Cerita Jawa | Arok Dedes | by Pramoedya Ananta Toer | Arok Dedes | Cersil Sakti | Arok Dedes pdf
Fear Street - The Dare - Tantangan Dibakar Malu Dan Rindu - Marga.T I For You - Orizuka Summer Breeze - Cinta Nggak Pernah Salah - Orizuka The Truth about Forever - Kebencian Membuatmu Kesepian - Orizuka
aminan."
"Dia memerlukan keadilan, dia harus belajar mengenalnya dengan seluruh tubuh dan jiwanya, bukan hanya suara hampa untuk bunga bibir dan bunga hati Juga untukmu sendiri. Juga untukku sendiri. Juga untuk kita semua. Setiap orang."
Dedes merasa berbahagia telah terbebas dari tingkah laku pura-pura selama kepergian Tunggul Ametung. Ia merasa menemukan diri sendiri, tidak dibiarkan tersasar seorang diri di tengah rimba belantara kedunguan. Ia merasa berada di antara orang-orangnya sendiri, dijaga keselamatannya, diperhatikan dan dihargai.
Dan ia jatuh cinta. Terlalu sering ia ambil cermin perunggu dan berhias. Dan kadang pun ia malu pada diri sendiri: seorang wanita, istri seseorang, mengandung dua bulan, jatuh cinta pada seorang sudra! Tanpa darah Hindu dalam dirinya! Apakah jadinya anak ini dengan hati ibunya yang berubah-ubah semacam ini? Kalau ada Rimang, boleh jadi akan lebih mudah mengambil keputusan untuk menggugurkannya. Dia tak ada, dan hubungan dengan orang lain pun tiada.
Arok pun pergi. Ia merasa: dia akan datang kembali untuk menengoknya. Waktu Tunggul Ametung pergi ia tak punya perasaan itu, bahkan tak mengharapkan melihatnya kembali. Ia tahu: ia jatuh cinta. Dan ia merasa bersyukur dapat mencintai seorang pria.
Dan kalau teringat ia pada pembenaran Arok, Wanita adalah Dewa, Wanita adalah Kehidupan, Wanita adalah Permata, kebahagiaannya mendapatkan pengukuhan. Apa yang Tunggul Ametung tahu tentang itu? Tak sedikit pun. Orang yang jatuh cinta pada diri d an nama sendiri karena sekeping kekuasaan dari Kediri itu tak tahu sesuatu pun kecuali nikmatnya kekuasaan. Dan Arok tak menyetujui alasan Mahayogin Kramasara . Dia tidak membenarkan seorang mahaguru! Tentu dia punya alasan, ah, Arok yang mengenal para dewa itu. Umur dua puluh telah dilepas oleh Yang Suci Dang Hya ng Lohgawe, menumpas kerusuhan di selatan, dan kini akan menumpas lagi di barat dan utara. Bukankah dia juga yang mengaku brahmana dari utara? dengan kumis sekepal?
Teka-teki itu pada suatu kali akan ditanyakannya padanya. Juga teka-teki kemenangannya di selatan. Karena, bukankah semua itu gerakan Syiwa melawan Tunggul Ametung? Bagaimana mungkin ia menindas mereka para pelawan Akuwu itu?
Makin ia pikirkan, Arok semakin menjadi teka-teki baginya. Dan justru karena itu semakin agung dalam penilaiannya - anak sudra itu!
Sedap sore ia memuja di pura dalam untuk keselamatan Arok. Dan setiap berangkat tidur ia bicara pada anak dalam kandungan tentang ketidakpantasan ayahnya, Sang Akuwu, meyakinkan dirinya sendiri bukan seorang istri yang tidak tahu bersetia, tetapi seorang brahmani yang hendak mengebaskan diri dari kungkungan kedunguan dan musuh dari ajaran.
Kebahagiaan ini akan ia kokohi untuk selama-lamanya.
