Cerita Fantasi | The Iron King | Serial The Iron Fey | The Iron King | by Julie Kagawa | The Iron King pdf
Kemurungan Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Dara Getting Married - Citra Rizcha Maya Keluh-kesah Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru The Bridesmaid’s Story - Irena Tjiunata Mencari Seikat Seruni - Leila S. Chudori
berbuat semampuku.
Bunyi derit pintu oven mengagetkanku. Aku berbalik dan melihat Ethan memasukkan tangan ke dalam.
Ethan! Aku cengkeram pergelangan tangannya dan menariknya keluar, mengabaikan jeritan protesnya. Apa yang kau lakukan, bodoh? Kau mau memanggang dirimu?
Lapar!
Duduk! bentakku, mengangkatnya ke kursi.
Dia mencoba memukulku, dasar tak tahu terima kasih. Aku menahan diri untuk tidak memukulnya. Astaga, kau nakal sekali hari ini. Duduk di situ dan diam. Aku akan ambilkan makanan.
Ketika aku sodorkan piza, dia menyerbunya seperti hewan liar, bahkan tanpa menunggu makanan itu dingin. Terpana, aku hanya bisa menatapnya ketika dia makan seiris demi seiris seperti anjing kelaparan, nyaris menelannya tanpa dikunyah. Segera saja wajah dan tangannya berlepotan saus dan keju, dan piza lenyap dengan cepat. Dan kurang dari dua menit dia telah menghabiskan semuanya, sampai ke remah terakhir.
Ethan menjilati jari, lalu menatapku dan mengerutkan dahi. Masih lapar.
Tidak boleh, kataku, tersadar dari lamunan. Kalau makan lagi, kau akan sakit. Sana bermain dalam kamarmu atau apa.
Dia menatapku dengan ekspresi sedih, kulitnya tampak lebih gelap, keriput, dan mengerut di bawah lemak bayinya. Tanpa peringatan, dia melompat dari kursi, berlari ke arahku dan membenamkan giginya di kakiku.
Aduh! Rasa sakit di betisku seperti sengatan listrik. Aku jambak rambutnya, berusaha melepaskan gigitannya, tapi dia menempel padaku seperti lintah dan menggigit lebih keras. Rasanya seperti ada pecahan gelas dihunjamkan di kakiku. Air mata mengaburkan pandanganku, dan lututku tertekuk saking sakitnya.
Meghan!
Robbie berdiri di pintu depan, ransel tersandang di bahunya, mata hijaunya melebar kaget.
Ethan melepaskanku, memalingkan kepala ke arah Robbie. Darah membasahi bibirnya. Melihat Robbie, dia mendesis dan tak ada cara lain menyebutnya dia lari terbirit-birit menjauh dari kami, n aik tangga dan lenyap dari pandangan.
Aku gemetaran hebat sehingga harus duduk di sofa. Kakiku berdenyut-denyut, dan napasku tidak beraturan. Darah yang berwarna terang dan cerah merembes di celana jinsku seperti bunga yang mekar. Aku menatapnya terpana, tubuhku mati rasa, beku karena terkejut.
Robbie melintasi ruangan dalam tiga langkah dan berlutut di sisiku. Dengan cekatan, seperti pernah melakukannya, dia mulai menggulung celanaku.
Robbie, bisikku ketika dia membungkuk di atas lukaku, jemarinya yang panjang tak disangka ternyata lembut juga. Apa yang terjadi? Semuanya kacau. Ethan menyerangku &seperti anjing liar.
Itu bukan adikmu, gumam Robbie seraya menggulung pipa celanaku, memperlihatkan luka berdarah di bawah lututku. Luka bergerigi berbentuk oval tercetak di kakiku, masih berdarah, kulit di sekitarnya mulai berubah ungu. Rob bersiul pelan. Parah. Tunggu di sini. Aku akan kembali.
