan ayahnya semacam perempuan ini... ia betul-betul seorang wanita yang berbahaya!" Sementara itu Pek li Cian Cian telah berkata lagi dengan nada sedih : "Aku mengerti kau tak akan mencintai diriku!" Pek In Hoei merasa tidak enak untuk menanggapi perkataan itu maka ia cuma tertawa getir dan membungkam dalam seribu bahasa, dalam hatinya mulai timbul rasa jemu yang tak terkirakan. Air mata bercucuran dengan derasnya membasahi wajah gadis itu, terdengar ia bergumam kembali : "Andaikata kau mencintai diriku, maka kau pasti dapat berkorban demi diriku!" "Sayang harapanmu itu hanya kosong belaka," sambung Pek In Hoei ketus. "Selama hidup belum pernah aku mencintai seorang gadispun!" "Aku tidak pernah," jerit Pek li Cian Cian dengan badan bergetar keras, ia tatap wajah pemuda itu tak berkedip. Pek In Hoei tertawa dingin. "Bukan saja dahulu tak pernah, mulai detik ini aku pun tak akan mencintai gadis atau perempuan macam apa pun juga, termasuk dirimu, kau boleh legakan hati." Sekujur tujuh Pek li Cian Cian gemetar keras, tanpa sadar ia mundur satu langkah ke belakang dengan nada gemetar serunya : "Kau... kau... hatimu betul-betul kejam, aku bersikap begitu baik terhadap dirimu, tapi sebaliknya kau... kau..." "Apa salahnya? Toh kau sudah tahu bahwa aku adalah si jago pedang berdarah dingin, aku adalah manusia yang tak kenal apa artinya cinta!" Pek li Cian Cian tak pernah menyangka hubungan mereka yang baru saja berlangsung hangat tiba-tiba telah berubah jadi dingin dan renggang, bahkan Pek In Hoei menunjukkan sikap begitu ketus dan hambar, Ia gigit bibirnya keras-keras dan berseru : "Apakah kau sudah melupakan sama sekali perbuatanmu kemarin malam..." "Kemarin malam!" Pek In Hoei teringat kembali, ketika pagi tadi ia bangun dari tidurnya telah ditemukan dirinya berbaring dalam keadaan telanjang bulat... Meskipun Pek li Cian Cian begitu cantik tetapi ia sama sekali tidak tertarik atau pun terangsang olehnya. Ia masih ingat ketika ia menemukan dirinya berbaring dalam keadaan telanjang bulat di sisi sang gadis yang berada dalam keadaan polos pula, tiada napsu yang merangsang dirinya, tetapi sewaktu selimut yang menutupi badan mereka mereka disingkap, terasa segera ditemukannya titik noda darah di atas pembaringan..." Ia menghela napas panjang, gumamnya : "Siapa tahu apa yang telah kulakukan kemarin malam?" "Hmmm, kau betul-betul manusia berhati keji," teriak Pek li Cian Cian penuh kebencian. Baru saja ia menyelesaikan kata-katanya, mendadak muncul seorang lelaki berusia setengah baya lari menghampiri mereka. "Hey, apa yang telah terjadi?" tegur gadis itu segera sambil menyeka air mata. Dengan wajah hijau membesi lelaki itu jatuhkan diri berlutut di atas tanah dan menjawab : "Di luar perkampungan telah kedatangan seorang sastrawan yang mengaku berasal dari luar lautan, ia paksa hamba untuk melaporkan kedatangannya kepada cung-cu..." "Kenap tidak kau katakan kepadanya bahwa Cung cu tidak berada di dalam perkampungan?" maki Pek li Cian Cian gusar. "Dia... dia bilang apa pun yang terjadi, Cung-cu kami harus ditemui juga..." setelah menelan air ludah tambahnya, "Ia menyebut dirinya Poh Giok cu." "Poh Giok cu?" seru Pek In Hoei terperanjat. "Apakah tiga dewa dari luar lautan telah datang semua?" "Benar, disamping itu terdapat pula seorang nikouw tua serta seorang dara berbaju merah