Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

The Iron Fey 1 - The Iron King - 6

$
0
0

Cerita Fantasi | The Iron King | Serial The Iron Fey | The Iron King | by Julie Kagawa | The Iron King pdf

Century - Sarah Singleton Cintaku Selalu Padamu - Motinggo Busye Sandra Brown - Dalam Derai Hujan - Bittersweet Rain 2 Perbedaan 1 Hati - Omiyan Cinta Tak Semudah Kata CINTA - Azizah Attamimi

ingin menarik perhatian, tapi sebagian besar karena aku sedang banyak pikiran. Kami duduk di sudut belakang bus, aku menempel di kaca jendela, menatap pepohonan yang terlewati. Aku mengeluarkan iPod dan suara dari headphone menghantam gendang telingaku, meskipun itu hanya alasan agar aku tak bicara dengan siapa pun.
  Jeritan Angie yang mirip babi masih menggema di kepalaku. Mungkin itu suara paling mengerikan yang pernah kudengar. Meskipun dia benar-benar brengsek, tetap saja aku merasa bersalah. Aku yakin Robbie telah melakukan sesuatu padanya, meskipun aku tak bisa membuktikannya. Sebenarnya aku tak berani mengungkitnya. Robbie seperti orang yang berbeda saat ini, pendiam, merenung, mengamati murid-murid di dalam bus dengan intensitas bak predator. Tingkahnya yang aneh dan menakutkan membuatku bertanya-tanya apa yang salah dengannya.
  Lalu ada mimpi aneh, yang kini menurutku sama sekali bukan mimpi. Semakin aku memikirkannya, semakin aku menyadari kalau suara familiar yang berbicara dengan di perawat itu adalah suara Robbie.
  Ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang aneh, menyeramkan, mengerikan, dan yang paling menakutkan adalah sesuatu itu berupa wajah biasa dan familiar. Aku mencuri pandang ke arah Robbie. Seberapa baik aku mengenalnya, sungguh-sungguh mengenalnya? Dia telah menjadi sahabatku lebih lama dari yang bisa kuingat, dan selama itu pula aku belum pernah ke rumahnya, atau bertemu orangtuanya. Beberapa kali aku mengusulkan untuk bertemu di rumahnya, dia selalu punya alasan menolaknya: orangtuanya keluar kota, atau sedang merenovasi dapur, dapur yang tak pernah kulihat. Semua itu aneh, tapi yang lebih aneh lagi yaitu aku tak pernah merasa heran dan tak mempertanyakan semua itu, sampai saat ini. Robbie ada begitu saja, seolah muncul entah dari mana, tanpa latar belakang, tanpa rumah, dan tanpa masa lalu. Apa musik favoritnya? Apakah dia punya tujuan hidup? Apakah dia pernah jatuh cinta?
  Sama sekali tidak tahu, bisik otakku, merasa terusik. Kau sama sekali tidak mengenalnya.
  Aku bergidik dan memandang keluar jendela lagi.
  Bus berhenti mendadak di rambu setopan-empat arah, dan aku melihat kami telah meninggalkan pinggiran kota dan kini memasuki pedalaman. Daerah tempat tinggalku. Hujan masih membasahi jendela, membuat rawa-rawa terlihat buram dan tak jelas, dan pepohonan menjadi bentuk-bentuk aneh membingungkan dari balik kaca.
  Aku mengerjap dan menegakkan tubuh di bangku. Jauh di rawa-rawa, seekor kuda dan penungg angnya berdiri tegak di bawah pohon ek raksasa, mere ka bergeming, sama diamnya dengan pohon itu. Kudan ya hitam besar dengan surai dan ekor yang melambai meskipun telah basah kuyup. Penunggangnya tinggi da n ramping, berpakaian serba perak dan hitam. Jubah hit am berkibar-kibar di bahunya. Melalui tirai hujan, aku m enangkap sekilas wajahnya: muda, pucat, sangat tamp an &menatap tepat ke arahku. Perutku bergejolak dan napasku tercekat.
  Rob, gumamku, melepaskan headphone, lihat it
  Robbie menatap keluar, matanya menyipit menjadi celah hijau, keras dan berbahaya. Perutku melilit, aku menjauhkan diri darinya, tapi dia tak menyadarinya. Bibirnya bergerak, dan dia mengucapkan satu kata, begitu pelan sehingga aku nyaris tidak dengar, meskipun posisi kami begitu dekat.
  Ash.
  Ash? ulangku. Siapa Ash?
  Mesin bus terbatuk-batuk, lalu meluncur maju lagi. Robbie kembali menjauhkan diri, wajahnya seperti terbuat dari batu yang dipahat. Menelan ludah, aku menatap keluar jendela, tapi lokasi di bawah pohon ek sudah kosong. Kuda dan penunggangnya sudah pergi, seperti tidak pernah ada.
 
