Cerita Silat | Imam Tanpa Bayangan II | oleh Xiao Say | Imam Tanpa Bayangan II | Cersil Sakti | Imam Tanpa Bayangan II pdf
Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana
"Sungguh tajam pandangan mata orang ini..." Itulah bayangan pertama yang berkelebat dalam benaknya, dengan hati terkesiap Rasul Racun she Hee ini segera berseru : "Pek In Hoei, kenapa kau memandang aku dengan cara begitu?" Pek In Hoei maju selangkah ke depan kemudian tertawa dingin. "Aku ingin menemukan raut wajah kejam di atas wajahmu itu, bagi manusia tanpa rasa perikemanusiaan barang sedikitpun semacam kau setiap saat bisa muncul pelbagai raut wajah yang berbeda dan di mana pun terdapat senyuman manis yang menyembunyikan kedok kekejian hatimu..." Dimaki kalang kabut oleh seorang pemuda di hadapan orang banyak, hawa amarah dalam hati Hee Giong Lam segera berkobar. Dengan hati jengkel telapak tangannya diayun ke depan melancarkan satu pukulan. Blaaaam! terdengar suara ledakan bergeletar memecahkan kesunyian, di atas permukaan tanah segera muncul sebuah liang besar yang amat dalam, debu dan pasir beterbangan menutupi mata. "Pek In Hoei, apa maksudmu?" teriaknya gusar. Dengan nada menghina Pek In Hoei tertawa terbahak-bahak. "Haaaah... haaaah... haaaah... di antara kita berdua masih terdapat hutang piutang yang belum diselesaikan, tunggu sajalah setelah kugebah pergi manusia-manusia latah yang mengaku sebagai jago lihay kelas satu dari dunia persilatan ini, kita selesaikan hutang piutang tersebut..." "Heeeh... heeeh... heeeeh... mungkin tidak segampang itu..." seru Hee Giong Lam sambil tertawa dingin. Si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei mendengus dingin, perlahan-lahan ia cabut keluar pedang sakti penghancur sang surya yang tersoren di atas punggungnya,dalam sekali getaran muncullah berpuluh-puluh cahaya kilatan pedang. Dengan pandangan gagah ia menyapu sekejap sekeliling kalangan lalu teriaknya keras-keras: "Siapa yang hendak mencari satroni dengan si ular asap tua?" Ouw-yang Gong sudah dua kali pernah ditolong oleh Pek In Hoei, setiap kali ia menjumpai mara bahaya si anak muda itu pasti akan munculkan diri bagaikan sukma gentayangan, kecuali dalam hati ia merasa berterima kasih, terhadap kegagahan dari pemuda ini pun merasa takluk dan kagum seratus persen. Begitu mendengar teguran dari Pek In Hoei, dengan huncwee gedenya ia segera tuding ke arah Song Kim Toa Lhama sambil berkata: "Anak jadah cucu monyet itu yang paling menjemukan hati..." Pek In Hoei melirik sekejap ke atas wajah Song Kim Toa Lhama dalam-dalam lalu bentaknya ketus : "Song Kim, ayoh gelinding keluar!" Song Kim Toa Lhama si jago lihay nomor satu dari daerah Tibet ini semenjak muncul di daratan Tionggoan belum pernah dimaki orang demikian kasar dan hinanya, air muka padri itu kontan berubah hebat sambil tertawa terbahak-bahak tubuhnya bergerak maju ke depan sejauh lima langkah. "Saudara jangan terlalu jumawa," serunya sambil tertawa dingin. Pek In Hoei mendengus dingin, pedang mustika penghancur sang suryanya dilintangkan di depan dada, sementara di atas wajahnya yang dingin kaku tersungging satu senyuman yang menggidikkan hati. "Kalau kau sanggup melewatkan sepuluh jurus serangan di ujung pedangku, mulai ini hari aku si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tak akan mencampuri urusanmu lagi," serunya menghina. "Sebaliknya kalau kau tak sanggup menerima barang sepuluh jurus serangan pun dari tanganku, silahkan kau angkat kaki dari daratan Tionggoan dan segera enyah pulang ke Tibet, sejak itu untuk selamanya jangan masuk kembali ke wilayah Tionggoan, kalau tidak aku