Cerita Silat | Imam Tanpa Bayangan II | oleh Xiao Say | Imam Tanpa Bayangan II | Cersil Sakti | Imam Tanpa Bayangan II pdf
Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti
Walaupun dalam hati kecilnya para jago dari pelbagai partai itu ingin sekali menyaksikan kepandaian maha sakti dari luar lautan, apa lacur tenaga lweekang dari kedua belah pihak terlalu sempurna dan hebat bagi mereka, maka setelah mendengar peringatan tersebut sambil menghela napas panjang karena kecewa orang-orang itu segera mengundurkan diri dari situ dan berlalu dari perkampungan Thay Bie San cung. Sementara itu setelah Poh Giok cu melancarkan sebuah pukulan maut dengan ilmu Poh Giok Chiet Sih yang memakan banyak kekuatan hasil latihan selama ratusan tahun itu, dari atas ubun-ubunnya segera mengepul keluar selapis asap kabut yang tipis, telapaknya perlahan-lahan diangkat kembali dan dihantamkan ke arah dada Hoa Pek Tuo. Sebaliknya Hoa Pek Tuo sendiri setelah menerima sebuah pukulan ampuh dari Poh Giok Chiet Sih yang tak berwujud itu, mendadak wajahnya berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, rambutnya pada berdiri tegak semua bagaikan landak sedang rasa kaget dan ngeri jelas tercermin di atas raut wajahnya. Buru-buru ia keluarkan jari tangannya, dari ujung jari yang runcing segera meluncurlah serentetan cahaya berkilauan yang berwarna putih bersih bagaikan susu, sambil membelah angkasa kilatan cahaya itu langsung menotok ke atas tubuh Poh Giok cu. Kali ini serangan dari kedua belah pihak sama sekali tidak menimbulkan sedikit suarapun, hanya terlihat tubuh mereka berdua bergetar pada saat yang bersamaan. Hoa Pek Tuo segera muntah darah segar, tapi sambil tertawa terbahak-bahak ia sempat berseru : "Suheng ternyata kau menang!" Selapis hawa hijau membesi terlintas di atas wajah Poh Giok cu, hardiknya : "Sungguh keji perbuatanmu..." Nada suaranya rada gemetar, sambil berpaling ke arah Thiat Tie Sin Nie katanya lagi : "Aku berhasil melukai isi perutnya tetapi ia pun berhasil melukai ginjalku, Hoa Pek Tuo telah berhasil melatih ilmu Gien Ciu Ci ilmu jari perak, manusia di kolong langit tak ada yang berhasil menaklukkan dirinya lagi..." Rupanya si orang tua dari luar lautan ini mengerti akan parahnya luka dalam yang diderita, selesai berkata ia putar badan segera berlalu dari tempat. Thiat Tie Sin Nie menghela napas panjang terhadap diri Hoa Pek Tuo serunya : "Tidak sepantasnya kau turun tangan yang begitu kejinya terhadap toa suhengmu sendiri..." "Nikouw bau! Dengan andalkan apa kau berani mengucapkan kata-kata semacam itu kepadaku?" bentak Hoa Pek Tuo dengan gusarnya. Thiat Tie Sin Nie gelengkan kepalanya berulang kali. "Rupanya kau masih membenci pada diriku karena kau pernah kuusir dari istana Hoei-Coe Kiong? Aaaaai...! dari mana kau bisa tahu perasaan hatiku pada waktu itu? Sekarang coba kau pikirkan lagi, kenapa pada waktu itu aku berbuat demikian?" "Tak ada yang perlu dipikirkan lagi..." tukas Hoa Pek Tuo sambil menyeka darah kental yang membasahi ujung bibirnya, mendadak sambil mencabut keluar pedang penghancur sang surya milik Pek In Hoei bentaknya keras-keras : "Apabila tak ada kau yang mengacau, tak nanti aku bisa berpisah dengan Hoo Bong Jien. Hmmm! Nikouw bau, malam ini masih ada perkataan apa lagi yang hendak kau ucapkan? Aku hendak membinasakan dirimu untuk melenyapkan rasa dendam dan rasa sakit dalam hati..." Pedang sakti itu digetarkan