Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Imam Tanpa Bayangan II - 96

$
0
0
Cerita Silat | Imam Tanpa Bayangan II | oleh Xiao Say | Imam Tanpa Bayangan II | Cersil Sakti | Imam Tanpa Bayangan II pdf

Goosebumps - Masalah Besar II Pendekar Gila - 39. Ajian Canda Birawa Joko Sableng - 42. Rahasia Darah Kutukan Rajawali Emas - 26. Tumbal Nyawa Perawan I am Number Four - Pittacus Lore

Suara gendang yang berat bergeletar dari balik bangunan rumah yang gelap, suara tadi sayup-sayup sampai untuk kemudian lenyap kembali tak berbekas. Dalam sekejap mata seluruh ruangan telah dipenuhi oleh suara langkah kaki yang berat, tampak dua baris pria bersenjata lengkap perlahan-lahan munculkan diri dari balik dua pintu rahasia di sisi ruangan tersebut, Goan Toa Hong sambil membawa sebuah panji kecil selangkah demi selangkah mendekati ke arah pemuda Pek In Hoei. "Pek sauhiap, Hoa Lo sianseng mengundang kau masuk ke dalam," ujar orang she Goan itu dengan suara dingin. Jago Pedang Berdarah Dingin agak tertegun, ia tidak mengira Hoa Pek Tuo bakal melakukan tindakan tersebut, wajahnya segera berubah jadi amat serius, dengan pandangan berkilat tegurnya : "Sekarang dia berada di mana?" "Hoa Lo sianseng menantikan kedatanganmu di istana bawah tanah, silahkan sauhiap..." Tidak sampai menyelesaikan kata-katanya ia putar badan dan berlalu lebih dahulu, sedangkan dua baris pria berbaju hitam tadi segera mengepit Pek In Hoei serta Kong Yo Siok Peng di tengah kepungan, dalam suatu pertanda yang diberikan Goan Toa Hong berangkatlah mereka menuju ke depan. Bagian 33 BAU busuk dan hawa lembab berhembus keluar memuakkan dada siapa pun yang mencium, Pek In Hoei berdua di bawah pimpinan Goan Toa Hong telah memasuki sebuah goa bawah tanah yang amat dingin. Anak tangga dibuat dari batu, dibangun sangat teratur jauh menjorok ke dalam, sekali lagi Goan Toa Hong ulapkan tangannya, pria pelindung yang berjalan di kedua belah sisi secara tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan segera menyumbat pintu masuk lorong tersebut. 'Istana bawah tana'" Tiga buah huruf besar itu terasa amat menyolok mata, di bawah sorot cahaya lampu, Pek In Hoei tertawa dingin, dengan wajah yang tetap tenang ia lanjutkan langkahnya menuju ke arah dalam, sebaliknya Kong Yo Siok Peng telah dibikin ketakutan sehingga air mukanya berubah jadi pucat pias bagaikan mayat. "Hoa Lo sianseng berada di dalam, silahkan masuk ke situ!" ujar Goan Toa Hong tiba-tiba sambil menuding sebuah pintu batu. "Temanilah aku masuk ke dalam," kata Pek In Hoei dingin, "Sahabat, masa kau telah melupakan hubungan persahabatan di antara kita berdua? Ayoh jalan!" Diiringi suara tertawa dingin, pedang saktinya segera diayun ke arah dada lawan. Air muka Goan Toa Hong berubah hebat. "Ini... ini..." Tapi setelah merasakan bahwa ujung pedang lawan telah menempel di atas punggungnya, dengan perasaaan apa boleh buat ia dorong pintu batu itu dan masuk ke dalam dengan langkah lebar. "Sreeeet... sekilas cahaya putih meluncur keluar dari balik pintu, Goan Toa Hong menjerit lengking dengan suara yang mengerikan, tahu-tahu badannya sudah termakan oleh timpukan pisau belati dan roboh binasa seketika itu juga. Dengan penuh kegusaran Pek In Hoei tertawa lantang, ia dorong mayat Goan Toa Hong ke samping lalu dengan gerakan tubuh yang amat cepat ia menyusup masuk ke dalam gua. Hoa Pek Tuo dengan menggunakan sebuah jubah panjang sambil menggoyangkan kipasnya duduk menyeramkan di atas pembaringan. Ketika menyaksikan Pek In Hoei menerobos masuk ke dalam ruangan, ia segera tertawa terbahak-bahak, serunya : "Nasibmu memang terlalu bagus dan usiamu memang diberkahi umur panjang, tak kunyana yang modar ternyata