Baby on Loan | Bayi Pinjaman | by Liz Fielding | Bayi Pinjaman | Cersil Sakti | Bayi Pinjaman pdf
Vampire Academy 2 : Frostbite - Richelle Mead Lupus Kecil - Hilman Hariwijaya Anak Kos Dodol - Dewi Rieka Aku Sudah Dewasa! - And Baby Makes Two - Dyan Sheldon Anugerah Bidadari - Astrella
an ia malah memberi senjata pada pencuri itu-waktu mendengar teriakan kemarahan Mao yang segera diikuti oleh bunyi berdebam yang menakutkan.
Apa pencuri itu membunuh Mao? Apa Mao membunuh pencuri itu? Apa pun yang terjadi, jelas ia tidak bisa sembunyi di atas lebih lama lagi. Dengan tongkat cricket yang terangkat di depan tubuhnya dengan gemetar, Jessie perlahan-lahan menuruni tangga dan berjingkat-jingkat mendekati dapur.
35
Jessie terlalu letih untuk membersihkan da pur sebelum jatuh tertidur, tapi pemandangan yang dili hatnya membuatnya shock. Telur-telur yang hancur, tu mpahan susu melebar membentuk genangan kecil, yan g dijilati Mao dengan nikmat. Di tengah-tengah semua i tu, seorang pria yang tampaknya memenuhi ruangan y ang tersisa terbaring telentang, dengan darah merembe s keluar dari luka di dahi. Seorang pria yang mengenak an pakaian hitam-hitam seperti pencuri dari kepala sam pai kaki. Celana hitam, kemeja hitam, lengan bajunya digulung dan memperlihatkan lengan bawah yang berotot.
Pria itu tinggi dan kuat dan pasti bisa melucuti senjata Jessie dengan mudah.
Untungnya pria itu pingsan.
Atau mungkin tidak. Bahkan saat Jessie berdiri di sana, sedang menyelamati dirinya karena kenyataan itu, pria itu mengerang dan membuka matanya. Jessie mencengkeram tongkat itu lebih erat lagi, menelan ludah dengan gugup dan berseru dengan suara parau, "Jangan bergerak!"
Patrick menatap langit-langit. Langit-langit dapur. Ia sedang berbaring telentang di lantai dapur, dalam genangan air yang sangat dingin, dan kepalanya terasa hampir lepas. Ada seorang wanita berambut acak-acakan, setengah telanjang, memakai kacamata yang kebesaran, sedang mengancamnya dengan tongkat cricket miliknya. Apa wanita itu memukulnya dengan tongkat itu? Patrick baru saja
36
mengangkat tangan ke kepala untuk memeriksa lukanya.
"Jangan bergerak!" ulang wanita itu.
Kata-kata itu, yang sudah pasti bermaksud untuk mengancam-walaupun efeknya hilang oleh suaranya yang gugup-sebenarnya tidak diperlukan, patrick tidak berniat untuk bergerak. ia hanya mau memejamkan mata dan berharap semua ini sudah akan hilang waktu ia membukanya lagi.
Patrick mencobanya.
Mata pria itu terpejam lagi. Jessie memberanikan dirt mendekat selangkah. Dia terlihat sangat pucat dan luka besar di dahinya kelihatan parah. Oh Tuhan, dia akan meninggal. Pria itu akan meninggal dan Jessie akan disalahkan dan masuk penjara. Ttu yang biasanya terjadi. Kau membaca hal-hal seperti ini di koran setiap saat. Pencuri masuk dengan paksa, pencuri mati, pemilik rumah yang tidak bersalah masuk penjara.
Kevin dan Faye akan sangat menyesal bila saat itu tiba....
Jessie terkesiap. Apa sih yang dipikirkannya? Pria itu mungkin sudah masuk dengan paksa, tapi jelas dia membutuhkan bantuannya. Jessie menjatuhkan tongkat yang dipegangnya dan bertelanjang kaki melewati genangan susu dingin ke samping pria itu.
