Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Pendekar Naga Putih - 82. Tujuh Satria Perkasa Tom Swift - Kekuatan Gaib Pendekar Pedang Siluman Darah - 28. Runtuhnya Samurai Iblis Dewa Linglung - 24. Jeratan Ilmu Iblis Agatha Christie - Mayat Dalam Perpustakaan
Kembali perempuan itu berkata: “Bukankah ayah berulang kali sudah berpesan, sebelum mengetahui asal usul lawan, jangan sekali kali kita turun tangan, jangan sampai tindakan kita malah ‘menggebuk rumput mengejutkan ular’, gara gara masalah kecil malah merusak rencana besar” “Kau tahu siapakah perempuan ini?” terdengar lelaki itu bertanya dengan suara parau. “Mana aku tahu, kenal pun tidak” Sewaktu mengucapkan perkataan itu, logat suaranya yang semula kecut lagi hambar kini berubah jauh lebih lembut, selembut suara seorang gadis muda. Sambil mendengus kata lelaki itu: “Perempuan ini datang untuk mencari Suto Siau” Biarpun hanya berapa patah kata yang sederhana namun mengandung rasa benci dan dendam yang luar biasa, seakan akan dia sudah membenci Suto Siau hingga merasuk ke tulang sumsum. Terdengar gadis itu berseru tertahan kemudian tidak berbicara lagi. Selanjutnya suasana pun kembali hening, kedua orang itu tidak bercakap cakap lagi. Keheningan yang luar biasa sekali lagi menyelimuti udara, kecuali hembusan angin yang menimbulkan gelombang pada rerumputan, tak kedengaran suara lain lagi, keheningan yang menakutkan segera membuat hati Un Tay-tay makin tercekat. “Siapa gerangan lelaki perempuan ini? Apakah mereka adalah musuh besar Suto Siau? Ataukah sahabat Suto Siau?” demikian dia berpikir, “atau mungkin dia membenciku karena aku datang mencari Suto Siau? Atau takut aku datang mencari balas terhadap Suto Siau maka dia membekuk diriku lebih dulu?” Hingga kini Un Tay-tay belum berhasil menebak siapa gerangan muda mudi itu? Diapun tak bisa menebak hendak dibawa kemana dirinya? Dan apa pula yang hendak mereka lakukan? Tapi ia bisa merasakan betapa cepatnya gerakan tubuh kedua orang itu, kalau dilihat dari cara mereka bergerak dengan leluasa dapat diduga kalau mereka sudah cukup lama tinggal disitu sehingga bukan masalah bagi kedua orang itu untuk menentukan arah meski berada ditengah rimba rerumputan. Setelah berjalan berapa saat tiba tiba terdengar gadis itu berseru lirih: “Berhenti!” Un Tay-tay merasakan tubuhnya tenggelam ke bawah, ternyata pemuda itu sudah berjongkok bahkan sambil menahan napas. Tak lama kemudian dari balik rerumputan disebelah kanan terdengar suara langkah manusia diikuti suara gesekan ujung baju dengan rumput. Un Tay-tay yang berada dalam punggung pemuda itu dapat merasakan debaran jantungnya yang berdetak kencang. “Aneh” pikirnya keheranan, “kenapa pemuda ini nampak begitu tegang? Jelas dia kuatir si pendatang mengetahui ke hadirannya, atau mungkin yang datang adalah musuh tangguhnya? Betul betul satu kejadian yang diluar dugaan, ternyata ditengah padang rumput yang begitu rahasia, terdapat dua aliran kekuatan yang saling bertentangan bagaikan air dan api, tapi selain dari kelompok Lui—pian lojin, siapa pula kelompok yang lain? Berarti sepasang muda mudi ini berasal dari kelompok yang bertentangan dengan Lui—pian lojin” Begitu dicekam rasa ingin tahu, untuk sesaat dia malah melupakan keselamatan sendiri, sekarang dia hanya berharap orang yang berada didalam semak itu segera tampilkan diri agar