yang menanti di samping." Pek In Hoei semakin terperanjat dibuatnya, ia segera bertanya : "Apakah kau melihat sesuatu benda yang dicekal nikouw tua itu?" "Hamba melihat di tangannya membawa sebuah seruling yang terbuat dari besi baja." "Ooooh Thiat-Tie Loo-nie telah datang," gumam pemuda she Pek itu. "Kalau begitu dia pun tentu ikut datang." "Apa? Tiga dewa dari luar lautan telah datang?" sementara itu terdengar Pek li Cian Cian berseru kaget. Air muka Pek In Hoei berubah hebat, pikirnya : "Andaikata sekarang It-boen Pit Giok menemukan aku berada disini, entah apa yang ia pikirkan, aku rasa lebih baik untuk sementara waktu bersembunyi saja di dalam kalau tidak..." Belum habis ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya, mendadak dari tengah udara melayang datang sesosok bayangan manusia. Dari jarak kurang lebih lima tombak di hadapannya dengan sebat dan cepat meluncur datang seorang pelajar berusia pertengahan dan melayang turun tepat di hadapannya. Dalam pada itu sambil bergendong tangan Pek In Hoei masih berdiri di sisi sungai yang membujur dalam perkampungan Hong Yap San-ceng ketika memandang kehadiran pelajar berusia pertengahan itu hatinya bergetar keras, pikirnya : "Siapakah pelajar berusia pertengahan ini?? Begitu gagah dan agung wajahnya..."
Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti
Ia menghembuskan napas panjang dan berjalan ke depan cermin, di situ perlahan-lahan ia lepaskan baju luarnya, melepaskan gelang emas yang dikenakan di lengannya dan unjukkan senyuman manis ke hadapan cermin gumamnya dengan suara lirih : "Mulai besok, kau telah menjadi Pek hujien!" Dari atas meja ia mengambil seutas kain tipis untuk mengikat rambutnya yang panjang dan lebar, kemudian melepaskan gaun dan pakaian hingga akhirnya tinggal kutang berwarna merah serta celana dalamnya yang tipis.. Diikuti ia menguap keras, memadamkan lampu lentera dalam kamar hingga suasana jadi gelap gulita... Di tengah kegelapan terdengar kelambu diturunkan serta suara gemericitan di atas pembaringan, setelah itu suasana pulih kembali dalam kesunyian... Malam itu adalah suatu malam yang lembut dan hangat... kelembutan yang membawa kemesraan serta keharuan... membuat orang susah melupakan kenangan manis itu... ..... Sambil berpangku tangan Pek In Hoei berdiri termangu-mangu di pinggir sungai yang membentang di sisi perkampungan Hong Yap Sancung, hatinya terasa amat risau dan diliputi oleh kesedihan. "Mungkin selama hidupku tak akan kujumpai suatu percintaan yang betul-betul kekal dan abadi... semua kelembutan, kemesraan serta kehangatan selamanya tak akan bisa berdiam terlalu lama di sisi tubuhku..." pikir di dalam hati. Kong Yo Siok Peng, Wie Chin Siang serta ibpt semua pernah membakar api cinta yang tersembunyi dalam hatinya, tetapi kobaran api cinta itu hanya kobaran sebentar saja, tidak lama kemudian padam dan musnah dengan sendirinya, kini ia harus berdiam dalam perkampung Hong Yap Sancung dan menerima perawatan serta cinta kasih dari Pek li Cian Cian. Nasib telah menentukan setiap gerak-geriknya, hidup yang terombang-ambing bagaikan daun kering terhembus angin memaksa dia harus muncul dalam dunia persilatan dan menghadapi pelbagai peristiwa dan kejadian dengan raut wajah yang berbeda. "Aaaa...! Inilah kesedihan yang terbesar dalam kehidupan seorang manusia," gumamnya dengan