akan membabat dirimu sampai mati tanpa sungkan-sungkan..." Ucapannya tepat dan mantap setiap perkataannya berat tapi bertenaga...wajahnya dingin kaku membuat ucapan itu seolah-olah muncul dari mulut sesosok mayat hidup membuat hati setiap orang kaget dan bergidik. Song Kim Toa Lhama segera merasakan hatinya bergetar keras oleh pengaruh kata-kata yang tak berwujud itu, keringat sebesar kacang kedele mengucur keluar tiada hentinya membasahi jidatnya, suatu perasaan takut yang tak pernah timbul dalam hatinya kali ini menyelimuti seluruh benaknya membuat sang badan gemetar keras. Tapi di samping itu muncul pula hawa amarah yang amat sangat bergelora dalam rongga dadanya, ia meraung keras, tulang belulang di seluruh tubuhnya bergemerukkan keras, jubah yang dikenakannya menggembung besar! "Pek In Hoei!" teriaknya, "kau terlalu menghina orang lain... kau... kau..." Saking gusarnya sampai kata-kata itu tak sanggup diteruskan lebih lanjut, dengan hati marah bercampur benci segenap hawa murni yang dimilikinya dihimpun jadi satu dalam tubuhnya, hawa pukulan yang maha dahsyat pun disiapkan di telapak kanan. Ujung telapak menggetar di angkasa membentuk gerakan busur beserta segulung tenaga yang besar laksana titiran air bah menggulung ke atas tubuh Pek In Hoei laksana tindihan bukit besar. Pek In Hoei segera menggetarkan pedangnya sambil menghardik : "Baiklah, untuk kali ini aku akan mengalah satu jurus kepadamu..." Badannya mencelat ke angkasa dan mumbul beberapa tombak jauhnya, dengan begitu angin pukulan maha dahsyat yang sedang mengancam ke arahnya itu pun segera beralih sasaran menuju ke arah Lie Peng si pangeran kedua dari Kerajaan yang berkuasa dewasa itu. Menyaksikan kehebatan gerakan tubuh dari pemuda itu, Lie Peng terkesiap sekali, mendadak satu ingatan jahat berkelebat dalam benaknya. Ia segera mengerling sekejap ke arah Tok See yang ada di sekeliling situ, kemudian mendengus berat. Tok See manggut tanda mengerti, di tengah dengusan berat yang menggema di angkasa itulah pedang tajam yang berada dalam genggamannya dengan kecepatan tinggi segera menusuk ke belakang punggung Pek In Hoei. Serangan ini bukan saja sadis dan kejam, bahkan luar biasa hebat, sebilah pedang laksana tombak segera menghunjam ke depan. "Hmmm! Bangsat tukang main bokong..." seru Pek In Hoei sambil mendengus berat. Tiba-tiba ia putar tubuhnya... Kraaak! Pedang panjang Tok See yang tepat bersarang di atas tubuhnya itu mendadak patah menjadi dua bagian dan rontok ke atas tanah. Setelah itu sambil putar tubuh ujarnya ketus : "Aku si Jago Pedang Berdarah Dingin selama hidupnya paling benci terhadap orang yang suka main bokong dari belakang tubuh orang seperti sampah masyarakat seperti kau... Hmmm, akupun harus membiarkan dirimu untuk ikut merasakan bagaimanakah kalau seseorang kena dibokong..." Ia tinggalkan Song Kim Toa Lhama yang telah siap bertempur itu dan berbalik menubruk ke arah Tok See, pedang sakti penghancur sang suryanya dengan menciptakan diri jadi selapis cahaya tajam segera mengancam tiga buah jalan darah penting di tubuh jago pedang muda itu. Setelah serangan bokongnya tidak mendatangkan hasil, Tok See tahu bahwa ia bakal celaka. Kini menyaksikan keajaiban serta kesaktian ilmu silat yang diperlihatkan pihak lawan ia jadi kesemsem dan terpesona, sewaktu babatan pedang Pek In Hoei meluncur datang ia sama sekali tak bertenaga untuk melawan, bukannya menghindar atau menangkis jago pedang she Tok ini hanya berdiri sambil memandang ke arahnya dengan pandangan mendelong. Pangeran kedua Lie Peng yang menyaksikan Tok See berdiri melongo sambil menanti kematian, dalam hati