dia tahu manusia macam apa yang telah datang. Siapa tahu suara langkah itu tiba tiba berhenti dan tak kedengaran lagi ketika mereka berada berapa jengkal dari sumbernya, menyusul kemudian terdengar seorang wanita dengan nada suara yang tinggi melengking dan aneh berkata: “Kalau kita berbicara disini, sudah pasti tak akan ada orang lain yang ikut mendengarkan” Nada suara orang ini seperti suara orang muda, tapi seperti juga suara orang yang sudah tua. Begitu mendengar suara tersebut, kontan jantung Un Tay-tay berdebar keras, pikirnya: “Ternyata Seng Toa-nio pun sudah tiba disini!” suara yang mirip orang muda tapi mirip juga suara orang tua ini memang suara khas dari Seng Toa-nio, siapapun itu orangnya, asal pernah mendengar suaranya satu kali saja maka selamanya tak bakal melupakannya kembali. Walaupun Un Tay-tay tahu kalau Seng Toa-nio pasti berada dibalik rerumputan itu, tak urung hatinya tercekat juga setelah mendengar suaranya. Terdengar suara yang lain menyahut sambil menghela napas: “Tak nyana Lui—pian lojin dapat menemukan tempat yang begini rahasia, sungguh menggelikan, sudah begini tersembunyi tempat ini, dia masih berkata kalau ditempat ini pasti ada orang sedang mengintainya” Sekali lagi Un Tay-tay merasa terperanjat Setelah mendengar suara itu, pikirnya: “Ternyata Hek Seng-thian pun sudah muncul disini” Dengan rasa ingin tahu yang makin membara kembali dia berpikir: “Sungguh aneh, kenapa Seng Toa-nio harus mengajak Hek Seng-thian untuk berbicara secara rahasia disini? Rahasia apa yang hendak mereka bicarakan? Aku harus mendengarkan dengan seksama” Ditengah hembusan angin yang menggoyangkan rerumputan, suara pembicaraan ke dua orang itu kedengaran semakin lirih. Terdengar Seng Toa-nio berkata Sambil tertawa dingin: “Menurut pendapatku. Belakangan kesadaran si tua bangka itu makin lama semakin kabur, kalau kita harus mengikuti nya terus menerus pergi tanpa tujuan, bagaimana mungkin pekerjaan besar dapat dilaksanakan?” Hek Seng-thian turut menghela napas panjang. “Aaaai.... sayang posisi kita sekarang ibarat menunggang di punggung harimau, pingin kabur pun rasanya mustahil” “Bagaimana kalau seandainya dia mampus?” Kelihatannya Hek Seng-thian sangat terkejut oleh perkataan itu, sampai lama sekali dia baru berkata lagi: “siaute rada tak paham dengan ucapan Toa-nio” “Kau mengerti, kau pasti mengerti, malah sejak tadi aku sudah tahu kalau diantara berapa orang yang tersisa, hanya kau seorang yang paling pantas disebut lelaki sejati, itulah sebabnya aku hanya mengajakmu seorang” Hek Seng-thian terbungkam dalam seribu basa. Kembali Seng Toa-nio berkata: “Walaupun tua bangka itu banyak curiga, namun sama sekali tak menaruh rasa was was terhadap kita semua, asalkan kita campuri arak didalam bule-bulenya dengan obat racun, hehehehe . . . . . ..” Hek Seng-thian menarik napas dingin, bisiknya tergagap: “Tapi . . . . . .. tapi.... sekarang kita masih butuh kekuatannya sebagai sandaran, khususnya untuk membalas dendam, jika dia sampai mati . . . . . .. bukankah keadaan ini malah merugikan kita semua?” Kontan Seng Toa-nio tertawa dingin. “Masa tidak kau lihat ke dua jilid kitab yang berada dalam buntalannya? Disitulah dia telah wariskan semua ilmu silat yang dimilikinya, asal dia mampus maka kitab itu akan menjadi milik kita berdua” Tergerak juga hati Hek Seng-thian sehabis mendengar