Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ksatria Panji Sakti - 91

$
0
0
Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf

Roro Centil - Dendam & Cinta Gila Seorang Pendekar Animorphs 18 Petualangan di planet Leera Pengemis Binal - 27. Bidadari Pulau Penyu Pendekar Hina Kelana - 36. Misteri Patung Kematian Pendekar Mata Keranjang - 26. Lembaran Kulit Naga Pertala

Saat itu didepan pintu telah berdiri seseorang, dia tak lain adalah Sim Sin—pek yang berdiri dengan senyuman dikulum. Begitu melihat Thiat Tiong—tong, kontan ia tertawa tergelak sambil berkata: “Tak disangka ternyata paman Suto memang pandai meramal, ternyata hengtay benar benar berada disini, apakah hadiah dari guruku telah kau terima?” Thiat Tiong—tong tertawa dingin. “Tak kusangka kau masih berani kemari, tidak kuatir aku menjagal dirimu terlebih dulu?” Sim Sin-pek tertawa lebar, katanya: “Kecuali hadiah yang tadi, guruku masih mempunyai hadiah lain yang lebih berharga untuk dipersembahkan kepadamu, bila hengtay membunuhku lebih dulu, jelas kau tak akan menerima kado istimewa itu!” “Kado apa?” tanya Thiat Tiong—tong dengan wajah berubah. Sim Sin—pek tertawa licik. “Kado yang harus kusampaikan telah kuhantar, sekarang siaute ingin mohon diri terlebih dulu” katanya, “tapi sebelum kado istimewa itu Sampai disini, kuharap hengtay jangan pergi dulu” “Hmm, kalau aku suka, siapa yang bisa menghalangiku?” jengek Thiat Tiong—tong sambil tertawa dingin. “Kalau begitu tak ada salahnya buat hengtay untuk mencoba” kata Sim Sin-pek seraya menjura, kemudian dia mundur tiga langkah dan tiba tiba bersuit nyaring. Berbareng dengan suara suitan itu, dari empat penjuru segera berkumandang suara gelak tertawa yang sangat nyaring, menyusul kemudian terdengar orang berteriak lantang: “Thiat Tiong-tong benar benar berada disini, bagus, bagus sekali” Beberapa orang itu buka suara bersama, tutup mulutpun bersama-sama, jelas mereka memang sudah janjian dengan suara suitan sebagai pertanda. Dari gelak tertawa yang begitu nyaring, Thiat Tiong—tong tahu kalau kawanan jago itu rata rata berilmu tinggi bahka tenaga dalamnya telah mencapai puncak kesempurnaan, kenyataan ini membuatnya terkesiap, dia tak menduga kalau Suto Siau telah mengundang bala bantuan. Yin Ping yang menyaksikan anak muda itu masuk ke dalam dengan kepala tertunduk, kontan saja tertawa terkekeh, katanya: “Tak kusangka ada begitu banyak jago tangguh yang telah berkumpul disini, kelihatannya mereka telah mengepung kalian r apat rapat, jangan harap kalian bisa kabur lagi dari sini!” Paras muka Thiat Tiong—tong berubah jadi hijau membesi, tak tahan dia mlirik Im Ceng sekejap. “Betul” ujar Yin Ping lagi sambil tertawa, “dengan kepandaian silat dan kecerdasan otakmu, rasanya tidak sulit untuk melarikan diri dari sini, tapi adik seperguruan kesayanganmu itu, hehehehe..... mungkin bakal berakhir dengan mengenaskan!” Thiat Tiong—tong menghela napas panjang, sambil menjura kepada Un Tay—tay katanya: “Luka yang diderita su-te perlu segera diobati, didepan bukit sana terletak kuil Siau—lim—sie, sebagai perguruan nomor wahid dikolong langit, lagipula sebagai pendeta yang welas asih, asal nona bisa menghantarnya ke situ, aku yakin para pendeta tinggi Siau—lim—pay pasti tak akan berpeluk tangan belaka” “Tapi..... tapi . . . . .. dengan cara apa kita bisa meloloskan diri?” “Meskipun rumah ini sudah terkepung, namun . . . . . . ..” Tiba tiba Yin Ping menukas: “Kalau kau memang punya kemampuan, jangan gunakan lorong bawah tanahku!” Begitu rahasianya terbongkar, Thiat Tiong—tong tak mampu berkata lagi, dia hanya bisa berdiri termangu. II “Enciku yang baik . . . . . . .. Un Tay-tay segera berseru sambil tertawa. “Adikku manis, kau tak usah takut, asal ikut aku, cici jamin kau pasti bisa keluar dari sini lewat pintu gerbang, kujamin kau tak usah menerobos liang bawah tanah” “Sungguh?” “siapa yang bohong? Aku sudah mengirim surat dan sebentar pasti ada yang datang menjemputku, orang orang yang akan