Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Roro Centil - Dendam & Cinta Gila Seorang Pendekar Animorphs 18 Petualangan di planet Leera Pengemis Binal - 27. Bidadari Pulau Penyu Pendekar Hina Kelana - 36. Misteri Patung Kematian Pendekar Mata Keranjang - 26. Lembaran Kulit Naga Pertala
Suto Siau nampak berdiri dengan perasaan amat bangga, katanya sambil tertawa terbahak: “Hahahaha.... siaute tak punya kado istimewa yang harus diberikan, oleh sebab itu sengaja kubuatkan sebuah anak tangga tiga susun untuk dipertontonkan kepadamu” “Wah, tidak kusangka saudara Suto adalah seorang tukang kayu handal" sindir Thiat Tiong-tong sambil tertawa. Suto Siau tidak menanggapi, dia memberi tanda sambil berseru: “Terapkan anak tangganya!” “Siap!” sahut Sim Sin-pek cepat. Ia berjalan menuju ke belakang kereta, disitu terdapat sebuah roda pemutar, ketika dia mulai memutar roda itu, atap kereta tiba tiba terbentang lebar. Lalu sebuah anak tangga sepanjang empat meter pun perlahan-lahan menjulur ke tengah udara, diujung tangga terikat sebuah benda sepanjang satu setengah meter yang terbungkus selembar kain minyak, tidak diketahui benda apakah yang terbungkus rapi itu. “Aku mohon kepada saudara yang ada disitu untuk segera membuka penutup kain itu!” seru Suto Siau kemudian. “Pertunjukan segera akan dimulai, biar siaute saja yang membuka kain penutupnya!” seru Phang Kong sambil tertawa. “Wah,... bagus, bagus sekali, jika saudara Phang yang turun tangan, pasti hebat sekali!” Suto Siau bertepuk tangan. Sudah lama Thiat Tiong-tong mendengar tentang kehebatan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Boan—tee-hui-hoa (bunga terbang memenuhi tanah). Dia tahu orang itu adalah seorang perampok ulung yang mampu menyatroni seribu rumah dalam satu malam. Disamping ingin mengetahui sampai dimana kehebatan ilmu meringankan tubuhnya, yang lebih penting lagi adalah dia pingin tahu benda apa yang terbungkus rapi itu. Dalam pada itu Phang Kong sudah membenarkan letak pakaiannya dan menjura: “Maaf, aku akan pamer kejelekan!”: Tidak nampak gerakan apa yang dilakukan, tahu tahu tubuhnya sudah berada dipuncak kereta. Dalam perkiraan orang banyak, dia pasti akan menggunakan gerakan tubuh sebangsa burung bangau terbang ke angkasa untuk menaiki puncak tangga itu, siapa tahu dia malah meluruskan sepasang tangannya ke bawah, lalu selangkah demi selangkah naik ke atas. Sebagaimana diketahui, anak tangga itu lurus tegak ke atas, bukan saja tak ada terap untuk menaikinya bahkan tidak gampang untuk melompatinya. Tapi sekarang bukan saja dia tak perlu berpegangan, malah dengan badan tegap menaiki tangga itu satu demi satu, jelas satu pekerjaan yang tingkat kesulitannya amat tinggi. Jika ilmu bhesi nya tidak kuat, niscaya badannya akan roboh terjungkal. Tak kuasa lagi semua orang bersorak sorai memuji, begitu juga dengan Thiat Tiong-tong, mau tak mau dia harus mengakui kehebatan lawan. Disamping itu, diapun merasa tercekat hatinya sebab ia sadar setiap musuh yang dihadapinya hari ini merupakan jago jago yang amat tangguh. Sementara dia masih berpikir, Phang Kong sudah memegang ujung kain itu dan berseru sambil tertawa: “Lihatlah sekarang!” Mendadak ia bersalto di udara, berikut kain pembungkus itu dia melayang turun ke bawah. Tangga itu mempunyai