keras-keras sehingga mengeluarkan suara dengungan keras yang memekikkan telinga. Pek In Hoei segera maju selangkah ke depan, hardiknya : "Hoa Pek Tuo! kembalikan pedang pusaka penghancur sang surya ku..." Thiat Tie Sin Nie melirik sekejap ke arah Pek In Hoei, tiba-tiba tanya dengan suara lembut : "Ooooh, apakah pedang mustika itu milikmu? Baiklah! Akan kurampaskan kembali..." Tampaklah jago sakti dari laut Tang Hay ini menggerakkan pundaknya dan secara tiba-tiba menggunakan ketiga jari tangannya menjepit pedang mustika penghancur sang surya itu, seketika itu juga terasalah segulung tenaga tekanan yang maha dahsyat menerjang ke arah tubuh Hoa Pek Tuo. Kendati tenaga lweekang yang dimiliki Hoa Pek Tuo telah mencapai puncak kesempurnaan, apa daya Thiat Tie Sin Nie adalah seorang jago sakti dari luar lautan, bukan saja gerakannya dilaksanakan dengan kecepatan melebihi suara lagi pula Hoa Pek Tuo dalam keadaan terluka tak berani menyambut datangnya hawa pukulan yang sangat hebat itu dengan keras lawan keras. Wajahnya berubah hebat, sambil melepaskan cekalan pada pedang itu dengan ketakutan ia mengundurkan diri ke belakang. "Huuuh! Nikouw bau, kau benar-benar tak tahu malu!" maki Hoa Pek Tuo amat gusar. Thiat Tie Sin Nie sama sekali tidak menggubris makian orang, perlahan-lahan ia serahkan kembali pedang mustika penghancur sang surya itu ke tangan Pek In Hoei sambil pesannya : "Lain kali jangan sampai hilang lagi, senjata tajam mustika semacam ini apabila tidak digunakan pada tempatnya kemungkinan besar malah akan mengakibatkan banjir darah..." "Cianpwee, kau..." seru Pek In Hoei terharu. Thiat Tie Sin Nie tersenyum. "Pergilah dengan cepat dari sini! Tempat ini bukan tempat yang cocok bagimu untuk berdiam lebih lama..." Pek In Hoei sendiri pun tahu bahwa ia tak bisa berdiam terlalu lama di situ maka setelah menerima pedang mustikanya ia melirik sekejap ke arah Hoa Pek Tuo dengan pandangan dingin kemudian baru putar badan berlalu dengan langkah lebar. Menanti pemuda itu sudah berlalu, dengan wajah dingin Thiat Tie Sin Nie baru berpaling ke arah Hoa Pek Tuo sambil tegurnya : "Dengan kedudukanmu ternyata hanya berani merampas senjata tajam milik seorang boanpwee, apakah kau tidak takut memalukan kita orang-orang dari Tang Hay? Aku mengerti betapa benci dan mendendamnya dirimu kepadaku, tapi sekarang aku tak akan bergebrak melawan dirimu di kala kau sedang terluka. Tiga hari kemudian aku akan menantikan kedatanganmu di puncak Soe Sin Hong, aku rasa pada saat itulah semua persoalan di antara kita berdua boleh diselesaikan..." Berbicara sampai di situ tanpa menantikan jawabannya lagi ia segera berkelebat pergi dari situ, tak seorang pun tahu bagaimana caranya ia berlari dari sana. ****** Cahaya sang surya yang lembut dan hangat memancar di dalam sebuah kuil bobrok yang tinggal puing berserakan, di tengah ruangan kuil yang penuh debu Ouw-yang Gong sambil mencekal huncwee gedenya menyedot tiada hentinya, segulung demi segulung asap putih mengepul ke udara dan menyebar di angkasa... Di belakang tubuhnya duduk dua orang kakek tua yang mengawasi gerak-geriknya dengan sorot tajam, ditinjau dari tindak tanduk mereka berdua rupanya mereka kuatir kalau si kakek tua ini melarikan diri. Tampak Ouw-yang Gong menggoyang-goyangkan huncwee gedenya, lalu ia memaki dengan suara gemas : "Hey kamu dua orang bangsat cecunguk ngapain melotot terus ke arahku dengan pandangan