Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Musim Panas Berdarah - 5

$
0
0

Cerita One Evil Summer | Musim Panas Berdarah | Serial fear street | Musim Panas Berdarah | Cersil Sakti | Musim Panas Berdarah pdf

Vampire Academy 2 : Frostbite - Richelle Mead Lupus Kecil - Hilman Hariwijaya Anak Kos Dodol - Dewi Rieka Aku Sudah Dewasa! - And Baby Makes Two - Dyan Sheldon Anugerah Bidadari - Astrella

ng tergolek di tanah. Bocah itu menghilang selama beberapa saat, lalu muncul kembali dengan membawa daun-daunan dan batang-batang pinus. "Kita buatkan alas yang nyaman untuknya," kata Kyle sambil menghamparkan bawaannya itu di dalam lubang yang sudah digali Amanda.
  Kemudian mereka membaringkan Mr. Jinx ke dalam liang kuburnya, dan menutupinya dengan daun-daunan sebelum menutup kuburan itu dengan tanah. Debur ombak terdengar menggelegar di telinga Amanda.
  "Aneh, bagaimana mobil itu bisa tiba-tiba melesat begitu saja ke halaman?" tanya Amanda sambil menepuk-nepuk tanah.
  Kyle mengangkat bahu. "Aku takut sekali," akunya. "Waktu itu aku sedang mencoba memukul kok, jadi tidak melihat mobil itu datang. Kau melihatnya?"
  "Ya. Persis seperti kata pria itu. Tiba-tiba mobil itu seolah punya nyawa sendiri."
  "Ih, mengerikan," bisik Kyle.
  "Yeah. Mengerikan."
  ***********************************************
  Mati rasa. Itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan Amanda.
  Saat ber-barbecue bersama keluarganya di dek, ia tidak sanggup menghabiskan satu potong hot dog pun. Rasanya tidak percaya kalau sekarang kucing kesayangannya sudah benar-benar tidak ada.
  Seusai makan malam, ia mengurung diri di kamar dan mencoba berkonsentrasi pada buku aljabarnya.
  Terdengar suara-suara tawa dari ruang tamu. Keluarganya sedang asyik bermain tebak kata. Orangtua Amanda berusaha sekuat tenaga agar anak-anaknya melupakan peristiwa siang tadi.
  Tidak ada yang mengajak Amanda main. Amanda tidak tahu harus merasa bagaimana.
  Mungkin mereka tidak ingin mengganggunya, karena tahu ia sedang berduka atas kematian Mr. Jinx. Atau mereka sudah lupa padanya? Apakah Chrissy telah menggantikan kedudukannya?
  Tak bisa berkonsentrasi, Amanda menutup buku aljabarnya. Sambil mengeluh ia turun ke ruang tamu, untuk bergabung dengan keluarganya.
  Dari ambang pintu, ia memperhatikan jalannya permainan. Seluruh anggota keluarganya tampak asyik bermain, sampai tidak melihatnya datang.
  Chrissy berdiri di tengah-tengah lingkaran. Ia membuat gerakan-gerakan seperti mencakar. Lalu meletakkan jari-jarinya di pelipis.
  "Banteng!" tebak Kyle.
  Chrissy menggeleng. Lagi-lagi tangannya membuat gerakan seperti mencakar.
  "Kucing!" terka Merry.
  Chrissy menyentuh hidungnya sebagai tanda tebakan Merry tadi benar. Lalu ia menyambar topi pet Kyle, melemparnya ke lantai, menendang sandalnya hingga terlepas, dan menginjak topi itu.
  "Kucing dalam Topi!" seru Mrs. Conklin.
  "Benar!" sahut Chrissy gembira.
  Maksudmu kucing dalam kubur, pikir Amanda getir.