Memangnya aku mau ke mana, balasku otomatis, lalu menyadari ucapannya tadi. Tunggu dulu. Apa maksudmu bahwa itu bukan Ethan? Siapa lagi kalau bukan dia?
Rob mengabaikanku. Menghampiri ranselnya, dia membuka dan mengeluarkan botol kaca hijau panjang dan gelas kristal kecil. Aku mengerutkan dahi. Kenapa dia menyuruh minum sampanye sekarang? Saat aku sedang terluka, kesakitan, dan adikku berubah menjadi monster. Sudah pasti aku tidak dalam suasana hati ingin bersenang-senang.
Dengan sangat hati-hati Robbie menuangkan sampanye ke gelas dan berjalan ke arahku, berusaha tidak menumpahkan setetes pun.
Ini, katanya sambil menyerahkan kepadaku. Gelas itu berkilau di tangannya. Minum ini. Di mana kau menaruh handuk?
Aku mengambil gelasnya dengan curiga. Di kamar mandi. Tapi jangan pakai handuk putih Mom yang bagus. Ketika Rob berlalu, aku mengintip isi gelap kecil itu. Isinya nyaris tak sampai satu teguk. Juga tak tampak seperti sampanye. Aku mengira akan melihat cairan soda putih atau merah muda, berbusa di dalam gelas. Cairan ini berwarna merah, gelap, warna darah. Kabut bergulung dan menari-nari di permukaannya.
Apa ini?
Robbie kembali dari kamar mandi dengan membawa handuk putih. Apa kau harus mempertanyakan semua hal? Itu akan membantumu melupakan rasa sakit. Sudah, minum saja.
Aku mengendusnya, berharap mencium bau buah beri atau aroma manis yang bercampur alkohol.
Cairan itu tak berbau. Sama sekali.
Oh, terserahlah. Aku angkat gelas itu, bersulang sendiri. Selamat ulang tahun untukku.
Anggur itu memenuhi mulutku, membanjiri indraku. Tidak terasa apa-apa, dan terasa segala-galanya. Rasanya seperti rembang petang dan kabut, cahaya bulan dan embun, kehampaan dan kerinduan. Ruangan berayun, dan aku terduduk lagi di sofa, rasa minuman tadi begitu kuat. Kenyataan mengabur di sudut pikiran, membungkusku dalam kabut yang memusingkan. Aku merasa mual dan sekaligus mengantuk.
Ketika indraku kembali jernih, Robbie sedang memasang perban di kakiku. Aku tidak ingat dia membersihkan atau mengobati lukaku. Aku mati rasa dan kebingungan, seperti ada selimut dihamparkan di atas pikiranku, membuatku sulit memusatkan perhatian.
Selesai, kata Robbie, berdiri. Beres. Setidaknya kakimu takkan copot. Matanya menatapku, ingin tahu dan menilai. Bagaimana perasaanmu, Putri?
Uh, ucapku bingung, berusaha melenyapkan sarang laba-laba dari otakku. Ada sesuatu yang aku lupakan, sesuatu yang penting. Kenapa Robbie membalut kakiku? Bagaimana aku terluka?
Aku terduduk tegak.
Ethan menggigitku! aku berseru, merasa berang dan marah. Aku tatap Robbie. Dan kau &kau bilang itu bukan Ethan! Apa maksudmu? Apa yang terjadi?
Tenang, Putri. Robbie melemparkan handuk yang berlepotan darah ke lantai lalu duduk di bangku penyangga kaki. Dia mendesah. Aku berharap tidak sampai seperti ini. Salahku, kurasa. Aku seharusnya tidak meninggalkanmu sendirian hari ini.
Apa yang kau bicarakan?
Kau seharusnya tidak melihat ini, semua ini, Robbie melanjutkan, membuatku semakin bingung. Dia seperti bicara pada diri sendiri, bukan kepadaku. Kemampuan Memandangmu dari dulu memang kuat, itu bakat. Tetap saja, aku tidak mengira mereka mengincar keluargamu juga. Ini mengubah segalanya.
