Cerita Silat | Iblis Dunia Persilatan | by Bung AONE | Iblis Dunia Persilatan | Cersil Sakti | Iblis Dunia Persilatan pdf
Siapa Ayahku ? - Azizah Attamimi The Wednesday Letters - Surat Cinta di Hari Rabu - Jason F. Wright The Chamber - Kamar Gas - John Grisham Trio Tifa - Tiga Sandera - Bung Smas Kisah Dua Kamar ~ bukanpujangga
Sinar Mentari menyengat laksana api yang
membakar, gemilang cahayanya menembus alam,
bahkan dedaunan yang rindangpun tak sanggup
menahan sepenuhnya,
Ranting bergoyang, daun berguguran ketika seekor
burung haur terbang dari tenggerannya.
Akar melintang, dedaunan berserakan menjadi irama
khas tersendiri ketika seekor mencek melewatinya.
Dari Langit melayanglah shelai daun jati, jatuh
perlahan terombang-ambing dipermainkan angin,
bergoyang dan berlenggang lenggok seperti gadis
penari. Warna daun itu kuning karena tua. Jatuh
perlahan diatas pangkuan seorang yang sedang
duduk bersemadi diatas batu cadas.
Kumis, jenggot, rambut dan bulu-bulu diwajahnya
tumbuh tanpa diurus, wajahnya tenang tanpa emosi,
saking tenangnya bahkan sedikitpun tubuhnya tak
bergemming. Patung diam tak bergeming. Rambutnya
yang kusampun sama keadaannya sekencang apapun
angin yang menerpanya, rambut itu tetap kaku.
Bajunya kusam dengan warna sudah luntur,
disekitarnya akar sudah merayap menjerat tubuhnya.
Di Belakangnya terdapat sebuah pondok mungil yang
asri. Di serambi tampak tiga sosok orang tua duduk
bersila sambil menghirup the.
Terdengar Nyi Mekar Ningrum berkata. “Bocah ini
benar benar tahan banting. Semuda itu ia sanggup
bertahan menyatu dengan alam. Lihatlah tubuhnya.
Sama sekali tak terlihat kurus kering seperti orang
yang bertapa.”
“Itu dikarenakan akar yang melilit ditubuhnya, dia
merefleksikan dirinya dengan pohon itu, ia
memperoleh sari makanan ari pohon itu. Asupaan
minuman juga diserap dari pohon itu. Selain itu,
tubuhnya menjadi seperti pohon yang menyerap
energy dari matahari. Ini merupaka kaidah ilmu yang
sangat hebat. Meski terlihat sederhana, namun sangat
tak bisa dibayangkan akibatnya!” Kyai Ancala
menjelaskan seraya mengelus jenggot putihnya.
Ki Brangaspati tak ambil kata, ia memejamkan
matanya seperti otang yang bersemadi…!
“Apa yang dilakukannya?” Tanya Nyi Mekar Ningrum
pada Kyai Ancala yang menyulut cangklong hendak
merokok.
“Dia sedang masuk kedalam semadi orang!”
Jawabnya singkat. Tembakau dihisap dan perlahan
dihembuskan menciptakan segulung asap beraroma
cengkieh.
Benar apa yang dikatan Kyai Ancala, memang saat ini
Ki Brangaspati sedang masuk kedalam semadi Sagara
Angkara. Ketika ia mulai memasuki gerbang semadi.
Tubuhnya merasakan rasa dingin dan panas
berseliweran.
Kepalanya mengangguk-angguk, pertanda memahami
sesuatu dan melangkahkan kakinya. Beragam cahaya
beraneka warna memainkan sebuah putaran cahaya
indah bak ribuan kunang-kunang yang memiliki
beragam warna.
Ia Teruskan langkah kakinya di alam yang aneh itu,
semakin jauh memasuki, dirinya dihadapkan dengan
sebuah pemandangan yang membuatnya merasakan
ketenangan luar biasa.
Sosok Sagara Angkara berjubah serab putih duduk di
atas kolam ikan, puluhan ikan tampak bermain-main
dibawahnya, dia duduk diatas air dengan santainya,
matanya terpejam dengan wajah berseri-seri.
