Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Goosebumps 42 Monster telur dari Mars Pendekar Mabuk - 91. Tantangan Anak Haram Pendekar Perisai Naga - 6. Pemanah Sakti Bertangan Seribu Animorphs 20 : Anggota baru animorphs Rahasia Bukit Iblis - Kauw Tan Seng
“Jiko? Samko? Siapa yang dimaksud?” Sementara itu sang pemuda kembali menggotongnya pergi, dalam keadaan begini dia tak sempat lagi untuk berpikir lebih seksama, hanya secara lamat lamat dia mulai merasakan sesuatu yang tak beres dengan persoalan ini. Persoalan apa yang tidak beres? Dia sendiri tak bisa menjawab. Kembali mereka menempuh perjalanan selama seperta nak nasi lamanya, tiba tiba Un Tay—tay mengendus bau lembab yang sangat menusuk hidung menembusi kain karung dan menyusup ke lubang hidungnya, kalau diendus dari baunya, kelihatan kalau mereka sedang berjalan menelusuri sebuah lorong bawah tanah. Ia dapat merasakan kalau permukaan tanah yang sedang dilalui makin lama semakin rendah, bau lembab yang menusuk hidungpun terasa semakin menyengat. Mendadak terdengar suara seseorang yang tua tapi penuh bertenaga sedang menegur: “Siapa itu?” “Ananda yang telah balik” sahut pemuda itu cepat. “Ke mana saja kalian telah pergi? Ayoh Cepat masuk!” Tiba tiba terdengar lagi orang tua itu berseru tertahan, kemudian hardiknya: “Tampaknya lagi lagi kau sembarangan turun tangan? Siapa yang kau bopong?” Sewaktu tidak marah pun suara orang tua itu sudah kedengaran keras penuh wibawa, apalagi ketika naik darah, suaranya benar benar menggidikkan hati. Biarpun Un Tay—tay belum sempat bertemu dengan orang itu, tapi dia bisa membayangkan betapa angker dan seramnya wajah orang tua itu. Terdengar pemuda itu menyahut: “Dia punya hubungan erat dengan Suto Siau. . . . . . .. “Kalau memang musuh, tidak seharusnya kau turun tangan sembarangan!” tukas kakek itu gusar. “Perempuan ini datang untuk mencari Suto Siau dan rombongan II tapi tidak berhasil menemukan mereka, maka ananda pikir ada baiknya untuk membekuk dia, paling tidak tak sampai mengganggu orang lain” “Pikirmu?” ujar kakek itu semakin gusar, “kau anggap dalam menghadapi persoalan ini kau boleh berpikir sembarang an? Apakah tidak kau bayangkan bagaimana kondisi dan keadaan yang sedang kita hadapi sekarang? Apakah tak kau bayangkan aku harus menggigit bibir dan berjuang mati matian untuk bersabar hingga hari ini? Tahukah kau kenapa aku berbuat begini? Apakah tidak kau bayangkan kenapa paman Sim kalian bisa terjatuh ke tangan musuh? Sekarang..... sekarang kau berani berbuat semaunya, kau..... kau anak tak tahu diri, apakah kau benar benar ingin mengubur semua jerih parah dan darah keringat yang telah kukorbankan selama ini ditanganmu seorang?” Makin berbicara dia semakin gusar, Un Tay-tay dapat merasakan tubuh anak muda itu mulai gemetar keras, gemetar karena takut. Terdengar suara seseorang segera berkata: “Harap toako jangan marah dulu, mari kita bicarakan setelah memeriksa siapa gerangan perempuan yang dia tangkap” Biarpun suara ini rendah, berat dan berwibawa namun nadanya jauh lebih lembut dan halus. Kakek itu segera mendengus dingin. “Kenapa masih belum diturunkan!” hardiknya. Dengan nada gemetar pemuda itu mengiakan, kemudian ia turunkan tubuh Un Tay—tay ke atas tanah. Kembali