Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Pedang Kunang Kunang - 81

$
0
0
Cerita Silat | Pedang Kunang Kunang | Oleh SD Liong | Pedang Kunang Kunang | Sakti Cersil | Pedang Kunang Kunang pdf

Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom Lovasket - Luna Torashyngu Lovasket 2 For The Love Of The Game - Luna Torashyngu Lovasket 3 - Luna Torashyngu Refrain - Winna Efendi

“Orang berobah menjadi cairan air, takkan mungkin terjadi. Jangankan engkau tak mengerti ilmu silat, taruh kata engkau seorang tokoh yang sakti, pun juga tak mungkin mempunyai kemampuan begitu !" ”Hm, aku bukan seorang yang mudah ditindas. Jangan terlalu percaya pada dirimu !" “Heh, heh! Soal itu aku sendiri yang memutuskan. Sekarang lebih dulu engkau harus memberitahukan namamu. Dan jelaskan mengapa engkau begitu menaruh perhatian tentang urusan dunia persilatan. Teristimewa terhadap Tabib jahat Li Hui-ting serta tokoh hidung gerumpung itu ..." “Aku tak sudi menjawab! Jangan lupa engkau masih memerlukan minum obatku!" “Setan Penyakit! Dengan mengandalkan ilmu pengobatan engkau hendak menindas diriku. Tetapi sekarang lenganku sudah sembuh. Setiap saat aku dapat mengambil obat itu sendiri!" “Engkau tak kenal...." “Aku tak kenal tetapi engkau kenal obat itu. Kalau engkau membangkang, dapat kugunakan ilmu Menyungsang-balikkan tulang dan urat. Kuyakin pada saat itu engkau tentu akan menjawab semua pertanyaanku!" Saat itu mulut pemilik lembah tampak bergerak seperti hendak menyemburkan sesuatu. Tetapi Ceng Ki palsu lebih cepat. Walaupun terpisah pada jarak satu setengah tombak, dengan tenaga-dalam ia menampar. Mulut pemilik lembah tak sempat menyembur, bahkan empat buah giginya rontok jatuh. “Lekas bilang! Akan kuhitung sampai sepuluh. Kalau engkau tetap membangkang, terpaksa akan kugunakan kekerasan!" seru Ceng Ki palsu. Pemilik lembah Setan Penyakit tertegun. Dia tak mengerti ilmu silat untuk menghadapi tekanan tenaga dalam lawan. Keringatpun bercucuran membasahi tubuh. Sedangkan telinga mulai mendengar Ceng Ki palsu menghitung: ”Satu .... dua .... tiga .... empat ....” Melihat pemandangan ngeri yang berlangsung di hadapannya tanpa ia dapat berbuat suatu apa, benar2 membuat Gak Lui seperti gila. Sekali lagi ia kerahkan seluruh tenaga dalam untuk menghalau racun yang berada dalam tubuhnya. Tepat pada saat mulut Ceng Ki palsu menghitung 'sepuluh', tiba2 Gak Lui dapat bergeliat duduk. Tetapi tenaganya tetap lemas. Begitu duduk, tubuhnya miring dan bluk .... jatuhlah ia dari ranjang. Tetapi karena jatuh itu, ia berhasil menolong pemilik lembah dari bencana kematian. Karena Ceng Ki palsu terkejut dan berpaling. Cepat sekali ia dapat mengenali Gak Lui. Pemilik lembah itu mudah diatasi, yang penting ia harus membereskan Gak Lui dulu. Serentak tertawalah ia nyaring2 lalu berseru: “Bagus, budak kecil, engkau mengantar kematian kemari..." Sekali enjot tubuh, ia melayang sambil julurkan kedua jari tangannya hendak mengorek biji mata Gak Lui. “Habis riwayatku....." Gak Lui mengeluh. Karena tak dapat berbuat suatu apa, ia pejamkan mata menunggu maut. Bluk .... tiba2 ia terkejut karena mendengar sesosok tubuh jatuh di tepi ranjang. Cepat ia membuka mata. Hai ... mengapa Ceng Ki