Cerita Silat | Imam Tanpa Bayangan II | oleh Xiao Say | Imam Tanpa Bayangan II | Cersil Sakti | Imam Tanpa Bayangan II pdf
Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana
Ketika selimut tersingkap, pemuda itu bertambah kaget lagi sebab ditemuinya ia berbaring hanya memakai celana dalam dan pakaian dalam saja, baru ia tarik kembali selimut itu untuk menutupi tubuhnya. Menyaksikan tingkah lakunya yang gugup dan lucu, Pek-li Cien Cien tak dapat menahan rasa gelinya lagi, ia tertawa cekikikan. "Apa yang sedang kau tertawakan?" tegur Chee Thian Gak dengan nada mendongkol bercampur gusar. Sinar matanya berkelebat, ia temukan sebuah cermin besar tergantung di situ dan dari cermin ia dapat menyaksikan wajahnya yang telah berubah memerah. "Aaaah...!" kembali pemuda itu berteriak kaget, ia temukan jenggot dan cambangnya entah sejak kapan telah dicukur orang hingga bersih, rambutnya yang awut-awutan telah disisir pula dengan rapi. "Eeeei... dimanakah cambangku?" jeritnya. "Hiiih... hiiiih... hiiih... cambangmu sudah dicukur sampai licin!" Chee Thian Gak jadi mendongkol bercampur kecewa... ia tak mengira kalau janggut dan cambang yang dipeliharanya selama banyak tahun dengan harapan bisa digunakan untuk menyaru sebagai Chee Thian Gak dan merusak rencana busuk dari Hoa Pek Tuo untuk merajai Bu lim telah dicukur habis oleh orang lain sewaktu ia tak sadarkan diri. Teringat bahwa raut wajahnya telah pulih kembali seperti sedia kala, Pek In Hoei menghela napas panjang dan menggeleng tiada hentinya. "Heeeei.... sungguh aneh kau ini," seru Pek-li Cien Cien sambil tertawa. "Rupamu begitu tampan dan menarik, kenapa sih malah suka berdandan begitu kotor dan dekil? Kalau dilihat dari gerak gerikmu, rupanya kau sedang menyesal dan kecewa karena jenggotmu kucukur licin..." pin tertawa getir, pikirnya : "Mana kau bisa tahu akan kesulitanku?" Pek-li Cien Cien tanpa malu dan sungkan-sungkan segera duduk di sisi tubuhnya, ia menegur sambil tertawa : "Hey siapa sih namamu?" Melihat gadis cantik ini bukan saja berlengan dan berkaki telanjang bahkan tanpa sungkan-sungkan dan malu duduk di sisi tubuhnya, Pek In Hoei jadi kaget, buru-buru ia menyingkir lebih ke dalam. Menyaksikan tingkah laku si anak muda itu Pek-li Cien Cien tertawa cekikikan, saking gelinya sampai tak tahan lagi ia menubruk ke atas tubuh pemuda itu. "Eeeei... nona... kau... kau..." teriak pin kelabakan. "Kau ini... sungguh menyenangkan sekali!" seru Pek-li Cien Cien sambil menowel pipi pemuda itu. "Menyenangkan?" pin betul-betul dibikin menangis tak bisa tertawa pun susah, dengan wajah serius serunya, "nona, aku minta kau sedikit tahu diri,haruslah kau ketahui bahwa hubungan antara pria dan wanita ada batasnya." "Apa itu batas-batas antara kaum pria dan wanita?" jengek Pek-li Cien Cien. "Bagi kita yang biasa hidup di wilayah Biauw, tarik menarik tangan, rangkul merangkul adalah suatu kejadian yang umum dan biasa, apakah kau tidak tahu setiap tahun di kala orang menari di bawah sinar rembulan, acara pasti diakhiri dengan masuknya pasangan pria dan wanita ke dalam gua atau semak belukar yang gelap, toh mereka tidak apa-apa dan tidak dianggap kelewat batas?" Diam-diam Pek In Hoei dibikin terkejut juga oleh keberanian gadis manis ini, segera tanyanya : "Siapakah yang kau maksudkan dengan mereka?" "Suku Pay I, suku Lolo, dan suku Biauw, mereka semua berbuat demikian!..." "Hmmm, tidak aneh kalau mereka berbuat begitu tak tahu diri, rupanya kau maksudkan suku-suku liar yang belum beradab itu. Hmmm... mana bisa adat istiadat mereka dibandingkan dengan tata kesopanan dari daratan Tionggoan kita?" Pek-li Cien Cien mengerutkan dahinya dan mendengus dingin. "Andaikata seseorang telah menyintai pihak yang lain, kenapa