perkataan itu, bisiknya tergagap: “Tapi. . . . . . ..” “Sekarang si ratu matahari sudah mengasingkan diri, yaa-tee pun hilang jejaknya” tukas Seng Toa-nio cepat, “asal kita berhasil mempelajari ilmu silat dari si pecut geledek, dapat dipastikan kita pun bisa malang melintang dalam dunia persilatan tanpa tandingan, apa lagi yang kau ragukan?” Hek Seng-thian menghembuskan napas panjang, katanya: “Cuma..... putranya itu meski kelihatan agak bloon, padahal dia sangat cerdas, aku kuatir kemampuannya malah jauh diatas kemampuan si tua bangka, aku kuatir sulit untuk menghadapinya” “Asal yang tua sudah mampus, masa kita masih takut dengan yang muda? Tak usah menyebut orang lain, dengan andalkan sepasang tangan bajamu ditambah sekantung jarum bidadari langit ku, ditambah lagi sebilah pedang dari Hau—ji, rasanya sudah lebih dari cukup untuk mencabut nyawanya!” Kembali Hek Seng-thian membungkam tanpa menjawab. Lewat berapa saat kemudian Seng Toa-nio kembali bertanya: “Bagaimana?” “Asal Toa-nio mulai bertindak, siaute pasti akan membantu” Seng Toa-nio tertawa ringan, tiba tiba tanyanya lagi: “Menurut kau, bagaimana dengan Suto Siau?” Hek Seng-thian nampak tertegun, sahutnya kemudian: “Soal ini . . . . .. siaute . . . . . ..” “Hmm! orang ini sok pintar, dalam hal apapun dia pingin lebih menonjol dari Siapa pun” kata Seng Toa-nio sengit, “bukan saja dia tak pernah pandang sebelah mata terhadapku, diapun tak pernah memandang sebelah mata terhadap kalian semua, lihat saja, sampai muridmu pun direbut olehnya, masa kau tak acuh terhadap kesemuanya ini?” Untuk kesekian kalinya Hek Seng-thian menghembuskan napas panjang. “Sebetulnya sejak lama siaute sudah menaruh perasaan tak suka dengan orang ini, tapi mengingat kita semua berasal dari satu persekutuan yang sama, maka aku tak ingin turun tangan terhadapnya” “Asal kita sudah pelajari ilmu silat milik Lui—pian, buat apa manusia macam begitu?” Hek Seng-thian termenung sejenak, katanya kemudian: “Biarpun ilmu silat yang dimiliki orang ini tidak tangguh, tapi kelicikannya justru jauh melebihi seekor rase, rasanya tidak gampang untuk menyingkirkan manusia macam begini” “Kalau soal itu mah tak perlu kuatir, aku sudah mempunyai rencana yang matang” “Apa siasat Toa-nio? Bolehkan siaute mengetahuinya?” “Siasat ini tergantung pada cheetoanio serta Sun Siau—kiau” “Sun Siau-kiau?” kelihatannya Hek Seng-thian tak habis mengerti. “Masa kau masih belum tahu manusia macam apakah Sun Siau—kiau itu?” “Perempuan ini memang seorang manusia yang amat berbahaya” Hek Seng-thian tertawa, “kelihatannya kecuali suaminya, asal dikolong langit terdapat lelaki yang dianggap tampan, dia pasti akan berusaha untuk mencicipinya” “Itulah dia, bukan saja dia telah berbuat tak senonoh dengan Sim Sin-pek, bahkan berusaha pula menggaet putranya Lui—pian, padahal orang yang benar benar sudah terpikat oleh rayuan mautnya adalah Suto Siau, si rase tua itu” “Ooh . . . . .. benarkah itu?” seru Hek Seng-thian tercengang. “Bukan baru satu dua hari mereka melakukan penzinahan, selama ini aku hanya mengawasi terus secara diam diam, untuk Sementara tak bakal kusinggung rahasia ini, tapi bila kesempatan telah tiba.....” “Apa yang hendak kau lakukan bila kesempatan telah tiba?” “Begitu kesempatan telah tiba, akan kuajak Chee Toa-ho untuk menyaksikan permainan busuk mereka, hmmm...hmmm.... kalau