  * * *
 
  KEANEHAN semakin menjadi-jadi.
  Siapa Ash? ulangku, menatap Robbie, yang tampaknya berada di dunianya sendiri. Robbie? Hei! Aku menusuk bahunya. Dia menjengit, akhirnya memandangku. Siapa Ash?
  Ash? Sesaat matanya berkilat mematikan, wajahnya seperti ekspresi anjing liar. Lalu dia mengerjap dan kembali normal. Oh, dia teman lamaku, dari masa lalu. Tak usah dipikirkan, Putri.
  Ucapannya meluncur aneh ke arahku, seakan dia memerintahkan aku untuk melupakan semuanya hanya dengan menyuruhku. Aku jengkel karena dia menyembunyikan sesuatu, tapi dengan cepat hal itu pudar, karena aku tak bisa mengingat apa yang kami bicarakan.
  Begitu tiba di halte, Robbie melompat seakan bangku bus terbuat dari api dan buru-buru keluar. Kaget melihat kepergiannya yang tiba-tiba, aku masukkan iPod ke ransel sebelum meninggalkan bus. Hal terakhir yang kuinginkan adalah benda mahal itu terkena air.
  Aku harus pergi, kata Robbie ketika aku bergabung dengannya di trotoar. Mata hijaunya menyapu pepohonan, seakan mengira akan ada sesuatu yang keluar dari hutan. Aku menatap sekeliling, tapi selain kicau burung, hutan sunyi senyap. Aku &um &melupakan sesuatu di rumah. Dia menatapku dengan pandangan meminta maaf. Sampai ketemu nanti malam, Putri. Aku akan bawa sampanye, oke?
  Oh. Aku sudah melupakan hal itu. Baiklah.
  Langsung pulang, oke? Robbie menyipitkan mata, wajahnya tegang. Jangan berhenti atau bicara dengan siapa pun yang kau temui di jalan, mengerti?
  Aku tertawa gugup. Apa kau ibuku? Apa kau akan mengingatkan aku agar jangan menggunakan gunting dan menengok kiri kanan sebelum menyeberang jalan? Selain itu, aku melanjutkan sementara Robbie kembali tampak normal seperti biasa, siapa yang akan kutemui di luar sini jauh di pedalaman? Bayangan pemuda di atas kuda muncul di pikiranku, dan perutku jumpalitan lagi. Siapa dia? Dan kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya, apakah dia benar ada? Semua ini begitu aneh. Jika bukan karena reaksi aneh Robbie di bus tadi, aku akan beranggapan pemuda itu hanyalah halusinasi gilaku lagi.
  Baik. Robbie melambai, memamerkan cengiran nakalnya. Sampai nanti, Putri. Jangan sampai Leatherface menangkapmu dalam perjalanan pulang.
  Aku menendangnya. Dia tertawa, melompat, dan berlari kencang menyusuri jalanan yang menurun. Sambil menyandang ransel, aku menyusuri jalanan masuk menuju rumahku.
 
