Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Goosebumps - Masalah Besar II Pendekar Gila - 39. Ajian Canda Birawa Joko Sableng - 42. Rahasia Darah Kutukan Rajawali Emas - 26. Tumbal Nyawa Perawan I am Number Four - Pittacus Lore
Ai Thian-hok tertawa dingin. “Hmm, bila waktu itu kau mampus, mungkin orang yang mengurusi mayatmu pun tak ada, bahkan saudara kandungmu sendiripun membencimu hingga merasuk tulang sumsum, siapa lagi yang mau menolongmu?” “Hahahaha.... tapi kenyataannya aku toh belum mati, tentu saja ada orang yang tak segan diusir dari pintu perguruan Siau—Lim—sie agar bisa hidup bersama aku. Dia bahkan mengaku didepan cousuya nya kalau bukan aku yang menggaetnya, melainkan dialah yang menggaetku. Buktinya kawanan hwesio itu tak mampu berbuat banyak, terpaksa mereka bebaskan aku dan mengusirnya dari perguruan. Waktu itu aku tak mampu bergerak, terpaksa harus pergi mengikutinya” “Dan orang itu menolongmu serta membawanya kemari?” tanya Ai Thian-hok gusar. “Betul, meski dia telah selamatkan aku namun mengurungku disini bagaikan tawanan, aku mana tahan hidup terkekang maka sejak tahun tahun terakhir dimana pengawasannya mulai kendor, akupun mulai menggali liang bawah tanah” “Dia hanya kuatir kau pergi mencelakai orang lagi hingga menyekapmu disini, tapi nyatanya diapun ikut menemanimu, kalau bukan lantaran rasa cinta yang amat, tak nanti dia akan berbuat begitu” “Benar, dia memang mencintai aku, cemburu yaa?” ejek Yin Ping sambil tertawa merdu. “Aku tak akan mencampuri urusan pribadimu” seru Ai Thian-hok gusar, “yang aku tanyakan hanya urusanmu dengan Perguruan Tay—ki- bun . . . . .." “Kau juga tak usah mencampuri urusanku dengan Perguruan Tay—ki-bun” potong Yin Ping sambil menarik muka, “tapi ada satu hal perlu kusampaikan, apa yang kukatakan bukan hanya bualan “Jadi kau dengan Perguruan Tay—ki-bun benar benar . . . . . .." Ai Thian-hok agak tertegun. “Kau tak usah tanya lagi” kembali tukas Yin Ping sambil tertawa dingin, “ada sementara persoalan yang selamanya tak bakal kukatakan kepadamu” Tiba tiba terdengar suara jeritam Thiat Tiong—tong berkumandang dari luar pintu. Ternyata ketika anak muda itu keluar dari pintu rumah, dihadapannya segera terlihat ada delapan, sembilan orang manusia yang berdiri sambil mengawasinya, hanya sayang waktu itu senja yang gerimis sehingga sulit baginya untuk melihat jelas raut muka orang orang itu. Tapi dengan cepat ia dapat melihat Suto Siau muncul dari rombongan sambil berjalan mendekat, lagaknya nampak sangat gembira dan bangga. Begitu bertemu Thiat Tiong—tong, dia segera menjura, tertawa dan menyapa: “Lama tak bersua saudara Thiat membuat pikiran siaute benar benar risau bercampur kangen” Thiat Tiong—tong tahu, orang ini banyak akalnya dan pandai berpura—pura, maka sambil menahan rasa dongkolnya dia segera menyahut sambil menjura: “Siaute sendiri pun selalu mencari saudara Suto untuk menyampaikan ucapan terima kasihku!” “Terima kasih untuk apa?” tanya Suto Siau agak tertegun. “Phoa Seng-hong memang seorang bangsat tukang pemogoran, sudah lama siaute pingin melenyapkan dia, tak disangka saudara Suto telah mewakili siaute untuk melakukannya” “Ooh...ooh . . . . .. aaah....aaah . . . . .. hahahahaha . . . . ..!” Melihat Suara tertawanya sangat aneh, meski