Berbaring telentang di lantai dapur, pria itu kelihatan sangat besar, sangat mengancam. Bahkan dalam keadaan pingsan pun dia tetap kelihatan sangat berbahaya. Tapi Jessie tidak bisa membiar
37
kannya begitu saja. Sambil meraih celemek bayi bersih dari atas meja dapur, Jessie berlutut di samping pria itu dan dengan ragu mencoba menyerap darah dari luka di dahinya. Tenggelam dalam kecemasannya, ia melupakan ketakutannya sendiri.
Mata pria itu tiba-tiba terbuka kembali, yang berarti dia belum pingsan seperti dugaan Jessie semula, dan dia mencengkeram pergelangan tangan Jessie. "Siapa kau?" tuntutnya.
"Jessie," jawab Jessie langsung, tidak ingin membuat pria itu marah. "Namaku Jessie Hayes. Bagaimana keadaanmu?" tanya Jessie dengan suara hangat. Ia benar-benar ingin pria itu tahu bahwa ia tidak berniat melakukan hal-hal yang buruk....
"Bagaimana rupaku?" tantang pria itu.
Yang pasti dia tidak kelihatan baik. Terlepas dari wajah pucatnya, yang diperparah oleh bayangan gelap jenggot berumur satu hari, ada darah yang terus mengalir dari dahinya. Jessie meletakkan jemarinya di tenggorokan pria itu untuk memeriksa denyut nadinya. Kelihatannya itu hal yang benar untuk dilakukan, walaupun Jessie tidak yakin kenapa karena ia bisa melihat sendiri pria itu belum mati.
Kulitnya hangat dan halus di bawah jemarinya, denyut nadinya yang kuat membuat Jessie tenang. "Well?" tanya pria itu setelah beberapa saat. "Apa aku akan hidup?"
"Aku p-p-pikir begitu."
"Aku akan lebih senang kalau kau bisa kedengaran sedikit lebih meyakinkan."
38
Pria itu tidak kedengaran seperti seorang pencuri. Tapi memangnya apa yang ia tahu? "Well..." Jessie mulai bicara. Lalu senyum sinis di bibir pria itu membuat Jessie sadar bahwa sebenarnya dia tidak serius.
"Aku tidak akan meronta kalau kaupikir aku perlu ciuman kehidupan," katanya, meyakinkan kecurigaan Jessie.
Untuk sesaat Jessie tergoda. Pria itu mungkin sudah masuk dengan paksa, tapi kalau dia berperan menjadi pria berpakaian hitam-hitam yang meninggalkan sekotak cokelat, Jessie menduga wanita mana pun yang ditinggalkannya akan tersenyum. Mungkin ia seharusnya menawarkan ciumannya supaya keadaan pria itu menjadi lebih baik...
Tidak! Demi Tuhan, apa ia tidak akan pernah jera?
Dan kalau pria itu sudah cukup sehat untuk bercanda, mungkin dia juga sudah mampu untuk bangun dan... dan mungkin sebaiknya ia tidak memikirkan apa yang bisa dilakukan pria itu. Seharusnya, Jessie menyadari-saat otaknya berhenti berputar-putar dan akhirnya menyadari kenyataan- ia berhenti membuang-buang waktu dan menelepon polisi serta ambulans. Sekarang juga.
"Yang kaubutuhkan adalah perjalanan ke ruang UGD terdekat," kata Jessie dengan sopan, sambil mencoba membebaskan diri. Pria itu mungkin sedang ingin bercanda, tapi Jessie tidak siap mengambil risiko membuatnya marah. Jari-jari pria itu masih tetap memegang pergelangan tangan Jessie
39
waktu dia mencoba duduk. Usaha itu jelas terlalu berat untuknya dan dia terdiam, mengerang, melepaskan tangan Jessie, dan memegang kepalanya yang terluka.
Telepon selulernya. Jessie membutuhkan telepon selulernya. Tasnya ada di meja dapur di sebelah kulkas dan Jessie berdiri untuk meraihnya. Pada saat itulah si pencuri mencengkeram pergelangan kakinya.
