Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Jingga Dalam Elegi - 42

$
0
0
Cerita Remaja | Jingga Dalam Elegi | by Esti Kinasih | Jingga Dalam Elegi | Cersil Sakti | Jingga Dalam Elegi pdf

Pendekar Mabuk 41 - Penguasa Teluk Neraka Arok Dedes - Pramoedya Ananta Toer Cinta Sang Naga - V. Lestari Esti Kinasih - Fairish Strangers by Barbara Elsborg

keluar dan meretas sembilan tahun kehilangannya. Mengengar sebagian jiwanya yang lain yang berkembang sesuai usianya.
 
  Cowok itu duduk bersandar pada tubuh mamanya, tidak sadar bahwa sekarang sang mama lebih kecil darinya. Memeluk tubuh mamanya lalu meletakan kepala di salah satu bahunya. Ikut meminum teh manis hangat dari gelas yang sama meskipun untuknya sudah dibuatkan di gelas sendiri. Makan dari piring mamanya dan sendok yang dipakai mamanya pula. Dan semua hal-hal lain yang dilakukannya pada saat masih kecil dan mereka masih tinggal bersama.
 
  Menjelang pukul sebelas malam, Ari tertidur dengan kepala di pangkuan mamanya. Di sebelahnya, Ata sudah lebih dulu terlelap. Lelah dengan segala persiapan keberangkatan mendadak ke Jakarta ini, yang bahkan sudah dilakukan sejak kemarin siang.
 
  Sambil berkali-kali mengusap kedua matanya, mama Ari menatap kedua anak kembrnya yang tidur berdampingan itu. Setelah sekian lama, setelah begitu banyak usaha pencarian, air mata, keterpurukan dalam putus asa, doa-doa yang tak putus, akhirnya bisa dipeluknya lagi kedua anaknya ini. Akhirnya bisa melihat lagi keduanya tidur berdampingan. Kedua anaknya yang begitu sama dan serupa.
 
  Tak jauh dari tempat tidur, duduk di atas sebuah sofa yang sengaja ditarik dari ruang tamu, wanita yang menjadi sahabat karibnya bahkan sebelum kedua kembarnya ini hadir ke dunia, juga berkali-kali menghapus air matanya
 
  ****
 
  SENIN pagi,
 
 
  SMA Airlangga gempar. Kemunculan Ari bersama Ata seketika menggegerkan seisi sekolah. Semua mulut ternganga. Semua mata terbelalak selebar-lebarnya. Beberapa tetap berdiri di tempat mereka, dicengkeram ketersimaan. Beberapa membuntuti kedua kembar itu untuk meyakinkan bahwa memang betul-betul ada dua Ari, jadi ketidakberesan bukan terletak pada penglihatan mereka.
 
  Bahkan para guru, yang notabene sudah tahu sejak lama bahwa siswa paling bermasalah itu memang mempunyai saudara kembar, sama syoknya. Mereka benar-benar tak menyangka bahwa sang saudara kembar itu ternyata begitu mirip dengan Ari. Bahwa keduanya ternyata benar-benar serupa satu sama lain. Benar-benar sama!
 
  Ketika Ari mengenalkan saudara kembarnya itu kepada setiap guru, sudah tentu dimulai dari kepala sekolah dan wakilnya, benar-benar Ata harus berhenti cukup lama di depan setiap orang. Kare na setiap guru, sambil terus menjabat tangannya erat-e rat, menatapnya dengan ekspreri seolah-olah kembar a dalah fenomena alam yang amat sangat jarang terjadi, dan karanenya bisa dikategorikan sebagai keajaiban. Ata sampai kesal.
 
  "Mereka tuh belom pernah ngeliat anak kembar, ya?" bisiknya. Ari cuma tersemyum. "Gue balik deh. Males banget. Diliatin terus, kayak tampang gue nggak mirip manusia aja."
 
  "Sebentar lagi," Ari langsung menahan. "Lima menit lagi bel upacara. Gue belom ngenalin elo ke wali kelas gue. Lo harus kenal dia." "Emang kenapa?"
 