Angin sepoi-sepoi bermain manja di salah satu indera.
Membelainya juga kadang membisikinya. Pohon-
pohon menari dengan lemah gemulai, sehelai daun
jambu batu melayang terbang dan jatuh diubun-ubun
Sagara Angkara.
Ki Brangaspati duduk di salah satu batu berbentuk
bundar.
“Assalamamualaikum”
Setelah itu, Dia tak mengusik, hanya duduk diam
memandang. Seperminum the kemudian, Sagara
Angkara membuka matanya.
Dia tersenyum lembut dan membuka mulut…
“Waalaikumsalam… maafkanlah keterlambatanku
untuk menjawab salamu Eyang guru.”
“Tak menjadi soal,… bagaimana kabarmu?”
“Masih selemah air Eyang Guru…”
Ki Brangaspati tersenyum maklum dan paham arti dari
ucapan Sagara Angkara itu.
“Ada apakah kiranya Eyang Guru mendatangi
kediaman pikiranku yang masih berisi kejahatan?”
Sambung Sagara Angkara.
“Hanya ingin menyampaikan sepatah dua patah kata
saja, kiranya engkau mau mendengarkan nasihat
gurumu!”
“Silahkan Eyang Guru bertutur…!”
“Pernahkah engkau mendengar sebuah kata yang
menyebutkan ‘Lebih baik makan sebutir nasi yang
bersih daripada sebakul nasi yang dicampur dengan
kotoran?”
“Memangnya kenapa Eyang Guru?”
“Dulu aku tak ingin menyuruhmu melkakukan semadi
ini karena takut dirimu tak akan sanggup melanjani.
Perlu kau ketahui, bahwa semadi ini adalah sebuah
semadi yang memiliki tiga jalan. Oleh karenanya aku
hanya menyuruhmu untuk menaklukan jalan itu satu
saja!”
“Maksud Eyang, Semadi satu purnama ini adalah
hanya untuk menaklukan sebuah jalan saja?”
“Benar, semadi ini selayaknya dilakukan selama tiga
bulan berturut-turut. Jalan Pertama disebut dengan
nama Jalan Penyesalan, Jalan Kedua disebut jalan
Angkara dan yang terakhir adalah Jalan Ketenangan.
Mengenai jalan pertama dan ketiga tidak membuatku
ragu. Hanya jalan kedualah yang membuatku takut.
“Apa yang kau takutkan Eyang?”
“Jalan kedua adalah Jalan Puncak dari segala Angkara
murka, segala kejadian, kemalangan, ketidak adilan,
dan segala nafsu binatang akan merasuk kedalam
tubuhmu. Seandainya kau tak dapat menahan diri dan
terlena didalamnya, maka artinya kau sudah gagal.
Bukan ke gagalan yang ku takutkan, tapi dirimu yang
akan berubah menjadi setan berbentuk manusia lah
yang membuatku takut. Apalaggi hawasetan yang
merasuki tubuhmu tidak sepenuhnya hilang. Apalah
jadinya jika semua itu bersatu.”
“Jika memang kejadiannya seperti itu. Lalu mengapa
semadi itu harus dilakukan eyang?”
“Semadi ini merupakan bagian-bagian dari
Sastrajendra Hayuningrat.. Ajaran ini memiliki empat
tahapan yakni Sastra Hajendra Yuning Rat (ilmu
ajaran tertinggi yang jelas tentang keselamatan alam
semesta), Sastra Harjendra Wadiningrat (ilmu ajaran
keselamatan alam semesta untuk Meruwat raksasa).
Sastra Hajendra Wadiningrat (ilmu ajaran tertinggi
tentang keselamatan alam semesta rahasia dunia),
dan yang terakhir Sastrayu (ilmu ajaran keselamatan).
“Eyang, mengapa aku serasa sudah dan sedang
melewati tahap pertama?”