Dan saat itulah Jessie akhirnya berhenti mengendalikan diri dan berpikiran jernih. Ia melakukan apa yang ingin dilakukannya sejak menyadari ada penyusup di rumahnya. Ia membuka mulut dan mulai berteriak ketakutan.
Patrick. yang hanya ingin tahu apa yang sedang dilakukan si wanita Jessie ini di rumahnya dan ke mana Carenza menghilang, memutuskan bahwa, bagaimanapun juga, itu tidak terlalu penting. Menghentikan teriakan wanita itu jauh lebih penting, jadi Patrick menarik kaki Jessie. Dengan keras. Suara berisik itu tiba-tiba berhenti.
Lalu Jessie jatuh menimpanya.
Patrick menggumamkan satu kata singkat saat napasnya berhenti sesaat Satu kata sudah cukup untuk menggambarkan perasaannya. Mata Jessie, hanya berjarak beberapa senti dan matanya, melebar karena shock. Sebelum wanita itu sempat melakukan atau mengatakan sesuatu Patrick mencengkeramnya. "Jangan. Tolong jangan bilang apa-apa lagi. Aku tidak tahu siapa kau, atau apa yang kaulakukan di sini, tapi aku menyerah. Kau menang."
40
"Menang? Menang?" Bahkan untuk telinganya sendiri Jessie sudah mulai kedengaran histeris. Well, biar saja. ia punya hak untuk histeris. Ia tergeletak di atas dada penjahat yang kejam. Pria yang sudah menerobos masuk ke rumahnya. Orang yang, walaupun terluka parah di kepalanya, lebih dari mampu untuk mengambil keuntungan dan situasi ini. Dan situasi yang dimaksud adalah: biarpun Jessie memakai kaus yang panjang dan besar, kaus itu masih terlalu kecil untuk menutupi tubuhnya. Yah, sebenarnya selain kaus itu tidak ada lagi yang dipakainya. Pria itu hanya perlu menggeser tangannya ke bawah beberapa senti dan dia akan mengetahui hal itu sendiri.
Jessie dengan sekuat tenaga menahan dorongan mendesak dalam otaknya untuk menarik kausnya turun sejauh mungkin. Itu hanya akan menarik perhatian pria itu pada keadaannya yang menyedihkan. Sebaliknya Jessie memaksa dirinya untuk menatap lurus-lurus si pencuri dan menyuruhnya untuk melepaskan pegangannya. Sekarang juga.
Wajah yang menarik. Jenis wajah yang, dalam situasi lain, ingin Jessie lihat lebih sering lagi. Pipinya kurus, tapi dengan tulang yang kuat, berkarakter, dan Jessie punya kesan yang kuat bahwa pria itu sepertinya akrab dengan rasa sakit. Tapi bibirnya menjanjikan hasrat yang menggebu-gebu. Oh, Tuhan. dan Jessie tadi menuduh pria itu yang mengigau!
"Dalam hal apa, tepatnya, aku menang?" desak Jessie sambil berusaha mengendalikan diri, mengumpulkan akal sehat lagi.
41
"Aku menyerah," kata pria itu. Menyerah? Apa sih yang sedang dibicarakannya? Jessie menatapnya. Matanya sangat luar biasa, pikir Jessie. Abu-abu, tapi dengan bintik-bintik keemasan yang sepertinya membuat sepasang mata itu tampak membara. Atau itu khayalannya semata? "Yang penting kau jangan menjerit lagi. Tolong."
"Kau serius?" tanta Jessie dengan suara sekasar yang ia bisa, tidak memercayai pria itu sepenuhnya. Tapi getaran dalam suaranya tidak akan bisa menakut-nakuti seekor tikus sekalipun.
"Oh, lupakan saja. Beri aku pisau dan aku akan menggorok leherku sendiri. Begitu akan lebih cepat daripada hukuman yang kauberikan."