ketinggian empat meteran, ditambah lagi selisih dari kereta ke tanah maka seluruhnya mencapai enam meteran. Saat ini tubuhnya seakan jatuh tergelincir dari ketinggian. Baru saja semua orang menjerit kaget, tahu tahu Phang Kong sudah berdiri tenang diatas tanah dengan senyuman dikulum, sama sekali tidak menimbulkan sedikit suara pun. Tampaknya dia memang berniat mendemonstrasikan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya. Tanpa sadar sorot mata Thiat Tiong-tong bergerak ke bawah mengikuti tubuhnya, kemudian ia baru mendongak kembali, namun begitu melihat benda yang berada diujung tangga, setenang apa pun pemuda itu tak urung dia menjerit juga. Ternyata diujung tangga itu terikat tubuh seseorang, orang itu berbaju putih namun sekarang sudah kotor oleh lumpur, rambutnya kusut dan awut awutan, kepalanya tertunduk lunglai, tidak jelas apakah masih hidup ataukah sudah mati? Biarpun berada ditengah hujan gerimis dan lapisan kabut, namun Thiat Tiong-tong dapat melihat dengan sangat jelas, ternyata orang itu tak lain adalah Sui Leng—kong! Kepalanya serasa disambar geledek, matanya berkunang dan hawa panas menggelora dalam dadanya. Meskipun sikap dan penampilannya terhadap Sui Leng—kong selama ini dingin dan asing, namun sesungguhnya dia menaruh perasaan cinta yang membara, meski beberapa kali dia seakan membiarkan Sui Leng—kong pergi meninggalkan dirinya, padahal setiap saat setiap detik dia selalu memimpikan dan merindukan, kalau bukan karena ingin menyelamatkan Sui Leng—kong dari kesulitan, tak mungkin dia rela terjun ke dalam sungai untuk mencari mati. Dan kini, akhirnya dia berhasil menemukan Sui Leng—kong. Namun kejadian tragis yang menimpa gadis itu membuat hawa amarahnya langsung memuncak, sambil membentak nyaris ia siap menerjang naik ke atas. “Jika kau berani bertindak sembarangan, dia segera akan kehilangan nyawa!” ancam Suto Siau tiba tiba. Sekalipun dia tidak berusaha turun tangan, namun berapa patah perkataannya justru memiliki daya pengaruh yang luar biasa. Thiat Tiong-tong merasakan tubuhnya bergetar keras, dia mundur sejauh tiga langkah, tangan dan kakinya jadi dingin kaku, seluruh badannya jadi lemas seolah kehilangan tenaga. “Dia . . . . .. dia belum mati?” bisiknya. Suto Siau tersenyum, sahutnya: “Meskipun dia belum mati, tapi dengan satu gerakan tangan aku bisa membuatnya hidup tak bisa mati pun sengsara, kalau tak percaya, silahkan saja dicoba!” Thiat Tiong-tong mencoba memeriksa sekeliling tempat itu, terlihat olehnya tangan kanan Hek Seng—thian, Pek Seng—bu, Suto Siau serta Sim Sin-pek telah disembunyikan ke balik saku bajunya, jelas mereka sedang menggenggam senjata rahasia. Beberapa orang itu adalah jago jago senjata rahasia, bila ia bergerak sembarangan maka asalkan orang orang itu turun tangan bersama, maka walaupun dia punya tiga kepala enam lengan pun, jangan harap sanggup menghalangi beberapa orang itu. Terlebih tubuh Sui Leng—kong terikat kencang, semakin sulit baginya untuk menghindarkan diri. Dalam sekilas pandang ia sudah tahu kalau perkataan Suto Siau bukan gertak sambal belaka, tanyanya: “Kenapa dia . . . . .. dia bisa terjatuh ke tanganmu?” Meskin air mata tak sampai bercucuran, namun kelopak matanya telah basah oleh genangan air mata. Terdengar Suto Siau tertawa