sudah begitu, mana mungkin dia akan melepaskan Suto Siau dengan begitu saja?” “Tapi.... tapi..... belum tentu Chee Toa-ho sanggup menghadapi Suto Siau” Kontan Seng Toa-nio tertawa terkekeh. “Mungkin saja Chee Toa-ho bukan tandingannya, tapi tujuh pendekar pelangi sehidup semati, jika Liong Kian—sik menyaksikan kejadian itu, memangnya dia hanya akan berpeluk tangan belaka” “Betul” seru Hek Seng-thian sambil tertawa pula, “sehebat apapun kepandaian silat yang dimiliki Suto Siau, bila sudah dikerubuti dua jago pedang, niscaya dia akan mampus ditangan mereka. Sementara kita cukup berpeluk tangan sambil menonton . . . . ..” “Tepat sekali, ternyata kau sudah mengerti” Hek Seng-thian menghela napas panjang. “Aaai.... baru hari ini siaute sadar, ternyata kecerdasan Toa-nio memang luar biasa, betapa pun licik dan busuknya pikiran Suto Siau, kali ini dia bakal kenyang dijejali air bekas cuci kaki Toa-nio" “Itulah yang disebut orang, jahe semakin tua semakin pedas, jangan lupa dengan pepatah ini” “siaute berharap Toa-nio bisa sukses besar dengan rencana besar ini, agar siaute pun ikut kecipratan rejekinya!” “Begitu berhasil, semua keuntungan dapat kita nikmati bersama. Aaai Cun—hau si bocah itu kelewat keras kepala, maka dalam hal ini akupun telah mengelabuhi dirinya, aku berharap kau jangan bocorkan dulu rahasia ini kepadanya” Hek Seng-thian tertawa lebar, katanya: “siaute belum gila, tak nanti kubocorkan rahasia besar ini” “Bagus sekali, kalau begitu kita putuskan kesepakatan ini” Bicara punya bicara, dengan membawa senyum kepuasan berlalulah kedua orang itu dari situ. Un Tay-tay sendiripun ikut menghembuskan napas dingin sehabis mendengar pembicaraan utu, tanpa sadar telapak tangannya telah basah oleh peluh dingin, selain terkejut diapun kegirangan, pikirnya: “Tampaknya Thian memang sengaja mengatur segalanya agar aku ikut mendengar rencana keji itu, asalkan aku belum mati, asal aku masih dapat berjumpa dengan mereka, dengan berdasarkan apa yang telah kudengar, pasti akan kubuat mereka semua babak belur” Dalam pada itu suara langkah Seng Toa-nio dan Hek Seng-thian sudah semakin jauh dari sana sebelum akhirnya lenyap dari pendengaran. Pada saat itulah si anak muda itu baru menghembuskan napas lega Sambil berkata: “Ternyata perkataan paman sam—siok memang benar, asal kita bisa bersabar dan menahan diri, suatu saat kawanan tikus dan ular berbisa itu pasti akan saling cakar cakaran dan gontok gontokan sendiri” “Sejak kapan perkataan sam—siok pernah keliru” sahut si nona dengan suara sedih, “hanya saja..... hanya saja dia orang tua berkata, jiko dan samko itu orang baik, orang baik selalu dilindungi Thian, cepat atau lambat mereka pasti akan kembali, aku ragu..... benarkah perkataannya itu.....? aaaai! Kekuatan yang kita miliki sangat minim, bila jiko dan samko tidak kembali, aku kuatir..... aku kuatir.....” Apa yang dia ‘kuatirkan’? kelihatannya gadis itu tak berani melanjutkan kembali kata katanya. Pemuda itupun menghela napas panjang, dia hanya membungkam dalam seribu bahasa. Un Tay-tay yang mendengarkan pembicaraan itu tergerak hatinya, cepat dia berpikir: “Jiko? Samko? Siapa yang dimaksud?” Sementara itu sang pemuda kembali menggotongnya pergi, dalam keadaan begini dia tak sempat lagi untuk berpikir lebih seksama, hanya secara lamat lamat dia mulai merasakan sesuatu yang tak beres dengan persoalan ini.
