Cerita Silat | Iblis Dunia Persilatan | by Bung AONE | Iblis Dunia Persilatan | Cersil Sakti | Iblis Dunia Persilatan pdf
Siapa Ayahku ? - Azizah Attamimi The Wednesday Letters - Surat Cinta di Hari Rabu - Jason F. Wright The Chamber - Kamar Gas - John Grisham Trio Tifa - Tiga Sandera - Bung Smas Kisah Dua Kamar ~ bukanpujangga
"Baik Kakang, untuk Pendirian Rumah bunga pasti
kakang sudah tahu dari Nimas dewi., sepeninggal
Nimas Dewi, kami menjalankan misi dan rumah itu
dengan biasa saja.
Mengingat pesan kakang yang meminta aku untuk
menjadi orang yang ketiga, aku segera bertindak…
Urusan di rumah bunga itu aku serahkan kepada
Larasanti, orang kepercayaanku. Diam-diam aku
menyelinap keluar dan pergi kehutan disebelah barat
lalu membuka semua penyamaran.
Setelah itu,……
****
Aku keluar dari hutan desa dikaki gunung merbabu.
Waktu itu Wajahku kusut, pakaian yang dikenakan
olehku compang-camping. Aku berjalan dengan lesu.
Tak ada yang mempedulikanku, memang seandainya
wajah dibalik rambut acak-acakan ku itu terlihat, pasti
tempat itu akan gempar.
Semua pemuda menjengekku dengan hina, bau
badan yang seperti orang tak mandi berseliweran dari
tubuhku. Orang semacam aku pada waktu itu takan
ada yang melirik. Didunia ini memanglah orang terlalu
memandang dirinya tinggi hingga ia memandang
orang sebelah mata.
Orang mengatakan, lelaki/perempuan idaman adalah
orang yang memiliki wajah rupawan, tubuhnya tinggi
kekar berotot, indah gemulai kalau bias anak raja,
punya harta segudang, masa depan terjamin, dan
tentunya baik hati.
Setelah lelah berjalan aku berdiri di depan rumah
bunga dengan menghela nafas panjang pendek.
Kedua tanganku digosok-gosok di depan dada.
“Plukk…” Aku kaget ketika Seseorang menepuk
pundakku dari belakang.
aku berpaling, seorang kakek tua berjenggot sedada
yang sudah berwarna keperakan memandangku
dengan lembut. Wajah kakek itu sudah berkeriput,
rambut peraknya digelung dan diikat seutas tali
berwarna putih.ia mengenakan pakaian serba putih
khas pertapa.
“Apa yang kau pandangui itu cah ayu? Sampai-
sampai engkau menghela nafas panjang pendek
seperti itu.” Tanyanya.
“Akh eyang siapakah?” aku menjawab heran, padahal
dalam hatiku bersorak sebab sudah mendapat
mangsa.
“haha.. tak usah takut, orang memanggiilku Eyang
Gede. Kaupun boleh memanggilku demikian cah ayu.
Nah sekarang jawab pertanyaan tadi”
“Saya sedang menatapi rumah bunga ini eyang, saya
berniat menjadi salah satu pegawainya. Sekedar
mencari uang untuk pakaian eyang, tapi saya
bingung… apakah mereka akan menerima saya
eyang…!” Jawabku pura-pura sedih.
“Akh cah ayu, mengapa engkau memilih jalan pendek
seperti ini?bukankah masih ada pekerjaan lain yang
halal?”
“Sebenarnya saya mau eyang, apa daya kemampuan
saya tidak mencukupi. Mana ada yang mau menerima
saya, saya rasa hanya dirumah bunga ini saya bias
bekerja”
Ku perhatikan Eyang gede menatap susunan tulang
dan bentuk tubuh ku, dari raut wajahnya muncul
kekaguman. Tiba-tiba ia berkata sambil menghela
nafas pendek.
“Hah…. Sudahlah anakku, bila engkau berkenan…
engkau bias menjadi muridku, jika hanya pakaian aku
bias membelikan untukmu.”
“Menjadii murid boleh eyang, tapi…!”