kakek itu berseru: “Kalian berdua menjaga didepan pintu, samte, kau bebaskan totokan jalan darahnya” Belum selesai ia berbicara, sudah ada sebuah tangan menepuk ditubuh Un Tay—tay. Begitu tertotok bebas jalan darahnya, Un Tay—tay menghela napas perlahan sambil menggeliat. Terdengar kakek itu kembali membentak gusar: “sudah tiba disini kau masih berani berbuat latah, memangnya sudah bosan hidup?” “Benar, aku memang sudah bosan hidup” jawab Un Tay—tay pedih. Kelihatannya kakek itu dibuat tertegun, sesaat kemudian kembali bentaknya: “Siapa kau?” Un Tay-tay tidak langsung menjawab, perlahan dia melepaskan karung goni yang menutupi kepalanya. Ternyata tempat dimana ia berada sekarang adalah sebuah gua yang tidak terlalu kecil, sebatang opor yang menancap diatas dinding menerangi seluruh ruangan. Diantara kilatan cahaya yang redup, terlihat seorang kakek berwajah wibawa yang mengenakan jubah dengan warna yang sudah luntur dan berwajah penuh cambang bagaikan malaikat geledek, berdiri tegak persis dihadapannya. Disamping kakek itu berdiri pula seorang kakek lain, dia berperawakan tinggi dengan wajah yang lembut dan gagah, bisa dibayangkan semasa mudanya dulu dia pasti seorang pemuda tampan. Sementara muda mudi yang menangkapnya tadi berdiri disisi ruangan, yang lelaki bertubuh pendek kecil tapi kekar dan nampak gagah, sedangkan yang wanita meski berwajah cantik namun penampilannya tampak keras dan penuh semangat. Pakaian yang dikenakan ke empat orang itu nampak amat buruk, penampilan wajah mereka pun nampak agak sayu, tapi sinar matanya tetap tajam penuh semangat, mendatangkan perasaan bergidik bagi yang melihatnya. Un Tay—tay memandang kakek itu sekejap, setelah menghela napas ujarnya: “Ternyata apa yang kuduga tidak salah” “Apa yang kau duga?” hardik kakek itu. “Ternyata tampang dan penampilanmu persis seperti apa yang kuduga” Kakek itu kembali tertegun, paras mukanya kontan berubah hebat. Begitu pula dengan ke tiga orang lainnya, air muka mereka ikut berubah. Kakek itu kembali maju selangkah, dengan sorot mata setajam sembilu ditatapnya Un Tay—tay lekat lekat, bentaknya: “Kau bisa membayangkan tampangku? Jadi kau sudah tahu siapakah lohu?” “Benar, aku sudah mengetahui siapakah kau orang tua” “Siapa? Cepat katakan!” “Aku rasa kau orang tua adalah ciangbunjin dari Thiat- II hiat—Tay-ki-Bun . . . . . . . . .. Belum selesai ia berkata, kakek itu sudah menerkam ke depan, dengan tangan sebelah menarik tubuh Un Tay-tay, tangan yang lain diayunkan siap menampar wajah perempuan itu. Un Tay-tay sama sekali tidak meronta, diapun tidak berusaha melawan, ditunggunya kakek itu menampar wajahnya dan ditatapnya kakek itu dengan pandangan tenang, lembut, sama sekali tak terlintas sedikit rasa takut pun. Ketika sampai ditengah jalan mendadak kakek itu menarik kembali telapak tangannya, dengan suara keras kembali bentaknya: “Cepat katakan! Siapa kau? Darimana bisa mengetahui asal usulku? Hmmm kalau berani bicara bohong, akan kusuruh kau nikmati siksaan yang paling keji dari thiat-hiat-Tay—ki-bun!” Dibalik nada suaranya yang nyaring bagai guntur, terselip hawa napsu membunuh yang menggidikkan hati! Tapi Un Tay-tay sama sekali tidak jeri, malah sedikitpun tak ada rasa takut atau seram, sekulum senyuman