Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ksatria Panji Sakti - 127

$
0
0
Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf

Pendekar Rajawali Sakti - 104. Perawan Lembah Maut Lord of the Rings 1 - Sembilan Pembawa Cincin Lord of the Rings 2 - Dua Menara Lord of the Rings 3 - Kembalinya Sang Raja 3 Kehidupan 3 Dunia 10 Mil Bunga Persik - Tangqi Gongzi

Un Tay-tay hanya merasakan desingan angin berhembus lewat dari sisi telinganya, tahu tahu tubuhnya sudah meluncur masuk ke dalam ruangan melalui jendela. Ia sangka bantingannya kali ini paling tidak akan membuatnya kesakitan setengah mati, siapa tahu penggunaan tenaga yang dilakukan kakek berjubah ungu itu ternyata sangat tepat. Baru saja Un Tay-tay terkesiap, tahu tahu tubuhnya sudah berdiri tegap didalam ruangan, sementara gelak tertawa kakek berjubah ungu itu kedengaran semakin jauh, sesaat kemudian suasana sudah pulih kembali dalam keheningan. Suasana didalam kamar hongtiang amat hening dan sepi, Bu-si thaysu duduk bersila bagaikan sebuah patung dewa. Un Tay-tay tak berani menatap wajahnya, dia hanya berlutut sambil memohon. “siapa kau? Siapa pula dia?” tanya Bu-si thaysu. “siauli Un Tay-tay, dia adalah Im Ceng, murid Perguruan Tay—ki—bun” Begitu mendengar kata Tay—ki—bun, sepasang alis mata Bu-si thaysu nampak sedikit bergetar, katanya lagi dengan suara dalam: “Apakah sebelumnya kalian berdua tak pernah kenal dengan manusia berbaju ungu itu?” Mendengar pertanyaan itu dengan keheranan Un Tay-tay berpikir: “Thaysu ini sama sekali tak pernah meninggalkan pintu kamar, darimana dia tahu kalau orang tua itu mengenakan baju ungu, darimana pula bisa tahu kalau aku tak kenal dengannya?” Meski terperanjat bercampur keheranan, ia tak berani berbohong, apa yang dialaminya selama ini pun diceritakan secara ringkas. Selesai mendengar penuturan itu, Bu-si Thaysu mendon gakkan kepalanya dan menghela napas panjang, katanya: “Buddha maha pengasih, Buddha maha penyayang..... ternyata dia yang menghantar murid Tay—ki—bun untuk berobat disini. . . . . .. takdir, takdir!” Makin didengar Un Tay-tay semakin keheranan, namun ia tak berani banyak bertanya. “Baik!” ujar Bu-si Thaysu kemudian, “pinceng akan mengobati lukanya, kau boleh pergi!” Mimpi pun Un Tay-tay tak menyangka kalau pendeta sakti dari Siau-lim-pay ini dengan begitu mudah menyanggupi permintaannya, ia merasa terkejut bercampur kegirangan, namun ketika mendengar dia diharuskan pergi, dengan agak gugup Serunya: “Tapi siauli . . . . ...” “Ajaran Buddha mengutamakan hukum sebab akibat” tukas Bu-si Thaysu cepat, “kau telah menyanggupi permintaannya berarti kau telah menanamkan sebab, karena ada sebab tentu ada akibat, akibat yang harus kau selesaikan sendiri, jangan mengurusi orang lain” “siauli telah menyanggupi permintaannya, tentu masalah ini akan kuselesaikan sendiri” kata Un Tay-tay dengan air mata bercucuran, “siauli hanya memohon kepada thaysu, ijinkan lah siauli berdiam selama berapa hari disini, menunggunya hingga ia sembuh dari lukanya” Bu-si Thaysu pejamkan mata sambil termenung berapa saat, gumamnya kemudian: “Orang yang kelewat romantis pasti akan tersiksa karena cinta...... aaai..... dihalaman luar sana terdapat sebuah kamar kayu bakar, tinggallah disana, setiap hari kau hanya boleh masuk halaman ini selama setengah jam” “Terima kasih Thaysu” Un Tay-tay berseru sambil menyembah. “Pinceng hanya bisa melanggar peraturan sampai disini, Sekarang pergilah!” Ketika selesai mengisahkan pengalamannya, kembali Un Tay-tay tertawa getir, dia tak ingin orang lain ikut bersedih hati atas kemalangan yang menimpa dirinya. Terdengar Un Tay-tay berkata lebih jauh: “Sebenarnya kuil Siau-lim-sie tidak menampung kaum wanita, tapi kali ini Bu-si Thaysu telah melanggar kebiasaan, dia ijinkan aku tinggal disitu bahkan setiap hari aku diijinkan menengok Im Ceng satu kali” Thiat Tiong—tong menghela napas panjang, ujarnya: “Sikap baik Bu-si Thaysu terhadapmu sama artinya kalau kau telah berhutang budi kepadanya” Darimana