“Tapi apa anakku?”
“Saya tidak mau menerima pemberian percuma…!”
“Huahaha… Anak baik-anak baik, kau boleh mengurus
tubuh tuaku ini, sebagai imbalannya” Eyang Gede
tersenyum gembira melihat kebaikan yang ku
tunjukan itu, aku memang dibesarkan dikeluarga
bangsawan, jadi mengenai hal-hal bersandiwara
seperti ini sudah terbiasa. Hidup yang terkekang
dalam sebuah tatakrama membuatku bias
bersandiwara.
“Baiklah Eyang….” Jawabku sambil berlutut dikaki
Eyang Gede, tentu saja ulah kami mendapat
perhatian penuh dari sekitar kami, Eyang gede
membangunkanku dan mengajak pergi dari situ.
“Siapa Namamu?” Tanya Eyang Gede.
Aku melamun tak menjawab pertanyaannya. Bingung
juga aku harus memberikan nama asli atau palsu.
Tapi ia berkata menenangkan kegelisahanku.
“Jangan takut anakku, siapapun dirimu eyang tidak
akan ikut campur, kau sudah menjadi muridku, maka
katakanlah… “
“Dyah Krusina Eyang…!”
“Nama yang bagus… mengapa engkau begitu
ketakutan?”
“Jika seandainya Maharaja Dunia persilatan
mengetahui saya, pasti saya akan dibunuh Eyang!”
“Mengapa?”
Mulanya aku bingung harus menceritakan atau tidak,
entah darimana datangnya keberanian, aku
menceruitakan dari awal sayembara hingga
pembunuhan kedua orang tuaku.
“Memanglah cara yang digunakan oleh maharaja
adalah cara militer kerajaan, maka dari itu aku
sendiripun tak menyetujuinya… membabi buta
membunuh lawan, hingga orang tak bersalah juga
kena akan getahnya, akibatnya pasti akan
memunculkan gelombang badai dunia persilatan…
takdir..takdir…”
Sejak saat itulah aku berguru padanya dan
mengikutinya ke gunung gede, tak lama setelah
mengajarkan seluruh kepandaiannya, ia meninggal
maka aku kembali berkelana untuk melampiaskan
gairah yang terkekang dan sebelum aku menjadi
yang ketiga, Pada waktu itu malam purnama………!”
***
Malam Purnama, malam indah dengan sang dewi
malam yang bersinar indah menerangi jagad raya,
dedaunan bergoyang lembut, air gemericik
melantunkan nada dalam sebuah irama syahdu
membuat hati dan pikiran terlena dalam angan…
“Kau Puas Kakang….tanya seorang gadis cantik
dengan bentuk tubuh menggiurklan kepada lelaki
disampingnya. Mereka duduk bersenderan di batu
dibawah guyuran sinar rembulan,. Tak sehelai
benangpun melekat ditubuh mereka…
“Puas sekali Nimas..!” Jawab lelaki itu. Tangannya
disembunyikan dibelakang, sementara tangan kirinya
merengkuh gadis itu dengan tangan kirinya.
“jlebbb” Mata Gasdis itu melotot, berbareng dengan
semburan darah ia mati dalam pelukan….
“Hahaha….” Lelaki itu tertawa puas, ia mengenakan
bajunya kembali…
“Plukk….!” Sebuah lencana jatuh dari saku bajunya.
Lelaki itu beranjak pergi meninggalkan tempat itu
tanpa sadar sebuah benda jatuh dari saku bajunya…
Malam semakin larut, tak begitu lama mentari pagi
menonggolkan sinarnya di ufuk timur, tampak Aryani
melompat-lompat diantara bebatuan sungai, matanya
melotot begitu melihat seorang gadis yang dikenalnya
terbujur kaku dengan berlumuran darah…
“Lembayung….Kau!”Aryani mendekati gadis itu dan
memangkunya ditangan, mata tajam Aryani tertuju
pada sebuah lencana disamping gadis itu. Mata Aryani
melotot marah. Dijemputnya Lencana itu dan melesat
kembali ke Air terjun dengan memanggul tubuh
mayat itu.