"Aku!" pekik Jessie. "Aku tidak menyuruhmu masuk ke sini dan jatuh."
"Jatuh?" teriak Patrick, lalu meringis. "Itukah pengakuanmu nanti?" Dan dia mengulurkan tangannya yang tadi memegang Jessie ke tongkat cricket dan mencengkeram gagangnya. "Apa kau melupakan barang bukti A?" katanya sambil mengayun-ayunkan tongkat itu di hadapan Jessie.
Jessie cepat-cepat berdiri dan mengambil jarak di antara mereka sebelum pria itu memutuskan untuk memukulnya dengan tongkat itu. "Pokoknya diam saja di situ," kata Jessie. "Jangan bergerak. Aku akan menelepon ambulans." Ia cepat-cepat melangkah mundur, tanpa menghiraukan susu yang menetes dari kausnya dan mengalir turun ke kakinya.
Pria itu menjatuhkan tongkatnya. "Kau harus
42
menyeretku keluar ke jalan kalau kau mau mobil itu melindasku," dia mengingatkan Jessie dengan lemah.
Mengigau. Pasti pria itu mengigau. Dia perlu ke rumah sakit, secepatnya, tapi Jessie bergerak men-jauh dari jangkauannya sebelum mengambil telep on selulernya dan dalam tas, menekan nomor pelayana n darurat dan minta dikirimkan ambulans. Mereka mem inta detail. "Maaf, aku tidak tahu siapa dia. Dia mendob rak masuk ke rumahku dengan paksa dan terjatuh di d apur..."
"Ini bukan rumahmu!" teriak pria itu. "Ini rumahku!"
"Cedera kepala?" ulang Jessie dengan perhatian teralih waktu operator ambulans bersikeras meminta detail. Apakah pria itu sudah mengawasi rumahnya? Apa dia melihat Carenza pergi dan mengira rumah itu kosong? Pria itu memelototi Jessie, tapi sama sekali tidak bergerak. Merasa tidak yakin dengan sikap pria itu yang sepertinya bersedia bekerja sama, Jessie melangkah mundur ke koridor, meninggalkan jejak susu di atas karpet. Lebih banyak noda. Lebih banyak yang harus dipikirkan. "Oh, ya, kepalanya terbentur di sudut meja dapur... Ya, dia sadar, tapi kelihatan sedikit aneh... agak tidak masuk akal... Kupikir mungkin dia, Anda tahu, memakai sesuatu..." Pria itu mengerang. Jes sie mengabaikannya. "Anda mau melakukannya? Dan t olong beritahu polisi juga. Terima kasih banyak." Jessie menutup telepon dan kembali ke dapur, berdiri di amba ng pintu, enggan berdiri dekat-
43
dekat. Satu kali berdekatan sudah cukup. "Mereka akan segera kemari."
"Katakan padaku." tanya pria itu, akhirnya berhasil duduk dan bersandar di lemari, "kau atau aku yang gila?" Dia kedengaran cukup serius, sepertinya benar-benar ingin tahu.
Tidak ingin mengatakan sesuatu yang mungkin bisa membuat pria itu lebih gusar lagi, Jessie tetap menjaga jarak, walaupun lututnya begitu gemetaran hingga kalau ia tidak segera duduk, ia mungkin akan segera pingsan tepat di tempat ia berdiri. "Tenanglah. Aku yakin mereka akan segera sampai," katanya dengan suara yang lebih meyakinkan daripada yang dirasakannya.
"Benarkah? Kuharap kau benar. Katakan padaku, dan mana kucing itu datang?"
Mao, yang sudah selesai menikmati tumpahan susu dan bermain dengan kuning telur dari salah satu telur yang pecah, sedang menjilati wajahnya perlahan-lahan. Jessie memperhatikannya sesaat. Ada sesuatu yang hampir menghipnotis melihat gerakan yang halus dan" berulang-ulang itu... "Aku tidak tahu. Kucing itu hewan peliharaan pemilik ru
↧
Bayi Pinjaman - 4
↧