Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ksatria Panji Sakti - 15

$
0
0
Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf

Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti

Bab 3. Hidup susah mati mudah. Kabut fajar menyelimuti seluruh permukaan bumi, pagi hari menjelang tiba, kegelapan malam pun pelan pelan bergeser ke ujung dunia. Memandang bayangan punggung Tio Ki—kong yang lenyap dibalik kabut, sekulum senyuman pedih menghiasi ujung bibir Thiat Tiong—tong, gumamnya: “Sam—te, selamat tinggal!” Mendadak terlihat Tio Ki—kong membalikkan badan sambil menjatuhkan diri berlutut, sepatah demi sepatah katanya: “Tio Ki—kong bukan lelaki yang gampang berlutut, aku hanya menyembah kepada seorang lelaki sejati yang menjunjung tinggi kebenaran dan kesetia kawanan, sekarang aku berlutut kepadaku bukan lantaran kau adalah keturunan dari Thiat locianpwee . . . . . ..” Meskipun pada permulaan kata ia masih berbicara dengan Suara berat, tapi pada akhirnya dia mulai sesenggukan dan tak sanggup melanjutkan lagi kata katanya. Thiat Tiong—tong ikut berlutut, katanya pula: “”Siaute tak bisa bicara banyak, aku hanya menyesal kenapa baru sekarang kenal dengan seorang sahabat macam Saudara Tio!” Kemudian sambil mengangkat wajahnya, dia melanjutkan dengan nada lantang: “Saudara Tio, nyawa saudaraku telah kuserahkan ke tanganmu, semoga kau bisa selamatkan jiwanya. Saudara Tio! Cepat berangkat!” Tio Ki-kong membentak lirih kemudian berlalu dari situ dengan Cepat, tak lama kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan. Thiat Tiong—tong mulai duduk bersila, darah dan air hujan yang menggenangi seluruh permukaan beriak ketika terhembus angin fajar, tiga sosok mayat yang berjajar disitu pun sudah mulai membeku. Pemuda itu tahu, sebentar lagi musuh tangguh segera akan menggeledah sampai disitu, tapi pikirannya tetap kosong, perasaannya tetap hamba, sebab “kematian” bukan jalan yang dia pilih. Tadi sebetulnya dia bisa memilih jalan “kehidupan”, dia bisa meletakkan “kehidupan” sendiri diatas “kematian” Im Ceng, tapi dia telah mengabaikan jalan “kehidupan” bagi diri sendiri dan sambil tersenyum memilih jalan “kematian”, karena merupakan pilihan sendiri maka sekarang dia tak nampak terlalu sedih, tak terlalu pedih dalam menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. “Ayoh kemarilah!” sambil membusungkan dada ia berseru, “Thiat Tiong—tong sudah menanti disini!” Diambilnya sebuah busur dan berapa batang anak panah, lalu memusatkan perhatian ke depan. Walaupun waktu berlalu amat Cepat, namun dalam perasaannya justru amat panjang dan lama. Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang ringan bergerak mendekat, seseorang berbisik lirih: “Coba dicari sekitar Sana, bangsat itu sudah terluka parah, delapan puluh persen sulit untuk hidup terus!” “Masih untung kalau dia mati” sahut rekannya, “kalau hidup malah lebih mengenaskan” Orang yang pertama kembali menghela napas: “Yaa, terkadang mati lebih enak daripada hidup, kalau aku jadi dia, lebih baik mati lebih awal karena jauh lebih nyaman dan tak tersiksa” Dalam keheningan yang mencekam tanah perbukitan itu, bisikan yang lirih pun berubah jadi nyaring dan jelas terdengar. Thiat Tiong—tong terkesiap, batinnya: “Benarkah hidup susah mati gampang? Hidup susah mati gampang?” - Thiat Tiong—tong, kau tak boleh lari dari kenyataan, kau tak boleh mati, selama masih ada harapan untuk hidup, kau harus berjuang terus untuk