manis tersungging diujung bibirnya. “sudah banyak kudengar tentang kehebatan siksaan yang berlaku dalam Perguruan Tay—ki—bun, bahkan keseramannya sudah tersohor di seantero jagad, sayangnya, kalau matipun aku tak takut, apa lagi yang mesti kutakuti? Bila kau mengancam dengan siksaan, biar sampai matipun aku tak bakal bicara” Kakek itu tak lain adalah ciangbunjin Thiat-hiat-Tay-ki-bun yang tersohor karena ketegasan serta watak keras kepalanya, Im Gi. Selama ini keangkeran serta kewibawaannya selalu membuat ciut hati siapa pun, belum pernah ada seorang manusiapun yang tidak dibuat pecah nyali oleh perkataannya, tapi sekarang, dia benar benar tak menyangka kalau perempuan dihadapannya begitu bernyali, berani membangkang perintahnya. Biarpun perasaan hatinya sekarang penuh diliputi rasa gusar bercampur tercengang, tak urung muncul juga suatu perasaan aneh dihati kecilnya, dengan sorot mata berapi ditatapnya Un Tay-tay tanpa berkedip, kemudian ancamnya: “Jadi kau benar benar tak mau bicara?” Un Tay-tay mengerdipkan matanya sambil balik menatap kakek itu, lalu sambil tersenyum dia menggeleng. “Baik!” bentak Im Gi gusar. Untuk kedua kalinya dia mengangkat telapak tangannya, tapi tindakannya itu segera dicegah kakek berwajah tampan. Dengan gusar teriak Im Gi: “Bukan saja perempuan ini datang sebagai mata—mata untuk mencari berita, dia bahkan begitu berani terhadapku... kau..... kenapa kau menarikku? Memangnya kau masih ingin mempertahankan hidupnya?” Kakek berwajah tampan yang tak lain adalah Im Kiu-siau itu segera menyahut: “Kalaupun ingin turun tangan, rasanya belum terlambat bila kita tanyai dulu maksud kedatangannya” orang ini selalu tampil tenang, halus, sama sekali tanpa emosi, sangat bertolak belakang bila dibandingkan dengan watak Im Gi yang keras dan gampang naik darah. Kelihatannya Im Gi sangat penurut dengan perkataannya, benar saja, dia wsegera menarik kembali tangannya sambil mundur tiga langkah ke belakang. Perlahan-lahan Im Kiu-siau berpaling ke arah Un Tay-tay, kemudian katanya dengan lembut: “Bila kami gunakan cara kekerasan dan alat siksa, kau enggan berbicara, sebaliknya kalau kami perlakukan dirimu dengan baik, tentunya kau bersedia untuk bicara bukan?” “Benar” sambil tersenyum Un Tay-tay manggut manggut. “Kalau memang begitu, kau boleh berbicara sekarang” Un Tay-tay menghela napas panjang, katanya: “Biar aku tak pernah bersua dengan kalian namun sudah sering mendengar dari orang lain tentang tindak tanduk serta Cara kalian bersikap, itulah sebabnya begitu bersua muka hari ini, aku segera dapat menebak siapakah kalian sebenarnya” Kemudian setelah tertawa, lanjutnya: “Aku yakin kau pastilah Im Kiu-siau, tokoh paling cerdas dan paling berakal didalam Perguruan Tay—ki—bun, sementara dua orang yang ada di belakang pastilah Im Ting—ting serta Thiat Cing-su” Tampaknya Im Kiu-siau sendiripun tidak menyangka kalau gadis dihadapannya begitu menguasahi tentang orang orang Perguruan Tay-ki-bun, paras mukanya sedikit berubah, ujarnya dengan suara berat: “Siapa yang mengatakan kesemuanya itu kepadamu?” “Im Ceng . . . . . .. Thiat Tiong-tong.....” Paras muka Im Kiu-siau berubah makin hebat, sementara Im ting-ting serta thiat Cing-su menjerit tertahan. Paras muka Im Gi kelihatan