mereka harus sembunyikan rasa cinta dan kasih mereka satu sama lain? Apakah saling jatuh cinta adalah suatu perbuatan yang keliru? Hmmm, adat istiadat, tata cara kesopanan kolot yang ditetapkan oleh setan-setan tua bangka yang sudah mendekati liang kubur, di luarnya saja mereka suruh orang pegang adat dan jaga diri, padahal dalam kenyataannya mereka sendiri toh main kasak kusuk dan melanggar kesusilaan..." "Nona, seandainya di kolong langit tiada peraturan serta tata cara kesopanan yang mengikat satu sama lainnya, maka perbuatan tiap manusia tentu akan jadi liar tak tahu malu dan brutal, akan berubah jadi apakah jagad kita ini? Bagaimanapun juga toh manusia tak bisa kau samakan dengan binatang liar! Bukan begitu?" seru Pek In Hoei dengan wajah serius. Sorot mata yang tajam mendadak memancar keluar dari balik kelopak matanya, ia berkata lebih jauh : "Sedangkan mengenai tuduhan nona yang mengatakan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan para pujangga... hal ini harus diingatkan pula bahwa manusia bukanlah makhluk yang super sempurna, suatu saat mungkin saja seseorang melakukan kesalahan, karena itu aku minta agar kau jangan sembarangan mencerca atau pun menghina para cianpwee dan pujangga besar..." "Aduuuh mak! Sungguh tak nyana dengan usiamu yang masih begini muda, ternyata otaknya telah dipenuhi dengan segala macam peraturan yang kolot dan kuno," seru Pek-li Cien Cien sambil tertawa merdu. Ia merandek sebentar kemudian katanya lagi : "Bukankah Khong Coe pernah berkata bahwa Cinta adalah perasaan yang dimiliki setiap insan manusia? Apakah rasa cinta antara seorang pria terhadap seorang wanita adalah suatu perbuatan yang melanggar susila?..." Diam-diam Pek In Hoei tarik napas dingin, ia tak menyangka sama sekali kalau gadis cili yang datang dari wilayah Biauw ini ternyata mengerti banyak akan urusan, untuk beberapa saat lamanya ia tak sanggup membentak atau pun mengucapkan sepatah kata pun. Akhirnya setelah termenung beberapa saat lamanya terpaksa ia berkata : "Sudah... sudahlah... anggap saja apa yang kau ucapkan barusan adalah benar. Tetapi bagaimanapun juga kau toh harus memberi kesempatan bagiku untuk bangun!" Merah padam selembar wajah gadis manis itu. "Beritahu dulu kepadaku, siapa namamu? Setelah itu aku akan melepaskan dirimu untuk bangun." Pek In Hoei tidak langsung menjawab, ia termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian baru jawabnya : "Baiklah, akan kuberitahukan siapa namaku, tapi kau harus janji jangan katakan kepada suhumu lho!" "Suhu dan ayah sedang keluar rumah, mungkin tiga empat hari lagi baru akan pulang ke sini..." kata Pek-li Cien Cien, dengan lidahnya ia membasahi ujung bibirnya yang kering lalu terusnya, "Hayo cepat toh beritahu namamu, kemudian aku akan lenyapkan racun ulat emas yang mengeram dalam tubuhmu kalau tidak... awas, tak akan kupedulikan lagi mati hidupmu!" "Cayhe Pek In Hoei bukanlah manusia yang takut akan mati!" kata pemuda itu sambil tertawa hambar. "Sekarang tolong nona keluar dahulu sebab aku mau berpakaian, masa kau suruh aku berada dalam keadaan telanjang terus?" "Pek In Hoei? Ooooh...! Sungguh indah dan menarik namamu itu!... Hey, Pek In Hoei, coba katakanlah apakah namaku pun enak didengar dan menarik??" "Menarik, menarik sekali," jawab si anak muda tak sabaran, "Nah! Sekarang harap nona keluar dahulu!" "Huuh... kenapa aku mesti keluar?? Pakaianmu toh aku yang lepaskan semua... rasanya kau pun tak usah malu-malu lagi terhadap diriku, sebab seluruh badanmu sudah kulihat semua ketika aku melepaskan pakaianmu tadi..." ia tatap wajah pemuda itu tajam-tajam dan menambahkan, "Hey, halus amat kulit badanmu... aduh... bukan saja putih bersih bagaikan salju bahkan keras berotot... waah