dihati kecil Thiat Tiong—tong merasa keheranan namun tak urung dia berkata lagi sambil sengaja tertawa keras: “Apalagi hengtay masih akan memberi kado lain untukku, siaute betul betul menjadi tak tenang” “Aah, mana, mana” “Lantas mana kadonya?” tanya Thiat Tiong—tong kemudian, “Setelah menerimanya, siaute juga akan pergi dari sini” Dia memang sengaja bicara santai, seakan akan kalau ingin pergi maka dia bisa melakukannya dengan mudah sekali. Suto Siau kembali tertawa tergelak. “Jangan terburu napsu dulu, mari, biar siaute kenalkan dulu dengan berapa orang sahabat” Dia membalikkan badan, lalu serunya lagi sambil tertawa keras: “Hengtay sekalian, kemarilah, mari kuperkenalkan dengan tokoh maha sakti ini!” Dari balik rombongan manusia segera terdengar Suara orang menyahut. Selain Hek Seng—thian dan Pek Seng—bu berdua yang masih berdiri dengan wajah berseri, disitu hadir lima orang lainnya. Dari ke lima orang itu, seorang bertubuh tinggi besar dan amat kekar, seorang kurus pendek, kecil dan membawa sepasang golok baja dipunggungnya, seorang lagi tak lain adalah Sim Sin-pek. Selain itu terdapat lagi dua orang, seorang lelaki dan seorang wanita, yang lelaki berperawakan tinggi kurus, kepalanya memakai kopiah tinggi, ketika berdiri diantara kerumunan orang banyak, dia seperti seekor bangau yang berdiri ditengah kerumunan ayam. Yang perempuan berperawakan gemuk dan pendek, sewaktu berdiri disamping lelaki berkopiah itu, ketinggian badannya hanya mencapai pada dadanya. Walaupun berada dalam pandangan umum, namun mereka berdua tetap saling berpelukan dengan mesrahnya, satu tinggi satu pendek, satu gemuk satu kurus, meski nampak lucu dan menggelikan dalam pandangan orang lain, tapi mereka sendiri justru sangat menikmatinya. “Tentunya saudara Thiat sudah mengenali saudara Hek Seng—thian dan Pek Seng—bu bukan!” ujar Suto Siau kemudian sambil tertawa. “Tapi aku rasa saudara Hek justru baru pertama kali ini berjumpa dengan siaute!” sambung Thiat Tiong—tong sambil tertawa. Memang benar, baru kali ini Hek Seng—thian melihat raut wajah yang sebenarnya dari pemuda itu, melihat wajahnya yang sedikit berwarna hitam, meski bukan termasuk lelaki tampan, namun asal kau memandangnya lebih lama maka tanpa terasa akan terpikat kepadanya, diam diam diapun berpikir: “Ternyata dia memang berwajah seorang lelaki, tak aneh kalau begitu banyak perempuan terpikat kepadanya” Maka sambil menjura katanya dingin: “Walaupun belum pernah bersua, namun sudah lama kukagumi nama besarmu!” Suto Siau segera menuding ke arah lelaki tinggi besar itu, katanya lagi sambil tertawa: “Saudara ini adalah piausu nomor wahid dari perusahaan ekspedisi kami, orang persilatan menyebutnya Kim-kong-su-Tuo (kantung buku bertubuh malaikat) Lok Put-kun” “selamat bersua" Lok Put-kun manggut manggutkan kepalanya. Biarpun Thiat Tiong—tong tahu kalau orang ini cukup ternama dalam perusahaan ekspedisi, namun perasaannya mendongkol juga melihat lagak tengiknya, maka sambil tertawa tergelak ejeknya: “Hahahaha..... ternyata memang mirip sekali dengan patung tanah liat dalam kelenteng” Berubah paras muka Lok Put-kun, tapi Suto Siau telah berkata lagi sambil menuding lelak pendek bergolok itu: “Dia adalah Ban—tee-hui-hoa (bunga terbang memenuhi tanah) Phang Kong, Phang