berubah sangat hebat, dengan mata melotot dan menggertak gigi menahan gejolak emosi, umpatnya: “Dasar binatang! Binatang! Tak kusangka kedua orang binatang ini berani membocorkan rahasia perguruan kepada orang lain, losam, sudah kubilang lebih baik kita cabut nyawa mereka, tapi kau selalu menampik, coba lihat sekarang . . . . .. aaai! Akhirnya mereka lakukan juga perbuatan terkutuk ini, kau.... kau..... apa lagi yang hendak kau katakan?” Im Kiu-siau menghela napas panjang, ia tundukkan kepala dan tidak berbicara lagi. “Mereka mau berbicara denganku, karena aku pun bukan orang luar” ujar Un Tay-tay lembut. “Apa....apa kau bilang?” bentak Im Gi gusar. “Karena aku adalah istrinya Im Ceng!” Begitu perkataan itu diucapkan, semua orang tertegun dan berdiri bodoh, untuk berapa saat mereka tak mampu bergerak, bahkan mengucapkan sepatah katapun tak sanggup. sekali lagi Im Gi membentak gusar, serunya sambil menghentakkan kakinya berulang kali: “Berontak! Pada berontak! Dendam berdarah perguruanpun belum terbalas, binatang ini malah berani mencari bini diluaran, bedebah!” Dengan satu lompatan dia merangsek ke hadapan Un Tay-tay, kembali sebuah pukulan siap dilontarkan. Im Ting-ting menjerit kaget, Cepat dia melompat ke muka dan menghadang dihadapan Un Tay-tay. “Minggir kamu!” bentak Im Gi semakin sewot. “Kalau dia memang bininya samko, kau..... kau orang tua seharusnya . . . . ..” “Lohu tidak mengakui perkawinan ini! Binatang, mau minggir tidak?” Tapi Im Ting-ting tetap menghadang dihadapannya, sementara air mata telah bercucuran membasahi pipinya. sambil memeluk kaki ayahnya, gadis itu merengek dengan air mata berderai: “Bila kau orang tua tak mau mengakui perkawinan ini, suruh saja mereka bercerai, kenapa mesti menghabisi nyawanya?” “siapa bilang aku bersedia cerai dengannya?” tiba tiba Un Tay—tay berkata. Biarpun perkataan itu diucapkan dengan lembut namun terkandung keteguhan hatinya yang sudah bulat. Im Gi semakin gusar, belum sempat mengucapkan sesuatu, Im Ting—ting sudah berkata lebih dulu: “Kau . . . . .. buat apa kau paksakan diri . . . . . ..” Un Tay-tay tertawa pedih, katanya: “Tak seorang manusia pun di dunia ini yang bisa merebutnya lagi dari sisiku..... selamanya dia akan menjadi milikku seorang, tahukah kalian? Selamanya..... selamanya . . . . . ..” Belum lagi orang lain bisa memahami maksud perkataannya, dengan wajah berubah hebat Im Kiu-sia telah menjerit kaget: “Jangan jangan dia..... dia sudah . . . . ..” Perlahan-lahan Un Tay-tay memejamkan sepasang matanya, untaian air mata kembali berderai membasahi pipinya. “selamanya kalian tak bakal bisa bertemu lagi dengannya” gumamnya seperti orang sedang mengigau dalam mimpi. Kontan saja Im Ting-ting menjerit lengking, Thiat Cing-su roboh terduduk ke lantai, paras muka Im Kiu-siau pucat pias bagaikan mayat, sementara Im Gi seperti kepalanya dipukul dengan martil besar, seketika tertancap ditanah tanpa berkutik. Lewat lama kemudian tubuhnya yang tinggi kekar bagaikan bukit karang itu mulai gemetar keras, tiba tiba ia menjerit lengking, sambil merobek pakaian dibagian dadanya dia membentak nyaring: “Siapa yang telah mencelakainya?” Un Tay-tay menggeleng, dia hanya pejamkan mata tanpa menjawab. Dengan sekali sambaran Im Gi mencengkeram rambut perempuan