dipegang dan diraba... syuuur nikmat sekali!" Merah padam selembar wajah Pek In Hoei mendengar perkataan itu, batinya di dalam hati : "Eeei... eei... eei... perempuan macam apakah orang ini? Kalau dilihat rupa serta gerak-geriknya semestinya dia sudah mengerti akan hubungan antara laki dan perempuan, kenapa sih tingkah lakunya begitu tak tahu malu dan tebal muka?? Huuuh! tidak sepantasnya kalau aku anggap perbuatannya ini karena sifatnya yang masih polos dan lincah..." Sementara ia masih membatin mendadak pintu terbuka dan muncullah seorang gadis berbaju hijau yang membawa sebuah nampan di tangannya, tatkala sorot matanya terbentur dengan raut wajah Pek In Hoei yang ganteng tanpa sadar merah jengah pipinya, sorot mata cinta dan sayang terpancar keluar dari balik matanya. "Sioe To!" tegur Pek-li Cien Cien dengan nada tidak senang. "Bukankah aku melarang kau masuk kemari? Kenapa tanpa mengetuk pintu kau langsung nyelonong masuk ke dalam kamar?" "Nona, bukankah tadi kau suruh aku yang buatkan kuah bunga teratai untuk sauw ya ini menangsal perut? Nih, aku bawakan kuah bunga teratai..." "Hmm, letakkan saja di atas meja!" perintah Pek-li Cien Cien ketus. Sementara itu Pek In Hoei sedang duduk di balik selimut dengan wajah tersipu-sipu ketika sinar matanya menyapu sekejap wajah Sioe To tadi, diam- diam hatinya merasa terkejut, pikirnya : "Aduuuh celaka! Rupanya dayang cilik ini pun sudah ikut kesurupan setan..." Ia sadar bahwa wajahnya terlalu tampan dan terlalu menarik bagi pandangan kaum gadis, apabila ia tak sanggup merahasiakan perasaan hatinya dan baik- baik menjaga diri, maka sedikit meleng saja akan mengakibatkan banyak gadis cantik tergila-gila kepadanya. Ia telah memperoleh banyak pengalaman dari gadis- gadis yang pernah dijumpainya pd masa lampau, seperti Kong Yo Siok Peng, Wie Chin Siang, It-boen Pit Giok... ia berhasil mengetahui perasaan kagum dan cinta mereka dari sorot mata yang jeli itu... Dan kini dari sorot mata Pek li Cian Cian serta Sioe To kembali ia temukan pancaran sinar cinta yang sama seperti yang lain... Timbul perasaan gentar dalam hati kecilnya, diam- diam ia membatin : "Dendam kesumat sedalam lautan yang masih kutanggung sama sekali belum berhasil dituntut balas, mana boleh aku terjerumus ke dalam belaian kasih serta pelukan mesra kaum gadis muda? Malam ini bagaimanapun juga aku harus berusaha untuk melarikan diri dari sini." Sinar matanya berkilat, setelah merandek beberapa saat ia bertanya : "Eeeei! Kau simpan di mana itu kapak sakti serta kutang pelindung badanku?" Sementara itu Sioe To sedang memandang wajah Pek In Hoei dengan termangu-mangu, tatkala mendengar pertanyaan tersebut, buru-buru ia letakkan sebuah kotak ke atas meja sembari ujarnya : "Kutang pelindung badan serta kapak saktimu itu telah kusimpan semua dalam almari..." "Sioe To siapa suruh kau ikut usil disini? Ayoh cepat enyah dari dalam kamar ini!" hardik Pek li Cian Cian semakin mendongkol. Dengan perasaan berat dan tidak rela serta bibir yang dicibirkan terpaksa dayang berbaju hijau itu mengundurkan diri dari kamar, sesaat sebelum meninggalkan pintu ruangan dengan pandangan mendalam dan berat kembali ia lirik sekejap wajah si anak muda. Pek li Cian Cian bukanlah seorang gadis yang bodoh, dari gerak-gerik yang ditunjukkan Sioe To ia telah berhasil menebak isi hatinya, maka seraya mendengus dingin tegurnya : "Hey budak sialan, kalau kau berani berebutan lelaki ini dengan diriku... awas! Selembar jiwamu bisa kucabut tanpa mengenal kasihan." Berbicara sampai di situ ia lantas berpaling kembali dan tertawa merdu. "In Hoei!" serunya. "Kau tak usah bangun, biarkanlah aku yang menyuapkan kuah teratai itu untukmu..." "Hmmm! Selama hidup belum pernah kujumpai