  Ia berbalik dan cepat-cepat masuk kembali ke kamarnya. Sambil mengembuskan napas kesal, ia mengempaskan badannya ke tempat tidur. Hari ini benar-benar melelahkan...
  Malam yang abu-abu keperakan turun me-nyelimuti bumi. Amanda pun jatuh tertidur.
  Dalam tidurnya, Amanda bermimpi macam-macam. Suatu kali ia mimpi Mr. Jinx tenggelam di kolam. Ia terjun untuk menyelamatkannya. Tapi dari dasar kolam muncul gurita raksasa, membelitnya dengan tentakelnya yang besar-besar.
  Ia meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari belitan.
  Tidak berhasil.
  Bagaikan terseret oleh gelombang pasang-surut, Amanda merasa tidak berdaya melepaskan diri dari kekuatan yang lebih besar itu.
  Yang mengerikan, dilihatnya dasar kolam menganga, menampakkan lubang besar yang gelap gulita.
  Gurita raksasa itu meloncat masuk ke dalam lubang gelap itu, menyeret Amanda yang meronta-ronta ke dalamnya. Jauh, jauh sekali ke dalam kegelapan.
  Amanda terbangun. Ia duduk dengan perasaan bingung.
  Aku masih berpakaian lengkap, pikirnya.
  Kapan aku ketiduran?
  Matanya melihat dalam kegelapan. Apa itu yang berkilau merah?
  Ternyata jam digitalnya.
  Lambat laun matanya terbiasa melihat dalam gelap. Ingatlah dia di mana ia berada sekarang.
  Bukan di dalam lubang gelap. Tapi di kamar tidurnya.
  Suasana hening. Hanya suara jangkrik yang terdengar, memecah kesunyian malam. Angka-angka merah di jam digitalnya menunjukkan pukul 12.28.
  Amanda berdiri dan berjalan ke jendela. Cahaya bulan purnama yang putih pucat menyinari wajahnya.
  Perutnya keroncongan. Mulutnya terasa kering. Aku mau minum, pikirnya. Sambil mengucek-ucek mata, ia menyelinap ke lorong yang gelap.
  Seisi rumah sunyi senyap. Semua sudah tidur. Tanpa bersuara, Amanda berjalan menyusuri lorong.
  Ketika sampai di dekat kamar Chrissy, ia melihat pintu kamar itu terbuka.
  Apakah Chrissy keluar? Hati-hati Amanda mengintip ke dalam kamar yang gelap itu.
  Chrissy berdiri di bawah sinar bulan yang berkilauan. Ia memakai gaun malam panjang tanpa lengan dan berwarna putih.
  Dilihatnya Chrissy menyentakkan kepalanya ke belakang dan tertawa nyaring.
  Kenapa ia kelihatan tinggi sekali? tanya Amanda dalam hati, keheranan. Matanya memelototi kamar yang gelap itu.
  Tipuan mata?
  Atau aku masih bermimpi?
  Sekonyong-konyong Chrissy merasakan kehadiran Amanda dan berbalik secepat kilat.
  Amanda menutup mulutnya dengan tangan.
  Di bawah sinar bulan yang pucat, wajah Chrissy tampak berubah---sangat menyeramkan.
  Chrissy memelototi Amanda dan tertawa. Tawanya jahat dan keji.
  Amanda ingin berbalik, tapi tidak bisa.
  Tatapan Chrissy seakan melumpuhkannya.
  Membekukannya. Menahannya.
  Tinggi sekali...
  Mengapa Chrissy terlihat begitu tinggi?
  Saat itu barulah tampak oleh Amanda.
  Tidak! Ia menjerit tanpa suara, tidak percaya.
  Tidak!
  Tapi yang dilihatnya itu benar.
  Chrissy melayang setinggi lima belas senti dari lantai!
  EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
  Chapter 7
  Tertekan
 