Goosebumps 42 Monster telur dari Mars Pendekar Mabuk - 91. Tantangan Anak Haram Pendekar Perisai Naga - 6. Pemanah Sakti Bertangan Seribu Animorphs 20 : Anggota baru animorphs Rahasia Bukit Iblis - Kauw Tan Seng
“Jiko? Samko? Siapa yang dimaksud?” Sementara itu sang pemuda kembali menggotongnya pergi, dalam keadaan begini dia tak sempat lagi untuk berpikir lebih seksama, hanya secara lamat lamat dia mulai merasakan sesuatu yang tak beres dengan persoalan ini. Persoalan apa yang tidak beres? Dia sendiri tak bisa menjawab. Kembali mereka menempuh perjalanan selama seperta nak nasi lamanya, tiba tiba Un Tay—tay mengendus bau lembab yang sangat menusuk hidung menembusi kain karung dan menyusup ke lubang hidungnya, kalau diendus dari baunya, kelihatan kalau mereka sedang berjalan menelusuri sebuah lorong bawah tanah. Ia dapat merasakan kalau permukaan tanah yang sedang dilalui makin lama semakin rendah, bau lembab yang menusuk hidungpun terasa semakin menyengat. Mendadak terdengar suara seseorang yang tua tapi penuh bertenaga sedang menegur: “Siapa itu?” “Ananda yang telah balik” sahut pemuda itu cepat. “Ke mana saja kalian telah pergi? Ayoh Cepat masuk!” Tiba tiba terdengar lagi orang tua itu berseru tertahan, kemudian hardiknya: “Tampaknya lagi lagi kau sembarangan turun tangan? Siapa yang kau bopong?” Sewaktu tidak marah pun suara orang tua itu sudah kedengaran keras penuh wibawa, apalagi ketika naik darah, suaranya benar benar menggidikkan hati. Biarpun Un Tay—tay belum sempat bertemu dengan orang itu, tapi dia bisa membayangkan betapa angker dan seramnya wajah orang tua itu. Terdengar pemuda itu menyahut: “Dia punya hubungan erat dengan Suto Siau. . . . . . .. “Kalau memang musuh, tidak seharusnya kau turun tangan sembarangan!” tukas kakek itu gusar. “Perempuan ini datang untuk mencari Suto Siau dan rombongan II tapi tidak berhasil menemukan mereka, maka ananda pikir ada baiknya untuk membekuk dia, paling tidak tak sampai mengganggu orang lain” “Pikirmu?” ujar kakek itu semakin gusar, “kau anggap dalam menghadapi persoalan ini kau boleh berpikir sembarang an? Apakah tidak kau bayangkan bagaimana kondisi dan keadaan yang sedang kita hadapi sekarang? Apakah tak kau bayangkan aku harus menggigit bibir dan berjuang mati matian untuk bersabar hingga hari ini? Tahukah kau kenapa aku berbuat begini? Apakah tidak kau bayangkan kenapa paman Sim kalian bisa terjatuh ke tangan musuh? Sekarang..... sekarang kau berani berbuat semaunya, kau..... kau anak tak tahu diri, apakah kau benar benar ingin mengubur semua jerih parah dan darah keringat yang telah kukorbankan selama ini ditanganmu seorang?” Makin berbicara dia semakin gusar, Un Tay-tay dapat merasakan tubuh anak muda itu mulai gemetar keras, gemetar karena takut. Terdengar suara seseorang segera berkata: “Harap toako jangan marah dulu, mari kita bicarakan setelah memeriksa siapa gerangan perempuan yang dia tangkap” Biarpun suara ini rendah, berat dan berwibawa namun nadanya jauh lebih lembut dan halus. Kakek itu segera mendengus dingin. “Kenapa masih belum diturunkan!” hardiknya. Dengan nada gemetar pemuda itu mengiakan, kemudian ia turunkan tubuh Un Tay—tay ke atas tanah. Kembali kakek itu berseru: “Kalian