palsu yang menyerang itu rubuh sendiri ? Dipandangnya orang itu. Tiada tampak sebuah lukapun pada tubuhnya melainkan sebuah benjul merah sebesar buah jambu tampak menonjol pada tengkuknya. “Aneh…..” diam2 Gak Lui terkejut heran. Dilihatnya pada benjul merah itu mulai mengeluarkan asap warna kebiru-biruan. Dan rambut serta kulit kepala Ceng Ki palsu itupun seperti segunduk salju yang tertimpa sinar matahari. Pelahan-lahan luluh menjadi cairan air! Dalam waktu tak berapa lama, lenyaplah tubuh Ceng Ki palsu itu menjadi kubangan air. Saat itu pemilik lembahpun berjalan menghampiri. Mulutnya masih menghisap pipa huncwe kumala. Dia tak menghiraukan cairan air mayat Ceng Ki palsu, melainkan dengan wajah terkejut memandang Gak Lui, seolah-olah hendak bilang: “Tak ada obatnya, mengapa engkau dapat bergerak?" Rupanya Gak Lui dapat menangkap pandang mata pemilik lembah itu. Ia paksakan diri mengangkat kepala dan bertanya dengan tegang: “Mohon tanya, apakah engkau ini bukan Tabib-sakti Li Kok-hoa?" “Ai...," pemilik lembah itu menjerit kaget, sehingga pipanya jatuh ke tanah, “engkau…. engkau bilang apa ?" “Tolong tanya, apakah engkau ini bukan Tabib-sakti Li Kok-hoa?" “Mengapa engkau tahu ?" seru pemilik lembah dengan suara parau dan tubuh gemetar. Jelas ia telah mengunjukkan siapa dirinya. Dengan gembira Gak Lui menjawab: “Aku hanya menduga saja ...." “Dengan dasar apa ?" “Tabib-jahat Li Hui-ting dan Hidung gerumpung." Mendengar kata2 itu seketika wajah pemilik lembah berobah buas, kaget dan marah. Hawa pembunuhan bertebaran di wajahnya. Melihat itu Gak Lui cemas dan buru2 memberi penjelasan: “Paman Li, jangan salah faham ..." Tetapi karena pemilik lembah itu sudah terlanjur dirangsang oleh ketegangan hebat, ia tak mendengar kata2 Gak Lui lagi. “Wut ...." mulutnya meniup hawa dingin ke arah tenggorokan Gak Lui. Gak Lui terkejut tetapi untunglah ia tak kurang suatu apa. Karena pemilik lembah itu hanya meniup dengan mulut. Pipa huncwenya sudah jatuh ke tanah tetapi ia lupa. “Paman, tunggu dulu. Muridmu Tabib-jahat Li Hui-ting itu akulah yang membunuh. Hidung gerumpung itu adalah paman guruku. Harap jangan salah faham ..." cepat Gak Lui berseru pula. “Ngaco belo! Engkau tentu salah seorang gerombolan Lima pendekar Im-leng!" “Tidak! Aku bukan golongan mereka! Pribadiku menjamin hal itu." “Huh, apa gunanya pribadi? Iblis itupun tadi sudah mengangkat sumpah tetapi tetap melanggar !" “Paman, tolong angkat aku bangun. Akan kuceritakan semua keadaan kepadamu." “Hm, serentetan kata2 yang mengandung maksud tak baik ..." “Aku berkata dengan sungguh2." “Benar ?" “Ya." “Kalau begitu akan kutanya kepadamu," wajah pemilik lembah yang buruk itu berpaling sedikit lalu berseru dengan nada dingin: “Pada saat engkau masuk ke dalam lembah ini engkau mengatakan menderita penyakit. Tetapi setelah kuperiksa urat nadimu, ternyata engkau tak menderita suatu apa. Adakah hal itu menyatakan kejujuranmu ?" Wajah Gak Lui merah padam. Cepat ia memberi penjelasan: “Hal itu terpaksa kulakukan agar dapat bertemu dengan paman ...." “Hm, siasat yang tak beres. Kalau kutolong engkau, tentu engkau akan bertingkah lagi." Gak Lui tak dapat menjelaskan. Diam2 ia kerahkan tenaga dalam dan hendak bergeliat