  Ari tak menjawab. Seringai lebar tapi geli yang jadi pengganti jawabannya membuat Ata memandangnya dengan curiga.
 
  Vero tidak sanggup menyembunyikan luapan kegembiraannya. Ata menatap dengan bingung saat cewek itu menyapanya dengn manis.
 
  "Kenapa sih dia?" tanyanya pada Ari ketika Vero sudah pergi bersama gerombolannya. Ari cuma mengangkat alis dan menyembunyikan senyumnya. "Lo tanya dia aja." Ata cuma mendengus.
 
  Bel berbunyi. Jam tujuh tepat. Seluruh siswa keluar dari kelasnya masing-masing menuju tempat lapangan olahraga di depan sekolah. Ata pamit. Begitu banyak cowok yang melambaikan tangan padanya atau menepuk bahunya. Begitu banyak cewek yang berdadah-dadah dengan ribut untuknya. Membuat Ata semakin mendapatkan kesan, Ari sepertinya selebriti di sekolah ini.
 
  Bu Sam datang terlambat. Satu hal yang cukup mencengangkan karena beliau sudah bisa dianggap sebagai pengganti jam, saking selalu on time untuk urusan apa pun. Dengan demikian ibu guru yang sangat militan untuk urusan ketaatan pada peraturan itu belum mengetahui perkembangan terakhir. Melihat Ata melenggang dengan santai di sepanjang trotoar depan sekolah, sementara semua siswa yang lain bersiap-siap mengikuti upacara bendera, sontak kedua mata Bu Sam melotot lebar. Tidak mengenakan seragam pula!
 
  Segera dimintanya suaminya untuk menghentikan mobil. Begitu mobil berhenti, beliau langsung turun dan menghampiri Ata dengan langkah-langkah panjang.
 
  "AAKH!!!" Ata berteriak keras saat sebuah telapak tangan memukul punggungnya keras-keras. Dia berbalik cepat.
 
  Jakarta memang sudah terkenal punya tingkat kriminalitas yang cukup tinggi. Tapi ini kelewatan. Seorang ibu menyerangnya dengan ganas tanpa alasan.
 
  "Hebat kamu ya!?" Bu Sam berkacak pinggang. Dipelotntinya Ata tajam-tajam. "Nggak dengar kalau sudah bel!? Atau sengaja? Kalau kamu mau bolos kenapa datang ke sekolah? Kamu tuh emang senengnya nantang guru-guru, ya?"
 
  "Ibu, saya.. "
 
  Ata tidak punya kesempatan untuk bicara. Dengan geram Bu Sam mengulurkan tangan lalu mencubit satu lengan Ata keras-keras. "AduuuhM!" Ata memekik.
 
  Para siswi yang berbaris di bagian belakang, tak jauh dari pagar sekolah, menyaksikan kejadian itu dengan tawa geli. Muncul kesepakatan kolektif tanpa musyawarah untuk tidak memberitahu Bu Sam yang sebenarnya.
 
  Bu Sam menggelandang Ata, yang kiranya Ari, kembali ke sekolah. Dicengkeramnya satu lengan Ata kuat-kuat lalu ditariknya cowok itu dengan paksa.
 
  "Ibu, saya bukan Ari, Bu. Saya Ata. Sumpah demi Tuhan!"
 
  Entah sudah berapa kali Ata mengucapkan kalimat itu sejak dia diseret paksa dari trotoar depan sekolah tadi. Bu Sam tak mengacuhkan sama sekali. Beliau bukannya tidak mengetahui bahwa Ari punya saudara kembar. Tapi baik Ari maupun ayahnya tidak ada yang mengetahui keberadaan saudara kembar Ari itu dan ibu mereka sejak perpisahan itu. Jadi tidak mungkin dia ini bukan Ari. Memasuki gerbang, semakin banyak lagi senyum lebar dan tawa geli yang menyaksikan adegan itu. Para guru tidak sempat menyelamatkan salah seorang kolega mereka itu. Bu Sam keburu menyeruak barisan kelas 12 IPA 3 dari arah belakang. Diseretnya Ata ke barisan depan. Kali ini akan dibuatnya si Bengal ini berdiri di baris terdepan, agar bisa tetap diawasinya selama upacara berlangsung. Mendadak langkah-langkah Bu Sam terhenti. Lewat ekor mata, sepertinya dia melihat sosok yang sama. Dia menoleh dan seketika terperangah. Tak jauh di sebelah kirinya berdiri.... Ari juga!
 
