Cerita Silat | Tombak Kecantikan | oleh Can ID | Tombak Kecantikan | Cersil Sakti | Tombak Kecantikan pdf
Patung Hok Lok Sioe - OKT Mustika Gaib - Buyung Hok Pendekar Pulau Neraka - 28. Pedang Kawa Hijau Trio Detektif 35 - Penculikan Ikan Paus Pendekar Pulau Neraka - 52. Si Gila Dari Muara Bangkai
Bab 2. Daftar menu sepanjang hidup. Bila mengajak kencan sang kekasih, paling cocok dilakukan didepan bunga dibawah cahaya rembulan, terlepas bulan purnama atau bulan sabit, bermesraan sambil bercumbu rayu ditengah malam yang hening merupakan saat yang paling tepat. Bagaimana bila ingin membunuh orang? Pukul 19.00 hingga pukul 21.00 malam. Tiada saat yang lebih tepat dan rileks daripada saat saat tersebut. Saat itu sebagian besar manusia selesai bekerja keras, banting tulang seharian suntuk, waktu mereka pulang ke rumah sambil membawa badan yang letih, lemas dan kehabisan tenaga, saat setiap rumah tangga menylut kompor mulai menyiapkan makan malam, saat anak anak bermain diluar rumah, menangkap kunang-kunang yang beterbangan bagaikan bintang yang bertaburan di angkasa, saat yang paling hangat, saat yang paling tenteram. Tak ada saat lain yang lebih sendu ketimbang saat tersebut. Menyaksikan kegelapan malam mengusir senja yang sendu, mendengar suasana jagad yang makin lama semakin hening dan sepi. Salju, mulai mencair disaat tak ada cahaya sang surya, bagaimana membekukan api lilin dibalik jendela, manusia, mulai mengusir kelelahan yang telah menimpanya seharian suntuk sambil menan-tikan tibanya hari esok dengan putus asa. Kegelapan dan kesenduan yang tiada taranya, kegelapan dan kesenduan yang membekukan hati. Inilah saat yang istimewa indahnya dan istimewa sendunya. Dalam keadaan seperti inilah, Ong Siau-sik dengan menempuh hembusan angin yang menyayat tulang, mendatangi loteng Khong- ciok-lou. Dia harus membunuh orang. Dia harus menghabisi nyawa Cukat Sianseng! Dari atas lantai tiga bangunan Khong-ciok-lou muncul sebuah lampu lentera. Diatas lampu lentera tertera hurup “Po” Begitu melihat huruf tersebut, Ong Siau-sik segera naik ke atas loteng. Waktu itu bangunan Khong-ciok-lou dipenuhi tamu. Tamu-tamu yang sedang bersantap. sekeluarga, dari yang kecil hingga dewasa, datang bersama untuk bersantap malam, atau datang bersama berapa sahabat, bersantap sambil bergurau, orang orang kangau, para pekerja yang telah banting tulang seharian, pejabat yang ingin cepat kaya, orang kenamaan yang tak kesampaian cita-citanya, nyaris hampir semua lapisan masyarakat berkupul disini, berkelompok diantar meja, bersantap, bergurau, berceloteh, isi perut atau bahkan bermabok mabokan. Hampir semua lapisan masyarakat berbaur ditempat itu. Nyaris tiada tempat kosong lagi, hampir semua bangku yang tersedia telah terisi orang. Memang suasana disini sangat ironis, sementara orang kota berpesta pora, makan kenyang tidur nyenyak, rakyat kecil harus menderita karena kekurangan makanan, belum lagi situasi perba-tasan yang gawat. Begitu naik keatas loteng, Ong Siau-sik berjumpa dengan se-orang siangsu yang membawa sebuah sangkar burung, kepadanya iapun bertanya: “Teh jenis apa yang kau minum hari ini?” Tanpa berpikir panjang jawab siangsu itu: “Teh pemeriksaan." Ong Siau-sik pun langsung naik ke lantai tiga, karena jawaban tersebut merupakan kode rahasia kontak mereka. Artinya: Ong Siau-sik sedang bertanya: “Apakah sasaran ada diatas?”. Dijawab orang itu: “Ada.”