Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Iblis Dunia Persilatan - 79

$
0
0
Cerita Silat | Iblis Dunia Persilatan | by Bung AONE | Iblis Dunia Persilatan | Cersil Sakti | Iblis Dunia Persilatan pdf

Mahkota Cinta - Habiburrahman El-Shirazy Josep Sang Mualaf - Fajar Agustanto Namaku Izrail ! - Atmonadi Keluarga Flood - Tetangga Menyebalkan - Colin Thomphson Kumpulan Dongeng Anak

Cepat-cepat Ki Tabib membujuk lirih di telinga
  Gardapati…
  "jangan banyak bicara lagi, lebih penting lagi kau
  merelaksikan tubuhmu seiring tebnaga dalam kami,
  jangan mengerahkan tenaga dalam yang malah
  menyulitkan kami, terimalah keadaan ini dengan
  ikhlas."
  Gardapati mau menurut, pelan pelan ia mulai
  mengendurkan sepenuhnya urat-urat saraf yang tadi
  menegang. Hawa hangat mengalir keseluruh
  tubuhnya,
  Lambat laun Ki Tabib dan Ni Tabib semakin banyak
  mengeluarkan tenaga, air mukanya sampai pucat
  pias, keringat sebesar kacang membasahi jidat.
  Tahu dia bahwa sampai taraf terakhir ini luka-luka
  pasiennya sudah merasa lebih baik, keduanya
  menarik tangan dan bersila menenangkan darah yang
  bergolak dalam dada.
  Waktu berselang cukup lama. Dari dapur, Lastri
  membawa tiga gelas bamboo. Harum daun the
  tercium wangi memanjakan hidung.
  Ki dan Ni Tabib sadarkan diri dari semadinya. Menatap
  lastri yang berdiri menenteng baki.
  “KAu memang anak yang baik…!” Kata KiTabib sambil
  mengambil dua gelas air the, satu untuknya dan satu
  untuk Ni Tabib.
  Air masih hangat kuku, mengepulkan asap putih
  menebarkan bau harum, seteguk demi seteguk air itu
  berpindah pada mulut keduanya.
  “Akhh,…!” Ungkap mereka begitu selesai minum. Gelas
  diberikan lagi kepada Lastri, mereka turun dari
  pembaringan. Ni Tabib masuk kedapur, sedang Ki
  Tabib keluar rumah.
  Lastri mengambil bangku dari kayu dan duduk di sisi
  Gardapati. Dia bersedekap tangan melamun
  memperhatikan wajah Gardapati yang tidak lagi
  seucat sewaktu mereka bertemu.
  “Ai, Pemuda ini tampan bukan main” Gumamnya
  tanpa sadar. Wajahnya memerah manja. dag dig dug
  degub jantung keduanya berpadu dalam irama
  kesunyian.
  “Ukhhh…!” Gardapati siuman. Lastri terkejut, saking
  terkejutnya ia sampai terjungkal kebelakang,
  Gardapati heran begitu mendengar suara aneh, ia
  celingukan setengah sadar.
  Dan begitu melongok kebawah sisi pembaringan,
  yang pertama dilihatnya adalah paha mulus tanpa
  cacat, putih bersih tanpa bulu.
  Gardapati tertegun, baru saja ia siuman, ia disuguhi
  pemandangan demikian, tak urung temannya yang
  lain menggeliat bangkit.
  “Akh…Ekhhh!” Lastri tergagap kaget, wajahnya
  memerah malu ketika melihat Gardapati sudah
  siuman dan melihat dirinya, ia heran melihat raut
  wajah Gardapati. Dia ikuti pandangan gardapati dan
  ia menjerit kaget…
  “AAAKKKKKKKKKhhhhhhhhhhhhhh……!”
  Suasana tenang diluar rumah dikagetkan dengan
  teriakan itu. Ayam yang bertengger sampai
  membuang kotorannya secara reflek, ayam yang
  sedang bercumbu meloncat kaget…
  ***
  “Silahkan diminum Kang!”Lastri Menyodorkan gelas
  berisi air the.
  Pagi yang dingin, bertemankan segelas the hangat
  dan gadis cantik, sungguh inilah yang menjadi idaman
  setiap orang.
  “Terimakasih…!” Gardapati tersenyum penuh arti.
  Wajahnya tidak begitu pucat, matahari terbit
  memancarkan sinar menerpa sebagian wajahnya.
  “Wussshhh,…!” Angin bertiup mengibarkan rambut
  gondrong Gardapati. Gardapati benahi rambutnya
  kebelakang telinga dan meminum the yang hangat.
  Kepulan asap putih beraroma the memanjakan hidung
  keduanya, Lastri tertunduk malu, ia masih ingat
  kejadian kemaris sore, sungguh pertama kalinya
  pajha mulusnya di llihat laki-laki. Apalagi oleh pemuda
  tampan seperti Gardapati.
  “Boleh kupanggil Nimas?” Tanya Gardapati!
  “Nimas, akh panggilan yang manis…!” Jawab Lastri
  dalam hati. Sementara mulutnya bungkam saja tak
  menjawab.
  “Akh, jangan-jangan kau mau di panggil Yayi?”
  Celetuk Gardapati menggoda.
  Lastri semakin bungkam, tak sepatah katapun dia tak
  sanggup berbicara.
  “Nimas, siapa namamu?”
  “Las…” Lastri tergagap.
  “Lasmini?” Tebak Gardapati. Lastri menggeleng
  pertanda ia salah.
  “Lasmarani?”
  “Dia Mbakyu ku…!” Lastri mulai bisa mengontrol diri.
  Dan tersenyum…
  Gardapati diam tak menjawab, dia menatap bunga
  teratai dalam kolam yang sedang mekar, bibirnya
  melantunkan sebuah syair……
  “Senyummu indah bersandingkan teratai putih…
  menggoda asa merayu jiwa,… dag-dig-dug jantung
  semakin bergema, pandanganmu tertuntuk merayu
  manja, malu kucing bersemu dadu. Sungguh inginku
  merayu, mencumbu. Dan menciumu…Bibir mungil
  manis madu, bersemu merah laksana darah,…
  bergelora tak tahu arah,… aku menyerah kalah… ku
  akui aku memang mengagumi keelokanmu wahai
  dewi dari khayangan. Namun kau seperti bayangan,
  sungguh ku tak kuasa tuk bersandingan.”
  Lastri menunduk malu, dia paham Gardapati sedang
  menyindir dirinya.
  “Dan apakah nama kakang?” Tanyanya mengalihkan
  perhatian.
  “Orang mengatakan aku bernama ‘Parajurit Berani
  Mati” tapi kenyataannya aku hanya ingin mati sambil
  bersimpuh dihadapanmu!” Jawab Gardapati setengah
  berguyon.
  “Gardapati…! Nama Kakang benar, benar gagah,
  segagah orangnya” Jawab Lastri mulai berani
  bercanda.
  “Kau belum mengatakan siapa namamu!”
  “Namaku sangat sederhana kakang, Lastri…
  lengkapnya Cahya Lastri”
  “Cahaya Malam, nama yang indah… seindah
  orangnya, pantas kau bisa menerangiku hatiku yang
  gelap, ternyata namamu Cahya Lastri”
  “Akh, kakang keterlaluan, sedari tadi selalu saja
  menggodaku.! Ayo masuk, sudah saatnya engkau
  minum obat…”
  “Ayo…!”
  ***
  Subuh masih belum menyingsing, diatas batu cadas
  bertemankan angin dingin yang merasuk tubuh,
  Sagara Angkara sedang melakukan semadi Sastra
  Cetha sebuah ilmu semadi dalam Sastra Jendra
  Hayuningrat.
  Posisi tidur nya telentang kaki lurus, telapak tangan
  masing-masing menempel ke paha, telapak kaki
  kanan menempel ke telapak kaki kiri (posisi saluku
  tunggal).
  Dia menarik nafas dari pusar naik ke dada,
  tenggorokan, kemudian naikkan lagi ke ubun-ubun,
  dan ditahan seperminum the lamanya, kemudian
  diturunkan lagi perlahan –lahan kepusar sambil
  membuang nafas.
  Pada saat dia menarik nafas, batinnya berkata:
  ‘’huu’‘
  Dan pada saat melepas ‘batinnya berkata:
  ’yaa’‘, ia melakukan setiap tahapan sebanyk tiga kali
  tarikan/ buang nafas (Tripandurat), kemudian baru
  istirahat dan kemudian dilakukan lagi.
  Pada saat bersatunya rah (darah) atau roh di ubun-
  ubun (susuhunan) itulah bisa disebut manunggaling
  kawula gusti, dalam arti jika nafas naik kita
  jumeneng gusti dan pada saat turun kita kembali jd
  kawulo, namun yg dimaksud disini bukan berarti
  nafasnya tetapi adalah Cipta & rasa nya.
  Dia melakukan semadi itu dengan sungguh-sungguh
  pasrah akan kehendak yang Kuasa dan sungguh
  pasrah atas segala dosa dan hidup nya. Olah nafas
  yang dipergunakannya adalah nafas halus, yaitu
  menjaga (bukan mengatur seperti yg lainya) untuk
  bernafas dengan teratur antara keluar dan masuknya
  nafas. Tidak ditahan ataupun sengaja dihabiskan.
  Betul betul bafas teratur seperti tidur, Pikiran
  dipusatkan kepada jalannya nafas, terus merasakan
  keluar dan masuknya nafas.
  Ini yang dikatakan olah rasa, yaitu mengolah dan
  merasakan rasa jati, berusaha merasakan rasa yang
  sejati
  Setelah sekian lama, akhirnya terdengar suara dalam
  gumaman lirih.
  “Bismillah.. Ya Allah Ya Hayyu Ya Qoyyum Ya Azhim
  Ya Robbal `Alamin Subhana abaisil warisi ya robbi inni
  maghlubun fantashirni Bismillah.. Kun kata Allah,
  Fayakun kata Muhammad, Robbukum kata Jibroil Ya
  Jibroil Ya Mikail Ya Isrofil Ya Izroil Yaiku Sang Ratu
  Kepyok Sang Ratu Herang putihKadulur bathin ka
  anak bathin kanu opat lima pancer
  Ya Allah aku mohon diantar kedulur bathinku ke anak
  bathinku yang hidup dalam satu hari satu malam
  Wahai dulur bathinku anak bathinku , bantulah
  aku.............
  berkat la ilaha illallah muhammadur rasulullah aku
  tahu asalmu 204 sambungan Hu Allah,”
  Akibat gumaman itu, dalam semadinya, Sagara
  dihempaskan kedalam empat cahaya yang
  bergantian, diantara cahaya itu, ada satu cahaya yg
  sangat sering hadir. itulah sang guru yang
  menetapkan kebijakan dan arahan lanjutannya.
  Dia benar-bemnar pasrah, sama sekali tidak melawan
  kuasa cahaya itu. Ia biarkan dirinya dii ombang-
  ambing dan dihempaskan begitu saja. setelah itu....
  Bertemulah ia dengan seseorang yg sangat mirip
  dirinya
  namun dengan ujud yg tak lengkap dia memberitahu
  "kunci diri pribadi" yg dengan kunci itulah dipakai
  untuk menjalankan
  tata cara dari sang guru untuk layang sukma
  yaitu pemunculan diri di beberapa tempat secara
  bersamaan waktunya.
  Orang yang muncul dalam semadi dan sangat mirip
  dengan Sagara Angkara itu biasa di sebut dengan
  nama Sedulur Papat Lima Pancer.
  Pancer itu diibaratkan diri sendiri, Posisi pancer berada
  ditengah, diapit oleh dua saudara tua (kakang
  mbarep, kakang kawah) dan dua saudara muda (adi
  ari-ari dan adi wuragil). Ngelmu sedulur papat lima
  pancer lahir dari konsep penyadaran akan awal mula
  manusia diciptakan dan tujuan akhir hidup manusia
  (sangkan paraning dumadi).
  Awal mula manusia diciptakan di awali dari saat-saat
  menjelang kelahiran. Sebelum sang bayi (bayi, dalam
  konteks ini adalah pancer) lahir dari rahim ibu, yang
  muncul pertama kali adalah rasa cemas si ibu. Rasa
  cemas itu dinamakan Kakang mbarep. Kemudian pada
  saat menjelang bayi itu lahir, keluarlah cairan bening
  atau banyu kawah sebagai pelicin, untuk melindungi
  si bayi, agar proses kelahiran lancar dan kulit bayi
  yang lembut tidak lecet atau terluka. Banyu kawah itu
  disebut Kakang kawah. Setelah bayi lahir akan disusul
  dengan keluarnya ari-ari dan darah. Ari-ari disebut Adi
  ari-ari dan darah disebut Adi wuragil.
  Ngelmu sedulur papat lima pancer memberi tekanan
  bahwa, manusia dilahirkan ke dunia ini tidak
  sendirian. Ada empat saudara yang mendampingi.
  Pancer adalah suksma sejati dan sedulur papat adalah
  raga sejati. Bersatunya suksma sejati dan raga sejati
  melahirkan sebuah kehidupan.
  Hubungan antara pancer dan sedulur papat dalam
  kehidupan, digambarkan dengan seorang sais
  mengendalikan sebuah kereta, ditarik oleh empat
  ekor kuda, yang berwarna merah, hitam, kuning dan
  putih. Sais kereta melambangkan kebebasan untuk
  memutuskan dan berbuat sesuatu. Kuda merah
  melambangkan energi, semangat, kuda hitam
  melambangkan kebutuhan biologis, kuda kuning
  melambangkan kebutuhan rohani dan kuda putih
  melambangkan keheningan, kesucian. Sebagai sais,
  tentunya tidak mudah mengendalikan empat kuda
  yang saling berbeda sifat dan kebutuhannya. Jika
  sang sais mampu mengendalikan dan bekerjasama
  dengan ke empat ekor kudanya dengan baik dan
  seimbang, maka kereta akan berjalan lancar sampai
  ke tujuan akhir. Sang Sangkan Paraning Dumadi.
  Begitulah penjelasan singkat mengenai sedulur
  sepapat lima pancer itu.
  Setelah diberi penjelasan oleh saudaranya, Sagara
  Anggkara kembali dihempaskan pada keempat
  cahaya itu. Yang perlahan memudar dan menghilang.
  Rasa panas menyengat kulitnya, ternyata waktu tak
  serasa sudah memasuki Rinten (Siang hari).
  Sagara Angkara bangkit duduk dan melamun.
  Tangannya terkepal…
  “Seandainya aku mengikuti sarannya untuk
  menghentikan pertarungan mungkin Eyang Begawan
  masih hidup. Ai…!” Dia menghela nafas panjang.
  Pikirannya melayang pada saat pertarungan, lalu
  perjalanannya dan pengobatan dirinya.
  Air mata mengalir dari pelupuk matanya.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>