merasa amat terperanjat, sambil ayunkan pedangnya dengan gerakan adu jiwa ia loncat ke depan, senjatanya bergetar dan segera menangkis datangnya ancaman dari pedang penghancur sang surya itu. Traaaaang...! getaran nyaring yang amat memekikkan telinga berkumandang di seluruh ruangan, Pangeran kedua merasakan tangannya jadi kaku dan linu, pedangnya tahu-tahu sudah terbabat putus jadi dua bagian, sementara Tok See sendiri karena dihalangi ancamannya oleh tangkisan pedang Lie Peng, jago muda ini pun lolos dari bahaya kematian. "Pek In Hoei!" terdengar Song Kim Toa Lhama membentak keras, "Jangan lukai Jie Thaycu..." Dalam pada itu Pek In Hoei sedang mempersiapkan diri melancarkan satu serangan maut yang merobohkan Jie Thaycu serta Tok See dalam waktu yang bersamaan, ketika mendengar bentakan Song Kim Toa Lhama berkumandang datang disusul tubrukan maut, dengan cepat ia memutar tubuhnya sambil menjengek dengan nada menghina : "Menang kalah di antara kita belum berhasil ditentukan, apakah kau ingin berduel satu lawan satu dengan diriku..." Air muka Song Kim Toa Lhama berubah hebat. "Aku tahu kalau ilmu silat yang kau miliki sangat lihay dan aku bukanlah tandinganmu," sahutnya. "Sejak ini hari aku Song Kim Toa Lhama tidak akan mencari gara-gara atau satroni dengan diri Ouw-yang Gong lagi, asalkan kau jangan melukai diri Jie Thaycu..." "Anak kura-kura, kau anggap aku jeri kepadamu..." teriak Ouw-yang Gong marah-marah, badannya segera menubruk ke depan. Pek In Hoei ulapkan tangannya, Song Kim Toa Lhama buru-buru mengajak Pangeran kedua Lie Peng, Tok See serta Tauw Meh mengundurkan diri dari ruangan itu dengan wajah penuh kebencian. Menyaksikan rombongan jago-jago kerajaan itu telah mengundurkan diri semuanya, diam-diam Hee Giong Lam pun ngeloyor pergi dari ruangan itu dengan kecepatan tinggi. "Kembali!" hardik Pek In Hoei dengan amat gusarnya. "Aku belum memberi ijin kepadamu untuk meninggalkan tempat ini." Sementara itu Hee Giong Lam baru melangkah dua tindak dari tempat semula, ketika mendengar suara bentakan keras bergema dari belakang tubuhnya, ia jadi amat terperanjat kaki yang sudah melangkah ke depan tanpa terasa ditarik kembali. "Kau panggil kembali diri loohu, sebenarnya ada urusan apa?" tegurnya keras. Selapis hawa napsu membunuh yang tebal terlintas di atas wajah Pek In Hoei yang dingin, sepasang alisnya berkerut kencang, di ujung bibirnya yang tipis tersungging satu senyuman yang menggidikkan hati. "Aku inginkan selembar jiwa anjingmu..." sahutnya sepatah demi sepatah. Sekali lagi Hee Giong Lam merasakan hatinya bergetar keras, ucapan yang dingin dan kaku bagikan es itu terasa menembusi ulu hatinya membuat rasul ini dengan pandangan terbelalak penuh rasa ketakutan memandang ke arah Pek In Hoei tanpa berkedip. "Kau bilang apa?" serunya. Di antara kau dengan diriku toh tiada ikatan dendam atau pun sakit hati, kenapa kau hendak membinasakan diriku?" Air muka Pek In Hoei berubah sangat hebat, dalam benaknya segera terbayang kembali kenangan lama, seolah-olah ia menyaksikan kembali terbasminya partai Thiam Cong di tangan musuh besarnya, di tengah kobaran api yang mengganas serta daya kerja racun yang keji, di bawah kilatan cahaya senjata tajam tiga ratus orang lebih anak murid partai Thiam cong pada menggeletak mati di ujung senjata anak murid perguruan Boo Liang Tiong Boen..." Ia maju selangkah ke depan dengan tindakan lebar, lalu berseru : "Hee Giong Lam, mungkin kau masih ingat bukan pemandangan ketika untuk pertama kalinya aku berjalan masuk ke dalam perguruan seratus racunmu! Dari seorang bocah yang sama sekali tidak mengerti akan ilmu silat kini