bajingan? Sudahlah, tak usah punya pikiran jahat, aku si huncwee gede tidak punya uang barang sepeserpun..." Si kakek tua berperawakan kurus kering yang ada di sebelah kiri segera mengerutkan alisnya setelah mendengar perkataan itu, sahutnya ketus : "Ouw-yang Gong, lebih baik tenang-tenanglah duduk di sana. Tempo dulu masih ada seorang pendekar jantan berkapak sakti Chee Thian Gak yang datang menolong dirimu, kali ini tak nanti ada panglima penolong yang datang menyelamatkan jiwamu..." "Maknya edan! Rupanya kalian cucu murid dari perguruan Thian Liong Boen pun sudah menjadi prajurit pengawal dari keluarga Kaisar? Hmmm! Anak jadah kumal! Pekerjaan lain yang lebih baik tak sudi dikerjakan, dagangan sepi yang tiada untung malah kalian kerjakan, kalau kalian Ciang Kiam Siang Kiat tiada jalan keluar lagi, lebih baik ikut aku si Ouw- yang Gong saja mencari sesuap nasi..." Kakek tua yang ada di sebelah kanan adalah seorang kakek berbadan gemuk serta memelihara jenggot kambing pada janggutnya, jubah yang dikenakan adalah kain sutera berwarna hijau, pada pinggangnya tersoren sebilah pedang panjang. Ketika mendengar ocehan dari Ouw-yang Gong barusan, alisnya kontan berkerut, dengan sorot mata berapi-api ia melotot sekejap ke arah kakek tua itu dengan penuh kebencian. "Hmmm... Hmmm... hey huncwee gede! Kalau berbicara harap berbicaralah yang rada enakan didengar," peringatnya dengan suara dingin. "Aku Cho Ban Tek dari perguruan Thian Liong Boen aliran Utara bukan manusia lemah yang bisa dipermainkan seenaknya kalau bacotmu bicara kotor dan tidak genah lagi, hati-hati kuhajar mulut anjingmu itu sampai bonyok dan remuk..." Ouw-yang Gong segera mendongak dan tertawa terbahak-bahak. "Haaaah... haaaah... haaaah... Cho Ban Tek, sungguh indah kedengarannya namamu itu, kenapa kau si anak jadah kumat tak mau ganti nama menjadi Cho Jiak Tek? Kalau dilihat dari tampangmu yang jelek sudah pasti perangai serta akhlaknya telah bejat..." Disindir dan diolok-olok dengan ucapan seperti ini, Cho Ban Tek si jago pedang dari perguruan Thian Liong Boen aliran Utara ini jadi tak tahan, ia meraung gusar kemudian ayun telapaknya mengirim satu babatan ke atas bahu kakek she Ouw yang itu. Buru-buru Ouw-yang Gong berkelit ke samping menghindar, kemudian ejeknya lagi : "Anak jadah kumal! Kau betul-betul punya keberanian, sampai bapakmu sendiri pun berani kau gebuk, bagus... bagus sekali. Sekalipun aku tak bisa menangkan dirimu, untuk lari rasanya masih sanggup. Jangan sampai kau bangkitkan amarahku yang belum sampai aku jadi nekad dan lari dari sini, akan kulihat kalian mau apakah diriku..." Begitu mendengar si kakek konyol itu mau melarikan diri, dua orang jago lihay dari perguruan Thian Liong Boen aliran Utara ini jadi amat gelisah, buru-buru mereka loncat bangun dari atas tanah dan memencarkan diri masing-masing menjaga di salah satu sudut ruangan untuk menghalangi kepergian kakek tersebut. Suheng dari Cho Ban Tek yaitu Long Heng Ciang atau si telapak naga Goei Peng dengan wajah berubah hebat serunya : "Ouw-yang Gong, kau punya rasa malu atau tidak..." "Maknya, anak jadah kumal! Duduk dulu, duduk dulu, jangan emosi dan jangan marah dulu," sahut Ouw- yang Gong setelah menghisap beberapa kali huncweenya. "Kalau aku si huncwee gede benar- benar mau minggat dari sini, tak nanti kuberitahukan dulu kepada kalian. Hey! Buat apa kamu bersitegang seperti kunyuk jelek..." Tingkah laku