perempuan yang tak tahu malu seperti dia..." pikir Pek In Hoei dengan alis berkerut, wajahnya segera berubah membesi, serunya : "Terima kasih atas maksud baik dari nona, cayhe tidak ingin mendahar makanan apa pun juga." "Apakah racun ulat emas itu kembali sudah kambuh?" pin menggeleng. "Selama beberapa hari ini cayhe merasa luar biasa lelahnya, sekarang aku kepengin sekali tidur dengan nyenyaknya... lagi pula kepala cayhe terasa rada pening, oleh sebab itu aku berharap agar nona jangan mengganggu diriku lagi." "Aduuuh... ! Apakah badanmu panas? Coba... coba biar kuraba keningmu..." Sembari berkata ia lantas ulurkan tangannya bermaksud meraba kening si anak muda itu, tetapi Pek In Hoei telah mengingos ke samping dengan perasaan jemu. Melihat rabaannya dihindari, Pek li Cian Cian melengak, pikirnya : "Jangan-jangan ia benci dan muak kepadaku karena gerak-gerikku yang terlalu bebas?" Pada dasarnay ia memang seorang gadis yang cerdik, hanya cukup meninjau dari sikap serta perubahan wajah si anak muda itu saja ia lantas mengerti dimanakah letak kesalahan dirinya. Setelah termenung berpikir sejenak batinnya : "Baiklah mulai besok pagi, aku harus menarik kembali sikap serta tingkah lakuku yang terlalu bebas ini, aku tak boleh menggunakan tata cara yang biasa berlaku di wilayah Biauw untuk menghadapi dirinya, karena bagaimanapun juga dia tetap seorang bangsa Han dan bukan orang dari suku Biauw..." Sebaliknya ketika Pek In Hoei melihat gadis itu membungkam dan tidak berbicara lagi timbul rasa menyesal dalam hati kecilnya. Ia lantas mendehem dan berkata : "Cayhe merasa tidak enak badan dan ingin tidur..." Pek li Cian Cian tertawa hambar. "Sekarang sudah malam, memang sudah waktunya bagimu untuk beristirahat..." ia bangkit berdiri dari atas pembaringan. "Apakah kau tidak habiskan dulu kuah teratai ini sebelum pergi tidur?" "Aku rasa tak perlu, terima kasih atas perhatianmu," jawab pemuda itu sembari menggeleng, setelah merandek sejenak tambahnya : "Aku... apakah aku tidur disini?" "Apa salahnya kau tidur di situ? Kamar ini adalah kamar pribadiku, siapa pun tak akan berani nyelonong masuk kemari secara sembarangan." "Hmm, peduli amat ini adalah kamar pribadimu atau bukan," pikir Pek In Hoei dalam hati, "asal kau sudah pergi dari sini aku segera akan bangun dan berpakaian lalu melarikan diri lewat jendela, bagaimanapun juga aku toh tak akan terlalu lama tidur disini, apa salahnya kalau sekarang berpura-pura dulu?" Karena berpikir demikian maka dengan mulut membungkam dia lantas tarik selimut dan merebahkan diri. Dengan mesra dan penuh kasih sayang Pek li Cian Cian membongkokkan badannya membetulkan ujung selimut yang tergulung, lalu ujarnya halus : "Mulai besok pagi aku akan berusaha untuk memusnahkan racun ulat emas yang mengeram dalam tubuhnya, sekarang tidurlah dengan nyenyak dan jangan berpikir yang bukan-bukan." "Huuh! mana ada hari esok bagimu?" jengek Pek In Hoei di dalam hati. "Sebentar lagi aku bakal kabur dari sini!" Tetapi sebelum ingatan tersebut selesai berkelebat dalam benaknya, menggunakan kesempatan di kala membetulkan selimut yang menggulung itulah Pek li Cian Cian telah menotok jalan darah tidurnya. Seketika itu juga Pek In Hoei merasakan pandangannya jadi kabur dan keadaannya makin berkurang, jeritnya di dalam hati : "Aduuuh celaka, aku sudah terkena tipu muslihat setan cilik ini!" Tetapi ia tak sempat mengerahkan tenaga dalamnya lagi untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, tahu-tahu si anak muda itu sudah tertidur pulas. Memandang Pek In Hoei yang tertidur dengan nyenyaknya di atas pembaringan, rasa bangga tertera di atas wajah Pek li Cian Cian, pikirnya : "Peduli kau adalah si jago pedang berdarah dingin atau bukan, aku pasti akan berusaha untuk memeluk dirimu ke dalam rangkulanku!"
Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana
Ketika selimut tersingkap, pemuda itu bertambah kaget lagi sebab ditemuinya ia berbaring hanya memakai celana dalam dan pakaian dalam saja, baru ia tarik kembali selimut itu untuk menutupi tubuhnya. Menyaksikan tingkah lakunya yang gugup dan lucu, Pek-li Cien Cien tak dapat menahan rasa gelinya lagi, ia tertawa cekikikan. "Apa yang sedang kau tertawakan?" tegur Chee Thian Gak dengan nada mendongkol bercampur gusar. Sinar matanya berkelebat, ia temukan sebuah cermin besar tergantung di situ dan dari cermin ia dapat menyaksikan wajahnya yang telah berubah memerah. "Aaaah...!" kembali pemuda itu berteriak kaget, ia temukan jenggot dan cambangnya entah sejak kapan telah dicukur orang hingga bersih, rambutnya yang awut-awutan telah disisir pula dengan rapi. "Eeeei... dimanakah cambangku?" jeritnya. "Hiiih... hiiiih... hiiih... cambangmu sudah dicukur sampai licin!" Chee Thian Gak jadi mendongkol bercampur kecewa... ia tak mengira kalau janggut dan cambang yang dipeliharanya selama banyak tahun dengan harapan bisa digunakan untuk menyaru sebagai Chee Thian Gak dan merusak rencana busuk dari Hoa Pek Tuo untuk merajai Bu lim telah dicukur habis oleh orang lain sewaktu ia tak sadarkan diri. Teringat bahwa raut wajahnya telah pulih kembali seperti sedia kala, Pek In Hoei menghela napas panjang dan menggeleng tiada hentinya. "Heeeei.... sungguh aneh kau ini," seru Pek-li Cien Cien sambil tertawa. "Rupamu begitu tampan dan menarik, kenapa sih malah suka berdandan begitu kotor dan dekil? Kalau dilihat dari gerak gerikmu, rupanya kau sedang menyesal dan kecewa karena jenggotmu kucukur licin..." pin tertawa getir, pikirnya : "Mana kau bisa tahu akan kesulitanku?" Pek-li Cien Cien tanpa malu dan sungkan-sungkan segera duduk di sisi tubuhnya, ia menegur sambil tertawa : "Hey siapa sih namamu?" Melihat gadis cantik ini bukan saja berlengan dan berkaki telanjang bahkan tanpa sungkan-sungkan dan malu duduk di sisi tubuhnya, Pek In Hoei jadi kaget, buru-buru ia menyingkir lebih ke dalam. Menyaksikan tingkah laku si anak muda itu Pek-li Cien Cien tertawa cekikikan, saking gelinya sampai tak tahan lagi ia menubruk ke atas tubuh pemuda itu. "Eeeei... nona... kau... kau..." teriak pin kelabakan. "Kau ini... sungguh menyenangkan sekali!" seru Pek-li Cien Cien sambil menowel pipi pemuda itu. "Menyenangkan?" pin betul-betul dibikin menangis tak bisa tertawa pun susah, dengan wajah serius serunya, "nona, aku minta kau sedikit tahu diri,haruslah kau ketahui bahwa hubungan antara pria dan wanita ada batasnya." "Apa itu batas-batas antara kaum pria dan wanita?" jengek Pek-li Cien Cien. "Bagi kita yang biasa hidup di wilayah Biauw, tarik menarik tangan, rangkul merangkul adalah suatu kejadian yang umum dan biasa, apakah kau tidak tahu setiap tahun di kala orang menari di bawah sinar rembulan, acara pasti diakhiri dengan masuknya pasangan pria dan wanita ke dalam gua atau semak belukar yang gelap, toh mereka tidak apa-apa dan tidak dianggap kelewat batas?" Diam-diam Pek In Hoei dibikin terkejut juga oleh keberanian gadis manis ini, segera tanyanya : "Siapakah yang kau maksudkan dengan mereka?" "Suku Pay I, suku Lolo, dan suku Biauw, mereka semua berbuat demikian!..." "Hmmm, tidak aneh kalau mereka berbuat begitu tak tahu diri, rupanya kau maksudkan suku-suku liar yang belum beradab itu. Hmmm... mana bisa adat istiadat mereka dibandingkan dengan tata kesopanan dari daratan Tionggoan kita?" Pek-li Cien Cien mengerutkan dahinya dan mendengus dingin. "Andaikata seseorang telah menyintai pihak yang lain, kenapa mereka harus sembunyikan rasa cinta dan kasih mereka satu