,Cerita Cinta | Matahari Di Batas Cakrawala | by Mira W | Matahari Di Batas Cakrawala | Cersil Sakti | Matahari Di Batas Cakrawala pdf
The Spiderwick Chronicles 5 Amarah Mulgarath Berkeliling Dunia Di Bawah Laut - Jules Verne Sisi Merah Jambu - Mira W Kelelawar tanpa Sayap - Huang Ying Misteri Empat Jam Yang Hilang - L. Ron Hubbard
annya luar biasa hebat. Tadinya Dokter Rasyid tidak berani operasi kalau tidak ada darah barang satu liter."
"Golongan apa, Mbak?"
"O" Mbak Narti menunjukkan botol darah di I tangannya. "Persediaan di PMI tinggal 500 cc." "Suaminya?"
"Kebetulan golongan A. Dia sudah nangis-nangis di PMI, minta darah untuk istrinya. Tapi kalau tidak ada, mereka toh tidak bisa mengubah air menjadi darah. Tadi siang ada dua operasi di bagian bedah. Kebetulan semuanya butuh darah golongan O. "
"Mbak," cetusku tiba-tiba.
110
" Mbak Narti sampai tersentak kaget. Buk an oleh
panggilanku. Tapi oleh sentuhan ta nganku di lengannya. Karena tanganku ini... astaga, din ginnya!
"Bawa saya kepadanya, Mbak!" i M ula-mula Mbak Narti hanya tertegun mengawasiku.
"Darah saya O," sambungku cepat-cepat. Lalu tiba-tiba saja ia mengerti. -"Pikir dulu, Dik Wita. Jadi don or sukarela tentu saja perbuatan terpuji. Tapi bukan unt ukmu pada
saat-saat begini. Fisikmu sedang lelah. Mentalmu "tertekan. Kau harus menjaga Nike siang-malam. Kau bisa sakit, Dik Wita."
"Mbak," potongku tidak sabar. "Bukan hanya, istrinya yang perlu darah saya! Saya pun butuh daerah suaminya!"
Melihat laki-laki itu di sana, aku jadi teringat kepada Mas Irwan. Seperti itukah gelisahnya dia ketika menungguiku dioperasi tatkala melahirkan Nike empat tahun yang lalu?
"Lebih tenang mengoperasi orang lain daripada nunggu istri dioperasi," kata Mas Irwan dulu.
"Tahu bagaimana rasanya?"
"Bagaimana?" pancingku manja.
"Dua jam lebih aku duduk menunggu di luar kamar operasi. Tidak tahu mesti berbuat apa. 'Ber111
doa saja. Kak', kata perawat yang mendorong brankarmu itu. Dia tidak tahu. aku sudah berdoa pada setiap helaan napasku'"
"Kata Dokter Siregar, operasiku cukup berbahaya. Mas. Untung dia baru bilang sesudah selesai operasi."
"Salahmu sendiri. Siapa suruh nekat."
"Eh, jadi Mas tidak kepingin punya Nike?** Sampai mendelik mataku.
"Siapa bilang? Aku juga ingin punya anak. tapi tidak mau mengorbankanmu! Tahu bagaimana rasanya mendengar kau merintih-rintih kesakitan begitu1 Rasanya lebih baik aku yang disiksa!"
"Habis terpaksa sih, Mas. Aku kepingin jadi ibu."
"Kita bisa mengangkat anak."
Aku menggeleng sambil tersenyum.
"Aku ingin anak kandung. Anak dari rahimku sendiri. O, kalau saja Mas Ir pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi ibu! Bagaimana nikmatnya merasakan sentakan-sentakan halus Nike di perutku!"
Lalu sebuah sentuhan lembut jatuh di bahuku. Menyadarkan diriku dari lamunan yang semakin menerawang jauh. Bidan Narti.
"Sekarang, MbakT' tanyaku gugup.
Terus terang, aku takut juga diambil darah. Tapi demi Nike...
Tidak perlu dulu, Dik."
Tidak perlu T' desisku bingung.
Ada yang ganjil di mata Bidan Narti. Sesuatu yang membuatku merasa tidak enak.