kepala tertunduk rendah-rendah. "Pekerjaan yang paling disukai tak bisa dilakukan, orang yang dicintai tak bisa didapatkan..." Suara gemerincingan merdu berkumandang datang dari arah belakang, tanpa berpaling lagi ia telah mengetahui siapa yang telah datang, tetapi ia pura- pura berlagak pilon, sorot matanya segera dialihkan ke atas mega putih yang melayang-layang di tengah udara. "Hey!" suara teguran merdu berkumandang datang dari arah belakang diikuti bau harum semerbak berhembus lewat menusuk penciuman, sebuah tangan yang lembut dan halus menepuk bahunya. Pek In Hoei mengerutkan alisnya dan perlahan-lahan menoleh ke belakang. "Hey, apa yang sedang kau pikirkan? Mengapa kau berdiri termangu-mangu di sini?" tegur Pek li Cian Cian dengan senyuman manis menghiasi bibirnya. "Tidak, aku tidak memikirkan apa-apa!" sahut si anak muda itu sambil menggeleng. "Sudahlah kau tak usah membohongi diriku, aku tahu apa yang sedang kau pikirkan!" "Kau tahu apa yang sedang kupikirkan?" Pek In Hoei tertawa hambar. "Bukankah kau sedang membenci diriku?" "Membenci dirimu?" si anak muda itu gelengkan kepalanya berulang kali. "Tidak... tak nanti aku membenci kepada orang lain, aku hanya membenci kepada diriku sendiri!" "Kenapa?... Hmmm! sekarang aku tahu sudah, kau tentu sedang memaki diriku, kau maki aku tidak sepantasnya mendapatkan dirimu dengan menggunakan tipu muslihat, bukankah begitu?" Pek In Hoei tidak menjawab, memandang awan putih yang bergerak di tengah udara, otaknya berputar ke sana kemari dengan kacaunya, ia merasa semua jalan yang ditempuh adalah buntu dan ia gagal untuk melepaskan simpul mati yang membelenggu pikirannya. Dalam waktu yang amat singkat sudah amat banyak... banyak sekali yang dipikirkan, semua persoalan yang belum pernah ia pikirkan pada masa yang silam atau persoalan yang pernah dipikirkan tetapi belum berhasil diselesaikan, saat ini berkumpul dan berkecamuk semua jadi satu dalam benaknya. Dengan perasaan penuh penderitaan ia berpikir : "Aku tidak sepantasnya belajar ilmu silat... sejak aku mengerti persoalan dan tahu urusan aku sudah tidak berminat untuk belajar silat, sungguh tak kusangka saat ini aku bisa menjadi anggota dunia persilatan, aku harus menanggung banyak resiko dan kerepotan..." Dengan tajam ia menyapu sekejap wajah Pek li Cian Cian, kemudian pikirnya lebih jauh : "Kalau tidak tak nanti aku bisa berjumpa dengan dirinya, dan terjebak ke dalam tipu muslihatnya..." Ia gelengkan kepalanya berulang kali dan berpikir kembali. "Sungguh tak kusangka kecerdikanku selama ini ternyata percuma saja, akhirnya aku masih juga terjerumus ke dalam jebakannya!" Ketika dilihatnya si anak muda itu tidak berbicara, Pek li Cian Cian segera berkata : "meskipun aku tahu bahwa perbuatan aku itu salah besar, tetapi hati kecilku mengatakan bahwa aku benar-benar telah jatuh cinta kepadamu, aku tidak ingin kehilangan dirimu lagi!" "Tetapi... benarkah perbuatanmu itu? Apakah cinta kasih bisa didapatkan dengan akal dan tipu muslihat?" seru Pek In Hoei tertawa getir. Dengan mata terbelalak Pek li Cian Cian memandang wajah si anak muda itu tak berkedip, sepatah kata pun tak sanggup diucapkan. "Tahukah kau? Meskipun kau telah berhasil mendapatkan badanku tetapi kau tak akan memperoleh hatiku," ujar Pek In Hoei lagi dengan gemas bercampur mendongkol. "Andaikata aku tidak