sama lain? Apakah saling jatuh cinta adalah suatu perbuatan yang keliru? Hmmm, adat istiadat, tata cara kesopanan kolot yang ditetapkan oleh setan-setan tua bangka yang sudah mendekati liang kubur, di luarnya saja mereka suruh orang pegang adat dan jaga diri, padahal dalam kenyataannya mereka sendiri toh main kasak kusuk dan melanggar kesusilaan..." "Nona, seandainya di kolong langit tiada peraturan serta tata cara kesopanan yang mengikat satu sama lainnya, maka perbuatan tiap manusia tentu akan jadi liar tak tahu malu dan brutal, akan berubah jadi apakah jagad kita ini? Bagaimanapun juga toh manusia tak bisa kau samakan dengan binatang liar! Bukan begitu?" seru Pek In Hoei dengan wajah serius. Sorot mata yang tajam mendadak memancar keluar dari balik kelopak matanya, ia berkata lebih jauh : "Sedangkan mengenai tuduhan nona yang mengatakan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan para pujangga... hal ini harus diingatkan pula bahwa manusia bukanlah makhluk yang super sempurna, suatu saat mungkin saja seseorang melakukan kesalahan, karena itu aku minta agar kau jangan sembarangan mencerca atau pun menghina para cianpwee dan pujangga besar..." "Aduuuh mak! Sungguh tak nyana dengan usiamu yang masih begini muda, ternyata otaknya telah dipenuhi dengan segala macam peraturan yang kolot dan kuno," seru Pek-li Cien Cien sambil tertawa merdu. Ia merandek sebentar kemudian katanya lagi : "Bukankah Khong Coe pernah berkata bahwa Cinta adalah perasaan yang dimiliki setiap insan manusia? Apakah rasa cinta antara seorang pria terhadap seorang wanita adalah suatu perbuatan yang melanggar susila?..." Diam-diam Pek In Hoei tarik napas dingin, ia tak menyangka sama sekali kalau gadis cili yang datang dari wilayah Biauw ini ternyata mengerti banyak akan urusan, untuk beberapa saat lamanya ia tak sanggup membentak atau pun mengucapkan sepatah kata pun. Akhirnya setelah termenung beberapa saat lamanya terpaksa ia berkata : "Sudah... sudahlah... anggap saja apa yang kau ucapkan barusan adalah benar. Tetapi bagaimanapun juga kau toh harus memberi kesempatan bagiku untuk bangun!" Merah padam selembar wajah gadis manis itu. "Beritahu dulu kepadaku, siapa namamu? Setelah itu aku akan melepaskan dirimu untuk bangun." Pek In Hoei tidak langsung menjawab, ia termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian baru jawabnya : "Baiklah, akan kuberitahukan siapa namaku, tapi kau harus janji jangan katakan kepada suhumu lho!" "Suhu dan ayah sedang keluar rumah, mungkin tiga empat hari lagi baru akan pulang ke sini..." kata Pek-li Cien Cien, dengan lidahnya ia membasahi ujung bibirnya yang kering lalu terusnya, "Hayo cepat toh beritahu namamu, kemudian aku akan lenyapkan racun ulat emas yang mengeram dalam tubuhmu kalau tidak... awas, tak akan kupedulikan lagi mati hidupmu!" "Cayhe Pek In Hoei bukanlah manusia yang takut akan mati!" kata pemuda itu sambil tertawa hambar. "Sekarang tolong nona keluar dahulu sebab aku mau berpakaian, masa kau suruh aku berada dalam keadaan telanjang terus?" "Pek In Hoei? Ooooh...! Sungguh indah dan menarik namamu itu!... Hey, Pek In Hoei, coba katakanlah apakah namaku pun enak didengar dan menarik??" "Menarik, menarik sekali," jawab si anak muda tak sabaran, "Nah! Sekarang harap nona keluar dahulu!" "Huuh... kenapa aku mesti keluar?? Pakaianmu toh aku yang lepaskan semua... rasanya kau pun tak usah malu-malu lagi terhadap diriku, sebab seluruh badanmu sudah kulihat semua ketika aku melepaskan pakaianmu tadi..." ia tatap wajah pemuda itu tajam-tajam dan menambahkan, "Hey, halus amat kulit badanmu... aduh... bukan saja putih bersih bagaikan salju bahkan keras berotot... waah dipegang dan diraba... syuuur nikmat sekali!" Merah