Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana
Ia merasa jantungnya seolah olah melompat keluar lewat tenggorokan, kini keselamatan jiwanya hanya tergantung pada seutas akar rotan yang tidak terlalu kuat. saat ini, biar dilukiskan dengan semua perkataan yang ada di dunia pun tak mungkin bisa menggambarkan betapa bahaya dan kritisnya anak muda itu. Tapi ia berusaha mengendalikan perasaan hatinya, ia sadar bila hatinya kalut dan panik, bila ia tak mampu menguasahi diri, tubuhnya segera akan terjatuh ke dasar jurang dan mati tanpa liang kubur. Tiba tiba terdengar suara mendesis bergema dari balik semak, sewaktu Thiat Tiong-tong berpaling, ia saksikan ada seekor ular berbisa sebesar cawan teh sedang bergerak mendekat dan berhenti lebih kurang satu kaki dihadapannya. Sepasang mata ular itu besar bagai lentera dan mengawasi wajah Thiat Tiong-tong tanpa berkedip, lidahnya yang merah nyaris menempel di atas pipinya. Thiat Tiong-tong merasa hatinya bergidik, tubuhnya merinding dan bulu kuduknya pada berdiri. Bau busuk yang menyembur keluar dari mulut ular itu sangat memuakkan, tapi Thiat Tiong-tong tak berani bergerak, bahkan matanya pun tak berani berkedip, peluh dingin bercampur dengan lumpur meleleh tiada hentinya. Ia kuatir kerdipan matanya akan mengejutkan sang ular, asal dia dipagut satu kali saja niscaya badannya akan terlempar jatuh ke bawah. Sinar mata ular itu hijau kebiru biruan, ketika bertemu dengan sorot mata Thiat Tiong-tong yang sedang melotot, kelihatannya binatang melata itupun dibuat terkejut bercampur takut. Sang ular tidak bergerak, Thiat Tiong-tong terlebih tak berani bergerak. Air keringat, lumpur basah membuat wajah Thiat Tiong-tong jadi gatalnya bukan kepalang, saat inilah dia baru sadar bahwa gatal sebetulnya merupakan sesuatu yang menyiksa . . . . . .. jauh lebih tersiksa daripada radang. Manusia dan ular pun saling berhadapan tanpa bergerak...... Ditengah keheningan mendadak terdengar seseorang berseru dari atas tebing: “Thiat kongcu, aku orang she—Ti0 telah datang terlambat, sungguh sedih karena tak bisa melihat wajahmu untuk terakhir kalinya” Seruan itu diutarakan dengan nada sedih, tapi begitu terdengar oleh Thiat Tiong-tong, dia segera tahu kalau Tio Ki-kong yang telah datang, rasa gembira yang meluap nyaris membuatnya berteriak keras. Tapi dengan cepat dia kendalikan semua keinginannya untuk berteriak, sebab dia tak ingin menimbulkan suara berisik apa pun yang menyebabkan ular berbisa dihadapannya jadi a gresif dan melancarkan pagutan. Terdengar Tio Ki—k0ng berteriak lagi dari atas tebing: “Thiat kongcu, beristirahatlah dengan tenang di alam baka, aku telah menghantar Im kongcu ke suatu tempat yang aman, ada orang yang telah merawatnya, begitu selesai menjalankan tugas aku segera menyusul kemari, siapa tahu kedatanganku tetap terlambat selangkah” Thiat Tiong-tong merasa sedih bercampur terharu disamping rasa cemas dan gelisah yang tak terlukiskan dengan kata, padahal asal dia mau berteriak waktu itu, bala bantuan segera akan datang. Yang menjadi masalah adalah sebelum datangnya bala bantuan, besar kemungkinan dia sudah digigit dulu oleh ular berbisa itu. Ditengah isak tangis yang berkumandang dari atas tebing, tiba tiba terdengar seseorang membentak nyaring: “Tio Ki—k0ng, ternyata