 
 
 
 
 
  BERCAK-BERCAK ungu tua melayang di depan mata Amanda. Sebagian dari dirinya ingin tenggelam lagi dalam kegelapan, tapi yang sebagian lagi berjuang keras untuk sadar sepenuhnya.
  Lambat laun bercak-bercak ungu itu memudar, berganti menjadi abu-abu.
  Kabut menipis, dan muncul wajah ayahnya.
  Mula-mula jauh sekali. Lalu semakin dekat.
  Semakin dekat.
  "Kurasa ia sudah mulai sadar," Amanda mendengar ayahnya berkata. Ia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh keningnya. Lalu wajah khawatir ibunya muncul dari balik kabut abu-abu.
  "Apa yang terjadi?" tanya Amanda lemah. "Kepalaku sakit. Kenapa Mom dan Dad ada di sini?"
  "Kau jatuh pingsan," jawab Mr. Conklin. "Aku bangun untuk minum dan menemukanmu tergeletak di depan kamar Chrissy."
  Chrissy! Nama itu memicu ingatannya.
  Dengan susah payah Amanda berusaha bangkit, menyangga badannya dengan kedua siku. "Kalian harus mengusirnya!" pinta Amanda dengan suara melengking. "Harus! Kumohon!"
  "Tenanglah, Amanda," hibur Mrs. Conklin, memegangi lengannya dengan lembut.
  Amanda menepiskan tangan ibunya. "Mana bisa tenang. Kita semua bisa celaka kalau ia tidak segera kita singkirkan!"
  Amanda berusaha agar suaranya tidak terdengar gemetar. Ia tahu, ia kedengaran kalap. Tapi i a tidak bisa mencegahnya.
  Mereka harus percaya padanya. Harus!
  "Tadi Chrissy---melayang. Aku melihatnya!"
  Mr. dan Mrs. Conklin saling melirik dengan wajah cemas.
  "Dengarkan aku!" kata Amanda berkeras. "Chrissy melayang. Hampir tiga puluh senti dari lantai! Memangnya kenapa aku pingsan?"
  Mr. Conklin menggosok-gosok bahu Amanda. "Kami tidak tahu, Sayang, tapi kami yakin bahwa---"
  "Tidak!" potong Amanda. Ia melompat berdiri. "Ayo ikut aku. Kalian lihat saja sendiri."
  "Amanda---jangan!" seru ibunya memohon.
  Tapi Amanda sudah menuju ke kamar Chrissy. Didorongnya pintu kamar itu hingga terbuka. Ia berbalik dan melihat kedua orangtuanya berada tepat di belakangnya.
  Lalu ia melangkah memasuki kamar itu. Dalam gelap dilihatnya Chrissy berbaring di tempat tidur.
  Tidur?
  "Ada apa?" Chrissy mengangkat kepalanya. "Ada masalah?" bisiknya dengan suara mengantuk.
  Sekujur tubuh Amanda gemetaran. "Tadi kau melayang!" pekiknya. "Jangan bohong! Aku melihatnya tadi!"
  "Melayang?" tanya Chrissy sambil mengucek-ucek matanya. "Amanda, aku tidak mengerti."
  Amanda tidak tahan lagi melihat tingkah Chrissy yang sok lugu itu.
  "Dengar, sebelum ini aku tidak pernah mengkhayal yang tidak-tidak!" jeritnya marah. "Dan sekarang aku juga tidak mengkhayal!"
  Chrissy memandang orangtua Amanda. "Ia bercanda, ya?"
  Amarah Amanda meledak. Darahnya mendidih.
  Diterjangnya Chrissy. "Pembohong! Pembohong!" jeritnya. Ia menyambar bahu Chrissy dan mengguncangkannya keras-keras.
  Chrissy ternganga kaget.
  "Pembohong! Pembohong!" pekik Amanda dengan suara melengking tinggi yang belum pernah didengarnya sebelum ini.
  Mendadak terasa ada sepasang tangan kuat yang menarik badannya.
  Mr. Conklin menyambar pinggang Amanda dan menariknya. Pegangannya kuat sekali, membuat Amanda tak bisa melepaskan diri.
  "Maaf, Chrissy," kata Mr. Conklin. "Sudahlah, tidur saja lagi. Kami benar-benar menyesal."
  Napas Chrissy masih memburu. Ia bangkit dari tempat tidur dengan badan gemetar. "Amanda tidak apa-apa? Kenapa ia mengamuk seperti itu? Ada yang bisa saya bantu?"
  "Tidak. Sudahlah," ujar Mr. Conklin. "Biar kami saja yang mengurusnya. Ia tidak apa-apa. Kau tidur saja lagi."
