Cerita Silat | Tarian Liar Naga Sakti | by Marshall | Tarian Liar Naga Sakti | Cersil Sakti | Tarian Liar Naga Sakti pdf
Hantu Di Pegunungan Batu - Karl May Pasangan Sempurna Yang Di Takdirkan Bag II Mimpi Mimpi Terpendam - Mira W Fear Street - Kucing Perempuan Kedua - Mira W
"Ban Liong Sian Sin Kang ....."? kejut Tek Hoat dan Giok Lian bersamaan "Benar, apakah kalian berdua pernah mendengarkannya ....."? "Nenek buyutku di Bengkauw pernah menuliskannya di sebuah catatan kitabnya. Tetapi, dia menyebutnya sebagai "ilmu khayalan" yang nyaris tidak pernah dibuktikan keberadaannya selama ratusan tahun ini.
Hanya itu yang dituliskannya, selebihnya tidak ada sedikitpun yang kuketahui Liong ko ......" "Benar Liong ko, suhu hanya menyebut bahwa pernah ada sejenis tenaga sakti yang tidak terlawan. Tetapi, tenaga sakti itu praktis tidak bisa dilatih, tetapi hanya bisa dicapai dan dikuasai berdasarkan jodoh.
Bagaimana caranya, suhu tidak mampu menjelaskan.
Tetapi, dalam dongeng, konon pada ratusan tahun yang silam, ada seorang pendekar pengemis yang entah bagaimana mampu menguasai tenaga sakti yang dalam khayalan tersebut. Tenaga itu menjadi serupa ilmu dongeng yang tidak pernah nyata, hanya ada dalam cerita-cerita masa silam tanpa kouwkuat (teori) yang dapat dilatihkan. Jika engkau sungguh menguasainya, rasanya sedikit mustahil memang ......." Tek Hoat ikut menambah penjelasan dari yang didengarnya dahulu, tepatnya dari gurunya Kiong Siang Han yang sudah almarhum itu.
"Lian Moi, Lan Moi, Hoat te ....... sejujurnya, ketika membaca penjelasan Koai Todjin mengenai Ban Liong Sian Sin Kang, akupun merasa heran. Karena konon, tenaga sakti itu nyaris seperti dongeng dan tidak ada teori melatihnya. Ilmu itu, konon hanya mampu dikuasai berdasarkan jodoh, tetapi yang aneh, Locianpwee itu menuliskan bahwa bukan tidak mungkin GIOK CENG SINKANG adalah salah satu jalan mencapainya. Lebih dari itu, beliau tidak memberikan penjelasan lagi ......" "Accccchhhhh, jika benar demikian, sungguh luar biasa engkau Liong ko ......." Tek Hoat memuji dengan hati jujur.
"Entahlah Hoat te, akupun sama sekali tidak lagi memikirkannya ....... Benar atau tidak itu merupakan Ban Liong Sian Sin Kang, kita lihat nanti kedepan sajalah ......" "Benar Liong ko ..... kita mesti mensyukurinya. Tetapi, gerakanmu tadi ketika memukul keduanya sungguh mujijat, apakah adalah bagian dari ilmu mujijat itu ....."? Giok Lian bertanya, karena dia memang mengikuti secara detail pertempuran hebat tadi.
"Justru itu aku memanggil kalian semua untuk berdiskusi denganku Lian Moi. Karena ternyata, lawan terberat kita bukanlah lagi penguasa Cit Sat Sin Ciang, Naga Pattynam dan Wisanggeni itu, tetapi ada kekuatan lain yang bahkan masih lebih hebat lagi.
Chandra Gupta, hanya salah satu contoh. Dia, sebagaimana Tek Hoat, masih belum memperlihatkan siapa dirinya yang sebenarnya. Karena itu, aku ingin mendiskusikan beberapa hal dengan kalian, sebagaimana kulakukan dengan Kwi Song dan Thian Ki Hwesio di Poh Thian ......." Dan malam itu, Ceng Liong "memamerkan" kemampuan barunya dalam "menilai" dan "menganalisis" kemampuan dan ilmu lawan.
Kemampuan yang semakin terasah sejak di Siauw Lim Sie dan entah mengapa, sejak itu, otaknya seakan menjadi sangat terang terhadap ilmu silat. Dia, bagaikan seorang maha guru, menilai Bu Sing Sinkang, menilai Pek Lek Sin Jiu dan Hang Liong Sip Pat Tjiang dan Liang Gie Sim Hwat. Dan dengan cara itu, dia meningkatkan kemampuan Tek Hoat, Mei Lan dan Giok Lian sampai ke tahap yang di laur dugaannya. Ketiganya bagai singa tumbuh sayap ketika selesai berdiskusi dengan Ceng Liong dan melatih kebali ilmu mereka.