tayhiap, seorang jago nomor wahid dalam ilmu golok lantai Tee-tang-to” “Tidak berani” lelaki kecil pendek dengan sepasang golok dipunggungnya itu segera menjura sambil tertawa. Melihat sikap orang ini cukup sopan, Thiat Tiong—tong pun menanggapi dengan sopan pula meski dihati kecilnya merasa agak terperanjat, sudah cukup lama ia mendengar nama besar dari Phang Kong ini, khususnya ilmu golok lantainya yang hebat. Setelah mendeham berapa kali, dengan wajah serius Suto Siau berkata lebih jauh: “Kedua orang itu adalah Chee Toa-ho dan Sun siau-kiau suami istri” Ketika melihat ke dua orang ini bukan saja lucu lagaknya, nama yang mereka sandangpun amat aneh, tak tahan serunya sambil tertawa: “Selamat berjumpa, selamat berjumpa” Lelaki berkopiah itu langsung menarik wajahnya sambil mencengkeram gagang pedang dipinggangnya, tapi perempuan disampingnya segera menyela sambil tertawa: “Siau-Chee, sudahlah, dia toh tidak mengenal kita, jangan salahkan kalau sikapnya kurang sopan” Sambil bicara diam diam ia mengerling sekejap ke arah Thiat Tiong—tong. Dalam pada itu Suto Siau telah berkata lagi dengan suara keras: “Mungkin saudara Thiat belum tahu soal nama sebenarnya dari Chee-heng suami istri, tapi nama besar Ui-koan Kiamkhek (jago pedang berkopiah kuning) dan Bi—gwee kiam-khek (jago pedang rembulan hijau) pasti sudah pernah mendengarnya bukan?” Nama besar kelompok jago pedang pelangi, Jay-hong-kun-kiam amat tersohor dalam dunia persilatan, tentu saja Thiat Tiong—tong pernah mendengar nama besar mereka, diapun tahu kalau ilmu pedang yang dimiliki si jago pedang berkopiah kuning begitu cepat dan luar biasa hingga dijuluki orang sebagai jago pedang tercepat disepanjang sungai besar. Maka Setelah mengamati ke dua orang itu sekali lagi, ujarnya sambil tersenyum: “Cayhe hanya pernah mendengar tentang nama besar Ci-sim kiam-khek (jago pedang berhati merah), tentang nama besar kalian berdua..... rasanya baru pertama kali ini mendengarnya” Chee Toa-ho berkerut kening, jengeknya sambil tertawa dingin: “Dari penuturan Cun-hau aku dengar dalam dunia persilatan telah muncul seorang jago pedang kilat lagi, tak kusangka ternyata hanya seorang bocah ingusan yang masih berbau kencur!” “Sama sama, sama sama!” sahut Thiat Tiong—tong tertawa. “Ayoh sini, sini . . . . . .." teriak Chee Toa-ho gusar, “cabut pedangmu, biar kuberi pelajaran kepadamu!” Sambil berkata dia sudah mencabut keluar separuh pedangnya. Kembali Sun Siau-kiau meraih lengannya sambil menghibur: “Siau-Chee, kenapa mesti terburu buru!” “Hahahaha.... betul, betul” seru Suto Siau pula sambil tergelak, “paling tidak, kita mesti menunggu sampai saudara Thiat melihat kadonya lebih dahulu!” “Hmm, kalau sudah melihat kadonya, mungkin dia sudah tak mampu bertarung!” jengek Chee Toa-ho sambil tertawa dingin. Diam diam Thiat Tiong—tong terkesiap, tapi diluaran katnya sambil tertawa tergelak: “Walaupun aku hanya mengerti ilmu silat kucing kaki tiga, tapi bila kau ingin menjajalnya, setiap saat aku pasti akan melayani keinginanmu itu” Suto Siau segera memberi tanda, Sim Sin—pek dengan langkah cepat berlalu dari situ. “saudara Suto” seru Chee Toa-ho lagi dengan suara dalam, “bagaimanapun juga hari ini siaute harus memberi pelajaran yang setimpal kepada bocah keparat ini, kau