terbahak-bahak. “Hahahaha..... soal itu mah . . . . . .. dikemudian hari kau toh bakal tahu sendiri!” Thiat Tiong-tong tertegun berapa saat, tiba tiba ia berteriak keras: “Baiklah, Thiat Tiong-tong mengaku kalah!” “Hehehehe.... jika mengaku kalah berarti kau mesti menurut, selanjutnya apa pun yang akan kami perintahkan, kau tak boleh membangkang” Thiat Tiong-tong merasakan hatinya sakit bagaikan diiris iris, ia sadar, bila permintaan itu dikabulkan berarti dia telah menghianati perguruan dan tak akan lolos dari hukuman, sebaliknya bila ditolak, bagaimana caranya untuk menolong Sui Leng—kong? Tiba tiba terdengar desingan angin berkumandang dari belakang tubuhnya, ternyata Ai Thian-hok yang mendengar jeritan kagetnya telah menyusul tiba, tegurnya dengan suara dalam: “Siapa yang telah terjatuh ke tangan mereka?” Dia hanya mendengar tanya jawab yang sedang berlangsung, namun tak dapat melihat Sui Leng—kong yang terikat diujung tangga. Thiat Tiong-tong tahu kalau rekannya ini bersifat keras dan berangasan, lantaran kuatir dia turun tangan secara sembarangan hingga mencelakai keselamatan Sui Leng—kong maka sahutnya lirih: “Hengtay tidak kenal dengan orang ini” “Apakah perlu turun tangan?” “Disaat harus turun tangan, tampaknya aku harus mohon bantuanmu” sahut Thiat Tiong-tong sambil tertawa sedih. Suto Siau sama sekali tidak menggubris walau melihat ke dua orang itu berkasak kusuk dengan suara lirih, dia yakin kemenangan pasti berada dipihaknya maka dia hanya mengawasi dengan senyuman dikulum, dalam hati ia Cuma merasa heran kenapa kedua orang ini bisa ada bersama. Phang Kong sekalian pun mengenali orang itu sebagai murid pertama Kiu—cu Kui-bo, tanpa terasa paras muka mereka sedikit berubah. Mendadak terdengar pendekar pedang berkopiah kuning membentak keras: “Saudara Suto, sebelum bangsat itu memberikan jawabannya, bagaimanapun siaute harus bertarung duluan dengannya, sebab jika dia sudah menyerah, pertarungan kami akan gagal!” “Tapi saudara jangan . . . . . . . . ..." “Tak usah kuatir, aku tak bakal mencelakai nyawanya” tukas Chee Toa—ho sambil tertawa dingin, “Thiat Tiong-tong, ayoh maju!” Dalam keadaan seperti ini mana mungkin Thiat Tiong-tong punya selera untuk bertarung, dia menghela napas panjang. “Cayhe . . . . . ..” Kembali Chee Toa—ho tertawa dingin, potongnya: “Jika kau tak berani bertarung, akan kupotong dulu kedua belah telingamu” Sambil menggetarkan pergelangan tangannya, diantara berkuntum bunga pedang, dia lancarkan sebuah babatan ke depan. Dengan cepat Thiat Tiong-tong berkelit ke samping. “Kenapa kau tidak membalas?” tegur Ai Thian-hok dingin. Belum sempat Thiat Tiong-tong menjawab, dari sisi kiri kembali berkelebat sekilas Cahaya pedang. Terdengar Sun Siau-kiau berseru sambil tertawa merdu: “Anak muda, kupinjamkan pedangku!” Ternyata Cahaya pedang itu berasal dari pedang yang dilontarkan ke arahnya, terpaksa Thiat Tiong-tong menyambutnya. Baru saja pedang berada dalam genggaman, secara beruntun Chee Toa—ho sudah melancarkan tujuh jurus serangan kilat, gerak serangan orang ini benar benar cepat dan kilat, dalam waktu singkat dia sudah melancarkan tujuh jurus serangan. Dengan cekatan Thiat Tiong-tong berkelit ke sana kemari menghindarkan diri dari ke tujuh buah serangan itu, perasaan hatinya waktu itu sangat kalut, ia sama