Pendekar Naga Putih - 82. Tujuh Satria Perkasa Tom Swift - Kekuatan Gaib Pendekar Pedang Siluman Darah - 28. Runtuhnya Samurai Iblis Dewa Linglung - 24. Jeratan Ilmu Iblis Agatha Christie - Mayat Dalam Perpustakaan
Kembali perempuan itu berkata: “Bukankah ayah berulang kali sudah berpesan, sebelum mengetahui asal usul lawan, jangan sekali kali kita turun tangan, jangan sampai tindakan kita malah ‘menggebuk rumput mengejutkan ular’, gara gara masalah kecil malah merusak rencana besar” “Kau tahu siapakah perempuan ini?” terdengar lelaki itu bertanya dengan suara parau. “Mana aku tahu, kenal pun tidak” Sewaktu mengucapkan perkataan itu, logat suaranya yang semula kecut lagi hambar kini berubah jauh lebih lembut, selembut suara seorang gadis muda. Sambil mendengus kata lelaki itu: “Perempuan ini datang untuk mencari Suto Siau” Biarpun hanya berapa patah kata yang sederhana namun mengandung rasa benci dan dendam yang luar biasa, seakan akan dia sudah membenci Suto Siau hingga merasuk ke tulang sumsum. Terdengar gadis itu berseru tertahan kemudian tidak berbicara lagi. Selanjutnya suasana pun kembali hening, kedua orang itu tidak bercakap cakap lagi. Keheningan yang luar biasa sekali lagi menyelimuti udara, kecuali hembusan angin yang menimbulkan gelombang pada rerumputan, tak kedengaran suara lain lagi, keheningan yang menakutkan segera membuat hati Un Tay-tay makin tercekat. “Siapa gerangan lelaki perempuan ini? Apakah mereka adalah musuh besar Suto Siau? Ataukah sahabat Suto Siau?” demikian dia berpikir, “atau mungkin dia membenciku karena aku datang mencari Suto Siau? Atau takut aku datang mencari balas terhadap Suto Siau maka dia membekuk diriku lebih dulu?” Hingga kini Un Tay-tay belum berhasil menebak siapa gerangan muda mudi itu? Diapun tak bisa menebak hendak dibawa kemana dirinya? Dan apa pula yang hendak mereka lakukan? Tapi ia bisa merasakan betapa cepatnya gerakan tubuh kedua orang itu, kalau dilihat dari cara mereka bergerak dengan leluasa dapat diduga kalau mereka sudah cukup lama tinggal disitu sehingga bukan masalah bagi kedua orang itu untuk menentukan arah meski berada ditengah rimba rerumputan. Setelah berjalan berapa saat tiba tiba terdengar gadis itu berseru lirih: “Berhenti!” Un Tay-tay merasakan tubuhnya tenggelam ke bawah, ternyata pemuda itu sudah berjongkok bahkan sambil menahan napas. Tak lama kemudian dari balik rerumputan disebelah kanan terdengar suara langkah manusia diikuti suara gesekan ujung baju dengan rumput. Un Tay-tay yang berada dalam punggung pemuda itu dapat merasakan debaran jantungnya yang berdetak kencang. “Aneh” pikirnya keheranan, “kenapa pemuda ini nampak begitu tegang? Jelas dia kuatir si pendatang mengetahui ke hadirannya, atau mungkin yang datang adalah musuh tangguhnya? Betul betul satu kejadian yang diluar dugaan, ternyata ditengah padang rumput yang begitu rahasia, terdapat dua aliran kekuatan yang saling bertentangan bagaikan air dan api, tapi selain dari kelompok Lui—pian lojin, siapa pula kelompok yang lain? Berarti sepasang muda mudi ini berasal dari kelompok yang bertentangan dengan Lui—pian lojin” Begitu dicekam rasa ingin tahu, untuk sesaat dia malah melupakan keselamatan sendiri, sekarang dia hanya berharap orang yang berada didalam semak itu segera tampilkan diri agar dia tahu manusia macam