Ia hindari Patih dan para Menteri. Semua keputusan mereka harus disampaikan kepadanya melalui Belakangka. Hendak diperlihatkannya pada Penghulu Negeri itu, bahwa ia tidak pernah takluk kepadanya. Dan bahwa ia harus mendengarkan katanya dan perintahnya.
Dari Rimang ia mengetahui, semua kerusuhan mengangkat tinggi nama Hyang Bathari Durga. Kini dalam meluasnya kerusuhan, bathari itu tak banyak lagi terdengar. Ia juga tidak mengerti sebabnya.
Sekarang dua orang lelaki yang mengisi hidupnya berangkat untuk berperang, seorang suami dan seorang pujaan hati. Ia tindas perasaan malu tidak mengharapkan kembalinya sang suami. Ia memohon agar pujaan hati saja yang bakalnya pulang kepadanya.
Dalam keadaan hati penuh dengan bahagia dan harapan ia keluar dari gedung pekuwuan dalam iringan para pengawal, memeriksa seluruh halaman, memasuki tungguk kemit dan memerlukan berunya pada kepala kemit: "Anak buah siapa yang berjaga sekarang?" "Arok, Yang Mulia Paramesywari."
"Siapa yang mengatur giliran?" "Pangalasan, Yang Mulia."
"Mengapa bukan anak buah Pangalasan?" "Sahaya kurang periksa, ampun." "Panggil Pangalasan."
Dan waktu Pangalasan datang, ia mempersembahkan:
"Ampun. Yang Mulia, anak buah sahaya sebagian dibawa oleh
Arok, sebagai gantinya ia menukar dengan anak buahnya." Ken Dedes membuang muka untuk menyembunyikan senyum.
"Baik. Kau tidak bersalah. Juga Arok tidak, barangkah ia membutuhkan tamtama yang lebih berpengalaman."
"Memang itu sebabnya, Yang Mulia Paramesywari."
"Kau boleh pergi." Pangalasan pergi dan ia bertanya pada kepala kemit, "Kau anak buah Arok, apakah kau orang Syiwa?"
"Ampun. Yang Mulia," ia gugup dan terdiam.
"Mengapa takut? Apakah semua anak bua h Arok orang Syiwa?"
"Tidak. Yang Mulia"
"Apa sebabnya kau ikut dia?"
"Hanya dia yang membikin kami tidak teraniaya. Yang Mulia." "Apakah Arok tidak menganiaya seperti prajurit Tumapel?" "Ampun. Yang Mulia, sahaya tidak patut menjawab." "Apa perintah Arok padamu dan kalian?" "Sepenuhnya menjaga keselamatan Yang Mulia." "Lainnya?"
"Hanya Yang Mulia, tak ada lain." "Apakah kau dan kalian mencintai Arok?" "Tanpa dia mungkin kami sudah lama binasa." "Mengapa?"
"Ampun. Yang Mulia, sahaya tidak patut menjawab." "Siapa yang patut?" "Arok sendiri."
Ia tinggalkan tungguk kemit. Dalam iringan para pengawal ia masuki keputrian, memasuki Bilik Paramesywari tempat ia pertama kali tinggal, kemudian memasuki tempat para selir. Para wanita rupawan itu berlutut di depan bilik masing-masing dan mengangkat sembah. Mereka adalah bunga kecantikan seluruh Tumapel, dan sebagian dalam keadaan menyusui. Tanpa bicara ia perhatikan seorang demi seorang di antara mereka, adakah kiranya memancarkan kebencian padanya. Tak ada yang membencinya, hanya ia melihat hormat mereka kepadanya sungguh tidak keluar dari hati. Ia berpaling pada para pengawalnya:
"Lihat, bukankah cantik semua mereka? Tidakkah kalian ingin memiliki salah seorang di antaranya?"
Para pengawal itu membuang muka, dan para selir membere-ngut merasa dihinakan.
"Bukan," katanya kemudian, "puaskah kalian tinggal di sini jadi selir?"