yang konyol dari kakek tua ini tentu saja membuat dua orang jago dari perguruan Thian Liong Boen ini jadi mewek saking mendongkolnya, mereka saling bertukar pandangan sambil tertawa getir kemudian perlahan-lahan duduk kembali di atas lantai. "Asal kau tidak pergi, persoalan apa pun bisa kita rundingkan secara baik-baik..." kata si jago pedang Cho Ban Tek dengan wajah berkerut sedih. "Sungguh...??" jerit Ouw-yang Gong tiba-tiba dengan mata melotot gede. "Hey anak jadah kumal yang bulukan, kalau punya arak bawa sini dulu, kalau suruh aku huncwee gede duduk nongkrong terus disini sambil biarkan pantatku jadi kering, lama kelamaan aku bisa tidak kerasan... mana araknya? Bawa sini, tenggorokanku sudah mulai kering kerontang..." Dari dalam buntalannya buru-buru si telapak naga Goei Peng ambil keluar sebuah cupu-cupu arak kemudian diangsurkan ke depan, menerima cupu- cupu arak tersebut Ouw-yang Gong langsung meneguknya beberapa tegukan, setelah itu sambil tertawa terbahak-bahak menyeka mulutnya. Biji mata berputar dan rupanya ia sedang mencari akal lagi untuk menggoda dan mempermainkan dua orang jago lihay dari perguruan Thian Liong Boen ini. Ia ketukkan huncwee gedenya ke atas lantai, semua ampas tembakaunya dibuang ke situ, setelah itu sambil putar huncwee gede itu di tengah udara serunya lagi sambil tertawa terbahak-bahak. "Haaaah... haaaah... haaaah... Hey, bukankah kamu berdua menyebut dirinya datang dari perguruan Thian Liong Boen yang ada di propinsi Liauw Tang...? Sepanjang jalan entah sudah berapa kali kalian menjual lagak di hadapanku, katanya perguruan Thian Liong Boen kalian bagaimana... bagaimana lihaynya, sekarang hatiku si huncwee gede sedang gatal, pengin sekali aku melihat sampai di manakah kepandaian silat yang dimiliki perguruan kalian. Coba kamu dua orang anak jadah kumal masing-masing berlatihlah semacam kepandaian untuk dipertontonkan kepadaku..." "Apa?? Jangan ngaco belo terus menerus..." teriak Cho Ban Tek sambil meraung gusar. "Nenek bermata codet, edan rupanya semua nenek moyangmu," maki Ouw-yang Gong dengan mata melotot, "kalau kau berani tidak menuruti perkataanku..." Melihat Ouw-yang Gong hendak pergi, saking gelisah dan cemasnya air muka si telapak naga Goei Peng sampai berubah hebat, mereka berdua mendapat tugas dari Song Kim Toa Lhama untuk menjaga Ouw- yang Gong, sepanjang jalan entah sudah berapa banyak rasa dongkol yang harus mereka telan begitu saja, berhubung mereka takut Ouw-yang Gong secara mendadak mengingkari janji dan ngeloyor pergi maka kedua orang itu terpaksa harus bersabar terus menerus, mereka hanya berharap Song Kim Toa Lhama cepat-cepat datang hingga tugas mereka selesai. Dengan gemas ia mendepakkan kakinya keras-keras, pikirannya di dalam hati : "Menanti Song Kiem Toa Koksu telah datang, aku harus baik-baik memberi pelajaran kepadanya..." Maka dengan wajah setengah mewek karena mendongkol yang tak tersalurkan katanya : "Cho suheng, siapa suruh kita mendapatkan tugas konyol seperti ini? Anggap saja kita lagi sial, mari kita turuti saja permintaannya..." Selesai berkata ia segera mempersiapkan gerakan permulaan dari ilmu telapak Liong heng ciang kemudian sejurus demi sejurus dimainkan dengan teratur. Si jago pedang Cho Ban Tek mendengus dingin, ia cabut keluar pedangnya dan mulai berlatih pula sejurus demi sejurus. Menyaksikan kedua orang itu benar-benar mulai berlatih silat, Ouw-yang Gong mengerutkan alis, timbullah niatan untuk memperolok-olok mereka sejadinya.
Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti
Walaupun dalam hati kecilnya para jago dari pelbagai partai itu ingin sekali menyaksikan kepandaian maha sakti dari luar lautan, apa lacur tenaga lweekang dari kedua belah pihak terlalu sempurna dan hebat bagi mereka, maka setelah mendengar peringatan tersebut sambil menghela napas panjang karena kecewa orang-orang itu segera mengundurkan diri dari situ dan berlalu dari perkampungan Thay Bie San cung. Sementara itu setelah Poh Giok cu melancarkan sebuah pukulan maut dengan ilmu Poh Giok Chiet Sih yang memakan banyak kekuatan hasil latihan selama ratusan tahun itu, dari atas ubun-ubunnya segera mengepul keluar selapis asap kabut yang tipis, telapaknya perlahan-lahan diangkat kembali dan dihantamkan ke arah dada Hoa Pek Tuo. Sebaliknya Hoa Pek Tuo sendiri setelah menerima sebuah pukulan ampuh dari Poh Giok Chiet Sih yang tak berwujud itu, mendadak wajahnya berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, rambutnya pada berdiri tegak semua bagaikan landak sedang rasa kaget dan ngeri jelas tercermin di atas raut wajahnya. Buru-buru ia keluarkan jari tangannya, dari ujung jari yang runcing segera meluncurlah serentetan cahaya berkilauan yang berwarna putih bersih bagaikan susu, sambil membelah angkasa kilatan cahaya itu langsung menotok ke atas tubuh Poh Giok cu. Kali ini serangan dari kedua belah pihak sama sekali tidak menimbulkan sedikit suarapun, hanya terlihat tubuh mereka berdua bergetar pada saat yang bersamaan. Hoa Pek Tuo segera muntah darah segar, tapi sambil tertawa terbahak-bahak ia sempat berseru : "Suheng ternyata kau menang!" Selapis hawa hijau membesi terlintas di atas wajah Poh Giok cu, hardiknya : "Sungguh keji perbuatanmu..." Nada suaranya rada gemetar, sambil berpaling ke arah Thiat Tie Sin Nie katanya lagi : "Aku berhasil melukai isi perutnya tetapi ia pun berhasil melukai ginjalku, Hoa Pek Tuo telah berhasil melatih ilmu Gien Ciu Ci ilmu jari perak, manusia di kolong langit tak ada yang berhasil menaklukkan dirinya lagi..." Rupanya si orang tua dari luar lautan ini mengerti akan parahnya luka dalam yang diderita, selesai berkata ia putar badan segera berlalu dari tempat. Thiat Tie Sin Nie menghela napas panjang terhadap diri Hoa Pek Tuo serunya : "Tidak sepantasnya kau turun tangan yang begitu kejinya terhadap toa suhengmu sendiri..." "Nikouw bau! Dengan andalkan apa kau berani mengucapkan kata-kata semacam itu kepadaku?" bentak Hoa Pek Tuo dengan gusarnya. Thiat Tie Sin Nie gelengkan kepalanya berulang kali. "Rupanya kau masih membenci pada diriku karena kau pernah kuusir dari istana Hoei-Coe Kiong? Aaaaai...! dari mana kau bisa tahu perasaan hatiku pada waktu itu? Sekarang coba kau pikirkan lagi, kenapa pada waktu itu aku berbuat demikian?" "Tak ada yang perlu dipikirkan lagi..." tukas Hoa Pek Tuo sambil menyeka darah kental yang membasahi ujung bibirnya, mendadak sambil mencabut keluar pedang penghancur sang surya milik Pek In Hoei bentaknya keras-keras : "Apabila tak ada kau yang mengacau, tak nanti aku bisa berpisah dengan Hoo Bong Jien. Hmmm! Nikouw bau, malam ini masih ada perkataan apa lagi yang hendak kau ucapkan? Aku hendak membinasakan dirimu untuk melenyapkan rasa dendam dan rasa sakit dalam hati..." Pedang sakti itu digetarkan keras-keras sehingga mengeluarkan suara dengungan keras yang