bukan kau!" "Hmmm! Tempat ini sungguh indah sekali, aku rasa suatu tempat yang paling cocok bagimu untuk beristirahat untuk selama-lamanya!" ejek Pek In Hoei dengan suara dingin. "Hmmm... hmmm... perkataanmu keliru besar, istana bawah tanahku ini hanya memperkenankan orang masuk ke dalam, selamanya belum ada yang bisa keluar dalam keadaan hidup. Sekarang kau telah berada di sini, itu berarti untuk selama-lamanya kau tak akan berhasil keluar dari tempat ini dalam keadaan selamat!" Pek In Hoei segera segera tertawa dingin. "Heeeeh... heeeeh... heeeeh... bagaimana dengan kau sendiri? Apakah kau pun tidak ingin keluar dari tempat ini dalam keadaan hidup?" "Haaaah... haaaah... haaaah... saudaraku, kau benar- benar bagaikan si setan gantung yang melihat hong swie," seru Hoa Pek Tuo sambil tertawa terbahak- bahak, "Sebelum mati kau juga ingin mencari teman... hmm... hm... sahabat, rembulan di tengah kegelapan kurang sedap dipandang, ucapanmu itu terlalu jauh..." "Bangsat tua, memandang tampangmu yang begitu jelek seperti kera, aku lihat kau lebih cocok jadi seorang kuli kasaran." Perkataan ini mengandung nada penghinaan yang amat tebal, seketika itu juga Hoa Pek Tuo naik pitam, saking gusarnya rambut dan jenggotnya pada berdiri kaku semua, sambil berteriak keras tubuhnya loncat bangun dari atas pembaringan, serunya dengan penuh kebencian : "Saudara, kalau bicara sedikitlah berhati-hati, hati-hati kalau ada geledek yang menyambar putus lidahmu..." Menyaksikan jago lihay yang berhati licik itu sudah dibikin naik pitam oleh ejekan-ejekannya, Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei segera menggetarkan pedang penghancur sang surya-nya ke tengah udara dan menciptakan berkuntum-kuntum bunga yang amat tajam. Dengan ketakutan Hoa Pek Tuo cepat-cepat meloncat mundur ke belakang, serunya berulang kali : "Tunggu sebentar... tunggu sebentar... sekarang masih belum tiba saatnya untuk mencabut jiwa anjingmu." "Kenapa? Apakah kau masih ada pesan-pesan terakhir yang kau tinggalkan?" ejek Pek In Hoei dengan suara ketus. "Ketika menghadapi para jago lihay di wilayah selatan tempo dulu, kegagahanmu betul-betul mengagumkan," kata Hoa Pek Tuo dengan sikap yang amat misterius, "banyak sekali sahabat dari angkatan muda yang berharap bisa berjumpa muka dengan dirimu, oleh sebab itulah sebelum kita berdua menyelesaikan urusan pribadi yang sudah terikat antara kita berdua, terlebih dahulu aku ingin memperkenalkan beberapa orang sahabat kepadamu..." "Hmm! Jadi kau telah mengundang bala bantuan? Kenapa tidak kau undang keluar?" "Haaaah... haaaah... haaaah... " dari sisi sebelah kiri tiba-tiba berkumandang keluar suara gelak tertawa yang menyeramkan, disusul dari balik pintu muncullah seorang pemuda berbaju biru. "Dia adalah kongcu berbaju biru Lu Kiat!" ujar h pt memperkenalkan. Diam-diam Pek In Hoei merasa terperanjat, ia tidak menyangka kalau kongcu berbaju biru yang nama besarnya telah menggetarkan wilayah sebelah selatan sungai Huang-hoo itu tidak lebih adalah seorang jago yang masih muda, hatinya tercekat. Segera serunya : "Selamat berjumpa... selamat berjumpa..." "Terima kasih!" sahut Lu Kiat ketus. Kembali Hoa Pek Tuo menuding ke arah belakang sambil berseru "Dan yang ini adalah si golok kilat Bu-san!" Seorang hweshio berkepala gundul dengan langkah lebar munculkan diri dari balik pintu, di tangannya membawa sebuah golok Kui-tau-to yang amat besar, pada punggung golok tergantung beberapa rantai gelang besi, setiap langkah kakinya segera menggetarkan gelang besi itu hingga berbunyi gemerincingan. Waktu itu dengan sorot mata memancarkan napsu membunuh dan senyum mengejek menghiasi bibirnya ia memandang ke arah Pek In Hoei dengan sikap sombong. Menjumpai hweshio gundul itu dalam hati Jago Pedang Berdarah Dingin segera berpikir : "Golok kilat Bu Sam adalah murid murtad dari gereja Siau-lim-si, setelah diusir dari perguruan ia seringkali berbuat kejahatan, bukan saja membunuh bahkan seringkali memperkosa anak istri orang, banyak kejahatan yang ia telah lakukan. Sungguh tak nyana Hoa Pek Tuo telah mengumpulkan pula manusia semacam ini sebagai pembantunya. Hmm! Bila sampai terjadi pertarungan nanti, pertama-tama aku harus berusaha keras untuk melenyapkan padri bengis ini terlebih dahulu..." Berpikir demikian, ia lantas berkata dengan dingin : "Masih ada siapa lagi? Kenapa tidak sekalian kau undang keluar?" Golok kilat Bu Sam yang menjumpai Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei sama sekali tak pandang sebelah mata pun terhadap dirinya, napsu membunuh dan watak bengisnya segera muncul, dengan suara seram serunya : "Belum pernah toaya mu Bu Sam menjumpai manusia angkuh dan takabur semacam ini. Hmm... hmm... Hoa Lo sianseng, buat apa kau biarkan manusia semacam ini tetap hidup di kolong langit? Biarlah ia rasain dahulu sebuah bacokanku!" Sementara ia siap hendak turun tangan, tiba-tiba Hoa Pek Tuo mendekati hweshio itu lalu membisikkan sesuatu ke sisi telinganya, meskipun kemudian Bu Sam menunjukkan sikap kurang senang namun secara suka rela ia mundur pula ke belakang. Pek In Hoei berlagak tidak melihat akan semua gerak-gerik itu, dengan sombong ia berdiri kaku di tempat semula. Dalam pada itu Hoa Pek Tuo telah menepuk kembali tangannya, seorang pemuda berdandan Mongol dengan mata yang sipit sekali berlari keluar dari balik pintu, senyuman mengejek menghiasi bibirnya. "Dia adalah Korlea, jago pedang nomor wahid dari wilayah Mongolia!" seru Hoa Pek Tuo dengan nada bangga. "Hmmm... hmmm... mana, mana," kata Korlea. Dalam hati Pek In Hoei terperanjat juga setelah mengetahui begitu banyak jago lihay yang bermuncul di situ, dengan ali berkerut dan nada dingin ejeknya : "Hmm! Sungguh tidak sedikit pembantu yang kau undang datang!" "Saudaraku, hanya kau seorang yang mampu mengangkat nama besarmu hingga mencapai puncak yang tertinggi hanya dua tiga tahun sejak kemunculan pertama di dalam rimba persilatan, keadaanmu ini membuat banyak orang merasa sedih hati, bila kami biarkan kau hidup terus di kolong langit maka bagi kita angkatan yang lebih tua jadi sulit untuk berkelana lagi di dalam dunia persilatan. Oleh karena itulah aku harap saudara bisa tahu diri dan cepat-cepat mengundurkan diri." "Hmm!" Pek In Hoei mendengus dingin, "buat apa kau mengucapkan kata-kata yang begitu manis didengar? Terus terang saja katakan maksud tujuanmu, aku Jago Pedang Berdarah Dingin bukan satu dua hari berkecimpung di dal dunia persilatan, semua tipu muslihatmu itu telah kuketahui semua." "Hoa heng, kenapa sih kau masih punya kegembiraan untuk jual bacot dengan monyet kecil yang masih bau tetek itu," teriak golok kilat Bu Sam sembari ayunkan senjatanya, "Aku lihat lebih baik kita tak usah buang banyak waktu lagi, biarlah kuhadiahkan sebuah bacokan manis ke atas tubuhnya." Lu Kiat melirik sekejap ke arah golok Kilat Bu Sam dengan pandangan menghina, agaknya pemuda baju biru itu menaruh rasa muak dan benci terhadap padri murid murtad dari gereja Siau-lim-si itu. Kepada Pek In Hoei ia tertawa hambar dan menegur : "Saudara, benarkah sewaktu berada di wilayah selatan tempo dulu, kau telah mengatakan kata-kata sesumbar?" "Perkataan apa?" tanya pemuda itu melengak. "Kau pernah kata bahwa dengan pedang sakti di tangan, kau hendak taklukkan semua jago yang ada di kolong langit, benarkah kau pernah berkata begitu?"

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>