“Benar, sesungguhnya jalan penyesalan ini adalah
sebuah jalan yang membuat kita sadar siapakah kita,
mengapa diciptakan, mengapa harus menjaga ini itu,
melakukan ini dan itu. Ini mendekatkan kita kepada
alam semesta ini, akan timbul rasa cinta kita kepada
alam ini. Untuk apa Tuhan menciptakan alam ini.
Dengan timbulnya perasaan itu, maka rasa cinta
kepada alam ini akan semakin tinggi. Oleh karenanya
jika ada yang merusak, kitalah yang harus
mengembalikannya seperti semula”
“Akh, lalu jalan kedua akan berhubungan dengan
tahapan Sastra Harjendra Wadiningrat (ilmu ajaran
keselamatan alam semesta untuk Meruwat raksasa)?.
“Benar, begitu pula dengan yang ketiga!”
“Dan yang keempat?”
“Kau akan menjalaninya sendiri di alam dunia ini”
Sagara Angkara diam, begitupula Eyang Brangaspati.
Ia ingat, jauh sebelumnya ketika ia masih di didik
dulu, Eyangnya pernah menyuruhnya Mutih (makan
nasi tanpa lauk pauk yang berupa apapun juga.) Sirik
(menjauhkan diri dari segala macam keduniawian).
Ngebleng (menghindari segala makanan atau
minuman yang tak bergaram) lalu
Patigeni (tidak makan atau minum apa-apa sama
sekali.)
Dan sekarang, ia melakukan samadi, sambil
mengurangi makan, minum, tidur dan lain sebagainya.
Dan Pada samadi itulah pada galibnya ia pernah
mendapatkan ilham atau wisik.
“Nak, Ingatlah,… Ada enam tahapan atau tingkat yang
harus dilakukan apabila ingin mencapai tataran hidup
yang sempurna” Ki Brangaspati mengusik Sagara
Angkara.
“Itu adalah yang pertama Tapaning jasad yaitu
Mengendalikan/menghentikan daya gerak tubuh atau
kegiatan.
Janganlah hendaknya merasa sakit hati atau menaruh
balas dendam, apalagi terkena sebagai sasaran
karena perbuatan orang lain, atau akibat suatu
peristiwa yang menyangkut pada dirimu. Sedapat-
dapatnya hal tersebut diterima saja dengan
kesungguhan hati. Yang kedua Tapaning budi yaitu
Mengelakkan/mengingkari perbuatan yang terhina
dan segala hal yang bersifat tidak jujur. Yang ketiga
Tapaning hawa nafsu yaitu Mengendalikan/
melontarkan jauh-jauh hawa nafsu atau sifat angkara
murka dari diri pribadi.
Hendaknya selalu bersikap sabar dan suci, murah hati,
berperasaan dalam, suka memberi maaf kepada siapa
pun, juga taat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Memperhatikan perasaan secara sungguh-sungguh,
dan berusaha sekuat tenaga kearah ketenangan
(heneng), yang berarti tidak dapat diombang-
ambingkan oleh siapa atau apapun juga, serta
kewaspadaan (hening). Yang keempat Tapaning
sukma yaitu
Memenangkan jiwanya. Hendaknya sikap
kedermawanan diperluas. Pemberian sesuatu kepada
siapapun juga harus berdasarkan keikhlasan hati,
seakan-akan sebagai persembahan sedemikian,
sehingga tidak mengakibatkan sesuatu kerugian yang
berupa apapun juga pada pihak yang manapun juga.
Pendek kata tanpa menyinggung perasaan. Yang
Kelima
Tapaning cahya yaitu Hendaknya orang selalu awas
dan waspada serta mempunyai daya meramalkan
sesuatu secara tepat. Jangan sampai kabur atau
mabuk karena keadaan cemerlang yang dapat
mengakibatkan penglihatan yang serba samar dan
saru. Lagi pula kegiatannya hendaknya selalu
ditujukan kepada kebahagiaan dan keselamatan
umum. Yang Keenam Tapaning gesang yaitu Berusaha
berjuang sekuat tenaga secara berhati-hat i, kearah
kesempurnaari hidup, serta taat kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating
Diyu hanya sebagai kunci untuk dapat memahami isi
Rasa Jati, dimana untuk mencapai sesuatu yang luhur
diperlukan mutlak perbuatan yang sesuai.