memekikkan telinga. Pek In Hoei segera maju selangkah ke depan, hardiknya : "Hoa Pek Tuo! kembalikan pedang pusaka penghancur sang surya ku..." Thiat Tie Sin Nie melirik sekejap ke arah Pek In Hoei, tiba-tiba tanya dengan suara lembut : "Ooooh, apakah pedang mustika itu milikmu? Baiklah! Akan kurampaskan kembali..." Tampaklah jago sakti dari laut Tang Hay ini menggerakkan pundaknya dan secara tiba-tiba menggunakan ketiga jari tangannya menjepit pedang mustika penghancur sang surya itu, seketika itu juga terasalah segulung tenaga tekanan yang maha dahsyat menerjang ke arah tubuh Hoa Pek Tuo. Kendati tenaga lweekang yang dimiliki Hoa Pek Tuo telah mencapai puncak kesempurnaan, apa daya Thiat Tie Sin Nie adalah seorang jago sakti dari luar lautan, bukan saja gerakannya dilaksanakan dengan kecepatan melebihi suara lagi pula Hoa Pek Tuo dalam keadaan terluka tak berani menyambut datangnya hawa pukulan yang sangat hebat itu dengan keras lawan keras. Wajahnya berubah hebat, sambil melepaskan cekalan pada pedang itu dengan ketakutan ia mengundurkan diri ke belakang. "Huuuh! Nikouw bau, kau benar-benar tak tahu malu!" maki Hoa Pek Tuo amat gusar. Thiat Tie Sin Nie sama sekali tidak menggubris makian orang, perlahan-lahan ia serahkan kembali pedang mustika penghancur sang surya itu ke tangan Pek In Hoei sambil pesannya : "Lain kali jangan sampai hilang lagi, senjata tajam mustika semacam ini apabila tidak digunakan pada tempatnya kemungkinan besar malah akan mengakibatkan banjir darah..." "Cianpwee, kau..." seru Pek In Hoei terharu. Thiat Tie Sin Nie tersenyum. "Pergilah dengan cepat dari sini! Tempat ini bukan tempat yang cocok bagimu untuk berdiam lebih lama..." Pek In Hoei sendiri pun tahu bahwa ia tak bisa berdiam terlalu lama di situ maka setelah menerima pedang mustikanya ia melirik sekejap ke arah Hoa Pek Tuo dengan pandangan dingin kemudian baru putar badan berlalu dengan langkah lebar. Menanti pemuda itu sudah berlalu, dengan wajah dingin Thiat Tie Sin Nie baru berpaling ke arah Hoa Pek Tuo sambil tegurnya : "Dengan kedudukanmu ternyata hanya berani merampas senjata tajam milik seorang boanpwee, apakah kau tidak takut memalukan kita orang-orang dari Tang Hay? Aku mengerti betapa benci dan mendendamnya dirimu kepadaku, tapi sekarang aku tak akan bergebrak melawan dirimu di kala kau sedang terluka. Tiga hari kemudian aku akan menantikan kedatanganmu di puncak Soe Sin Hong, aku rasa pada saat itulah semua persoalan di antara kita berdua boleh diselesaikan..." Berbicara sampai di situ tanpa menantikan jawabannya lagi ia segera berkelebat pergi dari situ, tak seorang pun tahu bagaimana caranya ia berlari dari sana. ****** Cahaya sang surya yang lembut dan hangat memancar di dalam sebuah kuil bobrok yang tinggal puing berserakan, di tengah ruangan kuil yang penuh debu Ouw-yang Gong sambil mencekal huncwee gedenya menyedot tiada hentinya, segulung demi segulung asap putih mengepul ke udara dan menyebar di angkasa... Di belakang tubuhnya duduk dua orang kakek tua yang mengawasi gerak-geriknya dengan sorot tajam, ditinjau dari tindak tanduk mereka berdua rupanya mereka kuatir kalau si kakek tua ini melarikan diri. Tampak Ouw-yang Gong menggoyang-goyangkan huncwee gedenya, lalu ia memaki dengan suara gemas : "Hey kamu dua orang bangsat cecunguk ngapain melotot terus ke arahku dengan pandangan bajingan? Sudahlah, tak usah punya pikiran jahat, aku si