  Kali ini Ari tampil dalam balutan seragam putih abu-abu yang tersetrika rapi. Bukan jins biru belel dan kemeja putih lengan panjang yang digulung sampai siku seperti Ari yang tadi diseretnya. Tanpa sadar cekalan Bu Sam di lengan Ata terlepas.
 
  "Tuh, kan? Saya nggak bohong, kan? Saya bukan Ari, Bu," ucap Ata kesal. Diusap-usapnya lengannya yang terasa sakit. Ibu guru ini ternyata tenaganya kuat juga.
 
  Dengn wajah masih terperangah, Bu Sam menatap Ari dan Ata bergantian. Dengan takjub dia har us mengakui bahwa nyaris tidak ada perbedaan fisik di antara keduanya. Benar-benar serupa. Setelah berhasil menguasai diri, dengan terbuka Bu Sam meminta maaf pada Ata. Juga memintanya untuk tetap di sekolah, m enunggu sampai upacara selesai dengan alasan itu aka n memberi efek yang baik untuk Ari.
 
  Begitu Bu Sam meninggalkan mereka, Ata langsung menoleh ke Ari. Ditatapnya saudara kembarnya itu dengan sorot tajam. "Lo bermasalah, ya?"
 
  Ari cuma mengulum senyum. Dirangkulnya saudara kembarnya itu.
 
  Pagi itu upacara bendera tidak berjalan selancar biasanya, karena hampir semua mata sebentar-sebentar menatap bergantian ke dua sosok yang begitu sama dan serupa itu -Ari di lapangan dan Ata di depan ruang guru- sehingga komandan upacara harus mengulangi intruksi lewat pengeras suara dengan suara keras pula.
 
  ****
 
  Epilog
 
 
  Tari keluar dari halaman rumahnya sepuluh menit lebih cepat dari pada biasanya. Cewek itu nggak yakin dengan jawaban-jawaban tugas kimia yang sudah dikerjakannya semalam. Makanya dia berangkat lebih pagi, supaya jawabannya bisa dia cocokkan dengan jawaban Fio.
 
  "Tari.... "
 
  Bukan panggilan itu yang seketika menghentikan langkah Tari, tapi orang yang melakukan panggilan itu. Ditatapnya mulut gang sempit di sebelah kanannya, tempat panggilan itu berasal. Meskipun gaya berpakaian Ari sering kasual -celana jins dengan kaus atau kemeja- semua orang bisa melihat seluruh benda yang melekat ditubuhnya berharga mahal. Berbeda dengan sosok ini. Dia terlihat kasual dalam arti yang sesungguhnya. Secara keseluruhan pula. Juga karena -meskipun sosok ini begitu sama dan serupa- ada atmosfer asing yang seketika begitu kuat. Detik itu juga Tari menyadari sosok ini bukanlah Ari.
 
  Namun, sama seperti pertemuan pertamanya dengan Ari dulu, ketika langsung di kenalinya sisi sebenarnya dari cowok itu, kali ini hal yang sama juga langsung terjadi. Wajah tanpa senyum tak jauh darinya bukan orang jahat. Sama sekali.
 
  Ata melangkah mendekati Tari lalu berdiri tepat di depannya. Dia tundukan kepala karena tinggi cewek itu tak melebihi bahunya. Kemudian ditatapnya Tari tanpa sedikit pun suara. Tatapan cowok ini membuat Tari akhirnya berusaha merentang jarak dengan menjauhkan punggungnya ke belakang.
 
  Dengan kedua mata yang jadi menyipit karena bingung, dibalasanya tatapan kedua manik mata Ata yang sehitam saudara kembarnya. "Kok kak Ata tau rumah gue?"
 