  * * *
 
  MOM? panggilku, membuka pintu depan. Mom, aku pulang.
  Suasana sunyi menyambutku, menggema di dinding dan lantai, menggantung di udara. Keheningan seolah menjadi sesuatu yang hidup, meringkuk di tengah ruangan, mengawasiku dengan mata dingin. Jantungku mulai berdebar tak beraturan. Ada sesuatu yang salah.
  Mom? Aku memanggil lagi sambil masuk rumah. Luke? Ada orang di rumah? Pintu berderit ketika aku sudah berada di dalam. Televisi menyala dan berkedip-kedip, memutar sitkom kuno hitam-putih, meskipun sofa di depannya kosong. Aku mematikan televisi dan menyusuri koridor, menuju dapur.
  Sesaat semua tampak normal, kecuali pintu kulkas yang terayun pada engselnya. Benda kecil di lantai menarik perhatianku. Semula aku mengira itu lap kotor. Tapi ketika melihat lebih dekat, ternyata itu Floppy, boneka kelinci Ethan. Kepala boneka itu lepas, dan busa berhamburan dari lubang di lehernya.
  Menegakkan badan, aku mendengar suara lirih dari sisi lain meja makan. Aku berjalan mengitar, dan perutku melilit hebat sampai-sampai tenggorokanku serasa pahit.
  Mom terbaring di lantai keramik kotak-kotak, tangan dan kakinya tergeletak lemas, satu sisi wajahnya berlumuran darah. Dompetnya, yang isinya berhamburan, tergeletak di sebelah tangan pucat yang lunglai. Di dekat Mom, di ambang pintu, Ethan berdiri dengan posisi kepala miring ke satu sisi seperti kucing yang penasaran.
  Dan dia tersenyum.
 
  * * *
 
  MOM! jeritku, berlutut di sebelahnya. Mom, kau tidak apa-apa? Aku memegang bahunya dan mengguncang tubuhnya, tapi rasanya seperti mengguncang ikan mati. Meskipun begitu kulitnya masih hangat, jadi tidak mungkin dia meninggal. Benar, kan?
  Ke mana Luke? Aku mengguncang tubuhnya lagi, melihat kepalanya berayun lemah, membuat perutku mulas. Mom, bangun! Ini Meghan. Aku menatap sekeliling dengan panik, lalu mengambil kain lap dari bak cuci. Ketika membersihkan wajahnya yang berlumuran darah, aku menyadari Ethan berdiri di depan pintu, mata birunya melebar dan berkaca-kaca.
  Mom terpeleset, bisiknya, dan aku melihat genangan hening, licin di lantai di depan kulkas. Dengan tangan gemetar aku mencelupkan jari ke dalamnya dan mengendus. Minyak sayur? Aku hapus lebih banyak darah dari wajahnya dan tampak luka kecil menganga di dahinya, nyaris tak terlihat karena darah dan rambutnya.
  Apa dia akan mati? tanya Ethan, dan aku menatapnya tajam. Meskipun matanya membelalak takut, dan air mata menggenang di sana, dia lebih terdengar penasaran daripada lainnya.
  Aku melepaskan pandangan dari adik tiriku. Aku harus mencari bantuan. Luke tidak ada, jadi satu-satunya jalan adalah memanggil ambulans. Tapi ketika aku berdiri untuk mengambil telepon, Mom mengerang siuman dan membuka mata.
  Hatiku melonjak. Mom, kataku ketika dia berjuang untuk duduk, dengan ekspresi bingung. Jangan bergerak. Aku akan menelepon 911.
  Meghan? Mom melihat sekeliling, berkedip. Tangannya menyentuh pipi, dan dia menatap darah di jarinya. Apa yang terjadi? Aku &aku pasti jatuh &
  Kepalamu terbentur, jawabku, bangkit dan mencari telepon. Kau mungkin gegar otak. Bertahanlah, aku akan menelepon ambulans.
  Ambulans? Jangan, jangan. Mom duduk, tampak lebih sadar. Jangan lakukan itu, sayang. Aku tidak apa-apa. Aku akan membersihkan diri dan memasang plester. Tidak perlu repot-repot.
  Tapi Mom
  Aku tidak apa-apa, Meg. Mom menyambar kain lap yang terlupakan dan mulai membersihkan darah dari wajahnya. Aku minta maaf telah membuatmu takut, tapi aku tidak apa-apa. Ini hanya darah, tidak ada yang serius. Lagi pula kita tidak mampu membayar tagihan dokter. Dia berdiri tiba-tiba dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Di mana adikmu?
  Terperanjat, aku menatap ke pintu dapur, tapi Ethan sudah pergi.
 