112
"Nyonya Bakhtiar tidak memerlukan darahmu
lagi"
Tidak sengaja mulutku terbuka. Dan sebelum aku sempat menutupnya kembali, Mbak Narti telah
melanjutkan dengan lirihnya, "Dia telah meninggal."
Habislah harapanku untuk memperoleh sebotol darah Nike! Bahkan untuk orang lain pun darahku
tidak berguna!
Tapi keesokan paginya, Mbak Narti datang ke kamar Nike. Dan dia membawa sebotol darah
yang sangat Nike perlukan. "Dari mana, Mbak?" tanyaku gugup. "Darah
siapa?"
"Bakhtiar menepati janjinya padamu. Setelah saya ceritakan tentang Nike, dia rela menyumbangkan
darahnya."
O, seandainya aku mendapat undian sekalipun, tidak segirang ini hatiku!
Bergegas aku menuju ke bagian kebidanan. Ingin kutemui laki-laki berjiwa besar itu. Mengucapkan terima kasih padanya. Tapi sesampainya di sana, ia telah pergi.
Aku hanya sempat melihat ekor mobil jenazah yang membawa jenazah istrinya sedang meninggalkan rumah sakit...
Ya Tuhan! Kuatkanlah iman laki-laki yang budiman itu! Tabahkanlah dia!
113
Begitu Nike tertidur, aku langsung menuju ke kantor rumah sakit.
"Dik Ria," tegurku pada perawat muda yang sedang sibuk menggambar kurva temperatur dalam status pasien. "Boleh pinjam pulpen dan minta
kertas selembar?" "Oh. Kak Wita," sambut Suster Ria dengan ra"Silakan. Kak. Silaka n."
Dia mengambil dua lembar kertas putih dan menyodorkan bolpennya. "Ini bisa dipakai. Kak?" 'Terima kasih. Dik Ria. Boleh menumpang nulis di sini T*
"Wah. silakan saja. Kak Wita. Jangan canggung-canggung. Mau tulis surat, ya?" "Buat ayah Nike."
"0..." Cepat-cepat Suster Ria menari k kan sebuah kursi untukka "Duduklah, Kak Wita. Nike tidur?**
Aku cuma mengangguk.
"Mau minum, Kak Wita?"
"Jangan repot-repot. Dik Ria. Biar saja."
Aku sudah ingin cepat-cepat menulis. Ingin mengabarkan apa yang terjadi pada Mas Irwan. Tapi ketika aku sudah duduk t ermenung menghadapai kertas kosong itu, aku tak tah u mesti menulis apa. . Aku tak sampai hati menceritaka nnya pada Mas Irwan! Apa yang harus kukatakan? Dari mana aku harus mulai?
Akhirnya setelah t ertegun-tegun di sana selama hampir satu jam, aku ber hasil juga menulis bebe114
rapa patah kata . Isinya singkat sekali. Persis tele. gram.
Tet api sesudah menulis, aku mulai kebingungan lagi. Siapa yang mesti kumintai pertolongan menyampaikan surat ini?
Perjalanan ke kampungku dari kota ini cukup jauh. Bukan hanya jauh. Sulit Sekaligus berbahaya Aku jadi putus asa.
"Minta tolong Kak Ida saja, Kak Wita." usul Suster Ria. "Hari ini dia cuti. Nanti selesai tugas, saya antar Kakak ke rumahnya, ya?"
Suster Ida! Dia memang baik. Ramah. Tapi hanya terbatas pada pelayanannya di rumah sakit! Mana mau dia berlayar seorang diri ke kampungku? Dia toh bukan apa-apaku!
Tetapi dalam keadaaan seperti sekarang, jalan apa pun akan kutempuh, betapapun sulitnya. Demi Nike, jangankan cuma menemui Suster Ida di rumahnya, menemui Raja Maut pun seandainya bisa, aku mau!
Apa boleh buat. Siang itu, dengan menebal-nebal-kan muka, aku terpaksa datang ke rumah Suster Ida.
"Kak Ida orangnya baik. Kak." Seolah-olah mengerti perasaanku, Suster Ria selalu menghiburku sepanjang jalan. "Dia pasti mau. Mudah-mudahan dia ada di rumah."