mesti memberi kesempatan kepadaku untuk menghajarnya terlebih dulu” “Tentu saja, tentu saja!” Tiba tiba terdengar Lok Put—kun berteriak lantang: “saudara Chee, kalau pingin memberi pelajaran kepadanya tolong jangan sampai kau cabut nyawanya, sebab aku orang she—Lok juga pingin menjajal kemampuannya!” Suara orang ini sangat nyaring, memang berimbang dengan perawakan tubuhnya yang tinggi besar. “Hari ini silahkan saja kalian beradu kepandaian dengan saudara Thiat, Cuma saja dalam urusan pribadi antara siaute dengannya . . . . .. hmmm, hmmm.....kalian tak usah turut campur” “Hahahaha . . . . .. yang penting jangan sampai kalian cabut nyawanya!” Hek Seng—thian menambahkan sambil tertawa tergelak. Thiat Tiong—tong yang mendengar pembicaraan itu merasa gusar sekali, namun perasaan marahnya sama sekali tak diperlihatkan keluar, malah serunya sambil tertawa tergelak: “Hahahaha . . . . .. kalian tak perlu kuatir, cayhe yakin sampai lima tahun lagipun belum tentu aku sudah mati” Sementara dia masih tertawa, tampak Sim Sin-pek dengan memimpin berapa orang lelaki berbaju hitam yang mendorong sebuah kereta berbentuk aneh berjalan mendekat. Kereta itu berbentuk empat persegi dengan panjang dan lebar kurang lebih dua setengah meter, bentuknya mirip sekali dengan sebuah peti raksasa, hanya saja di ke empat sudutnya diberi roda hingga dapat bergerak. Thiat Tiong—tong tak dapat menebak permainan busuk apa yang sedang dipersiapkan Suto Siau, tapi dia tahu kalau orang ini licik, busuk dan jahat, dia suka sekali membuat kejutan, bisa diduga isi peti tersebut pasti sesauatu yang sangat aneh. Suto Siau nampak berdiri dengan perasaan amat bangga. katanva
Goosebumps - Masalah Besar II Pendekar Gila - 39. Ajian Canda Birawa Joko Sableng - 42. Rahasia Darah Kutukan Rajawali Emas - 26. Tumbal Nyawa Perawan I am Number Four - Pittacus Lore
Ai Thian-hok tertawa dingin. “Hmm, bila waktu itu kau mampus, mungkin orang yang mengurusi mayatmu pun tak ada, bahkan saudara kandungmu sendiripun membencimu hingga merasuk tulang sumsum, siapa lagi yang mau menolongmu?” “Hahahaha.... tapi kenyataannya aku toh belum mati, tentu saja ada orang yang tak segan diusir dari pintu perguruan Siau—Lim—sie agar bisa hidup bersama aku. Dia bahkan mengaku didepan cousuya nya kalau bukan aku yang menggaetnya, melainkan dialah yang menggaetku. Buktinya kawanan hwesio itu tak mampu berbuat banyak, terpaksa mereka bebaskan aku dan mengusirnya dari perguruan. Waktu itu aku tak mampu bergerak, terpaksa harus pergi mengikutinya” “Dan orang itu menolongmu serta membawanya kemari?” tanya Ai Thian-hok gusar. “Betul, meski dia telah selamatkan aku namun mengurungku disini bagaikan tawanan, aku mana tahan hidup terkekang maka sejak tahun tahun terakhir dimana pengawasannya mulai kendor, akupun mulai menggali liang bawah tanah” “Dia hanya kuatir kau pergi mencelakai orang lagi hingga menyekapmu disini, tapi nyatanya diapun ikut menemanimu, kalau bukan lantaran rasa cinta yang amat, tak nanti dia akan berbuat begitu” “Benar, dia memang mencintai aku, cemburu yaa?” ejek Yin Ping sambil tertawa merdu. “Aku tak akan mencampuri urusan pribadimu” seru Ai Thian-hok gusar, “yang aku tanyakan hanya urusanmu dengan Perguruan Tay—ki- bun . . . . .." “Kau juga tak usah mencampuri