berdua menjaga didepan pintu, samte, kau bebaskan totokan jalan darahnya” Belum selesai ia berbicara, sudah ada sebuah tangan menepuk ditubuh Un Tay—tay. Begitu tertotok bebas jalan darahnya, Un Tay—tay menghela napas perlahan sambil menggeliat. Terdengar kakek itu kembali membentak gusar: “sudah tiba disini kau masih berani berbuat latah, memangnya sudah bosan hidup?” “Benar, aku memang sudah bosan hidup” jawab Un Tay—tay pedih. Kelihatannya kakek itu dibuat tertegun, sesaat kemudian kembali bentaknya: “Siapa kau?” Un Tay-tay tidak langsung menjawab, perlahan dia melepaskan karung goni yang menutupi kepalanya. Ternyata tempat dimana ia berada sekarang adalah sebuah gua yang tidak terlalu kecil, sebatang opor yang menancap diatas dinding menerangi seluruh ruangan. Diantara kilatan cahaya yang redup, terlihat seorang kakek berwajah wibawa yang mengenakan jubah dengan warna yang sudah luntur dan berwajah penuh cambang bagaikan malaikat geledek, berdiri tegak persis dihadapannya. Disamping kakek itu berdiri pula seorang kakek lain, dia berperawakan tinggi dengan wajah yang lembut dan gagah, bisa dibayangkan semasa mudanya dulu dia pasti seorang pemuda tampan. Sementara muda mudi yang menangkapnya tadi berdiri disisi ruangan, yang lelaki bertubuh pendek kecil tapi kekar dan nampak gagah, sedangkan yang wanita meski berwajah cantik namun penampilannya tampak keras dan penuh semangat. Pakaian yang dikenakan ke empat orang itu nampak amat buruk, penampilan wajah mereka pun nampak agak sayu, tapi sinar matanya tetap tajam penuh semangat, mendatangkan perasaan bergidik bagi yang melihatnya. Un Tay—tay memandang kakek itu sekejap, setelah menghela napas ujarnya: “Ternyata apa yang kuduga tidak salah” “Apa yang kau duga?” hardik kakek itu. “Ternyata tampang dan penampilanmu persis seperti apa yang kuduga” Kakek itu kembali tertegun, paras mukanya kontan berubah hebat. Begitu pula dengan ke tiga orang lainnya, air muka mereka ikut berubah. Kakek itu kembali maju selangkah, dengan sorot mata setajam sembilu ditatapnya Un Tay—tay lekat lekat, bentaknya: “Kau bisa membayangkan tampangku? Jadi kau sudah tahu siapakah lohu?” “Benar, aku sudah mengetahui siapakah kau orang tua” “Siapa? Cepat katakan!” “Aku rasa kau orang tua adalah ciangbunjin dari Thiat- II hiat—Tay-ki-Bun . . . . . . . . .. Belum selesai ia berkata, kakek itu sudah menerkam ke depan, dengan tangan sebelah menarik tubuh Un Tay-tay, tangan yang lain diayunkan siap menampar wajah perempuan itu. Un Tay-tay sama sekali tidak meronta, diapun tidak berusaha melawan, ditunggunya kakek itu menampar wajahnya dan ditatapnya kakek itu dengan pandangan tenang, lembut, sama sekali tak terlintas sedikit rasa takut pun. Ketika sampai ditengah jalan mendadak kakek itu menarik kembali telapak tangannya, dengan suara keras kembali bentaknya: “Cepat katakan! Siapa kau? Darimana bisa mengetahui asal usulku? Hmmm kalau berani bicara bohong, akan kusuruh kau nikmati siksaan yang paling keji dari thiat-hiat-Tay—ki-bun!” Dibalik nada suaranya yang nyaring bagai guntur, terselip hawa napsu membunuh yang menggidikkan hati! Tapi Un Tay-tay sama sekali tidak jeri, malah sedikitpun tak ada rasa takut atau seram, sekulum senyuman manis tersungging diujung