Tek Hoat misalnya. Dalam Hang Liong Sip Pat Tjiang yang snagat masyur itu, kehebatan dan keampuhan utamanya adalah jika mampu merangkainya dalam satu serangan dengan melepasnya berangkai dan tanpa putus. Ceng Liong membantu Tek Hoat menemukan formula, bagaimana menjaga keampuhannya yang membadai dan meningkat, meski sempat disela oleh serangan lawan. Pada dasarnya, Hang Liong Sip Pat Tjiang dapat dimainkan satu demi satu dengan jurus serangan yang mampu menggedor pesilat kelas satu sekalipun. Tetapi, dalam menghadapi lawan yang nyaris setanding, ilmu tersebut seperti kekurangan keampuhannya karena terputus-putus. Ceng Liong mencari daya bersama Tek Hoat untuk tetap menjaga rangkaian dan otomatis keampuhannya tetap membadai meski disela oleh satu atau 2 serangan lawan. Dan setelah beberapa lama, Tek Hoat terlihat tersenyum gembira. Karena diapun akhirnya mengerti apa yang dipahamkan Ceng Liong kepadanya.
Hal yang sama juga dialami oleh Giok Lian. Dia seperti sanggup menyatukan Bu Sing Sinkang dengan hawa sakti perguruannya. Dengan cara itu, sangat disadari secara langsung oleh Giok Lian, jika hawa Bu Sing Sinkang, kini dapat secara leluasa dimainkannya.
Tetapi, yang membuatnya heran dan bertanya adalah, mengapa tenaga saktinya seperti meningkat 2 kali lipat.
"Liong ko ...... apakah engkau tidak menyiasati aku? Mengapa kekuatanku rasanya berlipat kali dari biasanya ...."? "Lian Moi ....... sebelumnya, kekuatan Bu Sing Sinkang seperti berada pada ruang berbeda dengan hawa sakti khas Bengkauw. Untuk engkau ketahui, ketika aku melatih dan memasuki hawa saktimu tadi, aku meruntuhkan penghalang dan sekat itu, sekaligus menguatkan organ dalammu agar mampu menampung hawa sakti yang berbaur itu. Dan, harus kukatakan, engkau lebih dapat disebut murid Bhiksu Thian Tok ketimbang murid Bengkauw ............
kekuatan Bu Sing Sinkang sekarang sudah membaur dengan tubuhmu, karena itu, engkau harus mulai belajar menakar tenaga yang digunakan. Karena sinkang yang kini sempurna mengendap dalam tubuhmu, kekuatannya sungguh luar biasa ........ lebih baik engkau mulai belajar mengenali kekuatannya sekarang ini Lian Moi ....... jika tidak, berbahaya bagi lawanmu ....." "Baik ...... baik, terima kasih Liong ko ......" sambil berkata demikian, Giok Lianpun menyusul Tek Hoat tenggelam dalam samadhi. Tingkat mereka sekarang berbeda dengan dahulu. Berlatih, kadang tidak lagi di lapangan atau lian bu thia, tetapi dapat dilakukan dalam samadhi. Belakangan bisa menyusul tata geraknya.
Setelah Giok Lian dan Tek Hoat tenggelam dalam samadhi, kini tinggal Mei Lan dan Ceng Liong. Tetapi, sebelum Ceng Liong bersuara, adalah Mei Lan yang terlebih dahulu berkata kepadanya: "Akupun senang jika bisa berlatih seperti enci Lian dan Tek Hoat koko, tetapi, kita sudah cukup lama berpisah koko. Apakah ....... apakah ..... engkau ......" Mei Lan tidak mampu menyelesaikan kalimat-kalimatnya, tetapi memandang Ceng Liong dengan cinta yang tak tersembunyikan.
"Moi-moi, engkau sudah mengenalku sejak sangat awal. Jika engkau merindukanku, maka akupun pasti demikian. Tetapi, sudahlah. Kita selesaikan tugas kita, setelahnya kita akan menghabiskan waktu untuk menyepi dari semua kekisruhan dunia persilatan ini.
Cuma saja, sebelum kita menyelesaikan tugas, lawan-lawan kita yang akan datang, adalah lawan- lawan yang sangat luar biasa. Aku tidak akan bisa tenang jika engkau dan kawan-kawan kita tidak sanggup menghadapi mereka ........" "Benarkah demikian Liong ko ...... kita akan menyepi setelah ini ....."? "Benar Lan moi ....... apakah engkau pikir kita akan terus terusan berkelana di dunia Kangouw ini, bagaimana dengan anak-anak kita nantinya ...."? "Ach ....... koko ........." Setelahnya keduanya saling pandang penuh cinta.