urusanku dengan Perguruan Tay—ki-bun” potong Yin Ping sambil menarik muka, “tapi ada satu hal perlu kusampaikan, apa yang kukatakan bukan hanya bualan “Jadi kau dengan Perguruan Tay—ki-bun benar benar . . . . . .." Ai Thian-hok agak tertegun. “Kau tak usah tanya lagi” kembali tukas Yin Ping sambil tertawa dingin, “ada sementara persoalan yang selamanya tak bakal kukatakan kepadamu” Tiba tiba terdengar suara jeritam Thiat Tiong—tong berkumandang dari luar pintu. Ternyata ketika anak muda itu keluar dari pintu rumah, dihadapannya segera terlihat ada delapan, sembilan orang manusia yang berdiri sambil mengawasinya, hanya sayang waktu itu senja yang gerimis sehingga sulit baginya untuk melihat jelas raut muka orang orang itu. Tapi dengan cepat ia dapat melihat Suto Siau muncul dari rombongan sambil berjalan mendekat, lagaknya nampak sangat gembira dan bangga. Begitu bertemu Thiat Tiong—tong, dia segera menjura, tertawa dan menyapa: “Lama tak bersua saudara Thiat membuat pikiran siaute benar benar risau bercampur kangen” Thiat Tiong—tong tahu, orang ini banyak akalnya dan pandai berpura—pura, maka sambil menahan rasa dongkolnya dia segera menyahut sambil menjura: “Siaute sendiri pun selalu mencari saudara Suto untuk menyampaikan ucapan terima kasihku!” “Terima kasih untuk apa?” tanya Suto Siau agak tertegun. “Phoa Seng-hong memang seorang bangsat tukang pemogoran, sudah lama siaute pingin melenyapkan dia, tak disangka saudara Suto telah mewakili siaute untuk melakukannya” “Ooh...ooh . . . . .. aaah....aaah . . . . .. hahahahaha . . . . ..!” Melihat Suara tertawanya sangat aneh, meski dihati kecil Thiat Tiong—tong merasa keheranan namun tak urung dia berkata lagi sambil sengaja tertawa keras: “Apalagi hengtay masih akan memberi kado lain untukku, siaute betul betul menjadi tak tenang” “Aah, mana, mana” “Lantas mana kadonya?” tanya Thiat Tiong—tong kemudian, “Setelah menerimanya, siaute juga akan pergi dari sini” Dia memang sengaja bicara santai, seakan akan kalau ingin pergi maka dia bisa melakukannya dengan mudah sekali. Suto Siau kembali tertawa tergelak. “Jangan terburu napsu dulu, mari, biar siaute kenalkan dulu dengan berapa orang sahabat” Dia membalikkan badan, lalu serunya lagi sambil tertawa keras: “Hengtay sekalian, kemarilah, mari kuperkenalkan dengan tokoh maha sakti ini!” Dari balik rombongan manusia segera terdengar Suara orang menyahut. Selain Hek Seng—thian dan Pek Seng—bu berdua yang masih berdiri dengan wajah berseri, disitu hadir lima orang lainnya. Dari ke lima orang itu, seorang bertubuh tinggi besar dan amat kekar, seorang kurus pendek, kecil dan membawa sepasang golok baja dipunggungnya, seorang lagi tak lain adalah Sim Sin-pek. Selain itu terdapat lagi dua orang, seorang lelaki dan seorang wanita, yang lelaki berperawakan tinggi kurus, kepalanya memakai kopiah tinggi, ketika berdiri diantara kerumunan orang banyak, dia seperti seekor bangau yang berdiri ditengah kerumunan ayam. Yang perempuan berperawakan gemuk dan pendek, sewaktu berdiri disamping lelaki berkopiah itu, ketinggian badannya hanya mencapai pada dadanya. Walaupun berada dalam pandangan umum, namun mereka berdua tetap saling berpelukan dengan mesrahnya, satu tinggi satu pendek, satu gemuk satu kurus, meski nampak lucu dan