kau berada disini!” Menyusul kemudian terdengar lagi jeritan kesakitan yang memilukan hati. Selewat jeritan itu, suasana jadi hening kembali. Kembali Thiat Tiong-tong menghela napas dalam hati, dia hanya bisa berdoa, moga moga saja jeritan itu bukan berasal dari Tio Ki-kong, moga moga saja ia dapat meninggalkan tempat itu dalam keadaan selamat. Dan bagaimana dengan dia sendiri? Pemuda itu hanya pasrah pada nasib. Ditengah ketidak pastian itulah mendadak dari dasar tebing meluncur datang sebuah cambuk panjang yang langsung melilit tubuh Thiat Tiong-tong, kemudian terdengar seseorang membentak nyaring: “Turun!” Dalam terkejutnya Thiat Tiong-tong merasa tak memiliki kekuatan untuk melawan, tak ampun tubuhnya segera meluncur jatuh ke bawah. Kemudian kepalanya terasa pusing, pandangan matanya berkunang kunang sebelum akhirnya jadi gelap, apa yang kemudian terjadi dia tak tahu..... pergulatannya melawan kematian berakhir sudah. 00000 00000 00000 Im Ceng yang jatuh tak sadarkan diri perlahan—lahan mendusin kembali dari pingsannya. Ia merasa seluruh badannya sakit bagai retak, rasa sakit yang membuatnya jadi mati rasa, membuatnya hampir tak merasa dimana letak ke empat anggota badannya. Ketika membuka mata, ia jumpai dirinya berada didalam sebuah kamar yang sempit, kecil lagi jelek. Cahaya matahari memancar masuk melalui jendela, tapi kamar itu kosong tak berpenghuni, hanya diluar sana lamat lamat terdengar ada suara pembicaran orang serta suara benda besi yang saling beradu. “Berada dimanakah aku? Jangan jangan sudah dihinati Thiat Tiong-tong? Mungkinkah orang diluar sana sedang mempersiapkan alat siksaan untuk menginterogasi aku?” Berpikir sampai disitu ia merasa sedih bercampur gusar, rasa bencinya terhadap Thiat Tiong-tong pun makin mendalam, dia mengira Thiat Tiong-tong telah menghianatinya. “Thiat Tiong-tong wahai Thiat Tiong-tong, asal aku bisa 10105 dari maut hari ini, aku bersumpah akan mencabut nyawamu, biarpun kau lari sampai ke ujung dunia pun aku tetap akan mengejarmu!” Tirai biru didepan pintu disingkap orang, seorang nona berbaju hijau dengan rambut dikepang dua berjalan masuk ke dalam ruangan. Dandanan gadis ini amat sederhana, bedak pun amat tipis, namun tak dapat menutupi kecantikan alami yang dimilikinya, baju warna hijau yang dikenakan selaras dengan potongan badannya, hanya sayang penampilannya amat dingin dan hambar, meski matanya bersinar tajam namun kekurangan kelincahan dan sinar hidup, seakan akan dibalik penampilannya yang cantik masih kekurangan sesuatu. Dia masuk Sambil membawa sebuah baki kayu, diatas baki tersedia mangkuk yang masih mengeluarkan uap panas, bau harum obat segera memenuhi ruangan. Tanpa berkata ia sodorkan mangkuk obat itu ke hadapan Im Ceng. “siapa kau?” tanya Im Ceng Sambil berusaha bangkit. Gadis berbaju hijau itu gelengkan kepalanya berulang kali tanpa bicara, dia hanya menuding ke arah mangkuk obat itu, maksudnya minta Im Ceng segera menghabiskan obat itu. Tiba tiba Im Ceng berpikir dengan penuh amarah: “Benar benar sekawanan manusia keji, kelihatannya mereka kuatir lukaku yang terlalu parah tak tahan disiksa, maka sekarang ingin mengobati lukaku lebih dulu kemudian baru menyiksaku perlahan- lahan” Si nona hanya mengawasi pemuda itu dengan pandangan dingin, sorot matanya