“Lara… Kumpulkan saudara kita,!” Aryani memerintah
Lara yang menjublak melihat mayat ditangan Wakil
ketuanya…
“Ba..baik…” Lara melesat naik dan masuk kedalam
goa, seperminum kopi kemudaian ia kembali dengan
membawa seerombongan gadis lainnya…
Mata mereka berkaca-kaca melihat mayat yang
bernama Lembayung itu.
“Dita ambilkan aku alat tulis, Dina ambilkan aku
seekor merpati terbaik kita. Dan yang lain Siapkan
pengkuburannya!...”
“Baik Nimas Dhara….!”
Nimas Dhara adalah panggilan untuk wakil ketua, dan
Dhara untuk panggilan Ketua perkumpulan itu.
Semuanya tampak sibuk dengan aksinya masing-
masing, Tampak aryani menggoreskan tinta di sehelai
kain putih.
Kain itu diikatkan di kaki burung dan
menerbangkannya….
Di Rumah Bunga……
“Nyonya.. ada merpati pos dari Nimas Dhara!” bisik
seorang gadis berpenampilan seronok serba hijau
muda.
“Kemarikaan!” Sahut yang dipanggiol nyonya. Nyonya
itu tak lain adalah Dyah Krusina yang menyamar
adanya.
Dyah Krusina membuka kain yang digulung itu dan
mulai membaca:
“Dhara saya kirimkan sebuah berita buruk untukmu.
Lembayung salah satu anggota kita telah tewas…
beliau tewas sewaktu menjalankan misi,
disampingnya terdapat sebuah lencana yang saya tak
kenal…”
Berhenti disitu, Dyah Kruusina mengambil lencana
yang juga digulung oleh kain itu “Ratan Wasana”
Desisinya. Ia lanjutkan bacaannya..
“Saya menemuknnya di pagi hari setelah malam
purnama, beliau mati dengan sebuah tusukan tepat
dijantung. Kami berencana untuk membalas dendam,
mohon doa restu dan petunjuk Dhara. Tertanda Nimas
Dhara Aryani”
“Apa yang harus aku lakukan…!” Gumam Dyah
Krusina bingung,. Sebab Ratan Wasana adalah
Perkumpulan yang dipegang Arya dan Gardapati.
Ditengah kegalauannya, Dyah Krusina masuk kedalam
kamar…. Ia duduk di ranjang, kedua kakinya merapat,
tangannya diposoisikan menyembah di dada. Matanya
terpejam, ia berksentrasi pada kening diatas mata
seolah disana ada sosok Gardapati. Mulainya memng
hitam, perlahan tapi pasti berubah warna menjadi
kuning, dan samar-samar wajah Gardapati mulai
Nampak… dan semakin Nampak…
“Ada apa Nimas Dyah” Suara Batin Gardapati
bergema dalam telingan batin Dyah Krusina.
Dyah Krusinapun menceritakan hal ikhwal tentang
kejadian dan surat yang diberikan Aryani. Ia bertanya.
“Apa yang harus aku lakukan kakang…!”
Gardapati diam sebentar, ia merenung “Terimakasih
Nimas, kau sudah memberiku kesempatan untuk
menghancurkan kakek-setan itu, perintahkan aknak
buahmu untuk mengacaukan dunia persilatan dengan
cara meningkatkan kemampuan kalian. Sekali
datyung dua pulau terlampaui. Musuhilah Ratan
wasana semampu yang kalian bias, kakang sudah
memasukan mata-mat dalam tubuh mereka. Bunuh
setiap orang yang akan kakang kirimkan melalui cara
yang tak bias engkau bayangkan”
“Baik kakang, bagaimana dengan kakang..?”
“Setidaknya ada dua ribu pasukan kerajaaan dala m
tangan kakang. pada waktunya mereka akan
bergerak,…”
“Apa…!” Dyah Krusina kaget, akibbatnya
konsentrasinya buyar, wajah gardapati kini tak jelas
dan semu.