bangun. Tetapi rupanya pemilik lembah itu sudah mempunyai pengalaman dengan Ceng Ki palsu tadi. Cepat ia mendorong tubuh Gak Lui seraya membentak: "Budak, jangan bergerak! Kalau engkau tak mau menjadi cairan air, engkau harus bicara terus terang !" "Paman Li, jangan terlalu mencurigai diriku! Aku adalah kakak angkat dari puterimu Li Siu-mey. Aku sedang membantunya untuk mencari ayahnya yang hilang. Harap percaya omonganku !” "O ....," mendengar disebutnya Li Siu-mey, pemilik lembah itu menggigil dan dengan suara gemetar berseru : "Engkau bahkan sudah datang kerumahku ? Bagus, kalau bukan si Hui-ting yang menghianati, bagaimana engkau tahu ?" "Bukan dia!" bantah Gak Lui, "Tabib-jahat Li Hui-ting telah mencelakai banyak orang, dosanya besar sekali. Tetapi terhadap keadaan rumah-tangga paman, dia benar2 tak menceritakan kepadaku ....." "Hm, binatang itu masih mempunyai setitik hati baik juga. Lalu bagaimana engkau tahu tentang rumah tanggaku? Bilanglah terus terang!" Gak Lui lalu menceritakan semua pengalaman yang dialaminya selama ini. Terutama pertemuannya dengan Li Siu-mey yang telah menolong jiwanya ketika ia ditelan seekor ular besar yang berumur ratusan tahun. Kini barulah pemilik lembah itu tahu bahwa puterinya masih hidup dan sudah dewasa sedang isterinya sudah meninggal dunia. Air matanyapun mengantar isak tangisnya. Setelah orang berhenti menangis, barulah Gak Lui berkata pula: "Paman Li, kukira sekarang paman tentu suka menolongku." Pemilik lembah Setan Penyakit yang ternyata memang benar Tabib-sakti Li Kok-hoa bersangsi. Setelah merenung beberapa saat, wajah tabib itu berobah, serunya: "Tidak semudah itu. Dengan kalian kaum persilatan sudah dua kali aku berhubungan. Setiap kali aku selalu hampir mati, selalu menderita celaka. Maka sekarang untuk yang ketiga kalinya ini aku harus hati." "Paman, aku sudah suruh orang mengundang puterimu datang kemari. Apakah hal itu masih belum dapat meyakinkan paman ?” "Ya, kuingat hal itu. Kita tunda dulu semua urusan ini sampai dia datang." "Lalu aku sekarang…..” "Engkau harus menunggu dengan sabar," kata Li Kok- hoa sembari mengambil huncwe kumala dan menghisapnya kedalam mulut. Gak Lui terkejut. Tetapi cepat ia dapat memperhatikan pipa kumala itu. Ternyata pipa itu terbagi dalam tiga lubang. Lubang kesatu berwarna merah, lubang kedua putih dan lubang ketiga kuning, Ketiga warna itu mengandung tiga macam obat yang berlainan. Pada saat Gak Lui tertegun, segulung asap kuning menyembur kearah hidungnya. Ia pingsan. Li Kok hoa gunakan obat bius yang berlipat ganda kekuatannya. Maka betapapun tinggi kepandaian Gak Lui, tetapi ia tak mampu melawan kekuatan obat bius itu. Dalam kelelapan tidurnya yang nyenyak itu, ia bermimpi mengenangkan semua peristiwa yang dialaminya selama ini. Ayah bunda, ayah angkat, paman guru, bibi guru dan beberapa tokoh ketua perguruan silat telah berjatuhan gugur, darah bergenangan. Kesemuanya itu adalah gara2 si Maharaja Persilatan Tio Bik-lui. Demi kesombongan, dan keinginan untuk menguasai dunia persilatan, durjana itu telah membunuh sekian banyak jiwa. Dan karena hendak menuntut balas, Gak Lui telah keliru membunuh beberapa orang yang baik, menanam dendam permusuhan dengan partai2 