Tetapi, mereka cukup sadar, kalau ada Tek Hoat dan Giok Lian bersama mereka. Karena itu, rasa sayang mereka hanya dipancarkan lewat air mata dan perhatian yang sangat menghangatkan hati dan dahaga cinta mereka berdua. Dan setelahnya, Mei Lan juga sama dengan Giok Lian dan Tek Hoat berdiskusi cukup panjang dengan Ceng Liong.
Selain Liang Gie Sim Hwat yang merupakan dasar mujijat semua murid Bu Tong Pay, Mei Lan juga diturunkan sejumlah gerak mujijat yang didalami Ceng Liong dengan kedua sesepuh Siauw Lim Sie.
Bahkan, belakangan mereka berdua berdiskusi cukup lama dengan Mei Lan berpatokan pada Ban Hud Ciang dan berusaha mengendapkan dengan tata gerak mujijat Siauw Lim Sie yang diserap Ceng Liong.
Karena itu, kelak Mei Lan memperoleh berbeda dengan Kwi Song dan Kwi Beng dengan tata gerak yang sama yang disarikan oleh Ceng Liong.
Bahkan, dengan mempertimbangkan keistimewaan Mei Lan, mereka berdua akhirnya bukan hanya menyempurnakan Ban Hud Ciang belaka, tetapi menciptakan sebuah skema ilmu baru yang mereka namakan Ban Can Hud Teng (Laksaan Lampu Buddha Menyala). Skema utamanya adalah Ban Hud Ciang, kemudian dalamnya masuk 3 gerak utama yang disarikan Ceng Liong, dan mereka mereka menyebutnya dengan jurus-jurus: Jurus Sian-li-coan- ciam (Dewi Menusukan Jarum); Jurus Sian-jin-sui-po (Dewa Menyambut Mustika), dan Sian Thian Sin Cin (Jarum Dewa Pengokoh Langit). Giok Lian tidak menyadari jika dalam jurus terakhir, justru masuk gerak mujijat dari Ceng Thian Sin Ci yang digunakan oleh Ceng Liong dalam pertarungan tadi sore.
"Lan moi ...... berhati-hatilah dengan ketiga jurus serangan Ban Can Hud Teng itu. Ketiganya merupakan gerak mujijat yang sangat berbahaya. Sebagaimana Giok Lian, sebaiknya engkau melatih kadar tenaga pendorongnya agar tidak sembarangan mencelakai orang. Ketiganya benar-benar ilmu "menyerang", karena itu sebaiknya tidak sembarangan engkau keluarkan menyerang lawan. Hawa Liang Gie ternyata merupakan sumber kekuatan yang sungguh tak terkira, semakin lama dan dalam engkau menguasainya, makin kuat tenaga saktimu. Karena itu, jangan pernah berhenti memperdalamnya dari waktu kewaktu....." "Baik koko ......" Dan tidak lama kemudian, bukan hanya Giok Lian dan Tek Hoat, tetapi kini Mei Lan juga tenggelam dalam samadhinya. Mereka bertiga mungkin tidak sadar, jika kemajuan yang mereka latih malam hari ini, membuat mereka kembali melonjak cukup jauh dalam penguasaan ilmu-ilmu mereka. Tanpa mereka sadari, Ceng Liong menuntun mereka semakin tinggi dan semakin dalam menelaah kemampuan mereka.
Dengan jalur perguruan berbeda, mereka berkembang dan meningkatkan kemampuan hingga ke batas yang mereka tidak sadari malam itu. Dan melihat ketiganya tenggelam dalam samadhi yang dalam, Ceng Liongpun kemudian tersenyum senang.
Dia memang membutuhkan kawan-kawannya ini dalam pertarungan-pertarungan kedepan. Selain memang, dia mengasihi ketiganya. Terlebih kakak beradik Tek Hoat dan Mei Lan. Dengan merekalah dia membagi masa lalu dan bahkan menolongnya sejak dari dia menjadi seorang anak yang kehilangan ingatan. Dan terhadap Giok Lian, bukan saja karena dia adalah calon istri Tek Hoat, tetapi karena Giok Lian adalah adik dari seorang Nona yang sudah dianggap sebagai istrinya: Giok Hong.
Mengingat semuanya, Ceng Liong jadi merenung serta memetakan kembali jalan hidup yang terasa aneh.