huncwee gede tidak punya uang barang sepeserpun..." Si kakek tua berperawakan kurus kering yang ada di sebelah kiri segera mengerutkan alisnya setelah mendengar perkataan itu, sahutnya ketus : "Ouw-yang Gong, lebih baik tenang-tenanglah duduk di sana. Tempo dulu masih ada seorang pendekar jantan berkapak sakti Chee Thian Gak yang datang menolong dirimu, kali ini tak nanti ada panglima penolong yang datang menyelamatkan jiwamu..." "Maknya edan! Rupanya kalian cucu murid dari perguruan Thian Liong Boen pun sudah menjadi prajurit pengawal dari keluarga Kaisar? Hmmm! Anak jadah kumal! Pekerjaan lain yang lebih baik tak sudi dikerjakan, dagangan sepi yang tiada untung malah kalian kerjakan, kalau kalian Ciang Kiam Siang Kiat tiada jalan keluar lagi, lebih baik ikut aku si Ouw- yang Gong saja mencari sesuap nasi..." Kakek tua yang ada di sebelah kanan adalah seorang kakek berbadan gemuk serta memelihara jenggot kambing pada janggutnya, jubah yang dikenakan adalah kain sutera berwarna hijau, pada pinggangnya tersoren sebilah pedang panjang. Ketika mendengar ocehan dari Ouw-yang Gong barusan, alisnya kontan berkerut, dengan sorot mata berapi-api ia melotot sekejap ke arah kakek tua itu dengan penuh kebencian. "Hmmm... Hmmm... hey huncwee gede! Kalau berbicara harap berbicaralah yang rada enakan didengar," peringatnya dengan suara dingin. "Aku Cho Ban Tek dari perguruan Thian Liong Boen aliran Utara bukan manusia lemah yang bisa dipermainkan seenaknya kalau bacotmu bicara kotor dan tidak genah lagi, hati-hati kuhajar mulut anjingmu itu sampai bonyok dan remuk..." Ouw-yang Gong segera mendongak dan tertawa terbahak-bahak. "Haaaah... haaaah... haaaah... Cho Ban Tek, sungguh indah kedengarannya namamu itu, kenapa kau si anak jadah kumat tak mau ganti nama menjadi Cho Jiak Tek? Kalau dilihat dari tampangmu yang jelek sudah pasti perangai serta akhlaknya telah bejat..." Disindir dan diolok-olok dengan ucapan seperti ini, Cho Ban Tek si jago pedang dari perguruan Thian Liong Boen aliran Utara ini jadi tak tahan, ia meraung gusar kemudian ayun telapaknya mengirim satu babatan ke atas bahu kakek she Ouw yang itu. Buru-buru Ouw-yang Gong berkelit ke samping menghindar, kemudian ejeknya lagi : "Anak jadah kumal! Kau betul-betul punya keberanian, sampai bapakmu sendiri pun berani kau gebuk, bagus... bagus sekali. Sekalipun aku tak bisa menangkan dirimu, untuk lari rasanya masih sanggup. Jangan sampai kau bangkitkan amarahku yang belum sampai aku jadi nekad dan lari dari sini, akan kulihat kalian mau apakah diriku..." Begitu mendengar si kakek konyol itu mau melarikan diri, dua orang jago lihay dari perguruan Thian Liong Boen aliran Utara ini jadi amat gelisah, buru-buru mereka loncat bangun dari atas tanah dan memencarkan diri masing-masing menjaga di salah satu sudut ruangan untuk menghalangi kepergian kakek tersebut. Suheng dari Cho Ban Tek yaitu Long Heng Ciang atau si telapak naga Goei Peng dengan wajah berubah hebat serunya : "Ouw-yang Gong, kau punya rasa malu atau tidak..." "Maknya, anak jadah kumal! Duduk dulu, duduk dulu, jangan emosi dan jangan marah dulu," sahut Ouw- yang Gong setelah menghisap beberapa kali huncweenya. "Kalau aku si huncwee gede benar- benar mau minggat dari sini, tak nanti kuberitahukan dulu kepada kalian. Hey! Buat apa kamu bersitegang seperti kunyuk jelek..." Tingkah laku yang konyol dari kakek tua ini tentu saja membuat dua orang