aku menjadi seorang jago dunia persilatan kelas satu, tahukah kau apa sebabnya aku berjuang sampai menjadi begini?" "Aku tidak tahu," sahut Hee Giong Lam dengan nada tertegun. Pek In Hoei tertawa hambar. "Tujuanku berlatih ilmu silat bukan lain adalah untuk menuntut balas bagi pertumpahan darah yang terjadi di partai Thiam cong, aku hendak membalaskan dendam ke-tiga ratus orang anak murid partai Thiam cong yang mati terbunuh serta membalas dendam bagi kematian ayahku, dan kini kalian Perguruan Selaksa Racun adalah salah satu musuh besar yang hendak kutuntut hutang darah tersebut..." "Apa?" bentak Hee Giong Lam keras-keras. "Apa yang kau katakan? Apa sangkut pautnya antara kematian ayahmu dengan Perguruan Selaksa Racun kami? Pek In Hoei aku Hee Giong Lam bukanlah seorang manusia pengecut yang takut mencari urusan, tapi kau jangan memfitnah kami dengan kata-kata seperti itu..." "Haaaah... haaaah... haaaah... ," Ouw-yang Gong putar huncwee gedenya hingga asap tipis menguap dari dalam mangkok huncwee gedenya itu, kemudian menghisap beberapa kali dan terbahak-bahak. "Hee Giong Lam!" jengeknya dengan nada menghina. "Ternyata kau tidak punya keberanian untuk mengaku..." "Ular asap tua, kau suruh aku mengaku soal apa?" bentak Hee Giong Lam dengan mata mendelik. Pek In Hoei tertawa dingin. "Aku ingin kau mengakui persoalan partai Thiam cong yang kalian basmi, bukankah anak murid perguruan seratus racun banyak yang ikut serta di dalam perbuatan brutal itu? Kalau pada waktu itu kalian pihak perguruan seratus racun tidak melepaskan racun, tidak nanti partai Thiam cong kami mengalami nasib yang demikian buruk dan mengenaskannya..." "Omong kosong!" seru Hee Giong Lam dengan wajah berubah hebat. "Dalam peristiwa berdarah itu kami dari pihak perguruan seratus racun sama sekali tidak ikut serta." "Anak kura-kura, kembali kau berbohong!" bentak Ouw-yang Gong dengan gusarnya. "Sampai aku si Ular Asap Tua pun tahu kalau kau mengutus anak muridmu untuk ikut serta dalam pembasmian terhadap anak murid partai Thiam cong, masa di hadapan aku si ular asap tua kau masih pura-pura berlagak pilon..." "Ular asap tua..." mendadak Hee Giong Lam mengayunkan kepalannya, "Rupanya kau ada maksud menyusahkan diriku..." Pukulan ini dilancarkan dengan menghimpun segenap kekuatan yang dimilikinya, begitu pukulan meluncur segulung hawa desiran yang aneh berkumandang di angkasa bercampur baur dengan deruan angin yang tajam. Buru-buru Ouw-yang Gong meloncat ke samping untuk menghindar, bentaknya keras : "Waaah... waaaah... rupanya kau hendak membunuh orang untuk menghilangkan bukti..." Kakek konyol ini bukanlah manusia yang gampang dipecundangi orang, sebelum ujung pukulan Hee Giong Lam meluncur tiba huncwee gedenya telah menotok ke depan mengancam iga bawah si Rasul Racun tersebut. "Hmmmm....!" Hee Giong Lam mendengus dingin, telapak kirinya diayunkan ke depan melancarkan satu pukulan hebat mengancam huncwee gede lawan yang sedang menghalau datang, kekuatannya benar- benar mengerikan sekali. Ouw-yang Gong segera tertawa terbahak-bahak. "Haaaah... haaaah... haaaah... kau si cucu monyet anak jadah rupanya mau merusak huncwee gedeku ini..." Sementara ia bersiap sedia menarik kembali senjata huncwee gedenya, mendadak si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei telah meloncat ke depan, ia tahu-tahu muncul di antara ke-dua orang jago pedang yang sedang bertempur itu, membuat Ouw- yang Gong jadi melengak dan cepat-cepat mengundurkan diri ke belakang. "Pek In Hoei!" seru kakek she Ouw-yang itu dengan nada kurang mengerti, "Apa yang hendak kau lakukan?" Pek In Hoei tersenyum. "Ini adalah urusan pribadiku, harap kau jangan turut campur..."
Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana
"Sungguh tajam pandangan mata orang ini..." Itulah bayangan pertama yang berkelebat dalam benaknya, dengan hati terkesiap Rasul Racun she Hee ini segera berseru : "Pek In Hoei, kenapa kau memandang aku dengan cara begitu?" Pek In Hoei maju selangkah ke depan kemudian tertawa dingin. "Aku ingin menemukan raut wajah kejam di atas wajahmu itu, bagi manusia tanpa rasa perikemanusiaan barang sedikitpun semacam kau setiap saat bisa muncul pelbagai raut wajah yang berbeda dan di mana pun terdapat senyuman manis yang menyembunyikan kedok kekejian hatimu..." Dimaki kalang kabut oleh seorang pemuda di hadapan orang banyak, hawa amarah dalam hati Hee Giong Lam segera berkobar. Dengan hati jengkel telapak tangannya diayun ke depan melancarkan satu pukulan. Blaaaam! terdengar suara ledakan bergeletar memecahkan kesunyian, di atas permukaan tanah segera muncul sebuah liang besar yang amat dalam, debu dan pasir beterbangan menutupi mata. "Pek In Hoei, apa maksudmu?" teriaknya gusar. Dengan nada menghina Pek In Hoei tertawa terbahak-bahak. "Haaaah... haaaah... haaaah... di antara kita berdua masih terdapat hutang piutang yang belum diselesaikan, tunggu sajalah setelah kugebah pergi manusia-manusia latah yang mengaku sebagai jago lihay kelas satu dari dunia persilatan ini, kita selesaikan hutang piutang tersebut..." "Heeeh... heeeh... heeeeh... mungkin tidak segampang itu..." seru Hee Giong Lam sambil tertawa dingin. Si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei mendengus dingin, perlahan-lahan ia cabut keluar pedang sakti penghancur sang surya yang tersoren di atas punggungnya,dalam sekali getaran muncullah berpuluh-puluh cahaya kilatan pedang. Dengan pandangan gagah ia menyapu sekejap sekeliling kalangan lalu teriaknya keras-keras: "Siapa yang hendak mencari satroni dengan si ular asap tua?" Ouw-yang Gong sudah dua kali pernah ditolong oleh Pek In Hoei, setiap kali ia menjumpai mara bahaya si anak muda itu pasti akan munculkan diri bagaikan sukma gentayangan, kecuali dalam hati ia merasa berterima kasih, terhadap kegagahan dari pemuda ini pun merasa takluk dan kagum seratus persen. Begitu mendengar teguran dari Pek In Hoei, dengan huncwee gedenya ia segera tuding ke arah Song Kim Toa Lhama sambil berkata: "Anak jadah cucu monyet itu yang paling menjemukan hati..." Pek In Hoei melirik sekejap ke atas wajah Song Kim Toa Lhama dalam-dalam lalu bentaknya ketus : "Song Kim, ayoh gelinding keluar!" Song Kim Toa Lhama si jago lihay nomor satu dari daerah Tibet ini semenjak muncul di daratan Tionggoan belum pernah dimaki orang demikian kasar dan hinanya, air muka padri itu kontan berubah hebat sambil tertawa terbahak-bahak tubuhnya bergerak maju ke depan sejauh lima langkah. "Saudara jangan terlalu jumawa," serunya sambil tertawa dingin. Pek In Hoei mendengus dingin, pedang mustika penghancur sang suryanya dilintangkan di depan dada, sementara di atas wajahnya yang dingin kaku tersungging satu senyuman yang menggidikkan hati. "Kalau kau sanggup melewatkan sepuluh jurus serangan di ujung pedangku, mulai ini hari aku si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tak akan mencampuri urusanmu lagi," serunya menghina. "Sebaliknya kalau kau tak sanggup menerima barang sepuluh jurus serangan pun dari tanganku, silahkan kau angkat kaki dari daratan Tionggoan dan segera enyah pulang ke Tibet, sejak itu untuk selamanya jangan masuk kembali ke wilayah Tionggoan, kalau tidak aku akan membabat dirimu sampai mati tanpa sungkan-sungkan..." Ucapannya