cinta kepadamu, bagaimanapun juga kau tak akan berhasil memaksa aku jatuh cinta kepadamu!" Titik air mata mulai jatuh bercucuran membasahi wajah Pek li Cian Cian, dengan wajah termangu- mangu ia menatap wajah Pek In Hoei, bibirnya bergetar keras dan air mata bercucuran semakin deras... Melihat gadis itu menangis, Pek In Hoei menghela napas panjang. "Aaaai...! sudah, sudahlah, anggap saja aku yang tidak benar, tidak sepantasnya kuucapkan kata-kata semacam ini kepadamu!" "Kau... kalau aku... aku tidak berbuat demikian... aku... aku tak akan berhasil mendapatkan dirimu," seru Pek li Cian Cian dengan suara sesenggukan. "Pek In Hoei, kau tak tahu betapa cintanya aku terhadap dirimu, aku rela mengorbankan apa pun juga yang kumiliki demi dirimu... aku rela mengorbankan jiwa ragaku..." "Kalau begitu mulai sekarang janganlah kau berdandan semacam ini!" tukas si anak muda itu dengan alis berkerut. "Baik! Aku pasti akan menuruti perkataanmu, aku pasti akan melakukan perbuatan yang menyenangkan hatimu!" "Aaaai...! Aku harus melakukan perjalanan lagi di dalam dunia persilatan, aku masih mempunyai banyak persoalan dan pekerjaan yang belum selesai kulakukan, apakah kau rela mengikuti diriku untuk berkelana dan menjelajahi seluruh penjuru dunia?? Bukankah kau masih punya suhu dan ayah?? Apakah kau tega meninggalkan mereka semua?" "Aku tidak akan mempedulikan mereka lagi, aku tak akan memikirkan mereka lagi, aku bersumpah akan turut serta dirimu walau kau hendak pergi kemana pun juga." "Tapi... apa gunanya kita berbuat demikian?" seru Pek In Hoei sambil geleng kepala dan tertawa getir. "Bukankah ilmu silat yang kau miliki sangat lihay? Apakah dengan kemampuan yang kau miliki kau masih jeri terhadap mereka?" pin terkesiap, dengan rasa kaget ia angkat kepala dan menatap tajam wajah gadis itu, mimpi pun ia tak pernah menyangka kalau Pek li Cian Cian bisa memiliki keteguhan imam serta kebulatan tekad yang begitu kukuh. Pikirnya dalam hati : "Belum pernah kujumpai di kolong langit ini terdapat manusia yang berani menghianati guru dan ayahnya semacam perempuan ini... ia betul-betul seorang wanita yang berbahaya!" Sementara itu Pek li Cian Cian telah berkata lagi dengan nada sedih : "Aku mengerti kau tak akan mencintai diriku!" Pek In Hoei merasa tidak enak untuk menanggapi perkataan itu maka ia cuma tertawa getir dan membungkam dalam seribu bahasa, dalam hatinya mulai timbul rasa jemu yang tak terkirakan. Air mata bercucuran dengan derasnya membasahi wajah gadis itu, terdengar ia bergumam kembali : "Andaikata kau mencintai diriku, maka kau pasti dapat berkorban demi diriku!" "Sayang harapanmu itu hanya kosong belaka," sambung Pek In Hoei ketus. "Selama hidup belum pernah aku mencintai seorang gadispun!" "Aku tidak pernah," jerit Pek li Cian Cian dengan badan bergetar keras, ia tatap wajah pemuda itu tak berkedip. Pek In Hoei tertawa dingin. "Bukan saja dahulu tak pernah, mulai detik ini aku pun tak akan mencintai gadis atau perempuan macam apa pun juga, termasuk dirimu, kau boleh legakan hati." Sekujur tujuh Pek li Cian Cian gemetar keras, tanpa sadar ia mundur satu langkah ke belakang dengan nada gemetar serunya : "Kau... kau... hatimu betul-betul kejam, aku bersikap begitu baik terhadap dirimu, tapi sebaliknya kau... kau..." "Apa salahnya? Toh kau sudah tahu bahwa aku adalah si jago