mempertahankannya! Sejak dulu hingga kini, banyak orang mencari mati untuk menghindari penderitaan dan tanggung jawab, tahukah mereka bahwa keputusan untuk mempertahankan hidup sebenarnya jauh lebih berani, jauh lebih perkasa daripada menghadapi kematian? Seringkali orang melupakan akan hal ini, itulah sebabnya kastria yang berjuang sampai titik darah penghabisan jauh lebih dihormati daripada para pahlawan yang gampang memilih jalan kematian. Suara langkah semakin mendekat, kedengaran seseorang sedang berkata: “Tio suhu, apakah melihat sesuatu yang mencurigakan di pos II penjagaan sini? Pocu perintahkan kami untuk datang kemari . . . . .. Belum selesai ia bicara, mendadak meluncur datang sebatang senjata rahasia dari balik kabut dan menghujam diatas dadanya, rekan yang lain menjerit kaget sambil melarikan diri ter birit birit. Tapi belum lagi berapa langkah, kembali sebatang senjata rahasia meluncur tiba dan menghajar punggungnya, setelah sempoyongan orang itu roboh terjungkal ke tanah, tapi ia segera meronta bangun dan melanjutkan kembali larinya. Mungkin serangan yang kedua jauh lebih lemah dari serangan pertama sehingga meski mengenai sasaran namun tak sampai menimbulkan luka yang fatal. Menanti Suara berisik itu sudah makin jauh, Thiat Tiong-tong baru membuang busurnya, menelanjangi salah satu mayat itu dan menggantinya dengan pakaian hitam miliknya, sementara dia sendiri mengenakan pakaian dari mayat itu. Thiat Tiong—tong tak lupa memenggal kepala mayat itu dan menguburnya ke dalam tanah, sekalipun tanah lumpur disana lembek karena terendam air, tak urung pekerjaan ini membuatnya mandi keringat. Kemudian setelah melumuri wajah sendiri dengan lumpur, dia pun merebahkan diri ke tanah. Tak lama kemudian terdengar suara desingan angin tajam disertai langkah kaki berkumandang dari empat penjuru, Suara itu makin lama semakin mendekat. Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benak pemuda itu, pekiknya didalam hati: “Aaah, tidak benar!” Cepat dia membalikkan badan dengan berbaring tertelentang, sebab secara tiba tiba ia teringat, jika ia tertelungkup maka orang lain pasti akan melakukan pemeriksaan, sebaliknya dengan rebah tertelentang meskipun jauh lebih berbahaya namun justru tidak menarik perhatian orang lain. Tak selang berapa Saat terlihat bayangan manusia berkelebat lewat, Leng It—hong serta Pek Seng—bu sudah muncul dari dua arah yang berlawanan. “Lagi lagi berhasil kabur!” “Dia sudah terluka parah, apalagi harus menggendong seseorang, aku tak pecaya dia bisa kabur dari sini, ayoh kejar!” “Coba kau lihat itu!” tiba tiba Leng It—hong berseru. Rupanya dia telah menemukan mayat tanpa kepala yang mengenakan baju warna hitam itu, dari potongan tubuhnya mirip sekali dengan potongan badan Thiat Tiong—tong. Mereka berdua segera saling bertukar pandangan sambil bertanya penuh curiga: “Mungkinkah dia?” Tapi dengan Cepat mereka menggeleng: “Tidak mungkin!” Dengan wajah serius Pek Seng-bu tundukkan kepalanya sambil berpikir, mendadak dia melayangkan sebuah tendangan menghajar tubuh sesosok mayat yang roboh tertelungkup, begitu keras tendangan itu hingga mayat tadi mencelat sejauh berapa langkah. Dengan wajah berubah Leng It—hong segera menegur: “Saudara Pek. Biarpun dia hanya seorang bubeng siaucut yang tak berguna dari benteng kami, toh orangnya sudah mati, buat apa kau mempermalukan jenasahnya?” “Ternyata orang ini benar benar berpikiran picik” batin Pek Seng-bu dalam hati, tapi