tepat dan mantap setiap perkataannya berat tapi bertenaga...wajahnya dingin kaku membuat ucapan itu seolah-olah muncul dari mulut sesosok mayat hidup membuat hati setiap orang kaget dan bergidik. Song Kim Toa Lhama segera merasakan hatinya bergetar keras oleh pengaruh kata-kata yang tak berwujud itu, keringat sebesar kacang kedele mengucur keluar tiada hentinya membasahi jidatnya, suatu perasaan takut yang tak pernah timbul dalam hatinya kali ini menyelimuti seluruh benaknya membuat sang badan gemetar keras. Tapi di samping itu muncul pula hawa amarah yang amat sangat bergelora dalam rongga dadanya, ia meraung keras, tulang belulang di seluruh tubuhnya bergemerukkan keras, jubah yang dikenakannya menggembung besar! "Pek In Hoei!" teriaknya, "kau terlalu menghina orang lain... kau... kau..." Saking gusarnya sampai kata-kata itu tak sanggup diteruskan lebih lanjut, dengan hati marah bercampur benci segenap hawa murni yang dimilikinya dihimpun jadi satu dalam tubuhnya, hawa pukulan yang maha dahsyat pun disiapkan di telapak kanan. Ujung telapak menggetar di angkasa membentuk gerakan busur beserta segulung tenaga yang besar laksana titiran air bah menggulung ke atas tubuh Pek In Hoei laksana tindihan bukit besar. Pek In Hoei segera menggetarkan pedangnya sambil menghardik : "Baiklah, untuk kali ini aku akan mengalah satu jurus kepadamu..." Badannya mencelat ke angkasa dan mumbul beberapa tombak jauhnya, dengan begitu angin pukulan maha dahsyat yang sedang mengancam ke arahnya itu pun segera beralih sasaran menuju ke arah Lie Peng si pangeran kedua dari Kerajaan yang berkuasa dewasa itu. Menyaksikan kehebatan gerakan tubuh dari pemuda itu, Lie Peng terkesiap sekali, mendadak satu ingatan jahat berkelebat dalam benaknya. Ia segera mengerling sekejap ke arah Tok See yang ada di sekeliling situ, kemudian mendengus berat. Tok See manggut tanda mengerti, di tengah dengusan berat yang menggema di angkasa itulah pedang tajam yang berada dalam genggamannya dengan kecepatan tinggi segera menusuk ke belakang punggung Pek In Hoei. Serangan ini bukan saja sadis dan kejam, bahkan luar biasa hebat, sebilah pedang laksana tombak segera menghunjam ke depan. "Hmmm! Bangsat tukang main bokong..." seru Pek In Hoei sambil mendengus berat. Tiba-tiba ia putar tubuhnya... Kraaak! Pedang panjang Tok See yang tepat bersarang di atas tubuhnya itu mendadak patah menjadi dua bagian dan rontok ke atas tanah. Setelah itu sambil putar tubuh ujarnya ketus : "Aku si Jago Pedang Berdarah Dingin selama hidupnya paling benci terhadap orang yang suka main bokong dari belakang tubuh orang seperti sampah masyarakat seperti kau... Hmmm, akupun harus membiarkan dirimu untuk ikut merasakan bagaimanakah kalau seseorang kena dibokong..." Ia tinggalkan Song Kim Toa Lhama yang telah siap bertempur itu dan berbalik menubruk ke arah Tok See, pedang sakti penghancur sang suryanya dengan menciptakan diri jadi selapis cahaya tajam segera mengancam tiga buah jalan darah penting di tubuh jago pedang muda itu. Setelah serangan bokongnya tidak mendatangkan hasil, Tok See tahu bahwa ia bakal celaka. Kini menyaksikan keajaiban serta kesaktian ilmu silat yang diperlihatkan pihak lawan ia jadi kesemsem dan terpesona, sewaktu babatan pedang Pek In Hoei meluncur datang ia sama sekali tak bertenaga untuk melawan, bukannya menghindar atau menangkis jago pedang she Tok ini hanya berdiri sambil memandang ke arahnya dengan pandangan mendelong. Pangeran kedua Lie Peng yang menyaksikan Tok See berdiri melongo sambil menanti kematian, dalam hati merasa amat terperanjat, sambil ayunkan pedangnya dengan gerakan