sama sekali tak memancarkan sinar kehangatan, hal ini memperkuat dugaan Im Ceng bahwa perempuan ini memang anak buah musuhnya. “Bnyah kau dari sini, siapa yang kesudian minum obatmu III Tampaknya nona berbaju hijau itu terkejut bercampur keheranan, tapi dia tetap tak berbicara maupun bergerak. Sambil membentak gusar Im Ceng meronta bangun, tangannya mendorong mangkut obat itu kuat kuat. Tapi sayang ia baru mendusin dari luka parahnya, dorongan itu sama sekali tak bertenaga, dengan satu kebasan gadis berbaju hijau itu berhasil menyingkirkan tangannya. Menggunakan kesempatan itu dia cengkeram tengkuk Im Ceng kemudian melolohkan obat itu dengan paksa. Im Ceng sama sekali tak mampu meronta, Sambil mencaci maki terpaksa dia telan obat pahit itu sampai habis, kemudian baru melanjutkan kembali umpatannya. Nona berbaju hijau itu sama sekali tidak menanggapi, selesai meloloh pemuda itu dengan 0bat, ia segera membalikkan badan dan berlalu dari situ. Dibalik tirai merupakan sebuah kamar tidur, meskipun perabotnya sederhana namun amat bersih, diluar kamar merupakan sebuah halaman yang cukup lebar. Ditengah halaman terlihat tungku api yang membara, empat orang lelaki bertelanjang dada sedang menempa besi, ternyata suara bentrokan besi yang terdengar tadi berasal dari sini. Ketika nona berbaju hijau itu muncul di halaman, salah seorang lelaki setengah umur yang sedang menempa besi segera berpaling seraya bertanya: “Dia sudah habiskan obat itu?” Si nona manggut manggut. Sambil menghela napas kembali lelaki setengah umur itu berkata: “Pemuda itu diserahkan kepada kita oleh ayah angkatmu, maka kaupun harus merawat dia secara baik baik, penampilanmu jangan selalu dingin dan ketus, bikin orang salah sangka dan mengira kau punya perasaan antipatik terhadapnya” Meskipun sedang mengerjakan pekerjaaan kasar namun nada bicaranya tenang dan penuh tenaga, wajahnya pun kelihatan amat berwibawa, begitu selesai berbicara kembali dia melanjutkan pekerjaannya. “Suhu” seorang pemuda yang lain berseru, “silahkan kau beristirahat sejenak, beberapa macam senjata rahasia ini toh bukan benda yang terlalu susah untuk dikerjakan, kenapa kau orang tua mesti turun tangan sendiri” “Sekalipun benda benda itu tidak susah untk dibuat tapi jumlahnya banyak sekali, pihak Benteng Han-h0ng—p0 pun terburu ingin menggunakannya, kalau aku tidak turun tangan, pesanan ini pasti akan terbengkalai, padahal kita sudah banyak tahun berhubungan dengan mereka, selama ini pesanan mereka pun tak pernah dikirim terlambat, kalau kali ini sampai kacau, mau ditaruh ke mana muka Tio ji-siok mu” Waktu itu Im Ceng yang ada dalam kamar masih merasa jengkel bercampur dendam, apa mau dikata obat sudah masuk ke dalam perut dan tak mungkin bisa ditumpahkan kembali. Dalam keadaan jengkel itulah dia menangkap suara pembicaraan yang sedang berlangsung diluar, tapi apa yang didengar tidak lengkap, lamat lamat dia seperti mendengar orang sedang berkata: “Benteng Han-h0ng—p0 . . . . . . .. terburu buru . . . . .. turun tangan . . . . ..” Im Ceng kaget setengah mati, segera pikirnya lagi: “Ternyata dugaanku tidak salah, asal kondisi badanku pulih kembali, mereka pasti akan segera turun tangan untuk menginterogasi aku” Dia mulai meronta diatas ranjang, pikirnya lagi dengan penuh kebencian: “Biar harus matipun aku tak sudi dihina dan dipermainkan mereka, akupun tak boleh membiarkan mereka tahu kemana perginya ayahku..... Thiat Tiong-tong, kau bangsat, kau penghianat, kalau aku tak sampai mati pasti akan kucari dirimu!” Entah disebabkan hawa amarahnya atau karena pengaruh obat yang diminumnya, sekarang ia sudah mendapatkan kembali berapa bagian kekuatan tubuhnya. Sewaktu mencoba untuk periksa badannya, dijumpai semua luka yang ada ditubuhnya telah dibalut orang dengan rapi . . . . . .. tapi dia tak percaya kalau luka itu dibalut oleh gadis berwajah dingin itu. Api kemarahan membuatnya berpikiran sempit, tanpa berpikir panjang lagi ia mendekati jendela dan segera melompat keluar dari ruangan. Rasa sakit yang menyayat kembali menyerang sekujur tubuhnya, tapi ia menggertak gigi menahan diri, sambil tertitah titah ia berusaha meninggalkan tempat itu. Ternyata diluar jendela adalah sebidang tanah pertanian yang luas, diantara sawah yang bersusun terlihat sebuah jalan setapak yang berlapiskan batu kali. Dengan sekuat tenaga ia berlarian ditengah area persawahan itu, kemudian menjatuhkan diri bersembunyi ditumpukan jerami, Setelah itu baru pikirnya dengan perasaan sedikit lega: “Untung mereka anggap aku masih terluka parah dan belum sanggup bangun untuk melarikan diri hingga tidak mengirim orang untuk melakukan penjagaan, kali ini berkat perlindungan Thian aku berhasil lagi l0l0s dari cengkeraman tangan iblis” Pikiran anak muda ini seakan sudah disumbat oleh dendam pribadi, dia seperti tak bisa berpikir dengan lebih tenang bahwa seandainya Benteng Han—h0ng—p0 benar benar hendak menginterogasi dirinya, mana mungkin dirinya dikirim ke sebuah rumah jelek terpencil yang letaknya ditepi dusun? Dia semakin tak mengira kalau nyawanya bisa selamat karena ditukar dengan nyawa Thiat Tiong-tong, dia pun tidak tahu kalau keberhasilannya kabur dari hutan adalah berkat jasa Tio Ki—k0ng yang menghantarnya ke rumah saudara angkatnya. Ia bisa teledor dan tak berpikir panjang lantaran Im Ceng memiliki watak yang kelewat berangasan dan cepat naik darah. siapa pun tidak menyangka kalau gara gara keteledorannya ini, dikemudian hari telah menciptakan sebuah badai yang maha dahsyat. Setelah beristirahat sejenak ditengah tumpukan jerami, Im Ceng kembali merangkak ke tepi jalan, disitu ia jumpai ada sebuah kereta yang dihela dua ekor kuda kecil sedang bergerak mendekat. Kusir kereta adalah seorang gadis berusia empat, lima belas tahunan, sambil mengayunkan cambuknya dan melantunkan nyanyian gunung, ia menjalankan keretanya dengan amat santai. Im Ceng kegirangan, pikirnya: “Kelihatannya nona itu sedang mengantar kongcu atau siocia nya berpesiar, kenapa aku tidak minta bantuan mereka untuk membantuku kabur dari sini?” Dengan sekuat tenaga dia lari ke tengah jalanan, menghadang jalan pergi kereta itu. “Hey, memangnya kau cari mati?” nona kecil itu langsung menegur sambil melotot. Sembari merentangkan Sepasang lengannya kata Im Ceng dengan suara dalam: “Urusan sangat gawat, bolehkah aku naik ke dalam kereta terlebih dulu sebelum bicara? Nona tak usah kuatir, aku bukan orang jahat!” “Hmm, kau bukan orang jahat? Lihat tampangmu sekarang, sudah pasti kalau bukan pencoleng tentu maling, kalau tak mau minggir, hati hati nona akan mencambukmu!”
Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana
Ia merasa jantungnya seolah olah melompat keluar lewat tenggorokan, kini keselamatan jiwanya hanya tergantung pada seutas akar rotan yang tidak terlalu kuat. saat ini, biar dilukiskan dengan semua perkataan yang ada di dunia pun tak mungkin bisa menggambarkan betapa bahaya dan kritisnya anak muda itu. Tapi ia berusaha mengendalikan perasaan hatinya, ia sadar bila hatinya kalut dan panik, bila ia tak mampu menguasahi diri, tubuhnya segera akan terjatuh ke dasar jurang dan mati tanpa liang kubur. Tiba tiba terdengar suara mendesis bergema dari balik semak, sewaktu Thiat Tiong-tong berpaling, ia saksikan ada seekor ular berbisa sebesar cawan teh sedang bergerak mendekat dan berhenti lebih kurang satu kaki dihadapannya. Sepasang mata ular itu besar bagai lentera dan mengawasi wajah Thiat Tiong-tong tanpa berkedip, lidahnya yang merah nyaris menempel di atas pipinya. Thiat Tiong-tong merasa hatinya bergidik, tubuhnya merinding dan bulu kuduknya pada berdiri. Bau busuk yang menyembur keluar dari mulut ular itu sangat memuakkan, tapi Thiat Tiong-tong tak berani bergerak, bahkan matanya pun tak berani berkedip, peluh dingin bercampur dengan lumpur meleleh tiada hentinya. Ia kuatir kerdipan matanya akan mengejutkan sang ular, asal dia dipagut satu kali saja niscaya badannya akan terlempar jatuh ke bawah. Sinar mata ular itu hijau kebiru biruan, ketika bertemu dengan sorot mata Thiat Tiong-tong yang sedang melotot, kelihatannya binatang melata itupun dibuat terkejut bercampur takut. Sang ular tidak bergerak, Thiat Tiong-tong terlebih tak berani bergerak. Air keringat, lumpur basah membuat wajah Thiat Tiong-tong jadi gatalnya bukan kepalang, saat inilah dia baru sadar bahwa gatal sebetulnya merupakan sesuatu yang menyiksa . . . . . .. jauh lebih tersiksa daripada radang. Manusia dan ular pun saling berhadapan tanpa bergerak...... Ditengah keheningan mendadak terdengar seseorang berseru dari atas tebing: “Thiat kongcu, aku orang she—Ti0 telah datang terlambat, sungguh sedih karena tak bisa melihat wajahmu untuk terakhir kalinya” Seruan itu diutarakan dengan nada sedih, tapi begitu terdengar oleh Thiat Tiong-tong, dia segera tahu kalau Tio Ki-kong yang telah datang, rasa gembira yang meluap nyaris membuatnya berteriak keras. Tapi dengan cepat dia kendalikan semua keinginannya untuk berteriak, sebab dia tak ingin menimbulkan suara berisik apa pun yang menyebabkan ular berbisa dihadapannya jadi a gresif dan melancarkan pagutan. Terdengar Tio Ki—k0ng berteriak lagi dari atas tebing: “Thiat kongcu, beristirahatlah dengan tenang di alam baka, aku telah menghantar Im kongcu ke suatu tempat yang aman, ada orang yang telah merawatnya, begitu selesai menjalankan tugas aku segera menyusul kemari, siapa tahu kedatanganku tetap terlambat selangkah” Thiat Tiong-tong merasa sedih bercampur terharu disamping rasa cemas dan gelisah yang tak terlukiskan dengan kata, padahal asal dia mau berteriak waktu itu, bala bantuan segera akan datang. Yang menjadi masalah adalah sebelum datangnya bala bantuan, besar kemungkinan dia sudah digigit dulu oleh ular berbisa itu. Ditengah isak tangis yang berkumandang dari atas tebing, tiba tiba terdengar seseorang membentak nyaring: “Tio Ki—k0ng, ternyata