bibirnya. “sudah banyak kudengar tentang kehebatan siksaan yang berlaku dalam Perguruan Tay—ki—bun, bahkan keseramannya sudah tersohor di seantero jagad, sayangnya, kalau matipun aku tak takut, apa lagi yang mesti kutakuti? Bila kau mengancam dengan siksaan, biar sampai matipun aku tak bakal bicara” Kakek itu tak lain adalah ciangbunjin Thiat-hiat-Tay-ki-bun yang tersohor karena ketegasan serta watak keras kepalanya, Im Gi. Selama ini keangkeran serta kewibawaannya selalu membuat ciut hati siapa pun, belum pernah ada seorang manusiapun yang tidak dibuat pecah nyali oleh perkataannya, tapi sekarang, dia benar benar tak menyangka kalau perempuan dihadapannya begitu bernyali, berani membangkang perintahnya. Biarpun perasaan hatinya sekarang penuh diliputi rasa gusar bercampur tercengang, tak urung muncul juga suatu perasaan aneh dihati kecilnya, dengan sorot mata berapi ditatapnya Un Tay-tay tanpa berkedip, kemudian ancamnya: “Jadi kau benar benar tak mau bicara?” Un Tay-tay mengerdipkan matanya sambil balik menatap kakek itu, lalu sambil tersenyum dia menggeleng. “Baik!” bentak Im Gi gusar. Untuk kedua kalinya dia mengangkat telapak tangannya, tapi tindakannya itu segera dicegah kakek berwajah tampan. Dengan gusar teriak Im Gi: “Bukan saja perempuan ini datang sebagai mata—mata untuk mencari berita, dia bahkan begitu berani terhadapku... kau..... kenapa kau menarikku? Memangnya kau masih ingin mempertahankan hidupnya?” Kakek berwajah tampan yang tak lain adalah Im Kiu-siau itu segera menyahut: “Kalaupun ingin turun tangan, rasanya belum terlambat bila kita tanyai dulu maksud kedatangannya” orang ini selalu tampil tenang, halus, sama sekali tanpa emosi, sangat bertolak belakang bila dibandingkan dengan watak Im Gi yang keras dan gampang naik darah. Kelihatannya Im Gi sangat penurut dengan perkataannya, benar saja, dia wsegera menarik kembali tangannya sambil mundur tiga langkah ke belakang. Perlahan-lahan Im Kiu-siau berpaling ke arah Un Tay-tay, kemudian katanya dengan lembut: “Bila kami gunakan cara kekerasan dan alat siksa, kau enggan berbicara, sebaliknya kalau kami perlakukan dirimu dengan baik, tentunya kau bersedia untuk bicara bukan?” “Benar” sambil tersenyum Un Tay-tay manggut manggut. “Kalau memang begitu, kau boleh berbicara sekarang” Un Tay-tay menghela napas panjang, katanya: “Biar aku tak pernah bersua dengan kalian namun sudah sering mendengar dari orang lain tentang tindak tanduk serta Cara kalian bersikap, itulah sebabnya begitu bersua muka hari ini, aku segera dapat menebak siapakah kalian sebenarnya” Kemudian setelah tertawa, lanjutnya: “Aku yakin kau pastilah Im Kiu-siau, tokoh paling cerdas dan paling berakal didalam Perguruan Tay—ki—bun, sementara dua orang yang ada di belakang pastilah Im Ting—ting serta Thiat Cing-su” Tampaknya Im Kiu-siau sendiripun tidak menyangka kalau gadis dihadapannya begitu menguasahi tentang orang orang Perguruan Tay-ki-bun, paras mukanya sedikit berubah, ujarnya dengan suara berat: “Siapa yang mengatakan kesemuanya itu kepadamu?” “Im Ceng . . . . . .. Thiat Tiong-tong.....” Paras muka Im Kiu-siau berubah makin hebat, sementara Im ting-ting serta thiat Cing-su menjerit tertahan. Paras muka Im Gi kelihatan berubah sangat hebat, dengan