sekali tak berminat untuk melakukan pertarungan. Serunya setelah menghela napas panjang: “Biarlah aku mengaku kalah saja, kau . . . . . ..” “Kalau menyerah kalah, ayoh berlutut dan menyembah dulu kepadaku!” hardik Chee Toa—ho. Biarpun sedang bicara, serangannya sama sekali tak berhenti, dalam waktu singkat kembali dia lancarkan tujuh buah serangan. Waktu itu rasa gelisah telah mengobarkan amarah Thiat Tiong-tong, kini dia tak kuasa menahan diri lagi, pikirnya: “Bagaimanapun aku harus bertarung habis habisan dulu melawannya!” Cahaya pedang dikembangkan, ia sambut datangnya ancaman lawan. “Triiing, triiiing, triiiing.....” serangkaian suara benturan nyaring bergema memecahkan keheningan, dalam waktu singkat dia balas melancarkan tujuh serangan dan membendung seluruh ancaman dari Chee Toa—ho dengan keras lawan keras. “Jurus pedang yang amat cepat!” pikir semua orang dengan perasaan kaget. Tiba tiba Chee Toa—ho melompat mundur berapa langkah, dia tarik sarung pedangnya dari pinggang dan membantingnya keras keras ke tanah. Buru buru sun Siau-kiau memungutnya sambil berteriak: “Eei...jangan dibanting, entar rusak!” Baru berapa patah kata terucapkan, kembali terdengar benturan nyaring bergema secara beruntun, ternyata kedua orang itu sudah saling menyerang sebanyak berapa gebrakan. Sebagaimana diketahui, kedua orang ini sama sama mengandalkan kecepatan dalam jurus serangannya, karena cepat maka suara benturan yang terjadi tidak terlalu keras, tapi deruan angin pedangnya bagaikan menyayat angkasa. Dalam waktu singkat belasan gebrakan kembali lewat. Thiat Tiong-tong mulai berpikir: “Kelihatannya jurus pedang yang dimiliki orang ini tidak terlampau
Roro Centil - Dendam & Cinta Gila Seorang Pendekar Animorphs 18 Petualangan di planet Leera Pengemis Binal - 27. Bidadari Pulau Penyu Pendekar Hina Kelana - 36. Misteri Patung Kematian Pendekar Mata Keranjang - 26. Lembaran Kulit Naga Pertala
Suto Siau nampak berdiri dengan perasaan amat bangga, katanya sambil tertawa terbahak: “Hahahaha.... siaute tak punya kado istimewa yang harus diberikan, oleh sebab itu sengaja kubuatkan sebuah anak tangga tiga susun untuk dipertontonkan kepadamu” “Wah, tidak kusangka saudara Suto adalah seorang tukang kayu handal" sindir Thiat Tiong-tong sambil tertawa. Suto Siau tidak menanggapi, dia memberi tanda sambil berseru: “Terapkan anak tangganya!” “Siap!” sahut Sim Sin-pek cepat. Ia berjalan menuju ke belakang kereta, disitu terdapat sebuah roda pemutar, ketika dia mulai memutar roda itu, atap kereta tiba tiba terbentang lebar. Lalu sebuah anak tangga sepanjang empat meter pun perlahan-lahan menjulur ke tengah udara, diujung tangga terikat sebuah benda sepanjang satu setengah meter yang terbungkus selembar kain minyak, tidak diketahui benda apakah yang terbungkus rapi itu. “Aku mohon kepada saudara yang ada disitu untuk segera membuka penutup kain itu!” seru Suto Siau kemudian. “Pertunjukan segera akan dimulai, biar siaute saja yang membuka kain penutupnya!” seru Phang Kong sambil tertawa. “Wah,... bagus, bagus sekali, jika saudara Phang yang turun tangan, pasti hebat sekali!” Suto Siau bertepuk tangan. Sudah lama Thiat Tiong-tong mendengar tentang kehebatan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Boan—tee-hui-hoa (bunga terbang memenuhi