kau berada disini!” Menyusul kemudian terdengar lagi jeritan kesakitan yang memilukan hati. Selewat jeritan itu, suasana jadi hening kembali. Kembali Thiat Tiong-tong menghela napas dalam hati, dia hanya bisa berdoa, moga moga saja jeritan itu bukan berasal dari Tio Ki-kong, moga moga saja ia dapat meninggalkan tempat itu dalam keadaan selamat. Dan bagaimana dengan dia sendiri? Pemuda itu hanya pasrah pada nasib. Ditengah ketidak pastian itulah mendadak dari dasar tebing meluncur datang sebuah cambuk panjang yang langsung melilit tubuh Thiat Tiong-tong, kemudian terdengar seseorang membentak nyaring: “Turun!” Dalam terkejutnya Thiat Tiong-tong merasa tak memiliki kekuatan untuk melawan, tak ampun tubuhnya segera meluncur jatuh ke bawah. Kemudian kepalanya terasa pusing, pandangan matanya berkunang kunang sebelum akhirnya jadi gelap, apa yang kemudian terjadi dia tak tahu..... pergulatannya melawan kematian berakhir sudah. 00000 00000 00000 Im Ceng yang jatuh tak sadarkan diri perlahan—lahan mendusin kembali dari pingsannya. Ia merasa seluruh badannya sakit bagai retak, rasa sakit yang membuatnya jadi mati rasa, membuatnya hampir tak merasa dimana letak ke empat anggota badannya. Ketika membuka mata, ia jumpai dirinya berada didalam sebuah kamar yang sempit, kecil lagi jelek. Cahaya matahari memancar masuk melalui jendela, tapi kamar itu kosong tak berpenghuni, hanya diluar sana lamat lamat terdengar ada suara pembicaran orang serta suara benda besi yang saling beradu. “Berada dimanakah aku? Jangan jangan sudah dihinati Thiat Tiong-tong? Mungkinkah orang diluar sana sedang mempersiapkan alat siksaan untuk menginterogasi aku?” Berpikir sampai disitu ia merasa sedih bercampur gusar, rasa bencinya terhadap Thiat Tiong-tong pun makin mendalam, dia mengira Thiat Tiong-tong telah menghianatinya. “Thiat Tiong-tong wahai Thiat Tiong-tong, asal aku bisa 10105 dari maut hari ini, aku bersumpah akan mencabut nyawamu, biarpun kau lari sampai ke ujung dunia pun aku tetap akan mengejarmu!” Tirai biru didepan pintu disingkap orang, seorang nona berbaju hijau dengan rambut dikepang dua berjalan masuk ke dalam ruangan. Dandanan gadis ini amat sederhana, bedak pun amat tipis, namun tak dapat menutupi kecantikan alami yang dimilikinya, baju warna hijau yang dikenakan selaras dengan potongan badannya, hanya sayang penampilannya amat dingin dan hambar, meski matanya bersinar tajam namun kekurangan kelincahan dan sinar hidup, seakan akan dibalik penampilannya yang cantik masih kekurangan sesuatu. Dia masuk Sambil membawa sebuah baki kayu, diatas baki tersedia mangkuk yang masih mengeluarkan uap panas, bau harum obat segera memenuhi ruangan. Tanpa berkata ia sodorkan mangkuk obat itu ke hadapan Im Ceng. “siapa kau?” tanya Im Ceng Sambil berusaha bangkit. Gadis berbaju hijau itu gelengkan kepalanya berulang kali tanpa bicara, dia hanya menuding ke arah mangkuk obat itu, maksudnya minta Im Ceng segera menghabiskan obat itu. Tiba tiba Im Ceng berpikir dengan penuh amarah: “Benar benar sekawanan manusia keji, kelihatannya mereka kuatir lukaku yang terlalu parah tak tahan disiksa, maka sekarang ingin mengobati lukaku lebih dulu kemudian baru menyiksaku perlahan- lahan” Si nona hanya mengawasi pemuda itu dengan pandangan dingin, sorot matanya