apa yang telah datang. Siapa tahu suara langkah itu tiba tiba berhenti dan tak kedengaran lagi ketika mereka berada berapa jengkal dari sumbernya, menyusul kemudian terdengar seorang wanita dengan nada suara yang tinggi melengking dan aneh berkata: “Kalau kita berbicara disini, sudah pasti tak akan ada orang lain yang ikut mendengarkan” Nada suara orang ini seperti suara orang muda, tapi seperti juga suara orang yang sudah tua. Begitu mendengar suara tersebut, kontan jantung Un Tay-tay berdebar keras, pikirnya: “Ternyata Seng Toa-nio pun sudah tiba disini!” suara yang mirip orang muda tapi mirip juga suara orang tua ini memang suara khas dari Seng Toa-nio, siapapun itu orangnya, asal pernah mendengar suaranya satu kali saja maka selamanya tak bakal melupakannya kembali. Walaupun Un Tay-tay tahu kalau Seng Toa-nio pasti berada dibalik rerumputan itu, tak urung hatinya tercekat juga setelah mendengar suaranya. Terdengar suara yang lain menyahut sambil menghela napas: “Tak nyana Lui—pian lojin dapat menemukan tempat yang begini rahasia, sungguh menggelikan, sudah begini tersembunyi tempat ini, dia masih berkata kalau ditempat ini pasti ada orang sedang mengintainya” Sekali lagi Un Tay-tay merasa terperanjat Setelah mendengar suara itu, pikirnya: “Ternyata Hek Seng-thian pun sudah muncul disini” Dengan rasa ingin tahu yang makin membara kembali dia berpikir: “Sungguh aneh, kenapa Seng Toa-nio harus mengajak Hek Seng-thian untuk berbicara secara rahasia disini? Rahasia apa yang hendak mereka bicarakan? Aku harus mendengarkan dengan seksama” Ditengah hembusan angin yang menggoyangkan rerumputan, suara pembicaraan ke dua orang itu kedengaran semakin lirih. Terdengar Seng Toa-nio berkata Sambil tertawa dingin: “Menurut pendapatku. Belakangan kesadaran si tua bangka itu makin lama semakin kabur, kalau kita harus mengikuti nya terus menerus pergi tanpa tujuan, bagaimana mungkin pekerjaan besar dapat dilaksanakan?” Hek Seng-thian turut menghela napas panjang. “Aaaai.... sayang posisi kita sekarang ibarat menunggang di punggung harimau, pingin kabur pun rasanya mustahil” “Bagaimana kalau seandainya dia mampus?” Kelihatannya Hek Seng-thian sangat terkejut oleh perkataan itu, sampai lama sekali dia baru berkata lagi: “siaute rada tak paham dengan ucapan Toa-nio” “Kau mengerti, kau pasti mengerti, malah sejak tadi aku sudah tahu kalau diantara berapa orang yang tersisa, hanya kau seorang yang paling pantas disebut lelaki sejati, itulah sebabnya aku hanya mengajakmu seorang” Hek Seng-thian terbungkam dalam seribu basa. Kembali Seng Toa-nio berkata: “Walaupun tua bangka itu banyak curiga, namun sama sekali tak menaruh rasa was was terhadap kita semua, asalkan kita campuri arak didalam bule-bulenya dengan obat racun, hehehehe . . . . . ..” Hek Seng-thian menarik napas dingin, bisiknya tergagap: “Tapi . . . . . .. tapi.... sekarang kita masih butuh kekuatannya sebagai sandaran, khususnya untuk membalas dendam, jika dia sampai mati . . . . . .. bukankah keadaan ini malah merugikan kita semua?” Kontan Seng Toa-nio tertawa dingin. “Masa tidak kau lihat ke dua jilid kitab yang berada dalam buntalannya? Disitulah dia telah wariskan semua ilmu silat yang dimilikinya, asal dia mampus maka kitab itu akan menjadi milik kita berdua” Tergerak juga hati Hek Seng-thian sehabis mendengar perkataan itu, bisiknya