menjemputku.....hehehehe.... tak ada yang berani mengusiknya!” Yin Ping tertawa lebar. “tapi dia . . . . . ..” “Waah, orang itu mah seorang enghiong besar, aku tak berani mencampurinya!” “Kalau begitu aku pun tak akan pergi” “Adikku, bukannya aku melarangmu kabur lewat lorong bawah tanah, kau mesti tahu, kalau lewat sana maka kau mesti merangkak, mana mungkin kau bisa merangkak sambil membawa orang sakit? Tadi, aku tak lebih hanya pingin menjengkelkan hatinya saja!” Walaupun dihati kecilnya Thiat Tiong—tong merasa amat gusar, namun diapun tahu kalau apa yang dikatakan perempuan itu memang benar. Tiba tiba terdengar Un Tay—tay berkata: “Enciku yang baik, bagaimana kalau aku sanggup membawanya pergi dari sini?” Yin Ping tertawa cekikikan. “Panggilan mu yang manis dan mesrah telah membuat hatiku jadi lembek, bila kau sanggup, pergilah! Tapi kalau enghiong besar itu yang akan pergi, aku akan segera berteriak, agar orang lain segera menghadang jalan keluarnya!” “Terima kasih . . . . . . ..” ucap Un Tay-tay. Kemudian sambil berpaling ke arah Thiat Tiong—tong, katanya lagi perlahan: “Aku telah mengundang datangnya musuh tapi mesti kabur terlebih dulu, aku benar benar merasa tak enak kepadamu, tapi demi dia . . . . . ..” “Kau tak usah banyak bicara lagi” tukas Thiat Tiong—tong cepat, “aku sudah paham!” Un Tay—tay mendongakkan kepalanya memandang pemuda itu berapa kejap, sorot matanya terkandung pelbagai macam perasaan yang bercampur aduk, perasaan yang sulit diungkap dengan perkataan. Sampai lama, lama kemudian, akhirnya dia baru berka ta: “Jagalah dirimu baik baik!” Dibopongnya tubuh Im Ceng dengan dibungkus selembar selimut, kemudian Setelah menerobos ke dalam liang dengan jalan mundur, dia menarik tubuh Im Ceng secara perlahan-lahan. Tampaknya Yin Ping sama sekali tak menduga kalau perempuan itu benar benar mampu menerobos keluar lewat liang itu, untuk sesaat dia hanya mengawasi dengan termangu, kemudian sambil tertawa getir katanya: “Dasar bocah yang sedang mabuk asmara, tak nyana liang bawah tanahku justru telah digunakan untuk selamatkan nyawa anggota Perguruan Tay-ki-bun” Tiba tiba dia mengulapkan tangannya sambil menambahkan: “Yaa sudalah, kalau kau ingin pergi, pergilah!” Thiat Tiong—tong tertegun, bisiknya keheranan: II “Kau . . . . .. kau . . . . . . .. “Tidak usah keheranan” tukas Yin Ping sambil tertawa, “biar jahat dan keji tapi khususnya terhadap anggota Perguruan Tay-ki-bun, aku . . . . . . ..aaai, bila kau bertemu lagi dengan Im Kiu-siau nanti, sampaikan salamku kepadanya” Makin lama Thiat Tiong—tong merasa semakin keheranan, pikirnya: “Mungkinkah dia mempunyai sesuatu hu . . . . ..hubungan dengan paman Im Tapi ketika dia ingin bertanya lagi, Yin Ping telah berbaring diatas ranjang dan enggan untuk berbicara lagi. Untuk sesaat Thiat Tiong—tong hanya bisa berdiri mematung. “Kenapa kau tidak ikt pergi?” tanya Ai Thian—hok keheranan. Dengan mata terpejam dan kemalas—malasan sahut Yin Ping: “Aku mempunyai tujuanku sendiri, kau tak usah mengurusinya” “Terima kasih untuk pertolonganmu hari ini, semua hutang piutang diantara kita berdua kuanggap sudah impas” Mendadak Yin Ping membuka matanya lebar lebar, serunya sambil tertawa tergelak: “Hahahaha . . . . .. aku tak sangka kaupun bersedia kabur dengan merangkak lewat liang bawah tanah, tampaknya lorong yang kugali hampir dua bulan lamanya ini tidak digali dengan sia sia” “Kalau aku tak mau pergi, Thiat Tiong-tong pasti tak akan pergi” sahut Ai Thian—hok dingin, “padahal dia masih mengemban banyak tugas berat, buat apa aku mesti menyusahkan dia!” Thiat Tiong—tong merasa terharu sekali, sebetulnya dia termasuk seorang pemuda yang keras kepala dan pingin menangnya sendiri, namun sehabis mendengar perkataan itu, bisiknya sambil menghela napas panjang: “Saudara Ai, kau pergilah!” “Kau jalan duluan, aku akan mengiringi di belakang” Tiba tiba Yin Ping berseru sambil tertawa: “Kau tak pingin melihat kado mu kedua yang telah dihantar kemari?” Membayangkan beban