Rasajati memperlambangkan jiwa atau badan halus
ataupun nafsu sifat tiap manusia, yaitu keinginan,
kecenderungan, dorongan hati yang kuat, kearah
yang baik maupun yang buruk atau jahat. Nafsu sifat
itu ialah; Lumamah (angkara murka), Amarah, Supiyah
(nafsu birahi). Ketiga sifat tersebut melambangkan
hal-hal yang menyebabkan tidak teraturnya atau
kacau balaunya sesuatu masyarakat dalam berbagai
bidang, antara lain: kesengsaraan, malapetaka,
kemiskinan dan lain sebagainya. Sedangkan sifat
terakhir yaitu Mutmainah (nafsu yang baik, dalam arti
kata berbaik hati, berbaik bahasa, jujur dan lain
sebagainya) yang selalu menghalang-halangi tindakan
yang tidak senonoh.”
Sagara Angkara manggut pertanda paham.
Tangannya disedekapkan didada dan membungkuk.
“Anakku, aku perintahkan kau untuk melewati semua
jalan itu!”
“Apa!” Sagara Angkara terkejut.
“Bukankah Eyang berkata ragu bahwa aku dapat
melewati semua ini?”
“Itu duulu, bukan sekarang, sekarang aku yakin kau
adalah harapan kami…! Sengaja aku kemari karena
hendak memberitahu kehendak kami. Bukankah
selama ini dalam semadimu kau bertanya Tanya
mengenai hal ini. Sekarang sudah lega… lanjutkanlah
semadimu!”
”Baik Eyang…!” Sagara Angkara bangkit dari tempat
duduknya dan melakukan sungkem. Ki Brangaspati
mengusap kepalanya dan mulai meninggalkan alam
semadinya itu. dan pandangannnya kini mulai nyata.
“Akhh….!” Dia menghembuskan nafas panjang.
Asap tembakau mengalun menari melayang-layang.
Gemerisik dedaunan dan tonggeret masih terdengar
jelas. Suasana tempat irtu benar-benar ramai dengan
lalu lintas alam…
****
Pertar
Siapa Ayahku ? - Azizah Attamimi The Wednesday Letters - Surat Cinta di Hari Rabu - Jason F. Wright The Chamber - Kamar Gas - John Grisham Trio Tifa - Tiga Sandera - Bung Smas Kisah Dua Kamar ~ bukanpujangga
Sinar Mentari menyengat laksana api yang
membakar, gemilang cahayanya menembus alam,
bahkan dedaunan yang rindangpun tak sanggup
menahan sepenuhnya,
Ranting bergoyang, daun berguguran ketika seekor
burung haur terbang dari tenggerannya.
Akar melintang, dedaunan berserakan menjadi irama
khas tersendiri ketika seekor mencek melewatinya.
Dari Langit melayanglah shelai daun jati, jatuh
perlahan terombang-ambing dipermainkan angin,
bergoyang dan berlenggang lenggok seperti gadis
penari. Warna daun itu kuning karena tua. Jatuh
perlahan diatas pangkuan seorang yang sedang
duduk bersemadi diatas batu cadas.
Kumis, jenggot, rambut dan bulu-bulu diwajahnya
tumbuh tanpa diurus, wajahnya tenang tanpa emosi,
saking tenangnya bahkan sedikitpun tubuhnya tak
bergemming. Patung diam tak bergeming. Rambutnya
yang kusampun sama keadaannya sekencang apapun
angin yang menerpanya, rambut itu tetap kaku.
Bajunya kusam dengan warna sudah luntur,
disekitarnya akar sudah merayap menjerat tubuhnya.
Di Belakangnya terdapat sebuah pondok mungil yang
asri. Di serambi tampak tiga sosok orang tua duduk
bersila sambil menghirup the.
Terdengar Nyi Mekar Ningrum berkata. “Bocah ini
benar benar tahan banting. Semuda itu ia sanggup
bertahan menyatu dengan alam. Lihatlah tubuhnya.
Sama sekali tak terlihat kurus kering seperti orang
yang bertapa.”