diluar sahutnya sambil tertawa paksa: “Siaute hanya ingin membuktikan apakah orang ini mati benaran atau Cuma berlagak mati” “Aaah celaka” mendadak wajah Leng It—hong berubah, “teringat aku sekarang, jenasah siapa mayat tak berkepala ini” “Siapa?” Leng It—hong tidak langsung menjawab, dia mendongakkan kepalanya sambil menghela napas panjang. “Aaai...! Tio Ki—kong wahai Tio Ki—kong, kasihan kau sudah setia sampai mati, ternyata setelah tewaspun harus kehilangan kepala” “Tio Ki—kong? Bukankah dia adalah Tio suhu, salah satu dari empat guru ilmu pukulan dalam Benteng Han-hong—po yang ilmu silatnya paling tangguh?” “Pasti bajingan itu sehabis membunuhnya, memotong batok kepalanya lalu menukar pakaiannya dengan tujuan akan membohongi kita” “Benar, bajingan itu paling suka menggunakan akal akalan, sudah berulang kali dia menipu kita dengan akalnya yang licik” “Kali ini lohu tak mau tertipu lagi, ayoh kejar terus!” Terdengar Seng Toa-nio berteriak dari arah seberang: “Ada orangkah disitu?” “sudah kabur!” sahut Pek Seng-bu. “Aku menemukan jejak kaki menuju ke luar hutan” teriak Seng Toa-nio lagi, “Cepat kalian kemari, dengan luka yang berat, tak nanti dia bisa kabur terlalu jauh!” “Kami segera datang!” sahut Pek Seng-bu, kemudian sambil berpaling ke arah Leng It—hong dan tertawa getir, bisiknya: “Jejak kaki apaan? Mungkin dia sudah sinting lantaran panik!” “Apa salahnya kita tengok ke situ!” sahut Leng It-hong sambil tertawa. setelah mendengar Pek Seng—bu ikut memaki Seng Toa-nio, perasaan hatinya jadi sangat lega, perasaan kesalnya pun seketika berkurang banyak. Diam diam Pek Seng—bu merasa geli, tapi diluar kembali ujarnya: “Saudara Leng, apa salahnya kau tinggalkan berapa orang untuk memberesi jenasah anak buahmu, masa akan kau biarkan mereka kepanasan dan kehujanan?” “Aaah, betul! Betul!” Leng It—hong manggut manggut. Dia segera memanggil berapa orang pemanah dan perintahkan mereka untuk mengubur jenasah itu, kemudian sambil menepuk bahu Pek Seng—bu katanya: “Ayoh jalan, mari kita periksa si nenek edan itu sudah menemukan apa?” Kini dia sudah menganggap Pek Seng-bu sebagai orang sendiri, padahal belum tentu Pek Seng-bu berpendapat yang sama dengan dirinya. Biarpun hampir seperminum teh lamanya mereka berdua berhenti disitu, namun tak seorangpun diantara mereka yang menggubrik mayat yang tergeletak dengan posisi terlentang, bahkan melirik sekejap pun tidak. Inilah kelemahan dari manusia, seringkali yang mereka perhatikan justru hanya tempat yang tersembunyi, sementara tempat yang didepan mata malah terabaikan. Thiat Tiong—tong yang menahan napas tak berani berkutik mulai mengeluh didalam hati: “Jika sampai dikubur hidup hidup, apa yang harus kulakukan?” Walaupun dengan andalkan kecerdasan dan keberaniannya, berulang kali ia berhasil lolos dari bahaya maut, tapi disaat mara bahaya yang satu baru saja lewat, mara bahaya lain yang jauh lebih sulit kembali harus dihadapi. Suara langkah kaki yang ramai bergema makin mendekat, pikiran dan perasaan Thiat Tiong—tong pun ikut bertambah gugup dan kalut. Dalam keadaan begini bukan saja ia tak bisa bergerak, membuka mata pun tak dapat. Terdengar Suara seseorang dengan nada yang parau dan besar sedang berseru: “Ting loji, ayoh cepat turun tangan, mau apa kau berdiri disitu berlagak mampus?” “Aaai, sudah kelelahan seharian, mau angkat kakipun rasanya sudah segan, mana ada tenaga untuk menggali liang kubur?” “Lantas kalau tidak dikubur mau diapakan