Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Iblis Dunia Persilatan - 84

$
0
0
Cerita Silat | Iblis Dunia Persilatan | by Bung AONE | Iblis Dunia Persilatan | Cersil Sakti | Iblis Dunia Persilatan pdf

Siapa Ayahku ? - Azizah Attamimi The Wednesday Letters - Surat Cinta di Hari Rabu - Jason F. Wright The Chamber - Kamar Gas - John Grisham Trio Tifa - Tiga Sandera - Bung Smas Kisah Dua Kamar ~ bukanpujangga

Sinar Mentari menyengat laksana api yang
  membakar, gemilang cahayanya menembus alam,
  bahkan dedaunan yang rindangpun tak sanggup
  menahan sepenuhnya,
  Ranting bergoyang, daun berguguran ketika seekor
  burung haur terbang dari tenggerannya.
  Akar melintang, dedaunan berserakan menjadi irama
  khas tersendiri ketika seekor mencek melewatinya.
  Dari Langit melayanglah shelai daun jati, jatuh
  perlahan terombang-ambing dipermainkan angin,
  bergoyang dan berlenggang lenggok seperti gadis
  penari. Warna daun itu kuning karena tua. Jatuh
  perlahan diatas pangkuan seorang yang sedang
  duduk bersemadi diatas batu cadas.
  Kumis, jenggot, rambut dan bulu-bulu diwajahnya
  tumbuh tanpa diurus, wajahnya tenang tanpa emosi,
  saking tenangnya bahkan sedikitpun tubuhnya tak
  bergemming. Patung diam tak bergeming. Rambutnya
  yang kusampun sama keadaannya sekencang apapun
  angin yang menerpanya, rambut itu tetap kaku.
  Bajunya kusam dengan warna sudah luntur,
  disekitarnya akar sudah merayap menjerat tubuhnya.
  Di Belakangnya terdapat sebuah pondok mungil yang
  asri. Di serambi tampak tiga sosok orang tua duduk
  bersila sambil menghirup the.
  Terdengar Nyi Mekar Ningrum berkata. “Bocah ini
  benar benar tahan banting. Semuda itu ia sanggup
  bertahan menyatu dengan alam. Lihatlah tubuhnya.
  Sama sekali tak terlihat kurus kering seperti orang
  yang bertapa.”
  “Itu dikarenakan akar yang melilit ditubuhnya, dia
  merefleksikan dirinya dengan pohon itu, ia
  memperoleh sari makanan ari pohon itu. Asupaan
  minuman juga diserap dari pohon itu. Selain itu,
  tubuhnya menjadi seperti pohon yang menyerap
  energy dari matahari. Ini merupaka kaidah ilmu yang
  sangat hebat. Meski terlihat sederhana, namun sangat
  tak bisa dibayangkan akibatnya!” Kyai Ancala
  menjelaskan seraya mengelus jenggot putihnya.
  Ki Brangaspati tak ambil kata, ia memejamkan
  matanya seperti otang yang bersemadi…!
  “Apa yang dilakukannya?” Tanya Nyi Mekar Ningrum
  pada Kyai Ancala yang menyulut cangklong hendak
  merokok.
  “Dia sedang masuk kedalam semadi orang!”
  Jawabnya singkat. Tembakau dihisap dan perlahan
  dihembuskan menciptakan segulung asap beraroma
  cengkieh.
  Benar apa yang dikatan Kyai Ancala, memang saat ini
  Ki Brangaspati sedang masuk kedalam semadi Sagara
  Angkara. Ketika ia mulai memasuki gerbang semadi.
  Tubuhnya merasakan rasa dingin dan panas
  berseliweran.
  Kepalanya mengangguk-angguk, pertanda memahami
  sesuatu dan melangkahkan kakinya. Beragam cahaya
  beraneka warna memainkan sebuah putaran cahaya
  indah bak ribuan kunang-kunang yang memiliki
  beragam warna.
  Ia Teruskan langkah kakinya di alam yang aneh itu,
  semakin jauh memasuki, dirinya dihadapkan dengan
  sebuah pemandangan yang membuatnya merasakan
  ketenangan luar biasa.
  Sosok Sagara Angkara berjubah serab putih duduk di
  atas kolam ikan, puluhan ikan tampak bermain-main
  dibawahnya, dia duduk diatas air dengan santainya,
  matanya terpejam dengan wajah berseri-seri.
  Angin sepoi-sepoi bermain manja di salah satu indera.
  Membelainya juga kadang membisikinya. Pohon-
  pohon menari dengan lemah gemulai, sehelai daun
  jambu batu melayang terbang dan jatuh diubun-ubun
  Sagara Angkara.
  Ki Brangaspati duduk di salah satu batu berbentuk
  bundar.
  “Assalamamualaikum”
  Setelah itu, Dia tak mengusik, hanya duduk diam
  memandang. Seperminum the kemudian, Sagara
  Angkara membuka matanya.
  Dia tersenyum lembut dan membuka mulut…
  “Waalaikumsalam… maafkanlah keterlambatanku
  untuk menjawab salamu Eyang guru.”