mata melotot dan menggertak gigi menahan gejolak emosi, umpatnya: “Dasar binatang! Binatang! Tak kusangka kedua orang binatang ini berani membocorkan rahasia perguruan kepada orang lain, losam, sudah kubilang lebih baik kita cabut nyawa mereka, tapi kau selalu menampik, coba lihat sekarang . . . . .. aaai! Akhirnya mereka lakukan juga perbuatan terkutuk ini, kau.... kau..... apa lagi yang hendak kau katakan?” Im Kiu-siau menghela napas panjang, ia tundukkan kepala dan tidak berbicara lagi. “Mereka mau berbicara denganku, karena aku pun bukan orang luar” ujar Un Tay-tay lembut. “Apa....apa kau bilang?” bentak Im Gi gusar. “Karena aku adalah istrinya Im Ceng!” Begitu perkataan itu diucapkan, semua orang tertegun dan berdiri bodoh, untuk berapa saat mereka tak mampu bergerak, bahkan mengucapkan sepatah katapun tak sanggup. sekali lagi Im Gi membentak gusar, serunya sambil menghentakkan kakinya berulang kali: “Berontak! Pada berontak! Dendam berdarah perguruanpun belum terbalas, binatang ini malah berani mencari bini diluaran, bedebah!” Dengan satu lompatan dia merangsek ke hadapan Un Tay-tay, kembali sebuah pukulan siap dilontarkan. Im Ting-ting menjerit kaget, Cepat dia melompat ke muka dan menghadang dihadapan Un Tay-tay. “Minggir kamu!” bentak Im Gi semakin sewot. “Kalau dia memang bininya samko, kau..... kau orang tua seharusnya . . . . ..” “Lohu tidak mengakui perkawinan ini! Binatang, mau minggir tidak?” Tapi Im Ting-ting tetap menghadang dihadapannya, sementara air mata telah bercucuran membasahi pipinya. sambil memeluk kaki ayahnya, gadis itu merengek dengan air mata berderai: “Bila kau orang tua tak mau mengakui perkawinan ini, suruh saja mereka bercerai, kenapa mesti menghabisi nyawanya?” “siapa bilang aku bersedia cerai dengannya?” tiba tiba Un Tay—tay berkata. Biarpun perkataan itu diucapkan dengan lembut namun terkandung keteguhan hatinya yang sudah bulat. Im Gi semakin gusar, belum sempat mengucapkan sesuatu, Im Ting—ting sudah berkata lebih dulu: “Kau . . . . .. buat apa kau paksakan diri . . . . . ..” Un Tay-tay tertawa pedih, katanya: “Tak seorang manusia pun di dunia ini yang bisa merebutnya lagi dari sisiku..... selamanya dia akan menjadi milikku seorang, tahukah kalian? Selamanya..... selamanya . . . . . ..” Belum lagi orang lain bisa memahami maksud perkataannya, dengan wajah berubah hebat Im Kiu-sia telah menjerit kaget: “Jangan jangan dia..... dia sudah . . . . ..” Perlahan-lahan Un Tay-tay memejamkan sepasang matanya, untaian air mata kembali berderai membasahi pipinya. “selamanya kalian tak bakal bisa bertemu lagi dengannya” gumamnya seperti orang sedang mengigau dalam mimpi. Kontan saja Im Ting-ting menjerit lengking, Thiat Cing-su roboh terduduk ke lantai, paras muka Im Kiu-siau pucat pias bagaikan mayat, sementara Im Gi seperti kepalanya dipukul dengan martil besar, seketika tertancap ditanah tanpa berkutik. Lewat lama kemudian tubuhnya yang tinggi kekar bagaikan bukit karang itu mulai gemetar keras, tiba tiba ia menjerit lengking, sambil merobek pakaian dibagian dadanya dia membentak nyaring: “Siapa yang telah mencelakainya?” Un Tay-tay menggeleng, dia hanya pejamkan mata tanpa menjawab. Dengan sekali sambaran Im Gi mencengkeram rambut perempuan