Rob, jika kau tak mengatakan apa yang terjadi
Robbie menatapku. Matanya bersinar, nakal juga liar. Mengatakannya? Apa kau yakin? Suaranya berubah pelan dan berbahaya, bulu kudukku merinding. Begitu melihatnya, kau takkan bisa menghentikannya. Orang bisa gila karena tahu terlalu banyak. Dia mendesah, tatapan berbahaya lenyap dari matanya. Aku tak mau itu terjadi padamu, Putri. Tak perlu seperti ini, kau tahu. Aku bisa membuatmu melupakan semua ini.
Melupakan?
Dia mengangguk dan mengangkat botol anggur. Ini anggur-kabut. Kau hanya perlu meminumnya. Satu gelas akan membuat semuanya kembali normal. Dia menjepit botol itu dengan dua jari, membiarkannya berayun-ayun. Satu gelas, dan kau akan normal lagi. Tingkah adikmu tak lagi terlihat aneh, dan kau takkan ingat apa pun yang aneh dan menakutkan. Kau tahu, seperti kata orang ketidaktahuan adalah anugerah.
Meskipun gelisah, aku merasakan api kemarahan membakar dadaku. Jadi, kau ingin aku minum benda &itu, dan melupakan Ethan begitu saja. Melupakan adikku satu-satunya. Apa itu maksudmu?
Dia mengangkat alis. Yah, jika kau mengatakannya seperti itu &
Api di dadaku semakin panas dan membesar, mengenyahkan rasa takut. Aku mengepalkan tinju. Tentu saja aku tak mau melupakan Ethan! Dia adikku! Apa kau ini bukan manusia, atau memang bodoh?
Terheran-heran aku melihat cengiran lebar menyebar di wajahnya. Dia menjatuhkan botol, menangkapnya, dan menaruhnya di lantai. Yang pertama, katanya, sangat pelan.
Ucapannya mengagetkanku. Apa?
Bukan manusia. Dia masih tersenyum, senyum yang lebar sehingga giginya berkilau diterpa cahaya yang memudar. Aku ingatkan kau, Putri. Aku tidak sepertimu. Dan sekarang, begitu juga adikmu.
Meskipun rasa takut menusuk-nusuk perutku, aku mencondongkan badan ke depan. Ethan? Apa maksudmu? Apa yang salah dengannya?
Itu bukan Ethan. Robbie bersandar ke belakang, bersedekap. Makhluk yang menyerangmu tadi adalah changeling.
BAB EMPAT
Puck
Aku menatap Robbie, bertanya-tanya apa ini salah satu lelucon bodohnya. Dia duduk di sana, mengamatiku dengan tenang, menunggu reaksiku. Meskipun masih tersenyum, matanya keras dan serius. Dia tidak sedang bercanda.
Ch-changeling? aku terbata-bata, menatapnya seakan dia sudah gila. Bukannya itu sejenis &
Faery, Robbie menyelesaikan ucapanku. Changeling adalah anak faery yang ditukarkan dengan anak manusia. Biasanya jenis troll atau goblin, meskipun sidhe bangsawan faery juga sering melakukan itu. Adikmu telah ditukar. Dia bukan lagi Ethan.
Kau gila, bisikku. Kalau tidak sedang duduk, aku akan melangkah mundur ke pintu. Kau sudah keterlaluan. Sudah waktunya kembali nonton anime, Rob. Tidak ada yang namanya faery.
Robbie mendesah. Sungguh? Itukah komentarmu? Mudah sekali ditebak. Dia bersandar kembali, menyilangkan lengan di dada. Aku mengira kau lebih dari itu, Putri.
Mengira aku lebih dari itu? jeritku, melompat dari sofa. Dengar! Kau berharap aku percaya kalau adikku sejenis pixie dengan serbuk berkilauan dan sayap kupu-kupu?