padam selembar wajah Pek In Hoei mendengar perkataan itu, batinya di dalam hati : "Eeei... eei... eei... perempuan macam apakah orang ini? Kalau dilihat rupa serta gerak-geriknya semestinya dia sudah mengerti akan hubungan antara laki dan perempuan, kenapa sih tingkah lakunya begitu tak tahu malu dan tebal muka?? Huuuh! tidak sepantasnya kalau aku anggap perbuatannya ini karena sifatnya yang masih polos dan lincah..." Sementara ia masih membatin mendadak pintu terbuka dan muncullah seorang gadis berbaju hijau yang membawa sebuah nampan di tangannya, tatkala sorot matanya terbentur dengan raut wajah Pek In Hoei yang ganteng tanpa sadar merah jengah pipinya, sorot mata cinta dan sayang terpancar keluar dari balik matanya. "Sioe To!" tegur Pek-li Cien Cien dengan nada tidak senang. "Bukankah aku melarang kau masuk kemari? Kenapa tanpa mengetuk pintu kau langsung nyelonong masuk ke dalam kamar?" "Nona, bukankah tadi kau suruh aku yang buatkan kuah bunga teratai untuk sauw ya ini menangsal perut? Nih, aku bawakan kuah bunga teratai..." "Hmm, letakkan saja di atas meja!" perintah Pek-li Cien Cien ketus. Sementara itu Pek In Hoei sedang duduk di balik selimut dengan wajah tersipu-sipu ketika sinar matanya menyapu sekejap wajah Sioe To tadi, diam- diam hatinya merasa terkejut, pikirnya : "Aduuuh celaka! Rupanya dayang cilik ini pun sudah ikut kesurupan setan..." Ia sadar bahwa wajahnya terlalu tampan dan terlalu menarik bagi pandangan kaum gadis, apabila ia tak sanggup merahasiakan perasaan hatinya dan baik- baik menjaga diri, maka sedikit meleng saja akan mengakibatkan banyak gadis cantik tergila-gila kepadanya. Ia telah memperoleh banyak pengalaman dari gadis- gadis yang pernah dijumpainya pd masa lampau, seperti Kong Yo Siok Peng, Wie Chin Siang, It-boen Pit Giok... ia berhasil mengetahui perasaan kagum dan cinta mereka dari sorot mata yang jeli itu... Dan kini dari sorot mata Pek li Cian Cian serta Sioe To kembali ia temukan pancaran sinar cinta yang sama seperti yang lain... Timbul perasaan gentar dalam hati kecilnya, diam- diam ia membatin : "Dendam kesumat sedalam lautan yang masih kutanggung sama sekali belum berhasil dituntut balas, mana boleh aku terjerumus ke dalam belaian kasih serta pelukan mesra kaum gadis muda? Malam ini bagaimanapun juga aku harus berusaha untuk melarikan diri dari sini." Sinar matanya berkilat, setelah merandek beberapa saat ia bertanya : "Eeeei! Kau simpan di mana itu kapak sakti serta kutang pelindung badanku?" Sementara itu Sioe To sedang memandang wajah Pek In Hoei dengan termangu-mangu, tatkala mendengar pertanyaan tersebut, buru-buru ia letakkan sebuah kotak ke atas meja sembari ujarnya : "Kutang pelindung badan serta kapak saktimu itu telah kusimpan semua dalam almari..." "Sioe To siapa suruh kau ikut usil disini? Ayoh cepat enyah dari dalam kamar ini!" hardik Pek li Cian Cian semakin mendongkol. Dengan perasaan berat dan tidak rela serta bibir yang dicibirkan terpaksa dayang berbaju hijau itu mengundurkan diri dari kamar, sesaat sebelum meninggalkan pintu ruangan dengan pandangan mendalam dan berat kembali ia lirik sekejap wajah si anak muda. Pek li Cian Cian bukanlah seorang gadis yang bodoh, dari gerak-gerik yang ditunjukkan Sioe To ia telah berhasil menebak isi hatinya, maka seraya mendengus dingin tegurnya : "Hey budak sialan, kalau kau berani berebutan lelaki ini dengan diriku... awas! Selembar jiwamu bisa kucabut tanpa mengenal kasihan." Berbicara sampai di situ ia lantas berpaling kembali dan tertawa merdu. "In Hoei!" serunya. "Kau tak usah bangun, biarkanlah aku yang menyuapkan kuah teratai itu untukmu..." "Hmmm! Selama hidup belum pernah kujumpai perempuan yang tak tahu malu seperti dia..." pikir Pek In Hoei