jago dari perguruan Thian Liong Boen ini jadi mewek saking mendongkolnya, mereka saling bertukar pandangan sambil tertawa getir kemudian perlahan-lahan duduk kembali di atas lantai. "Asal kau tidak pergi, persoalan apa pun bisa kita rundingkan secara baik-baik..." kata si jago pedang Cho Ban Tek dengan wajah berkerut sedih. "Sungguh...??" jerit Ouw-yang Gong tiba-tiba dengan mata melotot gede. "Hey anak jadah kumal yang bulukan, kalau punya arak bawa sini dulu, kalau suruh aku huncwee gede duduk nongkrong terus disini sambil biarkan pantatku jadi kering, lama kelamaan aku bisa tidak kerasan... mana araknya? Bawa sini, tenggorokanku sudah mulai kering kerontang..." Dari dalam buntalannya buru-buru si telapak naga Goei Peng ambil keluar sebuah cupu-cupu arak kemudian diangsurkan ke depan, menerima cupu- cupu arak tersebut Ouw-yang Gong langsung meneguknya beberapa tegukan, setelah itu sambil tertawa terbahak-bahak menyeka mulutnya. Biji mata berputar dan rupanya ia sedang mencari akal lagi untuk menggoda dan mempermainkan dua orang jago lihay dari perguruan Thian Liong Boen ini. Ia ketukkan huncwee gedenya ke atas lantai, semua ampas tembakaunya dibuang ke situ, setelah itu sambil putar huncwee gede itu di tengah udara serunya lagi sambil tertawa terbahak-bahak. "Haaaah... haaaah... haaaah... Hey, bukankah kamu berdua menyebut dirinya datang dari perguruan Thian Liong Boen yang ada di propinsi Liauw Tang...? Sepanjang jalan entah sudah berapa kali kalian menjual lagak di hadapanku, katanya perguruan Thian Liong Boen kalian bagaimana... bagaimana lihaynya, sekarang hatiku si huncwee gede sedang gatal, pengin sekali aku melihat sampai di manakah kepandaian silat yang dimiliki perguruan kalian. Coba kamu dua orang anak jadah kumal masing-masing berlatihlah semacam kepandaian untuk dipertontonkan kepadaku..." "Apa?? Jangan ngaco belo terus menerus..." teriak Cho Ban Tek sambil meraung gusar. "Nenek bermata codet, edan rupanya semua nenek moyangmu," maki Ouw-yang Gong dengan mata melotot, "kalau kau berani tidak menuruti perkataanku..." Melihat Ouw-yang Gong hendak pergi, saking gelisah dan cemasnya air muka si telapak naga Goei Peng sampai berubah hebat, mereka berdua mendapat tugas dari Song Kim Toa Lhama untuk menjaga Ouw- yang Gong, sepanjang jalan entah sudah berapa banyak rasa dongkol yang harus mereka telan begitu saja, berhubung mereka takut Ouw-yang Gong secara mendadak mengingkari janji dan ngeloyor pergi maka kedua orang itu terpaksa harus bersabar terus menerus, mereka hanya berharap Song Kim Toa Lhama cepat-cepat datang hingga tugas mereka selesai. Dengan gemas ia mendepakkan kakinya keras-keras, pikirannya di dalam hati : "Menanti Song Kiem Toa Koksu telah datang, aku harus baik-baik memberi pelajaran kepadanya..." Maka dengan wajah setengah mewek karena mendongkol yang tak tersalurkan katanya : "Cho suheng, siapa suruh kita mendapatkan tugas konyol seperti ini? Anggap saja kita lagi sial, mari kita turuti saja permintaannya..." Selesai berkata ia segera mempersiapkan gerakan permulaan dari ilmu telapak Liong heng ciang kemudian sejurus demi sejurus dimainkan dengan teratur. Si jago pedang Cho Ban Tek mendengus dingin, ia cabut keluar pedangnya dan mulai berlatih pula sejurus demi sejurus. Menyaksikan kedua orang itu benar-benar mulai berlatih silat, Ouw-yang Gong mengerutkan alis, timbullah niatan untuk memperolok-olok mereka sejadinya.