"Suaminya?" desakku ragu-ragu.
"Wah, kalau yang satu itu memang agak galak. Tapi percaya lah, Kak, kalau dia tahu tentang Nike, pasti dia kasihan. Siapa yang tidak iba kepada anak yang malang seperti Nike?"
115
Dan yang kutakutk an terjadi juga. Suster lda tidak ada di rumah. Terpaksa aku meminta tolong pada Suster Ria untuk menunggu nya sampai pulang. Aku sendiri mesti cepat-cepat kemb ali ke rumah sakit.
9
Ketika k embali ke sisi Nike senja itu, aku sudah merasa waktu nya hampir tiba. Saat perpisahan
sudah di depan mata.
, Aku telah mengantar Nike sampai ke suatu tapal batas. Ke tempat sampai di mana aku boleh ikut. Sesudah itu, kami harus berpisah. Nike harus berjalan sendiri meninggalkanku. Dan untuk pertama kalinya, aku harus merelakan gadis kecilku yang manja itu melangkah seorang diri di jalan yang aku sendiri pun belum pernah melewatinya!
Ketika aku datang, Nike masih bisa membuka matanya. Masih bisa merintih menyambut kedatanganku. Tapi rintihannya sudah sangat lemah. Hampir tak dapat kutahan air mataku melihat keadaannya saat itu.
Tubuhnya yang kurus, dengan memar kebiru-biruan yang menodai kulitnya yang pucat di sana-sini, tampak terlalu kecil untuk ranjang sebesar itu. Alangkah cepatnya penyakit yang ganas itu menggerogoti tubuh anakku! Padahal beberapa bulan sebelumnya, Nike masih gemuk dan lucu.
Masih terbayang di mataku bagaimana lincahnya dia berlari-lari menyambut kedatangan ayahnya setiap hari! Sekarang jangankan berlari, bangun pun dia sudah tidak mampu. Dia terbaring tidak berdaya di tempat tidurnya.
Botol darah yang isinya* tinggal seperempat itu masih tergantung di sisinya. Jarum transfusi masih menghujam di kakinya. Tapi tak ada harapan lagi yang terpancar dari sana. Darah itu tidak akan mengembalikan Nike kepadaku. Darah itu hanya menyambung hidup anakku. Entah sampai kapan!
Bahkan obat yang dibawa Dokter Atmo dari Jakarta pun tidak mampu lagi memberi harapan. Tetapi bagaimanapun aku merasa berutang budi pada dokter muda yang baik itu. Dari lapangan terbang, dia langsung menuju ke rumah sakit. Hanya supaya dapat memberikan obat itu secepatnya pada Nike.
"Kenapa sebaik ini pada kami, Dokter?" gumamku terharu.
"Di Jakarta, saya juga punya anak perempuan sebesar Nike, Bu," katanya sederhana sekali. "Saya bayangkan bagaimana kalau dia yang sakit semen- , tara saya sedang bertugas di sini. Istri saya pasti . sama bingungnya dengan Ibu. Tapi dia pasti tidak setabah Ibu. Belum pernah saya bertemu dengan wanita yang begitu tabah."
"Saya pun belum pernah bertemu dengan dokter yang sebaik Anda, Dokter Atmo," sahutku getir. "Uang yang Dokter pakai untuk membeli obat itu, entah kapan saya baru dapat mengembalikannya."
"Sebagian uang Dokter Mochtar, Bu," katanya
inalu-malu. "Entah kenapa. Biasanya dia sangat
pelit."
Ketika jarum transfusi dicabu t dari pembuluh darah Nike malam itu, aku sudah mem punyai firasat. Inilah barangkali kesempatan yang terak hir. Nike takkan pernah ditransfusi lagi. Keadaannya su dah sangat payah. Kalau dulu setiap habis ditransfusi Ni ke seolah-olah mendapat tambahan tenaga baru, kini ti dak lagi. Tambah darah atau tidak, sama saja kelihatan nya. Dia tetap terkulai lemah. Tidak bergerak sama sek ali.
Hanya matanya selalu menatapku. Mat a yang dulu bening itu! O, kini mata itu redup tidak ber cahaya!