pedang berdarah dingin, aku adalah manusia yang tak kenal apa artinya cinta!" Pek li Cian Cian tak pernah menyangka hubungan mereka yang baru saja berlangsung hangat tiba-tiba telah berubah jadi dingin dan renggang, bahkan Pek In Hoei menunjukkan sikap begitu ketus dan hambar, Ia gigit bibirnya keras-keras dan berseru : "Apakah kau sudah melupakan sama sekali perbuatanmu kemarin malam..." "Kemarin malam!" Pek In Hoei teringat kembali, ketika pagi tadi ia bangun dari tidurnya telah ditemukan dirinya berbaring dalam keadaan telanjang bulat... Meskipun Pek li Cian Cian begitu cantik tetapi ia sama sekali tidak tertarik atau pun terangsang olehnya. Ia masih ingat ketika ia menemukan dirinya berbaring dalam keadaan telanjang bulat di sisi sang gadis yang berada dalam keadaan polos pula, tiada napsu yang merangsang dirinya, tetapi sewaktu selimut yang menutupi badan mereka mereka disingkap, terasa segera ditemukannya titik noda darah di atas pembaringan..." Ia menghela napas panjang, gumamnya : "Siapa tahu apa yang telah kulakukan kemarin malam?" "Hmmm, kau betul-betul manusia berhati keji," teriak Pek li Cian Cian penuh kebencian. Baru saja ia menyelesaikan kata-katanya, mendadak muncul seorang lelaki berusia setengah baya lari menghampiri mereka. "Hey, apa yang telah terjadi?" tegur gadis itu segera sambil menyeka air mata. Dengan wajah hijau membesi lelaki itu jatuhkan diri berlutut di atas tanah dan menjawab : "Di luar perkampungan telah kedatangan seorang sastrawan yang mengaku berasal dari luar lautan, ia paksa hamba untuk melaporkan kedatangannya kepada cung-cu..." "Kenap tidak kau katakan kepadanya bahwa Cung cu tidak berada di dalam perkampungan?" maki Pek li Cian Cian gusar. "Dia... dia bilang apa pun yang terjadi, Cung-cu kami harus ditemui juga..." setelah menelan air ludah tambahnya, "Ia menyebut dirinya Poh Giok cu." "Poh Giok cu?" seru Pek In Hoei terperanjat. "Apakah tiga dewa dari luar lautan telah datang semua?" "Benar, disamping itu terdapat pula seorang nikouw tua serta seorang dara berbaju merah yang menanti di samping." Pek In Hoei semakin terperanjat dibuatnya, ia segera bertanya : "Apakah kau melihat sesuatu benda yang dicekal nikouw tua itu?" "Hamba melihat di tangannya membawa sebuah seruling yang terbuat dari besi baja." "Ooooh Thiat-Tie Loo-nie telah datang," gumam pemuda she Pek itu. "Kalau begitu dia pun tentu ikut datang." "Apa? Tiga dewa dari luar lautan telah datang?" sementara itu terdengar Pek li Cian Cian berseru kaget. Air muka Pek In Hoei berubah hebat, pikirnya : "Andaikata sekarang It-boen Pit Giok menemukan aku berada disini, entah apa yang ia pikirkan, aku rasa lebih baik untuk sementara waktu bersembunyi saja di dalam kalau tidak..." Belum habis ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya, mendadak dari tengah udara melayang datang sesosok bayangan manusia. Dari jarak kurang lebih lima tombak di hadapannya dengan sebat dan cepat meluncur datang seorang pelajar berusia pertengahan dan melayang turun tepat di hadapannya. Dalam pada itu sambil bergendong tangan Pek In Hoei masih berdiri di sisi sungai yang membujur dalam perkampungan Hong Yap San-ceng ketika memandang kehadiran pelajar berusia pertengahan itu hatinya bergetar keras, pikirnya : "Siapakah pelajar berusia pertengahan ini?? Begitu gagah dan agung wajahnya..."