“Itu dikarenakan akar yang melilit ditubuhnya, dia
merefleksikan dirinya dengan pohon itu, ia
memperoleh sari makanan ari pohon itu. Asupaan
minuman juga diserap dari pohon itu. Selain itu,
tubuhnya menjadi seperti pohon yang menyerap
energy dari matahari. Ini merupaka kaidah ilmu yang
sangat hebat. Meski terlihat sederhana, namun sangat
tak bisa dibayangkan akibatnya!” Kyai Ancala
menjelaskan seraya mengelus jenggot putihnya.
Ki Brangaspati tak ambil kata, ia memejamkan
matanya seperti otang yang bersemadi…!
“Apa yang dilakukannya?” Tanya Nyi Mekar Ningrum
pada Kyai Ancala yang menyulut cangklong hendak
merokok.
“Dia sedang masuk kedalam semadi orang!”
Jawabnya singkat. Tembakau dihisap dan perlahan
dihembuskan menciptakan segulung asap beraroma
cengkieh.
Benar apa yang dikatan Kyai Ancala, memang saat ini
Ki Brangaspati sedang masuk kedalam semadi Sagara
Angkara. Ketika ia mulai memasuki gerbang semadi.
Tubuhnya merasakan rasa dingin dan panas
berseliweran.
Kepalanya mengangguk-angguk, pertanda memahami
sesuatu dan melangkahkan kakinya. Beragam cahaya
beraneka warna memainkan sebuah putaran cahaya
indah bak ribuan kunang-kunang yang memiliki
beragam warna.
Ia Teruskan langkah kakinya di alam yang aneh itu,
semakin jauh memasuki, dirinya dihadapkan dengan
sebuah pemandangan yang membuatnya merasakan
ketenangan luar biasa.
Sosok Sagara Angkara berjubah serab putih duduk di
atas kolam ikan, puluhan ikan tampak bermain-main
dibawahnya, dia duduk diatas air dengan santainya,
matanya terpejam dengan wajah berseri-seri.
Angin sepoi-sepoi bermain manja di salah satu indera.
Membelainya juga kadang membisikinya. Pohon-
pohon menari dengan lemah gemulai, sehelai daun
jambu batu melayang terbang dan jatuh diubun-ubun
Sagara Angkara.
Ki Brangaspati duduk di salah satu batu berbentuk
bundar.
“Assalamamualaikum”
Setelah itu, Dia tak mengusik, hanya duduk diam
memandang. Seperminum the kemudian, Sagara
Angkara membuka matanya.
Dia tersenyum lembut dan membuka mulut…
“Waalaikumsalam… maafkanlah keterlambatanku
untuk menjawab salamu Eyang guru.”
“Tak menjadi soal,… bagaimana kabarmu?”
“Masih selemah air Eyang Guru…”
Ki Brangaspati tersenyum maklum dan paham arti dari
ucapan Sagara Angkara itu.
“Ada apakah kiranya Eyang Guru mendatangi
kediaman pikiranku yang masih berisi kejahatan?”
Sambung Sagara Angkara.
“Hanya ingin menyampaikan sepatah dua patah kata
saja, kiranya engkau mau mendengarkan nasihat
gurumu!”
“Silahkan Eyang Guru bertutur…!”
“Pernahkah engkau mendengar sebuah kata yang
menyebutkan ‘Lebih baik makan sebutir nasi yang
bersih daripada sebakul nasi yang dicampur dengan
kotoran?”
“Memangnya kenapa Eyang Guru?”
“Dulu aku tak ingin menyuruhmu melkakukan semadi
ini karena takut dirimu tak akan sanggup melanjani.
Perlu kau ketahui, bahwa semadi ini adalah sebuah
semadi yang memiliki tiga jalan. Oleh karenanya aku
hanya menyuruhmu untuk menaklukan jalan itu satu
saja!”
“Maksud Eyang, Semadi satu purnama ini adalah
hanya untuk menaklukan sebuah jalan saja?”
“Benar, semadi ini selayaknya dilakukan selama tiga
bulan berturut-turut. Jalan Pertama disebut dengan
nama Jalan Penyesalan, Jalan Kedua disebut jalan
Angkara dan yang terakhir adalah Jalan Ketenangan.
Mengenai jalan pertama dan ketiga tidak membuatku
ragu. Hanya jalan kedualah yang membuatku takut.
“Apa yang kau takutkan Eyang?”
“Jalan kedua adalah Jalan Puncak dari segala Angkara
murka, segala kejadian, kemalangan, ketidak adilan,
dan segala nafsu binatang akan merasuk kedalam
tubuhmu. Seandainya kau tak dapat menahan diri dan
terlena didalamnya, maka artinya kau sudah gagal.
Bukan ke gagalan yang ku takutkan, tapi dirimu yang
akan berubah menjadi setan berbentuk manusia lah
yang membuatku takut. Apalaggi hawasetan yang
merasuki tubuhmu tidak sepenuhnya hilang. Apalah
jadinya jika semua itu bersatu.”
“Jika memang kejadiannya seperti itu. Lalu mengapa
semadi itu harus dilakukan eyang?”
“Semadi ini merupakan bagian-bagian dari
Sastrajendra Hayuningrat.. Ajaran ini memiliki empat
tahapan yakni Sastra Hajendra Yuning Rat (ilmu
ajaran tertinggi yang jelas tentang keselamatan alam
semesta), Sastra Harjendra Wadiningrat (ilmu ajaran
keselamatan alam semesta untuk Meruwat raksasa).
Sastra Hajendra Wadiningrat (ilmu ajaran tertinggi
tentang keselamatan alam semesta rahasia dunia),
dan yang terakhir Sastrayu (ilmu ajaran keselamatan).
“Eyang, mengapa aku serasa sudah dan sedang
melewati tahap pertama?”
“Benar, sesungguhnya jalan penyesalan ini adalah
sebuah jalan yang membuat kita sadar siapakah kita,
mengapa diciptakan, mengapa harus menjaga ini itu,
melakukan ini dan itu. Ini mendekatkan kita kepada
alam semesta ini, akan timbul rasa cinta kita kepada
alam ini. Untuk apa Tuhan menciptakan alam ini.
Dengan timbulnya perasaan itu, maka rasa cinta
kepada alam ini akan semakin tinggi. Oleh karenanya
jika ada yang merusak, kitalah yang harus
mengembalikannya seperti semula”
“Akh, lalu jalan kedua akan berhubungan dengan
tahapan Sastra Harjendra Wadiningrat (ilmu ajaran
keselamatan alam semesta untuk Meruwat raksasa)?.
“Benar, begitu pula dengan yang ketiga!”
“Dan yang keempat?”
“Kau akan menjalaninya sendiri di alam dunia ini”
Sagara Angkara diam, begitupula Eyang Brangaspati.
Ia ingat, jauh sebelumnya ketika ia masih di didik
dulu, Eyangnya pernah menyuruhnya Mutih (makan
nasi tanpa lauk pauk yang berupa apapun juga.) Sirik
(menjauhkan diri dari segala macam keduniawian).
Ngebleng (menghindari segala makanan atau
minuman yang tak bergaram) lalu
Patigeni (tidak makan atau minum apa-apa sama
sekali.)
Dan sekarang, ia melakukan samadi, sambil
mengurangi makan, minum, tidur dan lain sebagainya.
Dan Pada samadi itulah pada galibnya ia pernah
mendapatkan ilham atau wisik.
“Nak, Ingatlah,… Ada enam tahapan atau tingkat yang
harus dilakukan apabila ingin mencapai tataran hidup
yang sempurna” Ki Brangaspati mengusik Sagara
Angkara.
“Itu adalah yang pertama Tapaning jasad yaitu
Mengendalikan/menghentikan daya gerak tubuh atau
kegiatan.