  “Tak menjadi soal,… bagaimana kabarmu?”
  “Masih selemah air Eyang Guru…”
  Ki Brangaspati tersenyum maklum dan paham arti dari
  ucapan Sagara Angkara itu.
  “Ada apakah kiranya Eyang Guru mendatangi
  kediaman pikiranku yang masih berisi kejahatan?”
  Sambung Sagara Angkara.
  “Hanya ingin menyampaikan sepatah dua patah kata
  saja, kiranya engkau mau mendengarkan nasihat
  gurumu!”
  “Silahkan Eyang Guru bertutur…!”
  “Pernahkah engkau mendengar sebuah kata yang
  menyebutkan ‘Lebih baik makan sebutir nasi yang
  bersih daripada sebakul nasi yang dicampur dengan
  kotoran?”
  “Memangnya kenapa Eyang Guru?”
  “Dulu aku tak ingin menyuruhmu melkakukan semadi
  ini karena takut dirimu tak akan sanggup melanjani.
  Perlu kau ketahui, bahwa semadi ini adalah sebuah
  semadi yang memiliki tiga jalan. Oleh karenanya aku
  hanya menyuruhmu untuk menaklukan jalan itu satu
  saja!”
  “Maksud Eyang, Semadi satu purnama ini adalah
  hanya untuk menaklukan sebuah jalan saja?”
  “Benar, semadi ini selayaknya dilakukan selama tiga
  bulan berturut-turut. Jalan Pertama disebut dengan
  nama Jalan Penyesalan, Jalan Kedua disebut jalan
  Angkara dan yang terakhir adalah Jalan Ketenangan.
  Mengenai jalan pertama dan ketiga tidak membuatku
  ragu. Hanya jalan kedualah yang membuatku takut.
  “Apa yang kau takutkan Eyang?”
  “Jalan kedua adalah Jalan Puncak dari segala Angkara
  murka, segala kejadian, kemalangan, ketidak adilan,
  dan segala nafsu binatang akan merasuk kedalam
  tubuhmu. Seandainya kau tak dapat menahan diri dan
  terlena didalamnya, maka artinya kau sudah gagal.
  Bukan ke gagalan yang ku takutkan, tapi dirimu yang
  akan berubah menjadi setan berbentuk manusia lah
  yang membuatku takut. Apalaggi hawasetan yang
  merasuki tubuhmu tidak sepenuhnya hilang. Apalah
  jadinya jika semua itu bersatu.”
  “Jika memang kejadiannya seperti itu. Lalu mengapa
  semadi itu harus dilakukan eyang?”
  “Semadi ini merupakan bagian-bagian dari
  Sastrajendra Hayuningrat.. Ajaran ini memiliki empat
  tahapan yakni Sastra Hajendra Yuning Rat (ilmu
  ajaran tertinggi yang jelas tentang keselamatan alam
  semesta), Sastra Harjendra Wadiningrat (ilmu ajaran
  keselamatan alam semesta untuk Meruwat raksasa).
  Sastra Hajendra Wadiningrat (ilmu ajaran tertinggi
  tentang keselamatan alam semesta rahasia dunia),
  dan yang terakhir Sastrayu (ilmu ajaran keselamatan).
  “Eyang, mengapa aku serasa sudah dan sedang
  melewati tahap pertama?”
  “Benar, sesungguhnya jalan penyesalan ini adalah
  sebuah jalan yang membuat kita sadar siapakah kita,
  mengapa diciptakan, mengapa harus menjaga ini itu,
  melakukan ini dan itu. Ini mendekatkan kita kepada
  alam semesta ini, akan timbul rasa cinta kita kepada
  alam ini. Untuk apa Tuhan menciptakan alam ini.
  Dengan timbulnya perasaan itu, maka rasa cinta
  kepada alam ini akan semakin tinggi. Oleh karenanya
  jika ada yang merusak, kitalah yang harus
  mengembalikannya seperti semula”
  “Akh, lalu jalan kedua akan berhubungan dengan
  tahapan Sastra Harjendra Wadiningrat (ilmu ajaran
  keselamatan alam semesta untuk Meruwat raksasa)?.
  “Benar, begitu pula dengan yang ketiga!”
  “Dan yang keempat?”
  “Kau akan menjalaninya sendiri di alam dunia ini”
  Sagara Angkara diam, begitupula Eyang Brangaspati.
  Ia ingat, jauh sebelumnya ketika ia masih di didik
  dulu, Eyangnya pernah menyuruhnya Mutih (makan
  nasi tanpa lauk pauk yang berupa apapun juga.) Sirik
  (menjauhkan diri dari segala macam keduniawian).
  Ngebleng (menghindari segala makanan atau
  minuman yang tak bergaram) lalu
  Patigeni (tidak makan atau minum apa-apa sama
  sekali.)
  Dan sekarang, ia melakukan samadi, sambil
  mengurangi makan, minum, tidur dan lain sebagainya.
  Dan Pada samadi itulah pada galibnya ia pernah
  mendapatkan ilham atau wisik.