berat yang berada dipundaknya, Thiat Tiong—tong tertegun berapa saat, namun akhirnya dia menghela napas panjang. “Aaai, tak usah dilihat lagi!” Sambil berkata dia menyusutkan badan dan siapa merangkak masuk ke liang bawah tanah. Pada saat itulah, mendadak dari luar sana terdengar seseorang berseru sambil tertawa nyaring: “Saudara Thiat, kado mu sudah datang, biarpun kau seorang jagoan muda, aku jamin kau pasti akan terperanjat sesudah melihat kado itu” Tergerak hati Thiat Tiong—tong, seketika dia menghentikan langkahnya. “Perduli apa pun kado itu, lebih baik jangan dilihat, ayoh cepat pergi!” seru Ai Thian-hok dengan suara dalam. Kembali terdengar gelak tertawa bergema dari luar rumah: “Saudara saudaraku” seru orang itu, “tak usah mengepung rumah itu lagi, mari kita berkumpul untuk menjumpai jagoan itu. Setelah melihat kado tersebut, kujamin saudara Thiat tak bakalan pergi dari sini meski kita minta dia pergi” Kembali Thiat Tiong—tong merasakan hatinya tergerak, cepat dia melompat keluar dari lorong bawah tanah dan berkata sambil tertawa getir: “Siaute hanya ingin mengintip sekejap, silahkan saudara Ai berangkat duluan, siaute segera akan menyusul!” Belum selesai ia berbicara, tubuhnya sudah menerjang keluar. Sementara Ai Thian-hok menghela napas sedih, terdengar Yin Ping pun berbisik sambil menghela napas: “Aaaai, jika dia tak pergi sekarang, mungkin selamanya dia tak bakal bisa pergi!” Kedengaran sekali kalau dia pun merasa sayang dengan tindakan pemuda itu. Dengan wajah sedikit berubah mendadak Ai Thian—hok berkata: “Aku sudah tiga puluh tahun kenal dengan dirimu, menjadi buta gara gara kau, menjadi murid Kiu-cu Kui-bo pun gara gara kau, tapi hari ini aku baru tahu kalau kaupun punya perasaan” Yin Ping termenung berapa saat kemudian kembali tertawa terkekeh. “Punya sih punya, Cuma minim sekali” “Terlepas banyak atau sedikit, kau tidak seharusnya mencemari nama baik orang ain” “Aduh mak, nama siapa yang kucemari? Kau menjadi buta toh atas kemauan sendiri . . . . . .. gara gara pingin melihat aku, justru lantaran kasihan melihat kau menjadi buta maka aku hantar kau ke tempat tinggal ciciku, ciciku juga hanya mau menerima orang cacad sebagai muridnya karena diapun sedang menjumpai masalah sedih “ Lambat laun wajah Ai Thian-hok semakin diselimuti rasa pedih, bentaknya: “Tutup mulut!” “Kau sendiri yang memulai mengungkit kejadian lama, kenapa malah marah kepadaku!” sahut Yin Ping sambil tertawa dingin. Ai Thian—hok menghela napas panjang. “Aaai, sebetulnya bukan persoalan itu yang kumaksud” katanya, “aku hanya ingin tahu, meski kau telah selamatkan anak murid Perguruan Tay—ki-bun, kenapa pula mesti mencemari nama baik guru mereka?" “Memangnya kenal denganku berarti telah mencemari nama baiknya?” seru Yin Ping sambil tertawa dingin, “kalau begitu maksudmu, ooh betapa banyaknya umat persilatan yang namanya tercemar gara gara aku!” “Dalam tiga puluh tahun terakhir, perbuatanmu mana yang tidak kuketahui, kalau bukan pada sepuluh tahun berselang kau dikepung delapan orang pendeta sakti dari siau-lim-sie hingga jejaknya lenyap, mungkin aku memiliki catatan lengkap tentang sepak terjangmu. Hmmm, dalam jangka waktu ini, kapan sih kau pernah berhubungan dengan para petinggi Perguruan Tay-ki-bun? Buat apa kau sengaja mengucapkan perkataan semacam itu dihadapan Thiat Tiong—tong? Hmm, hmmm, jadi kau berharap mereka guru dan murid saling menaruh curiga Sementara kau menonton keramaian?” “Betul, sepuluh tahun berselang aku memang sengaja merayu seorang murid Siau—lim—pay lantaran kudengar peraturan perguruan mereka sangat ketat dan para muridnya amat disiplin, akibatnya aku ditangkap delapan orang pendeta sakti dan diberi hukuman berat dihadapan Siau—lim cousu, hmmm, hmmm, waktu itu ternyata tak seorang manusia pun yang mau datang menolongku” Ai Thian-hok tertawa dingin. “Hmm, bila waktu itu kau mampus, mungkin orang yang mengurusi

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Latest Images

Trending Articles