persilatan ... "Bunuh.....!" teriak Gak Lui dalam mimpinya, Ia hendak menghancurkan manusia durjana itu. Tetapi ah .... ternyata ia tak dapat bergerak. Kaki tangannya serasa tak bertenaga. Namun ia nekad meronta-ronta dengan sekuat tenaga dan .... "Engkoh Lui! Engkoh Lui? Engkoh sudah siuman !" tiba2 terdengar lengking suara seseorang. "Hai, bukankah itu suara Siu-mey ? Apakah dia benar2 datang ?" Gak Lui terkejut dan membuka mata. Ah... ternyata Siu-mey memang tegak berdiri disamping tempat tidurnya sambil tersenyum. Dibelakang Siu-mey tampak seorang lelaki tua yang berwajah terang dan lemah lembut. Walaupun masih ragu2 tetapi dari baunya dapatlah Gak Lui mengetahui bahwa orangtua itu yalah si Tabib-sakti Li Kok-hoa. Rupanya tabib itu telah menghapus penyaruan wajahnya dan kembali mengunjukkan wajahnya yang aseli. "Ah, ayah dan anak itu sudah berjumpa....," pikir Gak Lui. Ia ikut gembira dan hendak bergeliat duduk. Tetapi sebelum sempat membuka mulut, tabib itu sudah mendahului berkata dengan ramah: "Hian say, silahkan bangun. Karena salah faham, terpaksa kusuruh engkau menderita beberapa hari ...." Mendengar tabib itu memanggilnya dengan kata 'Hian-say' atau anak menantu, Gak Lui tertegun dan sampai beberapa saat tak dapat bicara. "Hubunganmu dengan anakku, sudah kudengar," kata tabib itu, "dan lagi bibi gurumu sudah meninggalkan pesan, menyetujui pernikahanmu. Dan aku sendiri.....juga setuju. Apakah engkau tak suka ?" "Bukan, bukannya tak suka," sahut Gak Lui, "tetapi saat ini masih ada dua buah urusan yang belum .... selesai.” "Soal apa ?" "Pertama, musuh besar belum terbalas." "Dendam sakit hati ayah bunda, memang harus dibalas. Tetapi setelah selesai, tentulah tak ada persoalan lagi." “Setelah melakukan pembalasan, aku harus berkabung sampai tiga tahun.” “Hm ... rasa bhakti memang perlu. Dan anakkupun harus menyertai engkau. Lalu apakah soal yang kedua itu?" “Ini...," ketika teringat akan pergolakan dalam dunia persilatan dan peristiwa2 yang mungkin timbul secara tak terduga-duga, Gak Lui tak dapat melanjutkan kata katanya. Terhadap ramalan si Raja sungai Gan Ke-ik ketua Partai Gelandangan dan petunjuk rahasia dari Kaisar Persilatan, mau tak mau ia tak boleh mengabaikan. Hanya karena itu termasuk soal tahayul, maka ia tak dapat menerangkan kepada orang. Setelah berdiam diri beberapa saat, barulah ia berkata dengan nada serius: “Paman Li, bukan aku hendak mengulur waktu tetapi soal pernikahan itu merupakan soal selama hidup. Setelah aku dapat mengadakan sembahyangan kepada para angkatan tua, barulah dapat memberi keputusan ..." ---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo--- Siu-mey tak marah maupun kecewa mendengar keterangan Gak Lui itu. Ia bahkan setuju dengan tindakan Gak Lui. Ia percaya penuh kepada pemuda itu tentu akan menepati janjinya. Melihat sikap Gak Lui dan puterinya begitu tenang, Li Kok-hoa tak mau ngotot. Iapun beralih pada lain pembicaraan: “Sejak datang kemari engkau selalu mengenakan kedok muka. Karena aku tak mau mencampuri urusan orang lain, maka akupun tak membuka kedok mukamu itu...." “Terima kasih paman. Memang kedok yang kukenakan ini tak boleh dibuka."

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>