  “Nak, Ingatlah,… Ada enam tahapan atau tingkat yang
  harus dilakukan apabila ingin mencapai tataran hidup
  yang sempurna” Ki Brangaspati mengusik Sagara
  Angkara.
  “Itu adalah yang pertama Tapaning jasad yaitu
  Mengendalikan/menghentikan daya gerak tubuh atau
  kegiatan.
  Janganlah hendaknya merasa sakit hati atau menaruh
  balas dendam, apalagi terkena sebagai sasaran
  karena perbuatan orang lain, atau akibat suatu
  peristiwa yang menyangkut pada dirimu. Sedapat-
  dapatnya hal tersebut diterima saja dengan
  kesungguhan hati. Yang kedua Tapaning budi yaitu
  Mengelakkan/mengingkari perbuatan yang terhina
  dan segala hal yang bersifat tidak jujur. Yang ketiga
  Tapaning hawa nafsu yaitu Mengendalikan/
  melontarkan jauh-jauh hawa nafsu atau sifat angkara
  murka dari diri pribadi.
  Hendaknya selalu bersikap sabar dan suci, murah hati,
  berperasaan dalam, suka memberi maaf kepada siapa
  pun, juga taat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  Memperhatikan perasaan secara sungguh-sungguh,
  dan berusaha sekuat tenaga kearah ketenangan
  (heneng), yang berarti tidak dapat diombang-
  ambingkan oleh siapa atau apapun juga, serta
  kewaspadaan (hening). Yang keempat Tapaning
  sukma yaitu
  Memenangkan jiwanya. Hendaknya sikap
  kedermawanan diperluas. Pemberian sesuatu kepada
  siapapun juga harus berdasarkan keikhlasan hati,
  seakan-akan sebagai persembahan sedemikian,
  sehingga tidak mengakibatkan sesuatu kerugian yang
  berupa apapun juga pada pihak yang manapun juga.
  Pendek kata tanpa menyinggung perasaan. Yang
  Kelima
  Tapaning cahya yaitu Hendaknya orang selalu awas
  dan waspada serta mempunyai daya meramalkan
  sesuatu secara tepat. Jangan sampai kabur atau
  mabuk karena keadaan cemerlang yang dapat
  mengakibatkan penglihatan yang serba samar dan
  saru. Lagi pula kegiatannya hendaknya selalu
  ditujukan kepada kebahagiaan dan keselamatan
  umum. Yang Keenam Tapaning gesang yaitu Berusaha
  berjuang sekuat tenaga secara berhati-hat i, kearah
  kesempurnaari hidup, serta taat kepada Tuhan Yang
  Maha Esa. Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating
  Diyu hanya sebagai kunci untuk dapat memahami isi
  Rasa Jati, dimana untuk mencapai sesuatu yang luhur
  diperlukan mutlak perbuatan yang sesuai.
  Rasajati memperlambangkan jiwa atau badan halus
  ataupun nafsu sifat tiap manusia, yaitu keinginan,
  kecenderungan, dorongan hati yang kuat, kearah
  yang baik maupun yang buruk atau jahat. Nafsu sifat
  itu ialah; Lumamah (angkara murka), Amarah, Supiyah
  (nafsu birahi). Ketiga sifat tersebut melambangkan
  hal-hal yang menyebabkan tidak teraturnya atau
  kacau balaunya sesuatu masyarakat dalam berbagai
  bidang, antara lain: kesengsaraan, malapetaka,
  kemiskinan dan lain sebagainya. Sedangkan sifat
  terakhir yaitu Mutmainah (nafsu yang baik, dalam arti
  kata berbaik hati, berbaik bahasa, jujur dan lain
  sebagainya) yang selalu menghalang-halangi tindakan
  yang tidak senonoh.”
  Sagara Angkara manggut pertanda paham.
  Tangannya disedekapkan didada dan membungkuk.
  “Anakku, aku perintahkan kau untuk melewati semua
  jalan itu!”
  “Apa!” Sagara Angkara terkejut.
  “Bukankah Eyang berkata ragu bahwa aku dapat
  melewati semua ini?”
  “Itu duulu, bukan sekarang, sekarang aku yakin kau
  adalah harapan kami…! Sengaja aku kemari karena
  hendak memberitahu kehendak kami. Bukankah
  selama ini dalam semadimu kau bertanya Tanya
  mengenai hal ini. Sekarang sudah lega… lanjutkanlah
  semadimu!”
  ”Baik Eyang…!” Sagara Angkara bangkit dari tempat
  duduknya dan melakukan sungkem. Ki Brangaspati
  mengusap kepalanya dan mulai meninggalkan alam
  semadinya itu. dan pandangannnya kini mulai nyata.
  “Akhh….!” Dia menghembuskan nafas panjang.
  Asap tembakau mengalun menari melayang-layang.
  Gemerisik dedaunan dan tonggeret masih terdengar
  jelas. Suasana tempat irtu benar-benar ramai dengan
  lalu lintas alam…
  ****
  Pertar

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>