dia tahu penderitaan yang harus dialami Un Tay-tay selama berdiam dalam gudang kayu bakar, darimana dia tahu kalau perempuan itu hanya berdiam dalam sebuah gudang kayu bakar? “Ternyata Bu-si Thaysu bukan saja memiliki ilmu silat yang hebat, diapun memiliki ilmu pertabiban yang luar biasa, tiga hari kemudian luka yang diderita Im Ceng sama sekali telah sembuh, bahkan dia dapat bergerak” Setelah tertawa pedih, lanjut perempuan itu: “Melihat lukanya begitu cepat telah sembuh, tentu saja aku merasa amat girang, apalagi ketika mendengar Bu-si Thaysu akan mengajarinya ilmu silat, senangku tak terlukiskan, tapi . . . . . .. tapi . . . . . . ..” “Tapi kenapa?” tanya Thiat Tiong-tong ketika melihat perubahan aneh di wajahnya. “Sejak awal hingga akhir, ternyata Im Ceng tak pernah mengajakku bicara, walau hanya sekecappun” Thiat Tiong—tong tertegun. “Kenapa..... kenapa bisa begitu . . . . . ..” bisiknya. Membayangkan kembali bagaimana pengorbanan yang dilakukan Un Tay-tay demi selamatkan nyawa Im Ceng, melihat nasib tragis yang menimpanya Sekarang tak urung pemuda itupun ikut merasa sedih. “Dia bahkan tidak menengok sekejappun ke arahku” ujar Un Tay-tay sambil tertawa pedih, “tapi aku tahu kalau dulu sudah kelewat melukai hatinya, maka aku tidak menyalahkan dia” “Apakah Sekarang kau sudah benar benar jatuh hati kepadanya?” Un Tay-tay hanya tutup mulutnya tanpa menjawab, sementara air matanya berurai makin deras. “Apakah karena dia tidak menggubrismu maka kau enggan menceritakan semua kedukaan dan penderitaan yang kau alami kepadaku? Apakah lantaran itu kau menguraikan kejadian ini secara ringkas?” “Tak kusangka ternyata dia memahami perasaan hatiku, hanya dia yang memahami perasaan hatiku!” batin Un Tay-tay dengan air mata berurai. Sekarang ia merasa sedih, diapun merasa berterima kasih, entah kenapa, perasaan hatinya terhadap Thiat Tiong—tong saat ini tinggal perasaan sayang seorang adik terhadap kakaknya, sama sekali tak ada perasaan cinta muda mudi. Perlu diketahui, bila seorang wanita yang sudah kenyang pengalamannya dalam hal bercinta jatuh hati atau tergerak hatinya terhadap seseorang, maka perasaan cintanya itu akan lebih teguh daripada emas. Dulu, walaupun ia pernah tertarik oleh penampilan Thiat Tiong-tong, namun rasa tertariknya itu hanya merupakan rangsangan yang bersifat sementara, berbeda dengan Im Ceng, pemuda itu benar benar telah meluluhkan perasaan hatinya, perubahan yang terjadi saat itu mungkin hanya dia seorang yang memahaminya. Tiba tiba ia tertawa, sambil mengalihkan pokok pembicaran katanya: “Siapa bilang aku menderita dan tersiksa? Kehidupanku selama ini selalu enak dan bahagia, aku . . . . ..aku hanya tak bisa melupakan sorot mata Im Ceng sewaktu terluka dulu, pandangan matanya terhadapku, sekalipun Setelah sembuh ia tak menggubrisku, tapi perasaan hatinya tak bisa berbohong, Thiat toako.....kau tentu bisa memahami perasaan hatiku ini bukan? Biarpun sejak kini aku tak bisa bertemu lagi dengannya, aku tak akan perduli” Begitu mendengar ia merubah panggilan terhadap dirinya menjadi toako, Thiat Tiong—tong tahu kalau perasaan hatinya sekarang sudah kembali ke jalan benar. Tak tahan diapun bertanya: “Siapa bilang kau tak bisa bertemu lagi dengannya?” “sebab aku sudah akan pergi jauh sekali!” kata Un Tay-tay sedih. Ternyata setiap malam ia tidur dalam gudang kayu bakar, sementara siang hari selalu berada dalam halaman dalam selama setengah jam, terkadang ia malah tak bersua dengan Im Ceng, sekalipun bertemu, Im Ceng tak pernah mau ambil perduli terhadapnya. Dalam keadaan begini terpaksa Un Tay-tay harus menahan linangan air matanya, begitu setengah jam berlalu, dia harus segera balik ke gudang kayu, untuk mengisi waktu yang senggang dan menghibur hati yang murung, diapun tiap hari memotong kayu. Ia tinggal di kuil iau-lim hampir dua puluhan hari, dalam waktu yang relatip singkat dia telah memotong hampir setiap potong kayu bakar menjadi ranting yang kecil, membuat ke lima jari tangannya yang lentik berubah