Dia kehilangan masa kanak-kanaknya juga masa remajanya karena bergelut dengan ilmu silat. Dan setelah lulus dari perguruan, terjebak dalam kekisruhan rimba persilatan yang menjadi tanggungjawab mereka. Merekapun berkelana dan mengarungi dunia persilatan yang penuh intrik, penuh konflik dan penuh pertentangan. Memikirkan suatu saat akan hidup tenang membuat Ceng Liong tersenyum. Tetapi, ingatan lain membuat wajahnya mengeras. Ingatan akan ibu kandungnya yang berasal dari kaum sesat, ingatan akan muridnya, ingatan akan tewasnya Yok Sian Sin Kay dan Kim Ciam Sin Kay, membuat Ceng Liong termenung. Dia kesal dan menysali diri atas bencana yang menimpa kedua tokoh utama Kaypang itu. Hingga saat ini dia masih merasa menyesal dan cenderung menyalahkan diri sendiri. Tetapi, begitupun, tidak mungkin jarum jam diputar agar mereka hidup kembali.
Sekali lagi dia memandangi ketiga teman-temannya yang sedang khusyuk berlatih itu. Darisana sumber kekuatan dan sumber semangatnya. Pertemanan dan persahabatan mereka. Jika bukan karena mereka, dia akan benar-benar sendirian menghadapi konflik dan pergolakan dunia persilatan yang penuh intrik itu. Dan kini, mendampingi dan menjaga ketiga kawannya itu, dengan semua ingatan, memory dan kenangan, membuat Ceng Liong terkadang tersenyum, terkadang kesal. Tetapi, untungnya dia sudah teramat matang sekarang ini. Dia berada dipuncak kekuatan dan kesempurnaan ilmu sekarang ini. Dan dia sangat sadar, jika banyak orang menyandarkan sekaligus mengandalkan dirinya menghadapi pergolakan yang terjadi.
Dan terakhir, Ceng Liong berdebar-debar dengan kalimat terakhir Kim Ciam Sin Kay. Kalimat yang membuatnya gelisah. Apakah artinya? Apa makna kalimat "aku sudah menemukannya ....."?. Sungguh sulit, karena selain kalimat itu Kim Ciam Sin Kay tidak lagi meninggalkan kalimat lainnya. Padahal, dia sangat terobsesi dengan lanjutan kalimat itu. Jika sudah ditemukan, apa gerangan yang ditemukan itu? dan dimana pula "sesuatu" yang ditemukannya itu? Sungguh pertanyaan yang membuatnya gemas karena sulit untuk menebak dan menduganya. Dan dia tidak berani terlampau berharap selain menunggu di Kaypang agar "sesuatu yang ditemukan" Kim Ciam Sin Kay itu dapat muncul dengan sendirinya.
Begitulah, tak terasa sudah sejam Ceng Liong berdiam diri dan menyusun kembali semua ingatan dan kenangan yang berkaitan dengan dirinya. Suasana di luar sungguh senyap, teramat senyap. Dan kesenyapan itu, tiba-tiba melahirkan suasana aneh dalam diri Ceng Liong. Dan seketika diapun siaga.
Sesuatu yang "aneh" sedang terjadi, dan dia yakin bahwa sesuatu itu menyasar dirinya.
"Astaga, siapa gerangan tokoh sehebat itu ....."? Kewaspadaan dan kesadaran Ceng Liong yang sudah begitu tinggi dengan cepat menangkap kedatangan atau "adanya" sesuatu yang luar biasa yang sedang menuju dirinya. Dan tentu saja, dia mesti bersiap menyambutnya. Untuk itu, dia perlu membentengi dan sekaligus membekali diri dengan ilmu lainnya, Cing-peng-kang-khi’ (ilmu ketenangan jiwa). Ilmu itu membuatnya mampu menyerap energy dan memantau keadaan sekitar dirinya sampai jarak yang cukup jauh, bisa sampai lebih dari 100 meteran.
Dan dia segera mendapatkan jawabannya. Perlahan- lahan dari kejauhan sesuatu yang terikat rapih mendatanginya. Luar biasa jika digambarkan. Sehelai kertas yang digulung dan diikat dengan rapih. Dan yang luar biasa, kertas tersebut melayang dengan sendirinya dan kecepatan biasa saja bagai terbang menuju dirinya. Dan begitu sampai di depannya, kertas itu tidak langsung jatuh ke tanah, tetapi mengambang beberapa saat. Dan di telinganya Ceng Liong mendengar sebuah suara:
↧
Tarian Liar Naga Sakti - 180
↧