“Selamat tinggal dan jumpa Nimas Dyah” Gardapati
pamit. Bayangannya menghilang, membuat Dyah
Krusina sedih akan rindu…
Ia bangkit dan mulai menulis surat…
“Lakukan,… suruh setiap anggota kita merampas
hawa perjaka dengan tempo yang lebih kerap lagi,.
Bila perlu gunakan kekerasan. Bantai habis setiap
anggota Ratan Wasana”
Surat itu digulung kembali dan di gantungkan kembali
di kaki merpati tadi…
“berikan kepada Nimas Aryani” Bisiknya,… burung
merpati itu dilemparkan keudara dan terbang melesat
pergi..
***
“Dan semenjak itulah, kami memnbantai… sekaligus
membuat sebuah hal baru dengan para calon korban
utama kita”
“Siasat Memukul kekiri membunuh kekanan yang
hebat” Sela Iblis Kembar Bumi. Yang rupanya dapat
memahami siasat yang dilakukan Gardapati.
“Sungguh pintar…sungguh pintar,…!” Puji Gardapati.
“Tak mungkin hanya itu yang engkau lakukan heh…!
Jalan itu sangat sederhana, hanya belok kanan, belok
kiri, naik dan turun…huahaha” Si Gila dari Neraka
tertawa terbahak-bahak,. Gardapati tersenyum, ia
tahu maksudnya.
Adapun maksudnya adalah bahwa siasat itu sangat
sederhana dan dapat dibaca oleh siapapun, tapi
dimanapun pasti ada perubahannya tidak semata itu-
itu saja. Jika diibaratkan dikota A kita sudah hapal
maka takan tersesat, sementara dikota B kita akan
kelimpungan dan tersesat, mengapa? Padahal itu
sama sama jalan? Yang terdiri dari Naik, Turun, Kanan
dan Kiri.
Jawabannya hanya satu… setiap jalan berbeda
penempatan…
Penempatan?.....
Ya, itulah modal utama sebuah siasat, percuma siasat
yang dahsyat bila salah penempatan, tapi jika
penempatannya pas, siasat sederhanapun dapat
menjungkirkan apa yang disiasatinya…
“Semuanya sudah menuturkan pengalaman masing-
masing. Pasti kalian bertanya apa yang sudah aku
lakukan selama ini? Sayang sekali rahasia langit tidak
boleh bocor” Gardapati memberikan peluang dan
menutupnya kembali. Benar-benar tindakan yang
mendengarnya menghela nafas berat-berat.
“Aku belum menuturrkan kakang!” Astradewi
cemberut.
“Aku bisa menebaknya… kau terkenal dengan
gelarmu Dewi Asmara berwajah lugu, jadi setiap
tindakanmu sudah akui dengar dari mulut orang,
emm…. Dua orang itu tajk kau temukan kan?”
Astadewi mengangguk membenarkan, mulutnya
cemberut tak keruan. Kakinya menjejak-jejak
jengkel.
Gardapati tertawa terbahak-bahak…
“Arya, kemarilah….!” Gardapati memerintah.
Arya menurut,ia mendekat dan berbalik punggung
karena itu memang hal yang diminta Gardapati.
Gardapati tempelkan kedua telapak tangan di
punggung Arya, mulutnya berkomat-kamit dan
matanya terpejam.
“Arrrghhh…..Kretek..kretekk..trakk..trookkk” Arya
menjerit kesakitan, suara tulang dalam tubuhnya
berkretekan terdengar keluar, susunan tulang
tubuhnya berubah, bukan hanya tubbuh, bahkan
wajahpun ikut berubah, Astadewi, Ratih dan Dyah
Krusina menutup mata karena ngeri melihatnya.
Seperanakan nasi kemudian, suara itu berhenti,
Gardapati lepaskan kedua tangannya, iblis kembar
bumi dan Si Gila Dari neraka Hitam terpengarah
melihat wajah Arya yang sekarang.
“Iblis Bermata Hijau… kau berubah menjadi muda
kembali” Desis mereka.
Ya, memang saat itu Arya berubah menjadi Iblis
Bermata Hijau sewaktu muda, susunan tulangnya
berubah, entah ilmu apa yang digunakan Gardapati.