mayat mayat itu? Mungkin saja kau berani membangkang perintah pocu, kalau aku mah tak punya keberanian sebesar itu” “Eeh, aku punya akal, selain tak usah buang tenaga, tugaspun bisa dilaksanakan, bagaimana menurut pendapatmu?” “Apa akalmu?” “Tak jauh dari tempat ini terdapat sebuah liang kecil, hanya tidak jelas seberapa dalamnya, bagaimana kalau kita buang saja mayat mayat itu ke sana?” “Bagus sekali, bagus sekali, kalau begitu segera kita kerjakan” teriak Ting Loji cepaat. Tampaknya semua orang sudah kelelahan maka tak ada yang protes atau kurang setuju. Tak lama kemudian tubuh Thiat Tiong—tong pun sudah digotong orang. Dia kuatir detak jantungnya kedengaran orang, padahal yang bisa dilakukan sekarang hanya tahan napas, bagaimana caranya menyembunyikan debaran jantungnya? Biarpun perjalanan yang ditempuh tidak terlampau jauh, namun dalam pandangan Thiat Tiong—tong justru amat panjang, lama dan sengsara, seolah olah jalanan tersebut tiada berujung dan pangkal. “Aaah, sudah sampai!” akhirnya terdengar seseorang be rseru. Menyusul kemudian ia mendengar Suara benda yang dilempar orang dan suara benturan yang berasal dari bawah tanah, kalau didengar dari suara pantulan yang dihasilkan, tampaknya liang itu bukan saja tidak kecil bahkan sangat dalam. “Saudaraku, beristirahatlah dengan tenang dibawah sana, kalian tak perlu menderita lagi, terus terang kami ikut merasa iri” Diam diam Thiat Tiong—tong menghela napas, tubuhnya telah dilempar orang ke dalam liang. Dia merasa desingan angin tajam bergema disisi telinganya, sementara gerak tubuhnya yang meluncur ke bawah amat Cepat. Dalam gugupnya buru buru tangannya berusaha meraih benda disekelilingnya dan memegangnya kuat kuat. Saat ini dia tak bisa merasakan benda apa yang berhasil dicekalnya, namun dia pun enggan lepas tangan, maka setelah terlempar berapa saat akhirnya tubuhnya berhenti meluncur ke bawah. Lama, lama kemudian ia baru berani membuka matanya, kini dia baru tahu kalau benda yang berhasil diraihnya adalah akar rotan yang tumbuh kuat ditepi tebing, sekalipun sudah menahan bobot tubuhnya yang sedang meluncur ke bawah namun tidak menyebabkannya putus. Ketika mencoba menengok ke bawah, yang tampak hanya kegelapan yang pekat dan tak nampak dasarnya, sementara ketika menengok ke atas, yang tampak hanya awan putih, ternyata pagi hari telah tiba. Ia tak berani menggerakkan tubuhnya sebab kuatir akar rotan itu putus jadi dua, sekarang dia hanya berharap bisa segera pulihkan kembali kekuatan tubuhnya kemudian berusaha meninggalkan tempat itu. Entah berapa saat sudah lewat, kini telapak tangannya mulai terasa sakit dan panas sekali, sakit yang menusuk hingga ke dalam hati, tapi dia gertak gigi sambil berusaha menahan siksaan itu. Banyak kejadian yang paling menyiksapun telah berhasil dilampaui, tiba tiba ia peroleh satu pelajaran, asal kau punya tekad dan niat, tak ada kejadian didunia ini yang tak bisa kau hadapi. Perlahan-lahan dia mulai menggeserkan ujung kakinya mencari tempat pijakan yang lebih kuat, lalu sambil melepaskan genggaman ditangan kirinya dia beralih memegang akar rotan lainnya. Tiba tiba..... “Blukkk!” pinjakan kakinya kehilangan keseimbangan, tubuhnya langsung terperosok ke bawah diikuti akar rotan yang digenggam tangan kanannya ikut putus jadi dua. Ia merasa jantungnya seolah olah melompat keluar lewat tenggorokan, kini keselamatan jiwanya hanya tergantung pada

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>