. maka dia pun langsung naik. Pemuda itu naik ke lantai dua. Begitu berada di lantai dua, dia pun bertanya kepada seorang pelayan yang sedang bersin tiada hentinya: “Di gunung ada pohon bagus, berarti ada air jernih, dengan cara apa rumah makan kalian membuat para tamu betah berada di sini?” “Daftar menu sepanjang hidup." Jawab sang pelayan. Mendengar jawaban tersebut, Ong Siau-sik naik ke lantai tiga, sebab tanya jawab itupun merupakan rangkaian kode rahasia. Tanya Ong Siau-sik: “Apakah segala sesuatu berjalan sesuai rencana semula?” dijawab pihak lawan: “Sama seperti sedia kala." Karena itulah dia naik ke lantai tiga, langsung menuju ruang nomor empat sisi utara. Dua orang yang berdiri di depan pintu adalah dua lelaki bertubuh kekar dengan pecut emas melilit dipinggangnya, dengan sinar mata tajam, mereka berdiri disitu bagaikan dua malaikat penjaga pintu. Dalam sekilas pandang, segera diketahui mereka sedang menyamar, entah mengapa, Ong Siau-sik merasa kenal sekali dengan salah seorang diantaranya. Lantai tiga merupakan ruang makan vip, hampir semua tamu terhormat, pejabat tinggi, saudagar kaya berkumpul disitu, meskipun penuh tamu namun setiap orang berada dalam bilik sendiri hingga suasana disana malah jauh lebih tenang dan sepi. Sewaktu Ong Siau-sik tiba dilantai atas, kedua orang itu sama sekali tidak bergerak, tidak memandang pun tidak berpaling, tapi Ong Siau-sik dapat merasakan kalau kedua orang itu sedang mem-perhatikan gerak geriknya. Tanpa sangsi maupun ragu, pemuda itu melanjutkan ayunan langkah kakinya. Langsung menuju kamar nomor tiga sebelah utara. Malah dia berjalan melewati kamar nomor tiga, sampai di muka kamar nomor empat. Dengan langkah santai kembali dia lewati depan tubuh ke dua orang itu. Kali ini dia memasuki kamar nomor lima. Sambil menyingkap tirai pintu, Ong Siau-sik melangkah masuk ke dalam ruangan, ditengah teriak kaget dan teguran keras orang dalam ruangan, ia sudah menerjang masuk. Tidak menunggu sampai Po Tiong-siu melempar cawannya sebagai tanda, dia tendang dinding kayu yang memisahkan ruangan itu dengan ruang sebelah hingga membuat meja perjamuan bergelimpangan. Ong Siau-sik segera melihat ada dua orang melompat bangun dari tempat duduknya di kamar nomor empat. Salah seorang diantaranya berwajah persegi kotak dengan jenggot panjang didagunya, meski kaget namun sikapnya tetap tenang dan penuh wibawa, dia tak lain adalah Po Tiong-siu. Sedang orang kedua bermata mendelong dengan alis mata tebal, wajahnya semu merah, saat itu sedang bangkit berdiri dengan tergopoh. Didalam kamar itu masih terdapat berapa orang lagi, tapi yang diperhatikan Ong Siau-sik saat itu adalah dua orang lelaki kekar yang telah dijumpai tadi. Pemuda itu langsung menerjang maju. “Tangkap orang ini!" bentak orang itu. Ada tiga orang segera merangsek maju mendekati Ong Siau-sik, sementara ada seorang lain segera melindungi didepan orang tadi. Dari ke tiga orang yang mendekati Ong Siau-sik, seorang menggunakan ilmu ki-na-jiu berusaha mencengkeram tangan Ong Siau-sik, seorang lagi mengangkat sebuah tameng untuk mem-bendung cahaya golok lawan sementara orang ketiga menggunakan ilmu tendangan sapuan sau-tong-tui menghajar pertahanan kaki pe-muda itu. Serangan ke tiga orang yang begitu gencar dan dahsyat, jelas tak mungkin bisa dihadapi oleh Ong Siau-sik. Namun, bila dia harus menghadapi lebih dahulu serangan dari ke tiga orang ini, artinya serangan mematikan yang ia lancarkan ba-kal lebih lambat dan terhadang. Dia tak ingin serangannya melambat. Dia tak boleh membiarkan serangannya terhadang. Dengan satu gerakan cepat, ia lancarkan serangan dengan golok dan pedang. Dengan tangan kosong pemuda itu lancarkan serangan dengan ilmu Giak-khong-siang-si-to (golok kerinduan pembelah langit) serta Leng-khong-siau-hun-kiam (pedang pelumat sukma penembus angkasa). Dua diantara ke tiga orang itu segera roboh terjungkal ke atas lantai. Akan tetapi punggung Ong Siau-sik kena hajaran pula hingga terluka parah. Cairan darah sudah menerobos keluar dari saluran tenggo- rokannya, namun sebelum menyembur keluar lewat bibirnya, ia telah menerjang tiba dihadapan Cukat Sianseng. Pengawal yang berada didepan Cukat Sianseng segera meng-ayunkan goloknya melancarkan serangan. Dalam sekali bacokan, ia telah melepaskan tujuh buah serangan berantai. Ke tujuh serangan berantai itu masing-masing menerjang tujuh bagian tubuh Ong Siau-sik yang berbeda. Ternyata bukan serangan golok, melainkan serangan senjata rahasia.