tanah). Dia tahu orang itu adalah seorang perampok ulung yang mampu menyatroni seribu rumah dalam satu malam. Disamping ingin mengetahui sampai dimana kehebatan ilmu meringankan tubuhnya, yang lebih penting lagi adalah dia pingin tahu benda apa yang terbungkus rapi itu. Dalam pada itu Phang Kong sudah membenarkan letak pakaiannya dan menjura: “Maaf, aku akan pamer kejelekan!”: Tidak nampak gerakan apa yang dilakukan, tahu tahu tubuhnya sudah berada dipuncak kereta. Dalam perkiraan orang banyak, dia pasti akan menggunakan gerakan tubuh sebangsa burung bangau terbang ke angkasa untuk menaiki puncak tangga itu, siapa tahu dia malah meluruskan sepasang tangannya ke bawah, lalu selangkah demi selangkah naik ke atas. Sebagaimana diketahui, anak tangga itu lurus tegak ke atas, bukan saja tak ada terap untuk menaikinya bahkan tidak gampang untuk melompatinya. Tapi sekarang bukan saja dia tak perlu berpegangan, malah dengan badan tegap menaiki tangga itu satu demi satu, jelas satu pekerjaan yang tingkat kesulitannya amat tinggi. Jika ilmu bhesi nya tidak kuat, niscaya badannya akan roboh terjungkal. Tak kuasa lagi semua orang bersorak sorai memuji, begitu juga dengan Thiat Tiong-tong, mau tak mau dia harus mengakui kehebatan lawan. Disamping itu, diapun merasa tercekat hatinya sebab ia sadar setiap musuh yang dihadapinya hari ini merupakan jago jago yang amat tangguh. Sementara dia masih berpikir, Phang Kong sudah memegang ujung kain itu dan berseru sambil tertawa: “Lihatlah sekarang!” Mendadak ia bersalto di udara, berikut kain pembungkus itu dia melayang turun ke bawah. Tangga itu mempunyai ketinggian empat meteran, ditambah lagi selisih dari kereta ke tanah maka seluruhnya mencapai enam meteran. Saat ini tubuhnya seakan jatuh tergelincir dari ketinggian. Baru saja semua orang menjerit kaget, tahu tahu Phang Kong sudah berdiri tenang diatas tanah dengan senyuman dikulum, sama sekali tidak menimbulkan sedikit suara pun. Tampaknya dia memang berniat mendemonstrasikan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya. Tanpa sadar sorot mata Thiat Tiong-tong bergerak ke bawah mengikuti tubuhnya, kemudian ia baru mendongak kembali, namun begitu melihat benda yang berada diujung tangga, setenang apa pun pemuda itu tak urung dia menjerit juga. Ternyata diujung tangga itu terikat tubuh seseorang, orang itu berbaju putih namun sekarang sudah kotor oleh lumpur, rambutnya kusut dan awut awutan, kepalanya tertunduk lunglai, tidak jelas apakah masih hidup ataukah sudah mati? Biarpun berada ditengah hujan gerimis dan lapisan kabut, namun Thiat Tiong-tong dapat melihat dengan sangat jelas, ternyata orang itu tak lain adalah Sui Leng—kong! Kepalanya serasa disambar geledek, matanya berkunang dan hawa panas menggelora dalam dadanya. Meskipun sikap dan penampilannya terhadap Sui Leng—kong selama ini dingin dan asing, namun sesungguhnya dia menaruh perasaan cinta yang membara, meski beberapa kali dia seakan membiarkan Sui Leng—kong pergi meninggalkan dirinya, padahal setiap saat setiap detik dia selalu memimpikan dan merindukan, kalau bukan karena ingin menyelamatkan Sui Leng—kong dari kesulitan, tak mungkin dia rela terjun ke dalam sungai untuk mencari mati. Dan kini, akhirnya dia berhasil menemukan Sui Leng—kong. Namun kejadian tragis yang