sama sekali tak memancarkan sinar kehangatan, hal ini memperkuat dugaan Im Ceng bahwa perempuan ini memang anak buah musuhnya. “Bnyah kau dari sini, siapa yang kesudian minum obatmu III Tampaknya nona berbaju hijau itu terkejut bercampur keheranan, tapi dia tetap tak berbicara maupun bergerak. Sambil membentak gusar Im Ceng meronta bangun, tangannya mendorong mangkut obat itu kuat kuat. Tapi sayang ia baru mendusin dari luka parahnya, dorongan itu sama sekali tak bertenaga, dengan satu kebasan gadis berbaju hijau itu berhasil menyingkirkan tangannya. Menggunakan kesempatan itu dia cengkeram tengkuk Im Ceng kemudian melolohkan obat itu dengan paksa. Im Ceng sama sekali tak mampu meronta, Sambil mencaci maki terpaksa dia telan obat pahit itu sampai habis, kemudian baru melanjutkan kembali umpatannya. Nona berbaju hijau itu sama sekali tidak menanggapi, selesai meloloh pemuda itu dengan 0bat, ia segera membalikkan badan dan berlalu dari situ. Dibalik tirai merupakan sebuah kamar tidur, meskipun perabotnya sederhana namun amat bersih, diluar kamar merupakan sebuah halaman yang cukup lebar. Ditengah halaman terlihat tungku api yang membara, empat orang lelaki bertelanjang dada sedang menempa besi, ternyata suara bentrokan besi yang terdengar tadi berasal dari sini. Ketika nona berbaju hijau itu muncul di halaman, salah seorang lelaki setengah umur yang sedang menempa besi segera berpaling seraya bertanya: “Dia sudah habiskan obat itu?” Si nona manggut manggut. Sambil menghela napas kembali lelaki setengah umur itu berkata: “Pemuda itu diserahkan kepada kita oleh ayah angkatmu, maka kaupun harus merawat dia secara baik baik, penampilanmu jangan selalu dingin dan ketus, bikin orang salah sangka dan mengira kau punya perasaan antipatik terhadapnya” Meskipun sedang mengerjakan pekerjaaan kasar namun nada bicaranya tenang dan penuh tenaga, wajahnya pun kelihatan amat berwibawa, begitu selesai berbicara kembali dia melanjutkan pekerjaannya. “Suhu” seorang pemuda yang lain berseru, “silahkan kau beristirahat sejenak, beberapa macam senjata rahasia ini toh bukan benda yang terlalu susah untuk dikerjakan, kenapa kau orang tua mesti turun tangan sendiri” “Sekalipun benda benda itu tidak susah untk dibuat tapi jumlahnya banyak sekali, pihak Benteng Han-h0ng—p0 pun terburu ingin menggunakannya, kalau aku tidak turun tangan, pesanan ini pasti akan terbengkalai, padahal kita sudah banyak tahun berhubungan dengan mereka, selama ini pesanan mereka pun tak pernah dikirim terlambat, kalau kali ini sampai kacau, mau ditaruh ke mana muka Tio ji-siok mu” Waktu itu Im Ceng yang ada dalam kamar masih merasa jengkel bercampur dendam, apa mau dikata obat sudah masuk ke dalam perut dan tak mungkin bisa ditumpahkan kembali. Dalam keadaan jengkel itulah dia menangkap suara pembicaraan yang sedang berlangsung diluar, tapi apa yang didengar tidak lengkap, lamat lamat dia seperti mendengar orang sedang berkata: “Benteng Han-h0ng—p0 . . . . . . .. terburu buru . . . . .. turun tangan . . . . ..” Im Ceng kaget setengah mati, segera pikirnya lagi: “Ternyata dugaanku tidak salah, asal kondisi badanku pulih kembali, mereka pasti akan segera turun tangan untuk menginterogasi aku” Dia mulai meronta diatas ranjang, pikirnya lagi dengan penuh kebencian: “Biar harus matipun aku tak sudi dihina dan dipermainkan mereka, akupun tak boleh membiarkan mereka tahu kemana perginya ayahku..... Thiat Tiong-tong, kau bangsat, kau penghianat, kalau aku tak sampai mati pasti akan kucari dirimu!” Entah disebabkan hawa amarahnya atau karena pengaruh obat yang diminumnya, sekarang ia sudah mendapatkan kembali berapa bagian kekuatan tubuhnya. Sewaktu mencoba untuk periksa badannya, dijumpai semua luka yang ada ditubuhnya telah dibalut orang dengan rapi . . . . . .. tapi dia tak percaya kalau luka itu dibalut oleh gadis berwajah dingin itu. Api kemarahan membuatnya berpikiran sempit, tanpa berpikir panjang lagi ia mendekati jendela dan segera melompat keluar dari ruangan. Rasa sakit yang menyayat kembali menyerang sekujur tubuhnya, tapi ia menggertak gigi menahan diri, sambil tertitah titah ia berusaha meninggalkan tempat itu. Ternyata diluar jendela adalah sebidang tanah pertanian yang luas, diantara sawah yang bersusun terlihat sebuah jalan setapak yang berlapiskan batu kali. Dengan sekuat tenaga ia berlarian ditengah area persawahan itu, kemudian menjatuhkan diri bersembunyi ditumpukan jerami, Setelah itu baru pikirnya dengan perasaan sedikit lega: “Untung mereka anggap aku masih terluka parah dan belum sanggup bangun untuk melarikan diri hingga tidak mengirim orang untuk melakukan penjagaan, kali ini berkat perlindungan Thian aku berhasil lagi l0l0s dari cengkeraman tangan iblis” Pikiran anak muda ini seakan sudah disumbat oleh dendam pribadi, dia seperti tak bisa berpikir dengan lebih tenang bahwa seandainya Benteng Han—h0ng—p0 benar benar hendak menginterogasi dirinya, mana mungkin dirinya dikirim ke sebuah rumah jelek terpencil yang letaknya ditepi dusun? Dia semakin tak mengira kalau nyawanya bisa selamat karena ditukar dengan nyawa Thiat Tiong-tong, dia pun tidak tahu kalau keberhasilannya kabur dari hutan adalah berkat jasa Tio Ki—k0ng yang menghantarnya ke rumah saudara angkatnya. Ia bisa teledor dan tak berpikir panjang lantaran Im Ceng memiliki watak yang kelewat berangasan dan cepat naik darah. siapa pun tidak menyangka kalau gara gara keteledorannya ini, dikemudian hari telah menciptakan sebuah badai yang maha dahsyat. Setelah beristirahat sejenak ditengah tumpukan jerami, Im Ceng kembali merangkak ke tepi jalan, disitu ia jumpai ada sebuah kereta yang dihela dua ekor kuda kecil sedang bergerak mendekat. Kusir kereta adalah seorang gadis berusia empat, lima belas tahunan, sambil mengayunkan cambuknya dan melantunkan nyanyian gunung, ia menjalankan keretanya dengan amat santai. Im Ceng kegirangan, pikirnya: “Kelihatannya nona itu sedang mengantar kongcu atau siocia nya berpesiar, kenapa aku tidak minta bantuan mereka untuk membantuku kabur dari sini?” Dengan sekuat tenaga dia lari ke tengah jalanan, menghadang jalan pergi kereta itu. “Hey, memangnya kau cari mati?” nona kecil itu langsung menegur sambil melotot. Sembari merentangkan Sepasang lengannya kata Im Ceng dengan suara dalam: “Urusan sangat gawat, bolehkah aku naik ke dalam kereta terlebih dulu sebelum bicara? Nona tak usah kuatir, aku bukan orang jahat!” “Hmm, kau bukan orang jahat? Lihat tampangmu sekarang, sudah pasti kalau bukan pencoleng tentu maling, kalau tak mau minggir, hati hati nona akan mencambukmu!”