Patung Hok Lok Sioe - OKT Mustika Gaib - Buyung Hok Pendekar Pulau Neraka - 28. Pedang Kawa Hijau Trio Detektif 35 - Penculikan Ikan Paus Pendekar Pulau Neraka - 52. Si Gila Dari Muara Bangkai
Bab 2. Daftar menu sepanjang hidup. Bila mengajak kencan sang kekasih, paling cocok dilakukan didepan bunga dibawah cahaya rembulan, terlepas bulan purnama atau bulan sabit, bermesraan sambil bercumbu rayu ditengah malam yang hening merupakan saat yang paling tepat. Bagaimana bila ingin membunuh orang? Pukul 19.00 hingga pukul 21.00 malam. Tiada saat yang lebih tepat dan rileks daripada saat saat tersebut. Saat itu sebagian besar manusia selesai bekerja keras, banting tulang seharian suntuk, waktu mereka pulang ke rumah sambil membawa badan yang letih, lemas dan kehabisan tenaga, saat setiap rumah tangga menylut kompor mulai menyiapkan makan malam, saat anak anak bermain diluar rumah, menangkap kunang-kunang yang beterbangan bagaikan bintang yang bertaburan di angkasa, saat yang paling hangat, saat yang paling tenteram. Tak ada saat lain yang lebih sendu ketimbang saat tersebut. Menyaksikan kegelapan malam mengusir senja yang sendu, mendengar suasana jagad yang makin lama semakin hening dan sepi. Salju, mulai mencair disaat tak ada cahaya sang surya, bagaimana membekukan api lilin dibalik jendela, manusia, mulai mengusir kelelahan yang telah menimpanya seharian suntuk sambil menan-tikan tibanya hari esok dengan putus asa. Kegelapan dan kesenduan yang tiada taranya, kegelapan dan kesenduan yang membekukan hati. Inilah saat yang istimewa indahnya dan istimewa sendunya. Dalam keadaan seperti inilah, Ong Siau-sik dengan menempuh hembusan angin yang menyayat tulang, mendatangi loteng Khong- ciok-lou. Dia harus membunuh orang. Dia harus menghabisi nyawa Cukat Sianseng! Dari atas lantai tiga bangunan Khong-ciok-lou muncul sebuah lampu lentera. Diatas lampu lentera tertera hurup “Po” Begitu melihat huruf tersebut, Ong Siau-sik segera naik ke atas loteng. Waktu itu bangunan Khong-ciok-lou dipenuhi tamu. Tamu-tamu yang sedang bersantap. sekeluarga, dari yang kecil hingga dewasa, datang bersama untuk bersantap malam, atau datang bersama berapa sahabat, bersantap sambil bergurau, orang orang kangau, para pekerja yang telah banting tulang seharian, pejabat yang ingin cepat kaya, orang kenamaan yang tak kesampaian cita-citanya, nyaris hampir semua lapisan masyarakat berkupul disini, berkelompok diantar meja, bersantap, bergurau, berceloteh, isi perut atau bahkan bermabok mabokan. Hampir semua lapisan masyarakat berbaur ditempat itu. Nyaris tiada tempat kosong lagi, hampir semua bangku yang tersedia telah terisi orang. Memang suasana disini sangat ironis, sementara orang kota berpesta pora, makan kenyang tidur nyenyak, rakyat kecil harus menderita karena kekurangan makanan, belum lagi situasi perba-tasan yang gawat. Begitu naik keatas loteng, Ong Siau-sik berjumpa dengan se-orang siangsu yang membawa sebuah sangkar burung, kepadanya iapun bertanya: “Teh jenis apa yang kau minum hari ini?” Tanpa berpikir panjang jawab siangsu itu: “Teh pemeriksaan." Ong Siau-sik pun langsung naik ke lantai tiga, karena jawaban tersebut merupakan kode rahasia kontak mereka. Artinya: Ong Siau-sik sedang bertanya: “Apakah sasaran ada diatas?”. Dijawab orang itu: “Ada.”. maka dia pun langsung naik. Pemuda itu naik ke lantai dua. Begitu berada di lantai dua, dia pun bertanya kepada seorang pelayan yang sedang bersin tiada hentinya: “Di gunung ada pohon bagus, berarti ada air jernih, dengan cara apa rumah makan kalian membuat para tamu betah berada di sini?” “Daftar menu sepanjang hidup." Jawab sang pelayan. Mendengar jawaban tersebut, Ong Siau-sik naik ke lantai tiga, sebab tanya jawab itupun merupakan rangkaian kode rahasia. Tanya Ong Siau-sik: “Apakah segala sesuatu berjalan sesuai rencana semula?” dijawab pihak lawan: “Sama seperti sedia kala." Karena