menimpa gadis itu membuat hawa amarahnya langsung memuncak, sambil membentak nyaris ia siap menerjang naik ke atas. “Jika kau berani bertindak sembarangan, dia segera akan kehilangan nyawa!” ancam Suto Siau tiba tiba. Sekalipun dia tidak berusaha turun tangan, namun berapa patah perkataannya justru memiliki daya pengaruh yang luar biasa. Thiat Tiong-tong merasakan tubuhnya bergetar keras, dia mundur sejauh tiga langkah, tangan dan kakinya jadi dingin kaku, seluruh badannya jadi lemas seolah kehilangan tenaga. “Dia . . . . .. dia belum mati?” bisiknya. Suto Siau tersenyum, sahutnya: “Meskipun dia belum mati, tapi dengan satu gerakan tangan aku bisa membuatnya hidup tak bisa mati pun sengsara, kalau tak percaya, silahkan saja dicoba!” Thiat Tiong-tong mencoba memeriksa sekeliling tempat itu, terlihat olehnya tangan kanan Hek Seng—thian, Pek Seng—bu, Suto Siau serta Sim Sin-pek telah disembunyikan ke balik saku bajunya, jelas mereka sedang menggenggam senjata rahasia. Beberapa orang itu adalah jago jago senjata rahasia, bila ia bergerak sembarangan maka asalkan orang orang itu turun tangan bersama, maka walaupun dia punya tiga kepala enam lengan pun, jangan harap sanggup menghalangi beberapa orang itu. Terlebih tubuh Sui Leng—kong terikat kencang, semakin sulit baginya untuk menghindarkan diri. Dalam sekilas pandang ia sudah tahu kalau perkataan Suto Siau bukan gertak sambal belaka, tanyanya: “Kenapa dia . . . . .. dia bisa terjatuh ke tanganmu?” Meskin air mata tak sampai bercucuran, namun kelopak matanya telah basah oleh genangan air mata. Terdengar Suto Siau tertawa terbahak-bahak. “Hahahaha..... soal itu mah . . . . . .. dikemudian hari kau toh bakal tahu sendiri!” Thiat Tiong-tong tertegun berapa saat, tiba tiba ia berteriak keras: “Baiklah, Thiat Tiong-tong mengaku kalah!” “Hehehehe.... jika mengaku kalah berarti kau mesti menurut, selanjutnya apa pun yang akan kami perintahkan, kau tak boleh membangkang” Thiat Tiong-tong merasakan hatinya sakit bagaikan diiris iris, ia sadar, bila permintaan itu dikabulkan berarti dia telah menghianati perguruan dan tak akan lolos dari hukuman, sebaliknya bila ditolak, bagaimana caranya untuk menolong Sui Leng—kong? Tiba tiba terdengar desingan angin berkumandang dari belakang tubuhnya, ternyata Ai Thian-hok yang mendengar jeritan kagetnya telah menyusul tiba, tegurnya dengan suara dalam: “Siapa yang telah terjatuh ke tangan mereka?” Dia hanya mendengar tanya jawab yang sedang berlangsung, namun tak dapat melihat Sui Leng—kong yang terikat diujung tangga. Thiat Tiong-tong tahu kalau rekannya ini bersifat keras dan berangasan, lantaran kuatir dia turun tangan secara sembarangan hingga mencelakai keselamatan Sui Leng—kong maka sahutnya lirih: “Hengtay tidak kenal dengan orang ini” “Apakah perlu turun tangan?” “Disaat harus turun tangan, tampaknya aku harus mohon bantuanmu” sahut Thiat Tiong-tong sambil tertawa sedih. Suto Siau sama sekali tidak menggubris walau melihat ke dua orang itu berkasak kusuk dengan suara lirih, dia yakin kemenangan pasti berada dipihaknya maka dia hanya mengawasi dengan senyuman dikulum, dalam hati ia Cuma merasa heran kenapa kedua orang ini bisa ada bersama. Phang Kong sekalian pun mengenali orang itu sebagai murid pertama Kiu—cu Kui-bo, tanpa terasa paras