Janganlah hendaknya merasa sakit hati atau menaruh
balas dendam, apalagi terkena sebagai sasaran
karena perbuatan orang lain, atau akibat suatu
peristiwa yang menyangkut pada dirimu. Sedapat-
dapatnya hal tersebut diterima saja dengan
kesungguhan hati. Yang kedua Tapaning budi yaitu
Mengelakkan/mengingkari perbuatan yang terhina
dan segala hal yang bersifat tidak jujur. Yang ketiga
Tapaning hawa nafsu yaitu Mengendalikan/
melontarkan jauh-jauh hawa nafsu atau sifat angkara
murka dari diri pribadi.
Hendaknya selalu bersikap sabar dan suci, murah hati,
berperasaan dalam, suka memberi maaf kepada siapa
pun, juga taat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Memperhatikan perasaan secara sungguh-sungguh,
dan berusaha sekuat tenaga kearah ketenangan
(heneng), yang berarti tidak dapat diombang-
ambingkan oleh siapa atau apapun juga, serta
kewaspadaan (hening). Yang keempat Tapaning
sukma yaitu
Memenangkan jiwanya. Hendaknya sikap
kedermawanan diperluas. Pemberian sesuatu kepada
siapapun juga harus berdasarkan keikhlasan hati,
seakan-akan sebagai persembahan sedemikian,
sehingga tidak mengakibatkan sesuatu kerugian yang
berupa apapun juga pada pihak yang manapun juga.
Pendek kata tanpa menyinggung perasaan. Yang
Kelima
Tapaning cahya yaitu Hendaknya orang selalu awas
dan waspada serta mempunyai daya meramalkan
sesuatu secara tepat. Jangan sampai kabur atau
mabuk karena keadaan cemerlang yang dapat
mengakibatkan penglihatan yang serba samar dan
saru. Lagi pula kegiatannya hendaknya selalu
ditujukan kepada kebahagiaan dan keselamatan
umum. Yang Keenam Tapaning gesang yaitu Berusaha
berjuang sekuat tenaga secara berhati-hat i, kearah
kesempurnaari hidup, serta taat kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating
Diyu hanya sebagai kunci untuk dapat memahami isi
Rasa Jati, dimana untuk mencapai sesuatu yang luhur
diperlukan mutlak perbuatan yang sesuai.
Rasajati memperlambangkan jiwa atau badan halus
ataupun nafsu sifat tiap manusia, yaitu keinginan,
kecenderungan, dorongan hati yang kuat, kearah
yang baik maupun yang buruk atau jahat. Nafsu sifat
itu ialah; Lumamah (angkara murka), Amarah, Supiyah
(nafsu birahi). Ketiga sifat tersebut melambangkan
hal-hal yang menyebabkan tidak teraturnya atau
kacau balaunya sesuatu masyarakat dalam berbagai
bidang, antara lain: kesengsaraan, malapetaka,
kemiskinan dan lain sebagainya. Sedangkan sifat
terakhir yaitu Mutmainah (nafsu yang baik, dalam arti
kata berbaik hati, berbaik bahasa, jujur dan lain
sebagainya) yang selalu menghalang-halangi tindakan
yang tidak senonoh.”
Sagara Angkara manggut pertanda paham.
Tangannya disedekapkan didada dan membungkuk.
“Anakku, aku perintahkan kau untuk melewati semua
jalan itu!”
“Apa!” Sagara Angkara terkejut.
“Bukankah Eyang berkata ragu bahwa aku dapat
melewati semua ini?”
“Itu duulu, bukan sekarang, sekarang aku yakin kau
adalah harapan kami…! Sengaja aku kemari karena
hendak memberitahu kehendak kami. Bukankah
selama ini dalam semadimu kau bertanya Tanya
mengenai hal ini. Sekarang sudah lega… lanjutkanlah
semadimu!”
”Baik Eyang…!” Sagara Angkara bangkit dari tempat
duduknya dan melakukan sungkem. Ki Brangaspati
mengusap kepalanya dan mulai meninggalkan alam
semadinya itu. dan pandangannnya kini mulai nyata.
“Akhh….!” Dia menghembuskan nafas panjang.
Asap tembakau mengalun menari melayang-layang.
Gemerisik dedaunan dan tonggeret masih terdengar
jelas. Suasana tempat irtu benar-benar ramai dengan
lalu lintas alam…
****
Pertar