itulah dia naik ke lantai tiga, langsung menuju ruang nomor empat sisi utara. Dua orang yang berdiri di depan pintu adalah dua lelaki bertubuh kekar dengan pecut emas melilit dipinggangnya, dengan sinar mata tajam, mereka berdiri disitu bagaikan dua malaikat penjaga pintu. Dalam sekilas pandang, segera diketahui mereka sedang menyamar, entah mengapa, Ong Siau-sik merasa kenal sekali dengan salah seorang diantaranya. Lantai tiga merupakan ruang makan vip, hampir semua tamu terhormat, pejabat tinggi, saudagar kaya berkumpul disitu, meskipun penuh tamu namun setiap orang berada dalam bilik sendiri hingga suasana disana malah jauh lebih tenang dan sepi. Sewaktu Ong Siau-sik tiba dilantai atas, kedua orang itu sama sekali tidak bergerak, tidak memandang pun tidak berpaling, tapi Ong Siau-sik dapat merasakan kalau kedua orang itu sedang mem-perhatikan gerak geriknya. Tanpa sangsi maupun ragu, pemuda itu melanjutkan ayunan langkah kakinya. Langsung menuju kamar nomor tiga sebelah utara. Malah dia berjalan melewati kamar nomor tiga, sampai di muka kamar nomor empat. Dengan langkah santai kembali dia lewati depan tubuh ke dua orang itu. Kali ini dia memasuki kamar nomor lima. Sambil menyingkap tirai pintu, Ong Siau-sik melangkah masuk ke dalam ruangan, ditengah teriak kaget dan teguran keras orang dalam ruangan, ia sudah menerjang masuk. Tidak menunggu sampai Po Tiong-siu melempar cawannya sebagai tanda, dia tendang dinding kayu yang memisahkan ruangan itu dengan ruang sebelah hingga membuat meja perjamuan bergelimpangan. Ong Siau-sik segera melihat ada dua orang melompat bangun dari tempat duduknya di kamar nomor empat. Salah seorang diantaranya berwajah persegi kotak dengan jenggot panjang didagunya, meski kaget namun sikapnya tetap tenang dan penuh wibawa, dia tak lain adalah Po Tiong-siu. Sedang orang kedua bermata mendelong dengan alis mata tebal, wajahnya semu merah, saat itu sedang bangkit berdiri dengan tergopoh. Didalam kamar itu masih terdapat berapa orang lagi, tapi yang diperhatikan Ong Siau-sik saat itu adalah dua orang lelaki kekar yang telah dijumpai tadi. Pemuda itu langsung menerjang maju. “Tangkap orang ini!" bentak orang itu. Ada tiga orang segera merangsek maju mendekati Ong Siau-sik, sementara ada seorang lain segera melindungi didepan orang tadi. Dari ke tiga orang yang mendekati Ong Siau-sik, seorang menggunakan ilmu ki-na-jiu berusaha mencengkeram tangan Ong Siau-sik, seorang lagi mengangkat sebuah tameng untuk mem-bendung cahaya golok lawan sementara orang ketiga menggunakan ilmu tendangan sapuan sau-tong-tui menghajar pertahanan kaki pe-muda itu. Serangan ke tiga orang yang begitu gencar dan dahsyat, jelas tak mungkin bisa dihadapi oleh Ong Siau-sik. Namun, bila dia harus menghadapi lebih dahulu serangan dari ke tiga orang ini, artinya serangan mematikan yang ia lancarkan ba-kal lebih lambat dan terhadang. Dia tak ingin serangannya melambat. Dia tak boleh membiarkan serangannya terhadang. Dengan satu gerakan cepat, ia lancarkan serangan dengan golok dan pedang. Dengan tangan kosong pemuda itu lancarkan serangan dengan ilmu Giak-khong-siang-si-to (golok kerinduan pembelah langit) serta Leng-khong-siau-hun-kiam (pedang pelumat sukma penembus angkasa). Dua diantara ke tiga orang itu segera roboh terjungkal ke atas lantai. Akan tetapi punggung Ong Siau-sik kena hajaran pula hingga terluka parah. Cairan darah sudah menerobos keluar dari saluran tenggo- rokannya, namun sebelum menyembur keluar lewat bibirnya, ia telah menerjang tiba dihadapan Cukat Sianseng. Pengawal yang berada didepan Cukat Sianseng segera meng-ayunkan goloknya melancarkan serangan. Dalam sekali bacokan, ia telah melepaskan tujuh buah serangan berantai. Ke tujuh serangan berantai itu masing-masing menerjang tujuh bagian tubuh Ong Siau-sik yang berbeda. Ternyata bukan serangan golok, melainkan serangan senjata rahasia.