  * * *
 
  PROTES Mom tak berguna ketika Luke pulang. Dia hanya sekali memandang wajah Mom yang pucat dan diperban, mengamuk sebentar, lalu bersikeras membawanya ke rumah sakit. Luke bisa bersikap keras kepala jika perlu, dan Mom akhirnya menyerah. Dia masih sempat memberi perintah kepadaku jaga Ethan, jangan biarkan dia tidur larut, ada piza beku di kulkas sementara Luke membimbing Mom ke Ford bututnya dan melaju di jalan.
  Saat truknya berbelok di tikungan dan lenyap dari pandangan, keheningan yang dingin kembali merayap di dalam rumah. Aku menggigil, menggosok-gosok lengan, merasakannya merayap ke kamar dan meniup-niup tengkukku. Rumah tempatku tinggal hampir sepanjang hidupku ini terasa tidak biasa dan menakutkan, seolah ada sesuatu bersembunyi dalam lemari dan di sudut-sudut ruangan, bersiap menyergap ketika aku lewat. Tatapanku tertuju pada sisa-sisa Floppy yang bertebaran di lantai, dan entah kenapa, hal itu membuatku sedih dan takut. Tak seorang pun di rumah ini yang akan merusak boneka kesayangan Ethan. Ada sesuatu yang tidak beres.
  Langkah kaki terdengar di lantai. Aku berbalik dan mendapati Ethan di depan pintu menatapku. Dia tampak beda tanpa boneka kelinci di tangannya, dan aku heran kenapa dia tak gusar karenanya.
  Aku lapar, katanya mengumumkan, membuatku berkedip. Masakkan sesuatu buatku, Meggie.
  Aku merengut mendengar nada memerintahnya.
  Ini belum waktu makan malam, anak manis, kataku. Kau harus tunggu beberapa jam lagi.


  Matanya menyipit, dan bibirnya terbuka memperlihatkan giginya yang tajam dan tak beraturan. Aku lapar sekarang, dia menggeram, maju selangkah. Rasa takut menerpaku dan aku melangkah mundur.
  Seketika wajahnya normal lagi, matanya membesar dan memohon. Tolonglah, Meggie? rengeknya. Aku mohon? Aku lapar sekali. Dia cemberut dan suaranya berubah mengancam. Mommy juga tidak masak.
  Ya sudah, baiklah! Jika itu bisa membuatmu tutup mulut. Kemarahan itu muncul dari rasa takut, dan rasa malu karena aku merasa takut. Pada Ethan. Pada adik tiriku yang bodoh. Aku tak tahu dari mana perubahan suasana hatinya yang mengerikan itu berasal, tapi aku berharap itu tidak menjadi kebiasaan. Mungkin dia hanya takut karena kecelakaan Mom. Mungkin jika aku beri makan anak bandel itu, dia akan tidur dan tidak menggangguku malam ini. Aku melangkah ke kulkas, mengambil piza, dan memasukkannya ke oven.
  Sementara piza dipanggang, aku bersihkan genangan minyak sayur di depan kulkas. Aku heran bagaimana cairan itu bisa berada di lantai, apalagi aku menemukan botolnya ada di tempat sampah. Aromaku seperti Crisco ketika selesai, dan lantai masih agak licin, tapi aku sudah


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles