Cerita Silat | Iblis Dunia Persilatan | by Bung AONE | Iblis Dunia Persilatan | Cersil Sakti | Iblis Dunia Persilatan pdf
Mahkota Cinta - Habiburrahman El-Shirazy Josep Sang Mualaf - Fajar Agustanto Namaku Izrail ! - Atmonadi Keluarga Flood - Tetangga Menyebalkan - Colin Thomphson Kumpulan Dongeng Anak
Cepat-cepat Ki Tabib membujuk lirih di telinga
Gardapati…
"jangan banyak bicara lagi, lebih penting lagi kau
merelaksikan tubuhmu seiring tebnaga dalam kami,
jangan mengerahkan tenaga dalam yang malah
menyulitkan kami, terimalah keadaan ini dengan
ikhlas."
Gardapati mau menurut, pelan pelan ia mulai
mengendurkan sepenuhnya urat-urat saraf yang tadi
menegang. Hawa hangat mengalir keseluruh
tubuhnya,
Lambat laun Ki Tabib dan Ni Tabib semakin banyak
mengeluarkan tenaga, air mukanya sampai pucat
pias, keringat sebesar kacang membasahi jidat.
Tahu dia bahwa sampai taraf terakhir ini luka-luka
pasiennya sudah merasa lebih baik, keduanya
menarik tangan dan bersila menenangkan darah yang
bergolak dalam dada.
Waktu berselang cukup lama. Dari dapur, Lastri
membawa tiga gelas bamboo. Harum daun the
tercium wangi memanjakan hidung.
Ki dan Ni Tabib sadarkan diri dari semadinya. Menatap
lastri yang berdiri menenteng baki.
“KAu memang anak yang baik…!” Kata KiTabib sambil
mengambil dua gelas air the, satu untuknya dan satu
untuk Ni Tabib.
Air masih hangat kuku, mengepulkan asap putih
menebarkan bau harum, seteguk demi seteguk air itu
berpindah pada mulut keduanya.
“Akhh,…!” Ungkap mereka begitu selesai minum. Gelas
diberikan lagi kepada Lastri, mereka turun dari
pembaringan. Ni Tabib masuk kedapur, sedang Ki
Tabib keluar rumah.
Lastri mengambil bangku dari kayu dan duduk di sisi
Gardapati. Dia bersedekap tangan melamun
memperhatikan wajah Gardapati yang tidak lagi
seucat sewaktu mereka bertemu.
“Ai, Pemuda ini tampan bukan main” Gumamnya
tanpa sadar. Wajahnya memerah manja. dag dig dug
degub jantung keduanya berpadu dalam irama
kesunyian.
“Ukhhh…!” Gardapati siuman. Lastri terkejut, saking
terkejutnya ia sampai terjungkal kebelakang,
Gardapati heran begitu mendengar suara aneh, ia
celingukan setengah sadar.
Dan begitu melongok kebawah sisi pembaringan,
yang pertama dilihatnya adalah paha mulus tanpa
cacat, putih bersih tanpa bulu.
Gardapati tertegun, baru saja ia siuman, ia disuguhi
pemandangan demikian, tak urung temannya yang
lain menggeliat bangkit.
“Akh…Ekhhh!” Lastri tergagap kaget, wajahnya
memerah malu ketika melihat Gardapati sudah
siuman dan melihat dirinya, ia heran melihat raut
wajah Gardapati. Dia ikuti pandangan gardapati dan
ia menjerit kaget…
“AAAKKKKKKKKKhhhhhhhhhhhhhh……!”
Suasana tenang diluar rumah dikagetkan dengan
teriakan itu. Ayam yang bertengger sampai
membuang kotorannya secara reflek, ayam yang
sedang bercumbu meloncat kaget…
***
“Silahkan diminum Kang!”Lastri Menyodorkan gelas
berisi air the.
Pagi yang dingin, bertemankan segelas the hangat
dan gadis cantik, sungguh inilah yang menjadi idaman
setiap orang.
“Terimakasih…!” Gardapati tersenyum penuh arti.
Wajahnya tidak begitu pucat, matahari terbit
memancarkan sinar menerpa sebagian wajahnya.
“Wussshhh,…!” Angin bertiup mengibarkan rambut
gondrong Gardapati. Gardapati benahi rambutnya
kebelakang telinga dan meminum the yang hangat.
Kepulan asap putih beraroma the memanjakan hidung
keduanya, Lastri tertunduk malu, ia masih ingat
kejadian kemaris sore, sungguh pertama kalinya
pajha mulusnya di llihat laki-laki. Apalagi oleh pemuda
tampan seperti Gardapati.
“Boleh kupanggil Nimas?” Tanya Gardapati!
“Nimas, akh panggilan yang manis…!” Jawab Lastri
dalam hati. Sementara mulutnya bungkam saja tak
menjawab.
“Akh, jangan-jangan kau mau di panggil Yayi?”
Celetuk Gardapati menggoda.
Lastri semakin bungkam, tak sepatah katapun dia tak
sanggup berbicara.
“Nimas, siapa namamu?”
“Las…” Lastri tergagap.
“Lasmini?” Tebak Gardapati. Lastri menggeleng
pertanda ia salah.
“Lasmarani?”
“Dia Mbakyu ku…!” Lastri mulai bisa mengontrol diri.
Dan tersenyum…
Gardapati diam tak menjawab, dia menatap bunga
teratai dalam kolam yang sedang mekar, bibirnya
melantunkan sebuah syair……
“Senyummu indah bersandingkan teratai putih…
menggoda asa merayu jiwa,… dag-dig-dug jantung
semakin bergema, pandanganmu tertuntuk merayu
manja, malu kucing bersemu dadu. Sungguh inginku
merayu, mencumbu. Dan menciumu…Bibir mungil
manis madu, bersemu merah laksana darah,…
bergelora tak tahu arah,… aku menyerah kalah… ku
akui aku memang mengagumi keelokanmu wahai
dewi dari khayangan. Namun kau seperti bayangan,
sungguh ku tak kuasa tuk bersandingan.”
Lastri menunduk malu, dia paham Gardapati sedang
menyindir dirinya.
“Dan apakah nama kakang?” Tanyanya mengalihkan
perhatian.
“Orang mengatakan aku bernama ‘Parajurit Berani
Mati” tapi kenyataannya aku hanya ingin mati sambil
bersimpuh dihadapanmu!” Jawab Gardapati setengah
berguyon.
“Gardapati…! Nama Kakang benar, benar gagah,
segagah orangnya” Jawab Lastri mulai berani
bercanda.
“Kau belum mengatakan siapa namamu!”
“Namaku sangat sederhana kakang, Lastri…
lengkapnya Cahya Lastri”
“Cahaya Malam, nama yang indah… seindah
orangnya, pantas kau bisa menerangiku hatiku yang
gelap, ternyata namamu Cahya Lastri”
“Akh, kakang keterlaluan, sedari tadi selalu saja
menggodaku.! Ayo masuk, sudah saatnya engkau
minum obat…”
“Ayo…!”
***
Subuh masih belum menyingsing, diatas batu cadas
bertemankan angin dingin yang merasuk tubuh,
Sagara Angkara sedang melakukan semadi Sastra
Cetha sebuah ilmu semadi dalam Sastra Jendra
Hayuningrat.
Posisi tidur nya telentang kaki lurus, telapak tangan
masing-masing menempel ke paha, telapak kaki
kanan menempel ke telapak kaki kiri (posisi saluku
tunggal).
Dia menarik nafas dari pusar naik ke dada,
tenggorokan, kemudian naikkan lagi ke ubun-ubun,
dan ditahan seperminum the lamanya, kemudian
diturunkan lagi perlahan –lahan kepusar sambil
membuang nafas.
Pada saat dia menarik nafas, batinnya berkata:
‘’huu’‘
Dan pada saat melepas ‘batinnya berkata:
’yaa’‘, ia melakukan setiap tahapan sebanyk tiga kali
tarikan/ buang nafas (Tripandurat), kemudian baru
istirahat dan kemudian dilakukan lagi.