“Nimas Dewi Nimas Ratih…sekarang giliran kalian”
Gardapati berkata lirih.
Siapa Ayahku ? - Azizah Attamimi The Wednesday Letters - Surat Cinta di Hari Rabu - Jason F. Wright The Chamber - Kamar Gas - John Grisham Trio Tifa - Tiga Sandera - Bung Smas Kisah Dua Kamar ~ bukanpujangga
"Baik Kakang, untuk Pendirian Rumah bunga pasti
kakang sudah tahu dari Nimas dewi., sepeninggal
Nimas Dewi, kami menjalankan misi dan rumah itu
dengan biasa saja.
Mengingat pesan kakang yang meminta aku untuk
menjadi orang yang ketiga, aku segera bertindak…
Urusan di rumah bunga itu aku serahkan kepada
Larasanti, orang kepercayaanku. Diam-diam aku
menyelinap keluar dan pergi kehutan disebelah barat
lalu membuka semua penyamaran.
Setelah itu,……
****
Aku keluar dari hutan desa dikaki gunung merbabu.
Waktu itu Wajahku kusut, pakaian yang dikenakan
olehku compang-camping. Aku berjalan dengan lesu.
Tak ada yang mempedulikanku, memang seandainya
wajah dibalik rambut acak-acakan ku itu terlihat, pasti
tempat itu akan gempar.
Semua pemuda menjengekku dengan hina, bau
badan yang seperti orang tak mandi berseliweran dari
tubuhku. Orang semacam aku pada waktu itu takan
ada yang melirik. Didunia ini memanglah orang terlalu
memandang dirinya tinggi hingga ia memandang
orang sebelah mata.
Orang mengatakan, lelaki/perempuan idaman adalah
orang yang memiliki wajah rupawan, tubuhnya tinggi
kekar berotot, indah gemulai kalau bias anak raja,
punya harta segudang, masa depan terjamin, dan
tentunya baik hati.
Setelah lelah berjalan aku berdiri di depan rumah
bunga dengan menghela nafas panjang pendek.
Kedua tanganku digosok-gosok di depan dada.
“Plukk…” Aku kaget ketika Seseorang menepuk
pundakku dari belakang.
aku berpaling, seorang kakek tua berjenggot sedada
yang sudah berwarna keperakan memandangku
dengan lembut. Wajah kakek itu sudah berkeriput,
rambut peraknya digelung dan diikat seutas tali
berwarna putih.ia mengenakan pakaian serba putih
khas pertapa.
“Apa yang kau pandangui itu cah ayu? Sampai-
sampai engkau menghela nafas panjang pendek
seperti itu.” Tanyanya.
“Akh eyang siapakah?” aku menjawab heran, padahal
dalam hatiku bersorak sebab sudah mendapat
mangsa.
“haha.. tak usah takut, orang memanggiilku Eyang
Gede. Kaupun boleh memanggilku demikian cah ayu.
Nah sekarang jawab pertanyaan tadi”
“Saya sedang menatapi rumah bunga ini eyang, saya
berniat menjadi salah satu pegawainya. Sekedar
mencari uang untuk pakaian eyang, tapi saya
bingung… apakah mereka akan menerima saya
eyang…!” Jawabku pura-pura sedih.
“Akh cah ayu, mengapa engkau memilih jalan pendek
seperti ini?bukankah masih ada pekerjaan lain yang
halal?”
“Sebenarnya saya mau eyang, apa daya kemampuan
saya tidak mencukupi. Mana ada yang mau menerima
saya, saya rasa hanya dirumah bunga ini saya bias
bekerja”
Ku perhatikan Eyang gede menatap susunan tulang
dan bentuk tubuh ku, dari raut wajahnya muncul
kekaguman. Tiba-tiba ia berkata sambil menghela
nafas pendek.
“Hah…. Sudahlah anakku, bila engkau berkenan…
engkau bias menjadi muridku, jika hanya pakaian aku
bias membelikan untukmu.”
“Menjadii murid boleh eyang, tapi…!”
“Tapi apa anakku?”
“Saya tidak mau menerima pemberian percuma…!”