jadi kasar penuh dengan lapisan kulit tebal. Kalau dia makin hari semakin sayu dan lusuh sebaliknya Im Ceng makin hari semakin bercahaya terang, wajahnya makin merah, dari caranya berlatih silat dapat diketahui kalau ilmu silatnya telah memperoleh kemajuan yang pesat. Kendatipun Im Ceng nyaris tak menggubrisnya, namun Un Tay-tay tak pernah mau menyia nyiakan waktu selama setengah jam yang dimilikinya, setiap hari dia selalu muncul di sana, mengawasi wajah Im Ceng yang makin segar, memandang sikapnya yang makin dingin. Terlepas ia sedih atau gembira, Un Tay-tay selalu berusaha tampil dengan senyuman menghiasi wajahnya, walaupun dimasa lalu dia sudah terlalu sering berpura pura mencintai lelaki, menipu kaum pria, tapi kini cinta yang tumbuh dalam hatinya adalah cinta sejati, hanya sayangnya cinta yang sejati justru tak ingin dia perlihatkan secara terang terangan. Hari itu, dengan susah payah ia menanti hingga tiba saatnya kunjungan, dengan membawa secerca pengharapan dia memasuki halaman dalam, dia berharap hari ini Im Ceng mulai mau memperdulikan dirinya. Siapa tahu ketika tiba di dalam halaman, tiba tiba ia jumpai Im Ceng telah pergi meninggalkan tempat itu. Ia merasa terkejut, tercekat, ngeri bercampur masgul, tanpa berpikir panjang diapun menyerbu masuk ke dalam kamar Hongtiang. Tampaknya Bu-si Thaysu sudah menduga maksud kedatangannya, dengan suara dalam ujarnya: “Ooh, kau sudah datang, bagus, bagus, duduklah dahulu, dengarkan berapa patah kataku” Menyaksikan sikap dari Bu-si Thaysu ini, Un Tay-tay tak berani bertindak sembrono, terpaksa ia duduk sambil menahan lelehan air mata. Dengan suara berat kembali Bu-si Thaysu berkata: “Tentunya kau sudah tahu bukan kalau dia telah pergi, lolap yang menghantarnya pergi, demi suatu persoalan yang maha besar dan berat, mau tak mau dia harus pergi” “Meng.....mengapa dia tak mengucapkan sepatah kata pun kepadaku?” tanya Un Tay-tay dengan berurai air mata. Bu-si Thaysu menghela napas panjang. “Ketika hendak pergi, lolap pun pernah bertanya apakah dia ingin bertemu denganmu, diapun sudah mempertimbangkan masalah ini cukup lama, tapi akhirnya memutuskan untuk tidak bersua” “Ke.....kenapa dia begitu tega?” “Tiada rasa cinta berarti cinta, aaaai . . . . . . . .. daripada cinta lebih baik tiada cinta, justru karena setiap benda di dunia ini memiliki rasa cinta maka kehidupan manusia terjerumus dalam pelbagai kemurungan dan siksaan” “Thaysu, boleh tahu dia telah pergi ke mana?” tanya Un Tay-tay lagi sambil menangis. “Pulau Siang—cun—to!” Bu-si Thaysu menghela napas, “sekalipun sudah lolap katakan pun belum tentu kau akan mengetahuinya” “Siang—cun-to terletak di mana?” “Lolap sendiripun tidak tahu, dia harus mencari sendiri letak tempat itu, dengan tabiatnya, tak nanti dia akan berbalik ditengah jalan sebelum menemukan tempat itu . . . . . . . ..” Tiba tiba sekulum senyuman menghiasi wajahnya, dia berlanjut: “Dimana pun adalah tempat tujuan, dimana pun bukan tempat tujuan, aaai.... lagi lagi lolap berfilsafat.....” “Thaysu, karena urusan apa dia harus pergi ke Siang-cun-to?” “Ada sebab tentu menimbulkan akibat, ada akibat tentu karena ada sebab, akibat yang muncul hari ni dikarenakan sebab dimasa lalu, tentu saja dia punya alasan untuk ke sana, tentu ada persoalan hingga mesti ke sana . . . . . . ..” Perlahan lahan pendeta itu memejamkan matanya dan tidak berbicara lagi. Un Tay-tay tahu banyak bertanya pun tak ada gunanya, maka Setelah memberi hormat, dengan sedih dia meninggalkan kamar Hongtiang dan berjalan keluar dari pintu kecil halaman belakang. Baru saja dia melangkah keluar dari pintu, pintu kecil itu sudah tertutup rapat, kalau selama berapa hari ini pintu tersebut hanya setengah tertutup maka kini pintu itu tertutup rapat sekali. Un Tay-tay sadar, Setelah hari ini dia berjalan keluar dari kuil Siau-lim maka jangan harap dia bisa masuk lagi ke tempat itu, dengan membawa rasa sedih yang luar biasa iapun menelusuri jalan

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>