Pada saat bersatunya rah (darah) atau roh di ubun-
ubun (susuhunan) itulah bisa disebut manunggaling
kawula gusti, dalam arti jika nafas naik kita
jumeneng gusti dan pada saat turun kita kembali jd
kawulo, namun yg dimaksud disini bukan berarti
nafasnya tetapi adalah Cipta & rasa nya.
Dia melakukan semadi itu dengan sungguh-sungguh
pasrah akan kehendak yang Kuasa dan sungguh
pasrah atas segala dosa dan hidup nya. Olah nafas
yang dipergunakannya adalah nafas halus, yaitu
menjaga (bukan mengatur seperti yg lainya) untuk
bernafas dengan teratur antara keluar dan masuknya
nafas. Tidak ditahan ataupun sengaja dihabiskan.
Betul betul bafas teratur seperti tidur, Pikiran
dipusatkan kepada jalannya nafas, terus merasakan
keluar dan masuknya nafas.
Ini yang dikatakan olah rasa, yaitu mengolah dan
merasakan rasa jati, berusaha merasakan rasa yang
sejati
Setelah sekian lama, akhirnya terdengar suara dalam
gumaman lirih.
“Bismillah.. Ya Allah Ya Hayyu Ya Qoyyum Ya Azhim
Ya Robbal `Alamin Subhana abaisil warisi ya robbi inni
maghlubun fantashirni Bismillah.. Kun kata Allah,
Fayakun kata Muhammad, Robbukum kata Jibroil Ya
Jibroil Ya Mikail Ya Isrofil Ya Izroil Yaiku Sang Ratu
Kepyok Sang Ratu Herang putihKadulur bathin ka
anak bathin kanu opat lima pancer
Ya Allah aku mohon diantar kedulur bathinku ke anak
bathinku yang hidup dalam satu hari satu malam
Wahai dulur bathinku anak bathinku , bantulah
aku.............
berkat la ilaha illallah muhammadur rasulullah aku
tahu asalmu 204 sambungan Hu Allah,”
Akibat gumaman itu, dalam semadinya, Sagara
dihempaskan kedalam empat cahaya yang
bergantian, diantara cahaya itu, ada satu cahaya yg
sangat sering hadir. itulah sang guru yang
menetapkan kebijakan dan arahan lanjutannya.
Dia benar-bemnar pasrah, sama sekali tidak melawan
kuasa cahaya itu. Ia biarkan dirinya dii ombang-
ambing dan dihempaskan begitu saja. setelah itu....
Bertemulah ia dengan seseorang yg sangat mirip
dirinya
namun dengan ujud yg tak lengkap dia memberitahu
"kunci diri pribadi" yg dengan kunci itulah dipakai
untuk menjalankan
tata cara dari sang guru untuk layang sukma
yaitu pemunculan diri di beberapa tempat secara
bersamaan waktunya.
Orang yang muncul dalam semadi dan sangat mirip
dengan Sagara Angkara itu biasa di sebut dengan
nama Sedulur Papat Lima Pancer.
Pancer itu diibaratkan diri sendiri, Posisi pancer berada
ditengah, diapit oleh dua saudara tua (kakang
mbarep, kakang kawah) dan dua saudara muda (adi
ari-ari dan adi wuragil). Ngelmu sedulur papat lima
pancer lahir dari konsep penyadaran akan awal mula
manusia diciptakan dan tujuan akhir hidup manusia
(sangkan paraning dumadi).
Awal mula manusia diciptakan di awali dari saat-saat
menjelang kelahiran. Sebelum sang bayi (bayi, dalam
konteks ini adalah pancer) lahir dari rahim ibu, yang
muncul pertama kali adalah rasa cemas si ibu. Rasa
cemas itu dinamakan Kakang mbarep. Kemudian pada
saat menjelang bayi itu lahir, keluarlah cairan bening
atau banyu kawah sebagai pelicin, untuk melindungi
si bayi, agar proses kelahiran lancar dan kulit bayi
yang lembut tidak lecet atau terluka. Banyu kawah itu
disebut Kakang kawah. Setelah bayi lahir akan disusul
dengan keluarnya ari-ari dan darah. Ari-ari disebut Adi
ari-ari dan darah disebut Adi wuragil.
Ngelmu sedulur papat lima pancer memberi tekanan
bahwa, manusia dilahirkan ke dunia ini tidak
sendirian. Ada empat saudara yang mendampingi.
Pancer adalah suksma sejati dan sedulur papat adalah
raga sejati. Bersatunya suksma sejati dan raga sejati
melahirkan sebuah kehidupan.
Hubungan antara pancer dan sedulur papat dalam
kehidupan, digambarkan dengan seorang sais
mengendalikan sebuah kereta, ditarik oleh empat
ekor kuda, yang berwarna merah, hitam, kuning dan
putih. Sais kereta melambangkan kebebasan untuk
memutuskan dan berbuat sesuatu. Kuda merah
melambangkan energi, semangat, kuda hitam
melambangkan kebutuhan biologis, kuda kuning
melambangkan kebutuhan rohani dan kuda putih
melambangkan keheningan, kesucian. Sebagai sais,
tentunya tidak mudah mengendalikan empat kuda
yang saling berbeda sifat dan kebutuhannya. Jika
sang sais mampu mengendalikan dan bekerjasama
dengan ke empat ekor kudanya dengan baik dan
seimbang, maka kereta akan berjalan lancar sampai
ke tujuan akhir. Sang Sangkan Paraning Dumadi.
Begitulah penjelasan singkat mengenai sedulur
sepapat lima pancer itu.
Setelah diberi penjelasan oleh saudaranya, Sagara
Anggkara kembali dihempaskan pada keempat
cahaya itu. Yang perlahan memudar dan menghilang.
Rasa panas menyengat kulitnya, ternyata waktu tak
serasa sudah memasuki Rinten (Siang hari).
Sagara Angkara bangkit duduk dan melamun.
Tangannya terkepal…
“Seandainya aku mengikuti sarannya untuk
menghentikan pertarungan mungkin Eyang Begawan
masih hidup. Ai…!” Dia menghela nafas panjang.
Pikirannya melayang pada saat pertarungan, lalu
perjalanannya dan pengobatan dirinya.
Air mata mengalir dari pelupuk matanya.
Mahkota Cinta - Habiburrahman El-Shirazy Josep Sang Mualaf - Fajar Agustanto Namaku Izrail ! - Atmonadi Keluarga Flood - Tetangga Menyebalkan - Colin Thomphson Kumpulan Dongeng Anak
Cepat-cepat Ki Tabib membujuk lirih di telinga
Gardapati…
"jangan banyak bicara lagi, lebih penting lagi kau
merelaksikan tubuhmu seiring tebnaga dalam kami,
jangan mengerahkan tenaga dalam yang malah
menyulitkan kami, terimalah keadaan ini dengan
ikhlas."
Gardapati mau menurut, pelan pelan ia mulai
mengendurkan sepenuhnya urat-urat saraf yang tadi
menegang. Hawa hangat mengalir keseluruh
tubuhnya,
Lambat laun Ki Tabib dan Ni Tabib semakin banyak
mengeluarkan tenaga, air mukanya sampai pucat
pias, keringat sebesar kacang membasahi jidat.
Tahu dia bahwa sampai taraf terakhir ini luka-luka
pasiennya sudah merasa lebih baik, keduanya
menarik tangan dan bersila menenangkan darah yang
bergolak dalam dada.
Waktu berselang cukup lama. Dari dapur, Lastri
membawa tiga gelas bamboo. Harum daun the
tercium wangi memanjakan hidung.
Ki dan Ni Tabib sadarkan diri dari semadinya. Menatap
lastri yang berdiri menenteng baki.
“KAu memang anak yang baik…!” Kata KiTabib sambil
mengambil dua gelas air the, satu untuknya dan satu
untuk Ni Tabib.
Air masih hangat kuku, mengepulkan asap putih
menebarkan bau harum, seteguk demi seteguk air itu
berpindah pada mulut keduanya.
“Akhh,…!” Ungkap mereka begitu selesai minum. Gelas
diberikan lagi kepada Lastri, mereka turun dari
pembaringan. Ni Tabib masuk kedapur, sedang Ki
Tabib keluar rumah.
Lastri mengambil bangku dari kayu dan duduk di sisi
Gardapati. Dia bersedekap tangan melamun
memperhatikan wajah Gardapati yang tidak lagi
seucat sewaktu mereka bertemu.
“Ai, Pemuda ini tampan bukan main” Gumamnya
tanpa sadar. Wajahnya memerah manja. dag dig dug
degub jantung keduanya berpadu dalam irama
kesunyian.
“Ukhhh…!” Gardapati siuman. Lastri terkejut, saking
terkejutnya ia sampai terjungkal kebelakang,
Gardapati heran begitu mendengar suara aneh, ia
celingukan setengah sadar.
Dan begitu melongok kebawah sisi pembaringan,
yang pertama dilihatnya adalah paha mulus tanpa
cacat, putih bersih tanpa bulu.
Gardapati tertegun, baru saja ia siuman, ia disuguhi
pemandangan demikian, tak urung temannya yang
lain menggeliat bangkit.
“Akh…Ekhhh!” Lastri tergagap kaget, wajahnya
memerah malu ketika melihat Gardapati sudah
siuman dan melihat dirinya, ia heran melihat raut
wajah Gardapati. Dia ikuti pandangan gardapati dan
ia menjerit kaget…
“AAAKKKKKKKKKhhhhhhhhhhhhhh……!”
Suasana tenang diluar rumah dikagetkan dengan
teriakan itu. Ayam yang bertengger sampai
membuang kotorannya secara reflek, ayam yang
sedang bercumbu meloncat kaget…
***
“Silahkan diminum Kang!”Lastri Menyodorkan gelas
berisi air the.
Pagi yang dingin, bertemankan segelas the hangat
dan gadis cantik, sungguh inilah yang menjadi idaman
setiap orang.
“Terimakasih…!” Gardapati tersenyum penuh arti.
Wajahnya tidak begitu pucat, matahari terbit
memancarkan sinar menerpa sebagian wajahnya.
“Wussshhh,…!” Angin bertiup mengibarkan rambut
gondrong Gardapati. Gardapati benahi rambutnya
kebelakang telinga dan meminum the yang hangat.
Kepulan asap putih beraroma the memanjakan hidung
keduanya, Lastri tertunduk malu, ia masih ingat
kejadian kemaris sore, sungguh pertama kalinya
pajha mulusnya di llihat laki-laki. Apalagi oleh pemuda
tampan seperti Gardapati.
“Boleh kupanggil Nimas?” Tanya Gardapati!
“Nimas, akh panggilan yang manis…!” Jawab Lastri
dalam hati. Sementara mulutnya bungkam saja tak
menjawab.
“Akh, jangan-jangan kau mau di panggil Yayi?”
Celetuk Gardapati menggoda.
Lastri semakin bungkam, tak sepatah katapun dia tak
sanggup berbicara.
“Nimas, siapa namamu?”
“Las…” Lastri tergagap.
“Lasmini?” Tebak Gardapati. Lastri menggeleng
pertanda ia salah.
“Lasmarani?”
“Dia Mbakyu ku…!” Lastri mulai bisa mengontrol diri.
Dan tersenyum…
Gardapati diam tak menjawab, dia menatap bunga
teratai dalam kolam yang sedang mekar, bibirnya
melantunkan sebuah syair……
“Senyummu indah bersandingkan teratai putih…
menggoda asa merayu jiwa,… dag-dig-dug jantung
semakin bergema, pandanganmu tertuntuk merayu
manja, malu kucing bersemu dadu. Sungguh inginku
merayu, mencumbu. Dan menciumu…Bibir mungil
manis madu, bersemu merah laksana darah,…
bergelora tak tahu arah,… aku menyerah kalah… ku
akui aku memang mengagumi keelokanmu wahai
dewi dari khayangan. Namun kau seperti bayangan,
sungguh ku tak kuasa tuk bersandingan.”
Lastri menunduk malu, dia paham Gardapati sedang
menyindir dirinya.
“Dan apakah nama kakang?” Tanyanya mengalihkan
perhatian.
“Orang mengatakan aku bernama ‘Parajurit Berani
Mati” tapi kenyataannya aku hanya ingin mati sambil
bersimpuh dihadapanmu!” Jawab Gardapati setengah
berguyon.
“Gardapati…! Nama Kakang benar, benar gagah,
segagah orangnya” Jawab Lastri mulai berani
bercanda.
“Kau belum mengatakan siapa namamu!”
“Namaku sangat sederhana kakang, Lastri…
lengkapnya Cahya Lastri”
“Cahaya Malam, nama yang indah… seindah
orangnya, pantas kau bisa menerangiku hatiku yang
gelap, ternyata namamu Cahya Lastri”
“Akh, kakang keterlaluan, sedari tadi selalu saja
menggodaku.! Ayo masuk, sudah saatnya engkau
minum obat…”
“Ayo…!”
***
Subuh masih belum menyingsing, diatas batu cadas
bertemankan angin dingin yang merasuk tubuh,
Sagara Angkara sedang melakukan semadi Sastra
Cetha sebuah ilmu semadi dalam Sastra Jendra
Hayuningrat.
Posisi tidur nya telentang kaki lurus, telapak tangan
masing-masing menempel ke paha, telapak kaki
kanan menempel ke telapak kaki kiri (posisi saluku
tunggal).
Dia menarik nafas dari pusar naik ke dada,
tenggorokan, kemudian naikkan lagi ke ubun-ubun,
dan ditahan seperminum the lamanya, kemudian
diturunkan lagi perlahan –lahan kepusar sambil
membuang nafas.
Pada saat dia menarik nafas, batinnya berkata:
‘’huu’‘
Dan pada saat melepas ‘batinnya berkata:
’yaa’‘, ia melakukan setiap tahapan sebanyk tiga kali
tarikan/ buang nafas (Tripandurat), kemudian baru
istirahat dan kemudian dilakukan lagi.
Pada saat bersatunya rah (darah) atau roh di ubun-
ubun (susuhunan) itulah bisa disebut manunggaling
kawula gusti, dalam arti jika nafas naik kita
jumeneng gusti dan pada saat turun kita kembali jd
kawulo, namun yg dimaksud disini bukan berarti
nafasnya tetapi adalah Cipta & rasa nya.
Dia melakukan semadi itu dengan sungguh-sungguh
pasrah akan kehendak yang Kuasa dan sungguh
pasrah atas segala dosa dan hidup nya. Olah nafas
yang dipergunakannya adalah nafas halus, yaitu
menjaga (bukan mengatur seperti yg lainya) untuk
bernafas dengan teratur antara keluar dan masuknya
nafas. Tidak ditahan ataupun sengaja dihabiskan.
Betul betul bafas teratur seperti tidur, Pikiran
dipusatkan kepada jalannya nafas, terus merasakan
keluar dan masuknya nafas.
Ini yang dikatakan olah rasa, yaitu mengolah dan
merasakan rasa jati, berusaha merasakan rasa yang
sejati
Setelah sekian lama, akhirnya terdengar suara dalam
gumaman lirih.
“Bismillah.. Ya Allah Ya Hayyu Ya Qoyyum Ya Azhim
Ya Robbal `Alamin Subhana abaisil warisi ya robbi inni
maghlubun fantashirni Bismillah.. Kun kata Allah,
Fayakun kata Muhammad, Robbukum kata Jibroil Ya
Jibroil Ya Mikail Ya Isrofil Ya Izroil Yaiku Sang Ratu
Kepyok Sang Ratu Herang putihKadulur bathin ka
anak bathin kanu opat lima pancer
Ya Allah aku mohon diantar kedulur bathinku ke anak
bathinku yang hidup dalam satu hari satu malam
Wahai dulur bathinku anak bathinku , bantulah
aku.............
berkat la ilaha illallah muhammadur rasulullah aku
tahu asalmu 204 sambungan Hu Allah,”
Akibat gumaman itu, dalam semadinya, Sagara
dihempaskan kedalam empat cahaya yang
bergantian, diantara cahaya itu, ada satu cahaya yg
sangat sering hadir. itulah sang guru yang
menetapkan kebijakan dan arahan lanjutannya.
Dia benar-bemnar pasrah, sama sekali tidak melawan
kuasa cahaya itu. Ia biarkan dirinya dii ombang-
ambing dan dihempaskan begitu saja. setelah itu....
Bertemulah ia dengan seseorang yg sangat mirip
dirinya
namun dengan ujud yg tak lengkap dia memberitahu
"kunci diri pribadi" yg dengan kunci itulah dipakai
untuk menjalankan
tata cara dari sang guru untuk layang sukma
yaitu pemunculan diri di beberapa tempat secara
bersamaan waktunya.
Orang yang muncul dalam semadi dan sangat mirip
dengan Sagara Angkara itu biasa di sebut dengan
nama Sedulur Papat Lima Pancer.
Pancer itu diibaratkan diri sendiri, Posisi pancer berada
ditengah, diapit oleh dua saudara tua (kakang
mbarep, kakang kawah) dan dua saudara muda (adi
ari-ari dan adi wuragil). Ngelmu sedulur papat lima
pancer lahir dari konsep penyadaran akan awal mula
manusia diciptakan dan tujuan akhir hidup manusia
(sangkan paraning dumadi).
Awal mula manusia diciptakan di awali dari saat-saat
menjelang kelahiran. Sebelum sang bayi (bayi, dalam
konteks ini adalah pancer) lahir dari rahim ibu, yang
muncul pertama kali adalah rasa cemas si ibu. Rasa
cemas itu dinamakan Kakang mbarep. Kemudian pada
saat menjelang bayi itu lahir, keluarlah cairan bening
atau banyu kawah sebagai pelicin, untuk melindungi
si bayi, agar proses kelahiran lancar dan kulit bayi
yang lembut tidak lecet atau terluka. Banyu kawah itu
disebut Kakang kawah. Setelah bayi lahir akan disusul
dengan keluarnya ari-ari dan darah. Ari-ari disebut Adi
ari-ari dan darah disebut Adi wuragil.
Ngelmu sedulur papat lima pancer memberi tekanan
bahwa, manusia dilahirkan ke dunia ini tidak
sendirian. Ada empat saudara yang mendampingi.
Pancer adalah suksma sejati dan sedulur papat adalah
raga sejati. Bersatunya suksma sejati dan raga sejati
melahirkan sebuah kehidupan.
Hubungan antara pancer dan sedulur papat dalam
kehidupan, digambarkan dengan seorang sais
mengendalikan sebuah kereta, ditarik oleh empat
ekor kuda, yang berwarna merah, hitam, kuning dan
putih. Sais kereta melambangkan kebebasan untuk
memutuskan dan berbuat sesuatu. Kuda merah
melambangkan energi, semangat, kuda hitam
melambangkan kebutuhan biologis, kuda kuning
melambangkan kebutuhan rohani dan kuda putih
melambangkan keheningan, kesucian. Sebagai sais,
tentunya tidak mudah mengendalikan empat kuda
yang saling berbeda sifat dan kebutuhannya. Jika
sang sais mampu mengendalikan dan bekerjasama
dengan ke empat ekor kudanya dengan baik dan
seimbang, maka kereta akan berjalan lancar sampai
ke tujuan akhir. Sang Sangkan Paraning Dumadi.
Begitulah penjelasan singkat mengenai sedulur
sepapat lima pancer itu.
Setelah diberi penjelasan oleh saudaranya, Sagara
Anggkara kembali dihempaskan pada keempat
cahaya itu. Yang perlahan memudar dan menghilang.
Rasa panas menyengat kulitnya, ternyata waktu tak
serasa sudah memasuki Rinten (Siang hari).
Sagara Angkara bangkit duduk dan melamun.
Tangannya terkepal…
“Seandainya aku mengikuti sarannya untuk
menghentikan pertarungan mungkin Eyang Begawan
masih hidup. Ai…!” Dia menghela nafas panjang.
Pikirannya melayang pada saat pertarungan, lalu
perjalanannya dan pengobatan dirinya.
Air mata mengalir dari pelupuk matanya.