dengan alis berkerut, wajahnya segera berubah membesi, serunya : "Terima kasih atas maksud baik dari nona, cayhe tidak ingin mendahar makanan apa pun juga." "Apakah racun ulat emas itu kembali sudah kambuh?" pin menggeleng. "Selama beberapa hari ini cayhe merasa luar biasa lelahnya, sekarang aku kepengin sekali tidur dengan nyenyaknya... lagi pula kepala cayhe terasa rada pening, oleh sebab itu aku berharap agar nona jangan mengganggu diriku lagi." "Aduuuh... ! Apakah badanmu panas? Coba... coba biar kuraba keningmu..." Sembari berkata ia lantas ulurkan tangannya bermaksud meraba kening si anak muda itu, tetapi Pek In Hoei telah mengingos ke samping dengan perasaan jemu. Melihat rabaannya dihindari, Pek li Cian Cian melengak, pikirnya : "Jangan-jangan ia benci dan muak kepadaku karena gerak-gerikku yang terlalu bebas?" Pada dasarnay ia memang seorang gadis yang cerdik, hanya cukup meninjau dari sikap serta perubahan wajah si anak muda itu saja ia lantas mengerti dimanakah letak kesalahan dirinya. Setelah termenung berpikir sejenak batinnya : "Baiklah mulai besok pagi, aku harus menarik kembali sikap serta tingkah lakuku yang terlalu bebas ini, aku tak boleh menggunakan tata cara yang biasa berlaku di wilayah Biauw untuk menghadapi dirinya, karena bagaimanapun juga dia tetap seorang bangsa Han dan bukan orang dari suku Biauw..." Sebaliknya ketika Pek In Hoei melihat gadis itu membungkam dan tidak berbicara lagi timbul rasa menyesal dalam hati kecilnya. Ia lantas mendehem dan berkata : "Cayhe merasa tidak enak badan dan ingin tidur..." Pek li Cian Cian tertawa hambar. "Sekarang sudah malam, memang sudah waktunya bagimu untuk beristirahat..." ia bangkit berdiri dari atas pembaringan. "Apakah kau tidak habiskan dulu kuah teratai ini sebelum pergi tidur?" "Aku rasa tak perlu, terima kasih atas perhatianmu," jawab pemuda itu sembari menggeleng, setelah merandek sejenak tambahnya : "Aku... apakah aku tidur disini?" "Apa salahnya kau tidur di situ? Kamar ini adalah kamar pribadiku, siapa pun tak akan berani nyelonong masuk kemari secara sembarangan." "Hmm, peduli amat ini adalah kamar pribadimu atau bukan," pikir Pek In Hoei dalam hati, "asal kau sudah pergi dari sini aku segera akan bangun dan berpakaian lalu melarikan diri lewat jendela, bagaimanapun juga aku toh tak akan terlalu lama tidur disini, apa salahnya kalau sekarang berpura-pura dulu?" Karena berpikir demikian maka dengan mulut membungkam dia lantas tarik selimut dan merebahkan diri. Dengan mesra dan penuh kasih sayang Pek li Cian Cian membongkokkan badannya membetulkan ujung selimut yang tergulung, lalu ujarnya halus : "Mulai besok pagi aku akan berusaha untuk memusnahkan racun ulat emas yang mengeram dalam tubuhnya, sekarang tidurlah dengan nyenyak dan jangan berpikir yang bukan-bukan." "Huuh! mana ada hari esok bagimu?" jengek Pek In Hoei di dalam hati. "Sebentar lagi aku bakal kabur dari sini!" Tetapi sebelum ingatan tersebut selesai berkelebat dalam benaknya, menggunakan kesempatan di kala membetulkan selimut yang menggulung itulah Pek li Cian Cian telah menotok jalan darah tidurnya. Seketika itu juga Pek In Hoei merasakan pandangannya jadi kabur dan keadaannya makin berkurang, jeritnya di dalam hati : "Aduuuh celaka, aku sudah terkena tipu muslihat setan cilik ini!" Tetapi ia tak sempat mengerahkan tenaga dalamnya lagi untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, tahu-tahu si anak muda itu sudah tertidur pulas. Memandang Pek In Hoei yang tertidur dengan nyenyaknya di atas pembaringan, rasa bangga tertera di atas wajah Pek li Cian Cian, pikirnya : "Peduli kau adalah si jago pedang berdarah dingin atau bukan, aku pasti akan berusaha untuk memeluk dirimu ke dalam rangkulanku!"