  "Gue tau dari Ari."
 
  "Ada apa?" tanya Tari pelan.
 
  "Elo apes." sebentuk senyum muncul di bibir Ata, mengiringi kalimat pendek itu. Sebentuk senyum yang bahkan apabila ditelusurinya semua kata yang ada di dalam kamus, tidak akan ada satu pun yang bisa digunakan untuk menjelaskan maknanya. Senyum ini tak terbaca.
 
  "Apa maksud lo?" tanya Tari. Kedua matanya yang terus menatap Ata semakin menyipit.
 
  Ata tak langsung menjawab. Dia menarik napas panjang lalu mengembuskannya dengan cara seperti sedang mencoba melepaskan sebongkah beban.
 
  "Gue akan, dengan sangat terpaksa, bikin lo sering nangis nanti," ucapnya berat.
 
  Kedua mata Tari yang menyipit seketika membelalak lebar. "Apa sih maksud lo?" desisnya, langsung jadi was-was.
 
  Ata tidak mengacuhkan pertanyaan itu. Dia lanjutkan ucapannya seolah-olah Tari tidak bertanya apa-apa.
 
  "Makanya gue mau minta maaf dari sekarang."
 
  "Apa sih maksud lo?" ulang Tari dengan suara meninggi. Kedua matanya yang terus terarah lurus-lurus pada Ata kini diwarnai kebingungan, kecemasan, dan ketakutan. Ata tersenyum. Senyum tak terbaca itu lagi.
 
  "Gue bener-bener minta maaf," bisiknya dengan nada sesal. "Tapi apa pun yang gue lakukan ke elo nanti, kalo bisa gue perlunak, akan gue perlunak. Juga kalo bisa gue hindari, akan gue hindari. Tapi kalo nggak...." sepasang bola mata sepekat jelaga itu mengerjap lambat. "Tolong lo inget, gue bener-bener terpaksa."
 
  "Aa..... " karena benar-benar bingung, Tari hanya sanggup membuka mulutnya tanpa kesanggupan lagi untuk mengeluarkan satu pun kata.
 
  Ata melihat jam tangannya. "Sebentar lagi Ari dateng. Dia mau jemput elo. Jangan bilang kalo elo ketemu gue. Oke?" Ditepuk-tepuknya satu bahu Tari, kemudian balik badan dan pergi. Kesadaran Tari yang melayang langsung kembali.
 
  "Kak Ata, apaan sih!?" serunya seketika. Seruannya sia-sia. Langkah-langkah panjang Ata menelan jarak dengan cepat dan tikungan gang sempit itu pun segera melenyapkan tubuh tingginya. Tari menatap gang yang kini kosong itu dengan mulut yang kembali ternganga. Dia betul-betul tidak mengerti. Yang pasti, pembicaraan tadi membuatnya betul-betul cemas.
 
  "Tar.... "
 
  Panggilan yang benar-benar dari belakang punggungnya itu membuat Tari terlonjak kaget. Seketika dia memutar tubuh. Ternyata Ari telah berada tepat di belakangnya. Di atas motor hitamnya yang mesinnya menyala.
 
  "Ada apa?" Cowok itu langsung menyadari ada sesuatu yang tak beres.
 
  "Mmm.....itu...." Dengan bingung Tari menoleh ke gang sempit tempat Ata belum lama menghilang, lalu kembali menoleh ke Ari, lalu ke gang sempit itu lagi, lalu kembali ke Ari lagi.
 
  Pertemuan yang benar-benar tak terduga dengan kembar identik Ari itu, ditambah pembicaraan singkat mereka yang sungguh-sungguh membingungkan, membuat Tari tak bisa menjelaskan apa-apa. Sama sekali bukan karena Ata telah melarangnya untuk bicara tadi.
 
  "Nggak. Nggak ada apa-apa." Akhirnya dia gelengkan kepala.
 
  "Yakin?" Ari bertanya dengan kedua mata sesaat terarah ke gang sempit itu.
 
  "Iya." Tari mengangguk. Tak lama keningny

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>