muka mereka sedikit berubah. Mendadak terdengar pendekar pedang berkopiah kuning membentak keras: “Saudara Suto, sebelum bangsat itu memberikan jawabannya, bagaimanapun siaute harus bertarung duluan dengannya, sebab jika dia sudah menyerah, pertarungan kami akan gagal!” “Tapi saudara jangan . . . . . . . . ..." “Tak usah kuatir, aku tak bakal mencelakai nyawanya” tukas Chee Toa—ho sambil tertawa dingin, “Thiat Tiong-tong, ayoh maju!” Dalam keadaan seperti ini mana mungkin Thiat Tiong-tong punya selera untuk bertarung, dia menghela napas panjang. “Cayhe . . . . . ..” Kembali Chee Toa—ho tertawa dingin, potongnya: “Jika kau tak berani bertarung, akan kupotong dulu kedua belah telingamu” Sambil menggetarkan pergelangan tangannya, diantara berkuntum bunga pedang, dia lancarkan sebuah babatan ke depan. Dengan cepat Thiat Tiong-tong berkelit ke samping. “Kenapa kau tidak membalas?” tegur Ai Thian-hok dingin. Belum sempat Thiat Tiong-tong menjawab, dari sisi kiri kembali berkelebat sekilas Cahaya pedang. Terdengar Sun Siau-kiau berseru sambil tertawa merdu: “Anak muda, kupinjamkan pedangku!” Ternyata Cahaya pedang itu berasal dari pedang yang dilontarkan ke arahnya, terpaksa Thiat Tiong-tong menyambutnya. Baru saja pedang berada dalam genggaman, secara beruntun Chee Toa—ho sudah melancarkan tujuh jurus serangan kilat, gerak serangan orang ini benar benar cepat dan kilat, dalam waktu singkat dia sudah melancarkan tujuh jurus serangan. Dengan cekatan Thiat Tiong-tong berkelit ke sana kemari menghindarkan diri dari ke tujuh buah serangan itu, perasaan hatinya waktu itu sangat kalut, ia sama sekali tak berminat untuk melakukan pertarungan. Serunya setelah menghela napas panjang: “Biarlah aku mengaku kalah saja, kau . . . . . ..” “Kalau menyerah kalah, ayoh berlutut dan menyembah dulu kepadaku!” hardik Chee Toa—ho. Biarpun sedang bicara, serangannya sama sekali tak berhenti, dalam waktu singkat kembali dia lancarkan tujuh buah serangan. Waktu itu rasa gelisah telah mengobarkan amarah Thiat Tiong-tong, kini dia tak kuasa menahan diri lagi, pikirnya: “Bagaimanapun aku harus bertarung habis habisan dulu melawannya!” Cahaya pedang dikembangkan, ia sambut datangnya ancaman lawan. “Triiing, triiiing, triiiing.....” serangkaian suara benturan nyaring bergema memecahkan keheningan, dalam waktu singkat dia balas melancarkan tujuh serangan dan membendung seluruh ancaman dari Chee Toa—ho dengan keras lawan keras. “Jurus pedang yang amat cepat!” pikir semua orang dengan perasaan kaget. Tiba tiba Chee Toa—ho melompat mundur berapa langkah, dia tarik sarung pedangnya dari pinggang dan membantingnya keras keras ke tanah. Buru buru sun Siau-kiau memungutnya sambil berteriak: “Eei...jangan dibanting, entar rusak!” Baru berapa patah kata terucapkan, kembali terdengar benturan nyaring bergema secara beruntun, ternyata kedua orang itu sudah saling menyerang sebanyak berapa gebrakan. Sebagaimana diketahui, kedua orang ini sama sama mengandalkan kecepatan dalam jurus serangannya, karena cepat maka suara benturan yang terjadi tidak terlalu keras, tapi deruan angin pedangnya bagaikan menyayat angkasa. Dalam waktu singkat belasan gebrakan kembali lewat. Thiat Tiong-tong mulai berpikir: “Kelihatannya jurus pedang yang dimiliki orang ini tidak terlampau