tergagap: “Tapi. . . . . . ..” “Sekarang si ratu matahari sudah mengasingkan diri, yaa-tee pun hilang jejaknya” tukas Seng Toa-nio cepat, “asal kita berhasil mempelajari ilmu silat dari si pecut geledek, dapat dipastikan kita pun bisa malang melintang dalam dunia persilatan tanpa tandingan, apa lagi yang kau ragukan?” Hek Seng-thian menghembuskan napas panjang, katanya: “Cuma..... putranya itu meski kelihatan agak bloon, padahal dia sangat cerdas, aku kuatir kemampuannya malah jauh diatas kemampuan si tua bangka, aku kuatir sulit untuk menghadapinya” “Asal yang tua sudah mampus, masa kita masih takut dengan yang muda? Tak usah menyebut orang lain, dengan andalkan sepasang tangan bajamu ditambah sekantung jarum bidadari langit ku, ditambah lagi sebilah pedang dari Hau—ji, rasanya sudah lebih dari cukup untuk mencabut nyawanya!” Kembali Hek Seng-thian membungkam tanpa menjawab. Lewat berapa saat kemudian Seng Toa-nio kembali bertanya: “Bagaimana?” “Asal Toa-nio mulai bertindak, siaute pasti akan membantu” Seng Toa-nio tertawa ringan, tiba tiba tanyanya lagi: “Menurut kau, bagaimana dengan Suto Siau?” Hek Seng-thian nampak tertegun, sahutnya kemudian: “Soal ini . . . . .. siaute . . . . . ..” “Hmm! orang ini sok pintar, dalam hal apapun dia pingin lebih menonjol dari Siapa pun” kata Seng Toa-nio sengit, “bukan saja dia tak pernah pandang sebelah mata terhadapku, diapun tak pernah memandang sebelah mata terhadap kalian semua, lihat saja, sampai muridmu pun direbut olehnya, masa kau tak acuh terhadap kesemuanya ini?” Untuk kesekian kalinya Hek Seng-thian menghembuskan napas panjang. “Sebetulnya sejak lama siaute sudah menaruh perasaan tak suka dengan orang ini, tapi mengingat kita semua berasal dari satu persekutuan yang sama, maka aku tak ingin turun tangan terhadapnya” “Asal kita sudah pelajari ilmu silat milik Lui—pian, buat apa manusia macam begitu?” Hek Seng-thian termenung sejenak, katanya kemudian: “Biarpun ilmu silat yang dimiliki orang ini tidak tangguh, tapi kelicikannya justru jauh melebihi seekor rase, rasanya tidak gampang untuk menyingkirkan manusia macam begini” “Kalau soal itu mah tak perlu kuatir, aku sudah mempunyai rencana yang matang” “Apa siasat Toa-nio? Bolehkan siaute mengetahuinya?” “Siasat ini tergantung pada cheetoanio serta Sun Siau—kiau” “Sun Siau-kiau?” kelihatannya Hek Seng-thian tak habis mengerti. “Masa kau masih belum tahu manusia macam apakah Sun Siau—kiau itu?” “Perempuan ini memang seorang manusia yang amat berbahaya” Hek Seng-thian tertawa, “kelihatannya kecuali suaminya, asal dikolong langit terdapat lelaki yang dianggap tampan, dia pasti akan berusaha untuk mencicipinya” “Itulah dia, bukan saja dia telah berbuat tak senonoh dengan Sim Sin-pek, bahkan berusaha pula menggaet putranya Lui—pian, padahal orang yang benar benar sudah terpikat oleh rayuan mautnya adalah Suto Siau, si rase tua itu” “Ooh . . . . .. benarkah itu?” seru Hek Seng-thian tercengang. “Bukan baru satu dua hari mereka melakukan penzinahan, selama ini aku hanya mengawasi terus secara diam diam, untuk Sementara tak bakal kusinggung rahasia ini, tapi bila kesempatan telah tiba.....” “Apa yang hendak kau lakukan bila kesempatan telah tiba?” “Begitu kesempatan telah tiba, akan kuajak Chee Toa-ho untuk menyaksikan permainan busuk mereka, hmmm...hmmm.... kalau sudah begitu, mana