Tak ada lagi kata-kata yang dapat diucapkannya. Ia sudah sangat lemah. Ia hanya dapat merintih. Dengan rintihan yang tidak jelas pula.
Satu-satunya komunikasi yang masih tersisa adalah matanya. Mata itu seolah-olah menyuarakan isi hatinya. Mengimbau belaian kasih sayangku yang terakhir. Mengimbauku untuk memberi selamat berpisah. Dan mengimbauku untuk memanggil ayahnya.
Tapi yang dapat kulakukan malam ini hanyalah mendekapnya erat-erat. Menimangnya seperti ketika ia masih bayi dulu. Membe lai-belai kepalanya dengan lembut Dan membisikkan k asih sayangku dengan semua cara yang masih dapat k ulakukan.
Tampaknya, Nike pun menikmati belaian kasih ibunya yang terakhir. Dan melihat sikapn ya itu, aku sadar, saatnya hampir tiba.
Mal am ini. aku insaf, aku sudah harus mulai mempersiapka n Nike. Dia akan menempuh perjalanan yang amat jau h. Ke tempat yang tidak mempunyai jalan untuk kemb ali. Tapi aku sadar, bagi anak sekecil Nike, Tuhan pasti t elah menyiapkan tempat yang sangat nyaman.
Dia masih kecil. Masih suci. Belum berdosa. Tuhan pasti sayang padanya. Dan aku sudah pasrah. Dia yang memberi, Dia pula yang mengambil. Daripada Nike menderita lebih lama, biarlah dia pulang dengan tenang ke rumah Bapaknya bila waktunya telah sampai.
Syukur siang tadi aku telah menulis surat buat Mas Irwan. Dokter Mochtar sendiri, setelah kuberi-tahu bahwa Mas Irwan sedang ditahan, memerlukan menulis sepucuk surat untuk yang berwajib di sana. Dan Suster Ida sudah menyatakan kesediaannya untuk membawa surat itu.
Aku benar-benar terharu dibuatnya. Dalam keadaan sedih ini, dukungan dan simpati segenap tenaga medis dan paramedis di rumah sakit itu terasa amat membantu.
Mereka bukan hanya merawat Nike, Mereka memanjakannya. Tanpa setahuku, mereka telah mengumpulkan uang untuk membeli sebuah boneka
buat Nike. Boneka yang sangat bagus. Yang sudah
lama didambakan Nike. Yang belum sempat dibelikan ayahnya.
Sayang, Nike sudah tak dapat memainkannya lagi. Dari tempatnya berbaring, dia hanya dapat memandangi boneka itu. Kalau dia ingin menyentuhnya, salah seorang dari perawat-perawat yang menemaninya harus membawa boneka itu ke dekat Nike.
Tapi keesokan paginya, Nike sudah tak dapat mengangkat tangannya lagi. Dia mulai kelihatan sulit bernapas, sehingga Dokter Mochtar yang terus-menerus menungguinya, menginstruksikan memberi oksigen untuk membantu pernapasannya
Dua jam lebih Dokter Mochtar dan perawat-perawatnya berjuang mempertahankan hidup Nike, Tetapi ketika darah mulai mengalir lagi dari lubang hidung dan mulutnya, aku sudah merasa, semuanya akan sia-sia.
Lebih-lebih ketika Nike mulai memuntahkan cairan hitam dari perutnya. Suster Ria yang sedang mengisap lendir yang menyekat leher Nike langsung mengucurkan air mata. Dan melihat keadaan Nike saat itu, wajah pucat seperti mayat, tubuh penuh bercak-bercak biru legam, perdarahan di sana-sini, aku tak tahan lagi.
"Hentikan semuanya, Dokter!" teriakku histeris, "Hentikan! Biarkan dia berlalu dengan tenang! Biarkan dia pergi!"
Nike sudah tidak sadarkan diri ketika pendeta muncul di kamarnya. Dan begitu pendeta itu selesai memberkati, Dokter Mochtar menjamah tanganku.
"Ucapkan selamat jalan kepadany
↧
Matahari Di Batas Cakrawala - 11
↧