“Huahaha… Anak baik-anak baik, kau boleh mengurus
tubuh tuaku ini, sebagai imbalannya” Eyang Gede
tersenyum gembira melihat kebaikan yang ku
tunjukan itu, aku memang dibesarkan dikeluarga
bangsawan, jadi mengenai hal-hal bersandiwara
seperti ini sudah terbiasa. Hidup yang terkekang
dalam sebuah tatakrama membuatku bias
bersandiwara.
“Baiklah Eyang….” Jawabku sambil berlutut dikaki
Eyang Gede, tentu saja ulah kami mendapat
perhatian penuh dari sekitar kami, Eyang gede
membangunkanku dan mengajak pergi dari situ.
“Siapa Namamu?” Tanya Eyang Gede.
Aku melamun tak menjawab pertanyaannya. Bingung
juga aku harus memberikan nama asli atau palsu.
Tapi ia berkata menenangkan kegelisahanku.
“Jangan takut anakku, siapapun dirimu eyang tidak
akan ikut campur, kau sudah menjadi muridku, maka
katakanlah… “
“Dyah Krusina Eyang…!”
“Nama yang bagus… mengapa engkau begitu
ketakutan?”
“Jika seandainya Maharaja Dunia persilatan
mengetahui saya, pasti saya akan dibunuh Eyang!”
“Mengapa?”
Mulanya aku bingung harus menceritakan atau tidak,
entah darimana datangnya keberanian, aku
menceruitakan dari awal sayembara hingga
pembunuhan kedua orang tuaku.
“Memanglah cara yang digunakan oleh maharaja
adalah cara militer kerajaan, maka dari itu aku
sendiripun tak menyetujuinya… membabi buta
membunuh lawan, hingga orang tak bersalah juga
kena akan getahnya, akibatnya pasti akan
memunculkan gelombang badai dunia persilatan…
takdir..takdir…”
Sejak saat itulah aku berguru padanya dan
mengikutinya ke gunung gede, tak lama setelah
mengajarkan seluruh kepandaiannya, ia meninggal
maka aku kembali berkelana untuk melampiaskan
gairah yang terkekang dan sebelum aku menjadi
yang ketiga, Pada waktu itu malam purnama………!”
***
Malam Purnama, malam indah dengan sang dewi
malam yang bersinar indah menerangi jagad raya,
dedaunan bergoyang lembut, air gemericik
melantunkan nada dalam sebuah irama syahdu
membuat hati dan pikiran terlena dalam angan…
“Kau Puas Kakang….tanya seorang gadis cantik
dengan bentuk tubuh menggiurklan kepada lelaki
disampingnya. Mereka duduk bersenderan di batu
dibawah guyuran sinar rembulan,. Tak sehelai
benangpun melekat ditubuh mereka…
“Puas sekali Nimas..!” Jawab lelaki itu. Tangannya
disembunyikan dibelakang, sementara tangan kirinya
merengkuh gadis itu dengan tangan kirinya.
“jlebbb” Mata Gasdis itu melotot, berbareng dengan
semburan darah ia mati dalam pelukan….
“Hahaha….” Lelaki itu tertawa puas, ia mengenakan
bajunya kembali…
“Plukk….!” Sebuah lencana jatuh dari saku bajunya.
Lelaki itu beranjak pergi meninggalkan tempat itu
tanpa sadar sebuah benda jatuh dari saku bajunya…
Malam semakin larut, tak begitu lama mentari pagi
menonggolkan sinarnya di ufuk timur, tampak Aryani
melompat-lompat diantara bebatuan sungai, matanya
melotot begitu melihat seorang gadis yang dikenalnya
terbujur kaku dengan berlumuran darah…
“Lembayung….Kau!”Aryani mendekati gadis itu dan
memangkunya ditangan, mata tajam Aryani tertuju
pada sebuah lencana disamping gadis itu. Mata Aryani
melotot marah. Dijemputnya Lencana itu dan melesat
kembali ke Air terjun dengan memanggul tubuh
mayat itu.
“Lara… Kumpulkan saudara kita,!” Aryani memerintah
Lara yang menjublak melihat mayat ditangan Wakil
ketuanya…
“Ba..baik…” Lara melesat naik dan masuk kedalam
goa, seperminum kopi kemudaian ia kembali dengan
membawa seerombongan gadis lainnya…
Mata mereka berkaca-kaca melihat mayat yang
bernama Lembayung itu.
“Dita ambilkan aku alat tulis, Dina ambilkan aku
seekor merpati terbaik kita. Dan yang lain Siapkan
pengkuburannya!...”
“Baik Nimas Dhara….!”
Nimas Dhara adalah panggilan untuk wakil ketua, dan
Dhara untuk panggilan Ketua perkumpulan itu.
Semuanya tampak sibuk dengan aksinya masing-
masing, Tampak aryani menggoreskan tinta di sehelai
kain putih.
Kain itu diikatkan di kaki burung dan
menerbangkannya….
Di Rumah Bunga……
“Nyonya.. ada merpati pos dari Nimas Dhara!” bisik
seorang gadis berpenampilan seronok serba hijau
muda.
“Kemarikaan!” Sahut yang dipanggiol nyonya. Nyonya
itu tak lain adalah Dyah Krusina yang menyamar
adanya.
Dyah Krusina membuka kain yang digulung itu dan
mulai membaca:
“Dhara saya kirimkan sebuah berita buruk untukmu.
Lembayung salah satu anggota kita telah tewas…
beliau tewas sewaktu menjalankan misi,
disampingnya terdapat sebuah lencana yang saya tak
kenal…”
Berhenti disitu, Dyah Kruusina mengambil lencana
yang juga digulung oleh kain itu “Ratan Wasana”
Desisinya. Ia lanjutkan bacaannya..
“Saya menemuknnya di pagi hari setelah malam
purnama, beliau mati dengan sebuah tusukan tepat
dijantung. Kami berencana untuk membalas dendam,
mohon doa restu dan petunjuk Dhara. Tertanda Nimas
Dhara Aryani”
“Apa yang harus aku lakukan…!” Gumam Dyah
Krusina bingung,. Sebab Ratan Wasana adalah
Perkumpulan yang dipegang Arya dan Gardapati.
Ditengah kegalauannya, Dyah Krusina masuk kedalam
kamar…. Ia duduk di ranjang, kedua kakinya merapat,
tangannya diposoisikan menyembah di dada. Matanya
terpejam, ia berksentrasi pada kening diatas mata
seolah disana ada sosok Gardapati. Mulainya memng
hitam, perlahan tapi pasti berubah warna menjadi
kuning, dan samar-samar wajah Gardapati mulai
Nampak… dan semakin Nampak…
“Ada apa Nimas Dyah” Suara Batin Gardapati
bergema dalam telingan batin Dyah Krusina.
Dyah Krusinapun menceritakan hal ikhwal tentang
kejadian dan surat yang diberikan Aryani. Ia bertanya.
“Apa yang harus aku lakukan kakang…!”
Gardapati diam sebentar, ia merenung “Terimakasih
Nimas, kau sudah memberiku kesempatan untuk
menghancurkan kakek-setan itu, perintahkan aknak
buahmu untuk mengacaukan dunia persilatan dengan
cara meningkatkan kemampuan kalian. Sekali
datyung dua pulau terlampaui. Musuhilah Ratan
wasana semampu yang kalian bias, kakang sudah
memasukan mata-mat dalam tubuh mereka. Bunuh
setiap orang yang akan kakang kirimkan melalui cara
yang tak bias engkau bayangkan”
“Baik kakang, bagaimana dengan kakang..?”
“Setidaknya ada dua ribu pasukan kerajaaan dala m
tangan kakang. pada waktunya mereka akan
bergerak,…”
“Apa…!” Dyah Krusina kaget, akibbatnya
konsentrasinya buyar, wajah gardapati kini tak jelas
dan semu.
“Selamat tinggal dan jumpa Nimas Dyah” Gardapati
pamit. Bayangannya menghilang, membuat Dyah
Krusina sedih akan rindu…
Ia bangkit dan mulai menulis surat…
“Lakukan,… suruh setiap anggota kita merampas
hawa perjaka dengan tempo yang lebih kerap lagi,.