mungkin dia akan melepaskan Suto Siau dengan begitu saja?” “Tapi.... tapi..... belum tentu Chee Toa-ho sanggup menghadapi Suto Siau” Kontan Seng Toa-nio tertawa terkekeh. “Mungkin saja Chee Toa-ho bukan tandingannya, tapi tujuh pendekar pelangi sehidup semati, jika Liong Kian—sik menyaksikan kejadian itu, memangnya dia hanya akan berpeluk tangan belaka” “Betul” seru Hek Seng-thian sambil tertawa pula, “sehebat apapun kepandaian silat yang dimiliki Suto Siau, bila sudah dikerubuti dua jago pedang, niscaya dia akan mampus ditangan mereka. Sementara kita cukup berpeluk tangan sambil menonton . . . . ..” “Tepat sekali, ternyata kau sudah mengerti” Hek Seng-thian menghela napas panjang. “Aaai.... baru hari ini siaute sadar, ternyata kecerdasan Toa-nio memang luar biasa, betapa pun licik dan busuknya pikiran Suto Siau, kali ini dia bakal kenyang dijejali air bekas cuci kaki Toa-nio" “Itulah yang disebut orang, jahe semakin tua semakin pedas, jangan lupa dengan pepatah ini” “siaute berharap Toa-nio bisa sukses besar dengan rencana besar ini, agar siaute pun ikut kecipratan rejekinya!” “Begitu berhasil, semua keuntungan dapat kita nikmati bersama. Aaai Cun—hau si bocah itu kelewat keras kepala, maka dalam hal ini akupun telah mengelabuhi dirinya, aku berharap kau jangan bocorkan dulu rahasia ini kepadanya” Hek Seng-thian tertawa lebar, katanya: “siaute belum gila, tak nanti kubocorkan rahasia besar ini” “Bagus sekali, kalau begitu kita putuskan kesepakatan ini” Bicara punya bicara, dengan membawa senyum kepuasan berlalulah kedua orang itu dari situ. Un Tay-tay sendiripun ikut menghembuskan napas dingin sehabis mendengar pembicaraan utu, tanpa sadar telapak tangannya telah basah oleh peluh dingin, selain terkejut diapun kegirangan, pikirnya: “Tampaknya Thian memang sengaja mengatur segalanya agar aku ikut mendengar rencana keji itu, asalkan aku belum mati, asal aku masih dapat berjumpa dengan mereka, dengan berdasarkan apa yang telah kudengar, pasti akan kubuat mereka semua babak belur” Dalam pada itu suara langkah Seng Toa-nio dan Hek Seng-thian sudah semakin jauh dari sana sebelum akhirnya lenyap dari pendengaran. Pada saat itulah si anak muda itu baru menghembuskan napas lega Sambil berkata: “Ternyata perkataan paman sam—siok memang benar, asal kita bisa bersabar dan menahan diri, suatu saat kawanan tikus dan ular berbisa itu pasti akan saling cakar cakaran dan gontok gontokan sendiri” “Sejak kapan perkataan sam—siok pernah keliru” sahut si nona dengan suara sedih, “hanya saja..... hanya saja dia orang tua berkata, jiko dan samko itu orang baik, orang baik selalu dilindungi Thian, cepat atau lambat mereka pasti akan kembali, aku ragu..... benarkah perkataannya itu.....? aaaai! Kekuatan yang kita miliki sangat minim, bila jiko dan samko tidak kembali, aku kuatir..... aku kuatir.....” Apa yang dia ‘kuatirkan’? kelihatannya gadis itu tak berani melanjutkan kembali kata katanya. Pemuda itupun menghela napas panjang, dia hanya membungkam dalam seribu bahasa. Un Tay-tay yang mendengarkan pembicaraan itu tergerak hatinya, cepat dia berpikir: “Jiko? Samko? Siapa yang dimaksud?” Sementara itu sang pemuda kembali menggotongnya pergi, dalam keadaan begini dia tak sempat lagi untuk berpikir lebih seksama, hanya secara lamat lamat dia mulai merasakan sesuatu yang tak beres dengan persoalan ini.