Seorang mengangkat mata dan melirik kepadanya. Ia tahu, semua mereka datang kemari karena paksa, seperti dirinya sendiri.
Ia berjalan ke bilik terujung, tempat istri syah Tunggul Ametung sewaktu ia masih muda. Wanita tua itu menjatuhkan diri dengan kening di tanah pada kaki Dedes.
"Di manakah anak-anak Bibi?" tanyanya.
"Semua sudah jadi prajurit, Yang Mulia."
Ken Dedes terperanjat dan berpaling pada para pengawalnya. Buru-buru ia bertanya tentang hal lain:
"Tidakkah Bibi ingin pulang ke desa?"
"Sahaya hanya menunggu perintah Yang Mulia."
"Bukan aku yang menghendaki. Aku hanya bertanya."
Perempuan tua itu mengangkat sembah dan tidak bicara se-patah pun.
"Marilah aku lihat bilikmu," tanpa menunggu jawaban ia masuk. Bilik itu terdiri atas empat ruangan. Ia masuki semua. Setiap ruangan berisi benda-benda berharga.
"Semua di sini, Yang Mulia, adalah pemberian anak-anak sahaya."
"Betapa berbakti anak-anak Bibi. Berapa semua, Bibi?" "Tujuh, Yang Mulia."
Keluar dari keputrian ia memasuki dapur untuk pertama kali. Semua budak wanita menjatuhkan diri mencium tanah dan tidak lagi bergerak dari tempatnya.
"Buang tapas dari kepala kalian. Tak ada lagi yang mengenakan tapas di pekuwuan ini."
Mereka semua membuang penutup kepala itu dan menangis terhisak-hisak. Tak seorang pun mengucapkan kata.
Dedes berpaling pada para pengawalnya:
"Dengarkan, tak ada lagi budak di pekuwuan ini. Atas perintah Paramesywari. Sampaikan pada kepalamu."
Ia tinggalkan dapur dan masuk ke Taman Larangan dari belakang, duduk di bangku di bawah rindangan pepohonan dan membacai rontal.
Pasukan Arok berjalan cepat ke arah Gunung Arjuna. Desa-desa yang dilalui sepi. Penduduk telah mengungsi ke hutan-hutan sekitar, atau bergabung dengan kaum perusuh.
Canang dan genderang pasukan itu bertalu tiada henti-henti, memberitahukan pada kaum pelawan akan kedatangannya.
Tunggul Ametung, Sang Patih dan pasukannya terkepung di desa Jarak Sempal dan telah lebih sehari semalam kelaparan.
Pasukan Arok bersorak lari menyibak para pengepung. Dan para pengepung, seperti telah disetujui sebelumnya berpekikan:
"Arok datang! Arok datang!" dan lari buyar mengundurkan diri.
Pasukan Arok bergerak seakan mengejar musuh.
Sorak-sorai pertempuran kedengaran di kejauhan, semakin lama semakin menjauh, kemudian padam.
Arok mendapatkan Mundrayana di desa Randu Alas. Ia peluk warok baru itu. Dan Mundrayana tak berani membalas pelukannya, hanya erat-erat memegangi lengan kirinya.
"Betapa banyak orang yang dapat kau kerahkan, Mundra."
"Sebelumnya sahaya telah datang ke desa sahaya sendiri. Orang desa sahaya murka luar biasa mendengar perbudakan Kali Kanta, Pimpinan Tertinggi, langsung mengambil senjata mereka dan ikut bergerak."
Tak lama kemudian Bana muncul dan melaporkan tugasnya. "Baik, kau pergi ke sebelah utara Tumapel, Bana." "Apakah sudah cukup jaminan dari aku dan kami?" "Cukup."
"Aku pergi, Arok!"
"Ya, kau pergi," ia tarik Mundrayana masuk ke rumah Nyi Lembung dan membisikkan: "Membuyarlah kalian ke semua desa barat Tumapel ini. Ajak semua membersihkan desa masing-masing dari prajurit Tumapel. Beri aku lima puluh orang bekas budak dan lima puluh lagi dari desamu sendiri."