Jangan bodoh, ucap Robbie tenang. Kau tak tahu apa yang kau bicarakan. Kau memikirkan Tinker Bell, yang selalu merupakan respons manusia bila mendengar kata faery. Fey sungguhan tidak seperti itu. Dia berhenti sejenak. Well, kecuali pada piskie, tapi itu cerita lain.
Aku menggeleng, otakku berputar ke beberapa arah sekaligus. Aku tak bisa berurusan dengan hal ini sekarang, gumamku dan menjauh darinya. Aku harus memeriksa Ethan.
Robbie mengangkat bahu, kembali bersandar di dinding, meletakkan tangan di belakang kepala. Setelah memelototinya sekali lagi, aku berlari n aik tangga dan membuka pintu kamar Ethan.
Kamarnya berantakan, penuh mainan rusak, buku, dan baju yang berserakan. Aku mencari-cari Ethan, tapi kamar itu kosong, sampai aku mendengar bunyi cakaran samar dari bawah tempat tidurnya.
Ethan? Sambil berlutut, menyingkirkan action figure yang pecah dan Tinkertoy yang patah, aku mengintip ke dalam relung antara kasur dan lantai. Dalam kegelapan, aku bisa melihat gundukan kecil meri ngkuk di sudut memunggungiku. Tubuhnya gemetaran.
Ethan, panggilku dengan lembut. Kau tidak apa-apa? Kenapa kau tidak keluar? Aku tidak marah padamu. Yah, itu bohong, tapi aku lebih terguncang daripada marah. Aku ingin menyeret Ethan ke bawah dan membuktikan kalau dia bukan troll atau changeling atau apa pun yang Robbie katakan tadi.
Gundukan itu bergerak sedikit, dan suara Ethan keluar dari celah itu. Apakah laki-laki menakutkan itu masih di sini? tanyanya dengan suara kecil, suara ketakutan. Aku mungkin akan iba jika betisku tak berdenyut-denyut sakit.
Tidak, aku berbohong. Dia sudah pergi. Kau bisa keluar. Ethan tak bergerak, dan kegusaranku bertambah. Ethan, ini konyol. Keluar dari sana, sekarang. Aku memasukkan kepala lebih dalam ke bawah kasur dan meraih tubuhnya.
Ethan berbalik menatapku sambil mendesis, matanya kuning menyala, dan menyambar tanganku. Aku menarik tangan tepat ketika giginya yang tajam tak beraturan, seperti gigi hiu, mengatup dengan bunyi mengerikan. Ethan menggeram, kulitnya biru seperti bayi yang tenggelam, giginya bersinar di kegelapan. Aku menjerit, buru-buru mundur. Mainan Lego dan Tinkertoy menyakiti telapak tanganku. Menabrak dinding, aku melompat berdiri, berbalik dan lari meninggalkan kamar Ethan.
Dan bertabrakan dengan Robbie yang berdiri di depan pintu kamar.
Dia memegangi bahuku ketika aku menjerit-jerit dan mulai memukulinya, hampir tak sadar apa yang kulakukan. Dia menerima seranganku tanpa bersuara, terus memegangiku agar tak bergerak, hingga aku roboh dalam pelukannya dan membenamkan kepala di dadanya. Dia memelukku sementara aku menangis untuk meluapkan semua rasa takut dan marahku.
Akhirnya air mata berhenti mengalir, energiku terkuras, lelah luar biasa. Aku menghela napas dan melangkah mundur, mengusap air mata, masih gemetar. Robbie masih berdiri di sana, kausnya basah karena air mataku. Pintu kamar Ethan tertutup, tapi aku bisa dengar ketukan samar dan gelak tawa di balik pintu.
Aku menggigil, menatap Robbie. Ethan benar-benar hilang? Bisikku. Dia tidak bersembunyi di suatu tempat? Dia benar-benar pergi?
Robbie mengangguk muram. Aku menatap pintu kamar Ethan dan menggigit bibir. Di mana dia sekarang?
Mungkin di Fa