adu jiwa ia loncat ke depan, senjatanya bergetar dan segera menangkis datangnya ancaman dari pedang penghancur sang surya itu. Traaaaang...! getaran nyaring yang amat memekikkan telinga berkumandang di seluruh ruangan, Pangeran kedua merasakan tangannya jadi kaku dan linu, pedangnya tahu-tahu sudah terbabat putus jadi dua bagian, sementara Tok See sendiri karena dihalangi ancamannya oleh tangkisan pedang Lie Peng, jago muda ini pun lolos dari bahaya kematian. "Pek In Hoei!" terdengar Song Kim Toa Lhama membentak keras, "Jangan lukai Jie Thaycu..." Dalam pada itu Pek In Hoei sedang mempersiapkan diri melancarkan satu serangan maut yang merobohkan Jie Thaycu serta Tok See dalam waktu yang bersamaan, ketika mendengar bentakan Song Kim Toa Lhama berkumandang datang disusul tubrukan maut, dengan cepat ia memutar tubuhnya sambil menjengek dengan nada menghina : "Menang kalah di antara kita belum berhasil ditentukan, apakah kau ingin berduel satu lawan satu dengan diriku..." Air muka Song Kim Toa Lhama berubah hebat. "Aku tahu kalau ilmu silat yang kau miliki sangat lihay dan aku bukanlah tandinganmu," sahutnya. "Sejak ini hari aku Song Kim Toa Lhama tidak akan mencari gara-gara atau satroni dengan diri Ouw-yang Gong lagi, asalkan kau jangan melukai diri Jie Thaycu..." "Anak kura-kura, kau anggap aku jeri kepadamu..." teriak Ouw-yang Gong marah-marah, badannya segera menubruk ke depan. Pek In Hoei ulapkan tangannya, Song Kim Toa Lhama buru-buru mengajak Pangeran kedua Lie Peng, Tok See serta Tauw Meh mengundurkan diri dari ruangan itu dengan wajah penuh kebencian. Menyaksikan rombongan jago-jago kerajaan itu telah mengundurkan diri semuanya, diam-diam Hee Giong Lam pun ngeloyor pergi dari ruangan itu dengan kecepatan tinggi. "Kembali!" hardik Pek In Hoei dengan amat gusarnya. "Aku belum memberi ijin kepadamu untuk meninggalkan tempat ini." Sementara itu Hee Giong Lam baru melangkah dua tindak dari tempat semula, ketika mendengar suara bentakan keras bergema dari belakang tubuhnya, ia jadi amat terperanjat kaki yang sudah melangkah ke depan tanpa terasa ditarik kembali. "Kau panggil kembali diri loohu, sebenarnya ada urusan apa?" tegurnya keras. Selapis hawa napsu membunuh yang tebal terlintas di atas wajah Pek In Hoei yang dingin, sepasang alisnya berkerut kencang, di ujung bibirnya yang tipis tersungging satu senyuman yang menggidikkan hati. "Aku inginkan selembar jiwa anjingmu..." sahutnya sepatah demi sepatah. Sekali lagi Hee Giong Lam merasakan hatinya bergetar keras, ucapan yang dingin dan kaku bagikan es itu terasa menembusi ulu hatinya membuat rasul ini dengan pandangan terbelalak penuh rasa ketakutan memandang ke arah Pek In Hoei tanpa berkedip. "Kau bilang apa?" serunya. Di antara kau dengan diriku toh tiada ikatan dendam atau pun sakit hati, kenapa kau hendak membinasakan diriku?" Air muka Pek In Hoei berubah sangat hebat, dalam benaknya segera terbayang kembali kenangan lama, seolah-olah ia menyaksikan kembali terbasminya partai Thiam Cong di tangan musuh besarnya, di tengah kobaran api yang mengganas serta daya kerja racun yang keji, di bawah kilatan cahaya senjata tajam tiga ratus orang lebih anak murid partai Thiam cong pada menggeletak mati di ujung senjata anak murid perguruan Boo Liang Tiong Boen..." Ia maju selangkah ke depan dengan tindakan lebar, lalu berseru : "Hee Giong Lam, mungkin kau masih ingat bukan pemandangan ketika untuk pertama kalinya aku berjalan masuk ke dalam perguruan seratus racunmu! Dari seorang bocah yang sama sekali tidak mengerti akan ilmu silat kini aku menjadi seorang jago dunia persilatan kelas satu, tahukah