menggelikan dalam pandangan orang lain, tapi mereka sendiri justru sangat menikmatinya. “Tentunya saudara Thiat sudah mengenali saudara Hek Seng—thian dan Pek Seng—bu bukan!” ujar Suto Siau kemudian sambil tertawa. “Tapi aku rasa saudara Hek justru baru pertama kali ini berjumpa dengan siaute!” sambung Thiat Tiong—tong sambil tertawa. Memang benar, baru kali ini Hek Seng—thian melihat raut wajah yang sebenarnya dari pemuda itu, melihat wajahnya yang sedikit berwarna hitam, meski bukan termasuk lelaki tampan, namun asal kau memandangnya lebih lama maka tanpa terasa akan terpikat kepadanya, diam diam diapun berpikir: “Ternyata dia memang berwajah seorang lelaki, tak aneh kalau begitu banyak perempuan terpikat kepadanya” Maka sambil menjura katanya dingin: “Walaupun belum pernah bersua, namun sudah lama kukagumi nama besarmu!” Suto Siau segera menuding ke arah lelaki tinggi besar itu, katanya lagi sambil tertawa: “Saudara ini adalah piausu nomor wahid dari perusahaan ekspedisi kami, orang persilatan menyebutnya Kim-kong-su-Tuo (kantung buku bertubuh malaikat) Lok Put-kun” “selamat bersua" Lok Put-kun manggut manggutkan kepalanya. Biarpun Thiat Tiong—tong tahu kalau orang ini cukup ternama dalam perusahaan ekspedisi, namun perasaannya mendongkol juga melihat lagak tengiknya, maka sambil tertawa tergelak ejeknya: “Hahahaha..... ternyata memang mirip sekali dengan patung tanah liat dalam kelenteng” Berubah paras muka Lok Put-kun, tapi Suto Siau telah berkata lagi sambil menuding lelak pendek bergolok itu: “Dia adalah Ban—tee-hui-hoa (bunga terbang memenuhi tanah) Phang Kong, Phang tayhiap, seorang jago nomor wahid dalam ilmu golok lantai Tee-tang-to” “Tidak berani” lelaki kecil pendek dengan sepasang golok dipunggungnya itu segera menjura sambil tertawa. Melihat sikap orang ini cukup sopan, Thiat Tiong—tong pun menanggapi dengan sopan pula meski dihati kecilnya merasa agak terperanjat, sudah cukup lama ia mendengar nama besar dari Phang Kong ini, khususnya ilmu golok lantainya yang hebat. Setelah mendeham berapa kali, dengan wajah serius Suto Siau berkata lebih jauh: “Kedua orang itu adalah Chee Toa-ho dan Sun siau-kiau suami istri” Ketika melihat ke dua orang ini bukan saja lucu lagaknya, nama yang mereka sandangpun amat aneh, tak tahan serunya sambil tertawa: “Selamat berjumpa, selamat berjumpa” Lelaki berkopiah itu langsung menarik wajahnya sambil mencengkeram gagang pedang dipinggangnya, tapi perempuan disampingnya segera menyela sambil tertawa: “Siau-Chee, sudahlah, dia toh tidak mengenal kita, jangan salahkan kalau sikapnya kurang sopan” Sambil bicara diam diam ia mengerling sekejap ke arah Thiat Tiong—tong. Dalam pada itu Suto Siau telah berkata lagi dengan suara keras: “Mungkin saudara Thiat belum tahu soal nama sebenarnya dari Chee-heng suami istri, tapi nama besar Ui-koan Kiamkhek (jago pedang berkopiah kuning) dan Bi—gwee kiam-khek (jago pedang rembulan hijau) pasti sudah pernah mendengarnya bukan?” Nama besar kelompok jago pedang pelangi, Jay-hong-kun-kiam amat tersohor dalam dunia persilatan, tentu saja Thiat Tiong—tong pernah mendengar nama besar mereka, diapun tahu kalau ilmu pedang yang dimiliki si jago pedang berkopiah kuning begitu cepat dan luar biasa hingga dijuluki orang sebagai jago