Bila perlu gunakan kekerasan. Bantai habis setiap
anggota Ratan Wasana”
Surat itu digulung kembali dan di gantungkan kembali
di kaki merpati tadi…
“berikan kepada Nimas Aryani” Bisiknya,… burung
merpati itu dilemparkan keudara dan terbang melesat
pergi..
***
“Dan semenjak itulah, kami memnbantai… sekaligus
membuat sebuah hal baru dengan para calon korban
utama kita”
“Siasat Memukul kekiri membunuh kekanan yang
hebat” Sela Iblis Kembar Bumi. Yang rupanya dapat
memahami siasat yang dilakukan Gardapati.
“Sungguh pintar…sungguh pintar,…!” Puji Gardapati.
“Tak mungkin hanya itu yang engkau lakukan heh…!
Jalan itu sangat sederhana, hanya belok kanan, belok
kiri, naik dan turun…huahaha” Si Gila dari Neraka
tertawa terbahak-bahak,. Gardapati tersenyum, ia
tahu maksudnya.
Adapun maksudnya adalah bahwa siasat itu sangat
sederhana dan dapat dibaca oleh siapapun, tapi
dimanapun pasti ada perubahannya tidak semata itu-
itu saja. Jika diibaratkan dikota A kita sudah hapal
maka takan tersesat, sementara dikota B kita akan
kelimpungan dan tersesat, mengapa? Padahal itu
sama sama jalan? Yang terdiri dari Naik, Turun, Kanan
dan Kiri.
Jawabannya hanya satu… setiap jalan berbeda
penempatan…
Penempatan?.....
Ya, itulah modal utama sebuah siasat, percuma siasat
yang dahsyat bila salah penempatan, tapi jika
penempatannya pas, siasat sederhanapun dapat
menjungkirkan apa yang disiasatinya…
“Semuanya sudah menuturkan pengalaman masing-
masing. Pasti kalian bertanya apa yang sudah aku
lakukan selama ini? Sayang sekali rahasia langit tidak
boleh bocor” Gardapati memberikan peluang dan
menutupnya kembali. Benar-benar tindakan yang
mendengarnya menghela nafas berat-berat.
“Aku belum menuturrkan kakang!” Astradewi
cemberut.
“Aku bisa menebaknya… kau terkenal dengan
gelarmu Dewi Asmara berwajah lugu, jadi setiap
tindakanmu sudah akui dengar dari mulut orang,
emm…. Dua orang itu tajk kau temukan kan?”
Astadewi mengangguk membenarkan, mulutnya
cemberut tak keruan. Kakinya menjejak-jejak
jengkel.
Gardapati tertawa terbahak-bahak…
“Arya, kemarilah….!” Gardapati memerintah.
Arya menurut,ia mendekat dan berbalik punggung
karena itu memang hal yang diminta Gardapati.
Gardapati tempelkan kedua telapak tangan di
punggung Arya, mulutnya berkomat-kamit dan
matanya terpejam.
“Arrrghhh…..Kretek..kretekk..trakk..trookkk” Arya
menjerit kesakitan, suara tulang dalam tubuhnya
berkretekan terdengar keluar, susunan tulang
tubuhnya berubah, bukan hanya tubbuh, bahkan
wajahpun ikut berubah, Astadewi, Ratih dan Dyah
Krusina menutup mata karena ngeri melihatnya.
Seperanakan nasi kemudian, suara itu berhenti,
Gardapati lepaskan kedua tangannya, iblis kembar
bumi dan Si Gila Dari neraka Hitam terpengarah
melihat wajah Arya yang sekarang.
“Iblis Bermata Hijau… kau berubah menjadi muda
kembali” Desis mereka.
Ya, memang saat itu Arya berubah menjadi Iblis
Bermata Hijau sewaktu muda, susunan tulangnya
berubah, entah ilmu apa yang digunakan Gardapati.
“Nimas Dewi Nimas Ratih…sekarang giliran kalian”
Gardapati berkata lirih.