kau apa sebabnya aku berjuang sampai menjadi begini?" "Aku tidak tahu," sahut Hee Giong Lam dengan nada tertegun. Pek In Hoei tertawa hambar. "Tujuanku berlatih ilmu silat bukan lain adalah untuk menuntut balas bagi pertumpahan darah yang terjadi di partai Thiam cong, aku hendak membalaskan dendam ke-tiga ratus orang anak murid partai Thiam cong yang mati terbunuh serta membalas dendam bagi kematian ayahku, dan kini kalian Perguruan Selaksa Racun adalah salah satu musuh besar yang hendak kutuntut hutang darah tersebut..." "Apa?" bentak Hee Giong Lam keras-keras. "Apa yang kau katakan? Apa sangkut pautnya antara kematian ayahmu dengan Perguruan Selaksa Racun kami? Pek In Hoei aku Hee Giong Lam bukanlah seorang manusia pengecut yang takut mencari urusan, tapi kau jangan memfitnah kami dengan kata-kata seperti itu..." "Haaaah... haaaah... haaaah... ," Ouw-yang Gong putar huncwee gedenya hingga asap tipis menguap dari dalam mangkok huncwee gedenya itu, kemudian menghisap beberapa kali dan terbahak-bahak. "Hee Giong Lam!" jengeknya dengan nada menghina. "Ternyata kau tidak punya keberanian untuk mengaku..." "Ular asap tua, kau suruh aku mengaku soal apa?" bentak Hee Giong Lam dengan mata mendelik. Pek In Hoei tertawa dingin. "Aku ingin kau mengakui persoalan partai Thiam cong yang kalian basmi, bukankah anak murid perguruan seratus racun banyak yang ikut serta di dalam perbuatan brutal itu? Kalau pada waktu itu kalian pihak perguruan seratus racun tidak melepaskan racun, tidak nanti partai Thiam cong kami mengalami nasib yang demikian buruk dan mengenaskannya..." "Omong kosong!" seru Hee Giong Lam dengan wajah berubah hebat. "Dalam peristiwa berdarah itu kami dari pihak perguruan seratus racun sama sekali tidak ikut serta." "Anak kura-kura, kembali kau berbohong!" bentak Ouw-yang Gong dengan gusarnya. "Sampai aku si Ular Asap Tua pun tahu kalau kau mengutus anak muridmu untuk ikut serta dalam pembasmian terhadap anak murid partai Thiam cong, masa di hadapan aku si ular asap tua kau masih pura-pura berlagak pilon..." "Ular asap tua..." mendadak Hee Giong Lam mengayunkan kepalannya, "Rupanya kau ada maksud menyusahkan diriku..." Pukulan ini dilancarkan dengan menghimpun segenap kekuatan yang dimilikinya, begitu pukulan meluncur segulung hawa desiran yang aneh berkumandang di angkasa bercampur baur dengan deruan angin yang tajam. Buru-buru Ouw-yang Gong meloncat ke samping untuk menghindar, bentaknya keras : "Waaah... waaaah... rupanya kau hendak membunuh orang untuk menghilangkan bukti..." Kakek konyol ini bukanlah manusia yang gampang dipecundangi orang, sebelum ujung pukulan Hee Giong Lam meluncur tiba huncwee gedenya telah menotok ke depan mengancam iga bawah si Rasul Racun tersebut. "Hmmmm....!" Hee Giong Lam mendengus dingin, telapak kirinya diayunkan ke depan melancarkan satu pukulan hebat mengancam huncwee gede lawan yang sedang menghalau datang, kekuatannya benar- benar mengerikan sekali. Ouw-yang Gong segera tertawa terbahak-bahak. "Haaaah... haaaah... haaaah... kau si cucu monyet anak jadah rupanya mau merusak huncwee gedeku ini..." Sementara ia bersiap sedia menarik kembali senjata huncwee gedenya, mendadak si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei telah meloncat ke depan, ia tahu-tahu muncul di antara ke-dua orang jago pedang yang sedang bertempur itu, membuat Ouw- yang Gong jadi melengak dan cepat-cepat mengundurkan diri ke belakang. "Pek In Hoei!" seru kakek she Ouw-yang itu dengan nada kurang mengerti, "Apa yang hendak kau lakukan?" Pek In Hoei tersenyum. "Ini adalah urusan pribadiku, harap kau jangan turut campur..."