Dengan tambahan seratus orang ia balik ke Jarak Sempal. Didapatkannya Tunggul Ametung sedang berlutut di samping seorang perwira Tumapel yang tewas, dan jari-jarinya memperbaiki letak destar mayat itu. Sang Patih berjongkok di tentangnya, menunduk.
"Anakku yang gagah berani," Tunggul Ametung terdengar mengulanginya untuk entah berapa kali, "mati membela bapa...."
Melihat bayang-bayang panjang dari matahari sore yang melintasi mayat itu ia menengok.
Arok mengangkat sembah:
"Inilah sahaya, Yang Mulia. Jalan ke Kutaraja telah bersih dari kaum perusuh."
Tunggul Ametung melirik curiga pada Arok dan tidak bicara sepatah pun.
"Mari sahaya iringkan kembali"
Sang Patih memerintahkan prajuritnya untuk mengangkat mayat perwira itu, dan dengan demikian pasukan Tumapel yang telah sampai pada puncak kelelahan dan kelaparan itu berangkat pulang ke Kutaraja.
Di Asam Bagus Arok mempersembahkan agar menginap. Tunggul Ametung menyetujui. Segera kemudian ia murka karena tak ada penduduk desa yang menghadap.
"Mereka semua celah melarikan diri, Yang Mulia."
Sang Akuwu memerintahkan membongkari lumbung untuk memberi makan pasukan dan dirinya sendiri. Ternyata ternak besar juga dibawa pergi oleh pemiliknya.
Sang Patih memerintahkan agar menjejak ternak besar dengan damar. Dan Arok mencegahnya, bahwa obor damar itu memanggil kebinasaan. Kaum perusuh bisa menyergap di mana saja.
Arok melihat Tunggul Ametung untuk ke sekian kali melirik padanya. Dalam hati ia mentertawakannya. Ia tahu dirinya dan pasukannya tetap waspada terhadap segala gerak-gerik prajurit Tumapel dan Akuwu. Dan sekarang pun anak buahnya terus membayangi semua prajurit Tumapel.
Tunggul Ametung nampaknya tak ada keinginan untuk menanyakan tentang penindasannya di sebelah selatan. Dan Arok sendiri menyimpan persembahan itu untuk waktu yang lebih tepat.
Malam itu Tunggul Ametung dan seluruh pasukan hanya makan nasi dengan daun-daunan, tanpa garam, dan semua orang makan dengan lahap. Gula pun tiada, tuak apalagi. Pada waktu semua terlelap dalam kelelahan hanya prajurit-prajurit Arok yang berjaga. Juga mereka yang menjaga mayat putra pertama Tunggul Ametung, Kidang Handayani. Akuwu sendiri tidur di antara perwira-perwira puteranya sendiri, yang berjaga bergantian.
Kutaraja berkabung karena gugurnya Kidang Handayani. Seperti ikut berbelasungkawa seluruh Tumapel dalam keadaan damai. Tak ada persembahan tentang terjadinya kerusuhan baru pada Sang Akuwu.
Jenasah itu dibakar di depan pura dalam dengan segala upacara kebesaran. Menurut keputusan negeri abunya akan ditaburkan di Laut Selatan, sehingga tidak bakal diterjang oleh perahu dan kapal yang mondar-mandir di Brantas.
Dalam persidangan negeri sehari setelah abu Kidang Handa-yani disimpan dengan upacara di pura dalam, yang juga dihadiri oleh Paramesywari Tumapel, baru Arok mendapat kesempatan untuk melaporkan pemadaman kerusuhan di selatan.
Tunggul Ametung menatap Arok dengan pandang tajam:
"Belum ada bukti kerusuhan di selatan telah padam."
"Apakah kiranya bukti yang Yang Mulia Akuwu harapkan dari sahaya?"
"Seluruh Kutaraja bert
↧
Arok Dedes - 37
↧