pedang tercepat disepanjang sungai besar. Maka Setelah mengamati ke dua orang itu sekali lagi, ujarnya sambil tersenyum: “Cayhe hanya pernah mendengar tentang nama besar Ci-sim kiam-khek (jago pedang berhati merah), tentang nama besar kalian berdua..... rasanya baru pertama kali ini mendengarnya” Chee Toa-ho berkerut kening, jengeknya sambil tertawa dingin: “Dari penuturan Cun-hau aku dengar dalam dunia persilatan telah muncul seorang jago pedang kilat lagi, tak kusangka ternyata hanya seorang bocah ingusan yang masih berbau kencur!” “Sama sama, sama sama!” sahut Thiat Tiong—tong tertawa. “Ayoh sini, sini . . . . . .." teriak Chee Toa-ho gusar, “cabut pedangmu, biar kuberi pelajaran kepadamu!” Sambil berkata dia sudah mencabut keluar separuh pedangnya. Kembali Sun Siau-kiau meraih lengannya sambil menghibur: “Siau-Chee, kenapa mesti terburu buru!” “Hahahaha.... betul, betul” seru Suto Siau pula sambil tergelak, “paling tidak, kita mesti menunggu sampai saudara Thiat melihat kadonya lebih dahulu!” “Hmm, kalau sudah melihat kadonya, mungkin dia sudah tak mampu bertarung!” jengek Chee Toa-ho sambil tertawa dingin. Diam diam Thiat Tiong—tong terkesiap, tapi diluaran katnya sambil tertawa tergelak: “Walaupun aku hanya mengerti ilmu silat kucing kaki tiga, tapi bila kau ingin menjajalnya, setiap saat aku pasti akan melayani keinginanmu itu” Suto Siau segera memberi tanda, Sim Sin—pek dengan langkah cepat berlalu dari situ. “saudara Suto” seru Chee Toa-ho lagi dengan suara dalam, “bagaimanapun juga hari ini siaute harus memberi pelajaran yang setimpal kepada bocah keparat ini, kau mesti memberi kesempatan kepadaku untuk menghajarnya terlebih dulu” “Tentu saja, tentu saja!” Tiba tiba terdengar Lok Put—kun berteriak lantang: “saudara Chee, kalau pingin memberi pelajaran kepadanya tolong jangan sampai kau cabut nyawanya, sebab aku orang she—Lok juga pingin menjajal kemampuannya!” Suara orang ini sangat nyaring, memang berimbang dengan perawakan tubuhnya yang tinggi besar. “Hari ini silahkan saja kalian beradu kepandaian dengan saudara Thiat, Cuma saja dalam urusan pribadi antara siaute dengannya . . . . .. hmmm, hmmm.....kalian tak usah turut campur” “Hahahaha . . . . .. yang penting jangan sampai kalian cabut nyawanya!” Hek Seng—thian menambahkan sambil tertawa tergelak. Thiat Tiong—tong yang mendengar pembicaraan itu merasa gusar sekali, namun perasaan marahnya sama sekali tak diperlihatkan keluar, malah serunya sambil tertawa tergelak: “Hahahaha . . . . .. kalian tak perlu kuatir, cayhe yakin sampai lima tahun lagipun belum tentu aku sudah mati” Sementara dia masih tertawa, tampak Sim Sin-pek dengan memimpin berapa orang lelaki berbaju hitam yang mendorong sebuah kereta berbentuk aneh berjalan mendekat. Kereta itu berbentuk empat persegi dengan panjang dan lebar kurang lebih dua setengah meter, bentuknya mirip sekali dengan sebuah peti raksasa, hanya saja di ke empat sudutnya diberi roda hingga dapat bergerak. Thiat Tiong—tong tak dapat menebak permainan busuk apa yang sedang dipersiapkan Suto Siau, tapi dia tahu kalau orang ini licik, busuk dan jahat, dia suka sekali membuat kejutan, bisa diduga isi peti tersebut pasti sesauatu yang sangat aneh. Suto Siau nampak berdiri dengan perasaan amat bangga. katanva