  Amanda tidak berontak. Ia membiarkan dirinya dibawa oleh kedua orangtuanya keluar dari kamar Chrissy.
  Menuruni tangga. Ke ruang tamu.
  Mr. Conklin mendudukkan Amanda di so fa. Ia memegangi pergelangan tangan Amanda dengan lembut tapi kuat.
  Perasaan Amanda campur aduk. Takut. Malu. Marah. Tertekan.
  Perasaan yang campur aduk itu semakin menggunung---sampai ia tidak bisa menahannya lagi. Akhirnya pertahanannya jebol, dan tangisnya meledak.
  Amanda membungkuk, menutupi wajahnya dengan tangan, dan membiarkan air matanya membanjir.
  Sejurus kemudian terdengar suara langkah kaki seseorang memasuki ruang tamu. Ia mendongak dan melihat Kyle, yang mengucek-ucek matanya dengan mengantuk. "Amanda kenapa?"
  Mrs. Conklin cepat-cepat bangkit dari kursinya dan membalikkan badan Kyle. "Tidak apa-apa, Sayang. Ia cuma sedih memikirkan Mr. Jinx. Tidurlah lagi."
  "Aku ngerti," gumam Kyle, tersaruk-saruk kembali ke kamarnya.
  "Mungkin ibumu benar," kata Mr. Conklin lembut. "Kau pasti masih shock karena kejadian hari ini. Aku sendiri juga masih sedikit shock. Aku tahu kau sayang sekali pada Mr. Jinx."
  Tadinya isak tangis Amanda sudah mulai reda. Tapi begitu mendengar nama Mr. Jinx disebut-sebut, tangisnya pecah lagi. Rasanya ia tidak bakal bisa berhenti menangis.
  Mrs. Conklin muncul kembali setelah mengantarkan Kyle ke kamarnya. Ia duduk di samping Amanda. "Sayang, apakah kau merasa Chrissy telah merebut kasih sayang kami terhadapmu?"
  "Mom---please!" isak Amanda. "Aku tidak mau ditanya-tanya sekarang!"
  Aku hanya ingin mereka percaya padaku, keluh Amanda dalam hati.
  Aku yakin pada apa yang kulihat di kamar Chrissy tadi. Aku harus membuat mereka percaya padaku.
  Ia menyeka air matanya dan menarik napas dalam-dalam beberapa kali, mencoba menenangkan diri. "Mom, Dad, pernahkah aku pingsan sebelum ini?"
  "Tidak," jawab Mrs. Conklin mengakui.
  "Pernahkah aku berkhayal yang tidak-tidak?"
  "Tidak," jawab Mrs. Conklin lirih.
  "Kalau begitu, kenapa kalian bilang aku berkhayal sekarang? Dan bagaimana aku bisa pingsan, bila aku tidak melihat sesuatu yang sangat mengerikan?"
  "Amanda," kata ayahnya dengan nada sungguh-sungguh. "Waktu makan malam, bisa dibilang kau tak makan apa-apa. Hari ini pun sangat melelahkan bagimu. Mungkin kau sedang tidak enak badan."
  "Mungkin juga kau ngelindur," timpal ibunya. "Kau mungkin bermimpi melihat Chrissy melayang, dan kemudian tertidur di lantai."
  "Kedengarannya itu sangat masuk akal," sahut Mr. Conklin sependapat.
  Masuk akal? Masuk akal?
  Masuk akalkah bila ia bermimpi melihat Chrissy melayang---lalu jatuh tertidur di depan kamar tidurnya?
  Ya, Amanda mengakui dengan segan. Memang masuk akal.
  Jauh lebih masuk akal daripada Chrissy melayang di udara.
  "Mungkin Mom dan Dad benar," Amanda menyerah, letih.
  Mrs. Conklin memperbaiki posisi duduknya. "Kau tahu," katanya memulai, "menulis artikel tentang stres yang dialami remaja membuat mataku benar-benar terbuka. Tekanan yang mereka alami sangat bervariasi. Mungkin kau mau berkonsultasi dengan guru pembimbing atau ahli jiwa."
  Amanda mengerang. "Mom, aku bukan anak dalam artikel Mom. Aku tidak perlu ke dokter jiwa."
  Mrs. Conklin menghela napas. "Kadang-kadang kita perlu menelaah perasaan-perasaan kita sendiri. Aku baru saja selesai membaca buku mengenai ngelindur, sebagai bagian dari riset untuk menulis artikel itu. Sering kali itu berarti orang yang bersan


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>