Cerita Silat | Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat | by Hong San Khek | Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat | Cersil Sakti | Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat pdf
Serial Dewi Ular - 32. Hantu Kesepian Sunshine Becomes You - Ilana Tan Aisyah Putri - Asma Nadia Dendam Berkarat Dalam Kubur - Abdullah Harahap Goosebumps 40. Boneka Hidup Beraksi III
an jatuh
jumpalitan di tanah dengan kepala benjut dan
mengeluarkan darah!
Poan Thian sendiri tak pernah menyangka bahwa
persoalan bakal terjadi begitu rupa, tak pernah ia
impikan, bahwa akibat daripada tendangannya itu,
sang guru bisa kejadian terlempar sejauh itu. Dari itu,
buru-buru ia berlari-lari, menghampiri dan
mengangkatnya bangun sambil meminta maaf
berulang-ulang.
„Aku mohon beribu-ribu maaf atas kelancanganku itu,”
kata Lie Poan Thian dengan laku gugup. „Tendangan
tadi ternyata telah dilakukan terlalu cepat, sehingga
aku tak menyangka sama sekali bakal menerbitkan
luka kepada guruku.”
Sambil berkata begitu, Poan Thian cepat
membungkukkan diri buat menolong kepada sang
guru, tetapi Chun San yang telah keburu berbangkit,
dengan muka merah karena malu dan gusar lalu
menuding pada sang murid sambil berkata: „Bagus
benar perbuatanmu ini! Engkau telah berani
menyerang guru sendiri dengan sungguh-sungguh dan
selagi aku tidak bersedia!”
Poan Thian yang mendengar omongan itu, dengan tak
tertahan lagi jadi tertawa geli. Sebab pada pikirnya,
apakah gunanya orang meyakinkan ilmu silat, apabila
dalam hal melakukan penyerangan orang mesti
memberitahukan terlebih dahulu kepada pihak lain
yang menjadi musuhnya? Maka berhubung dengan
peristiwa yang telah dialaminya pada kali ini, lambat-
laun Poan Thian jadi mendusin, kalau-kalau
kepandaian silat sang guru itu hanyalah terbatas
sampai di situ saja, sedangkan omongan-omongan
tekebur yang pernah diucapkannya dahulu, itulah
melulu merupakan khayal-khayal yang tidak ada
buktinya sama sekali. Dari itu, tidaklah heran jika ia
jadi tertawa geli.
Chun San yang ditertawai jadi sengit dan merasa
sangat penasaran, biarpun Poan Thian meminta-minta
maaf dan menyatakan penyesalannya telah
kelepasan tangan, tetapi tidak urung dengan tidak
pikir panjang lagi ia segera mengeluarkan suara
bentakan keras yang dibarengi dengan serangan Go-
houw-kim-yo (harimau lapar menubruk kambing)
untuk menerjang kepada sang murid itu.
Syukur juga Poan Thian yang terlebih siang telah
menduga peristiwa apa yang bakal dialami, sudah
lantas mengerti tindakan apa yang harus diambilnya
seketika itu. Maka sebegitu lekas ia melihat gurunya
menyerang, buru-buru ia mempergunakan siasat Pek-
kee-tian-cie (Ayam putih membentangkan sayap)
membentangkan kedua tangannya buat
menyingkirkan pukulannya sang guru, sambil
kemudian melanjutkan gerakannya dengan
mengegos ke samping, hingga dengan cara ini ia bisa
terluput dan lompat ke suatu jurusan sambil mulutnya
tidak berhenti-henti berkaok-kaok. „Suhu, tahan dulu!
Sabar! Maafkanlah atas kelancangan Tee-cu!”
Tetapi Chun San tidak menghiraukannya dan terus
menggerakkan kaki tangannya buat memukul pada
sang murid yang dianggapnya sangat kurang ajar itu.
Lama-lama peristiwa ini telah dapat dilihat oleh
seorang bujang tua keluarga Lie yang bernama Ong
Kiu, ia jadi sangat terkejut dan buru-buru berlari-lari
masuk ke dalam rumah sambil tidak henti-hentinya
berkaok: „Celaka! Celaka! An Kauw-su berkelahi
dengan tuan muda kita!”
Mula-mula Tek Hoat tidak mau percaya dengan
keterangan itu, bahkan mengomel pada si bujang tua
itu yang dikatakan „edan”. Tetapi ketika ia dikasih
keterangan lebih jauh dengan sikap yang tergopoh-
gopoh, orang tua itu jadi percaya juga dan terus
berlari-lari dengan diiringi oleh beberapa bujang yang
lain-lainnya.
Dan ketika Tek Hoat sampai di pelataran halaman
rumah, betul saja ia melihat Chun San menerjang
pada anaknya dengan berulang-ulang, tetapi syukur
juga Poan Thian bisa meluputkan diri sambil berkaok-
kaok minta dimaafkan atas segala kekhilafannya.
Tek Hoat yang merasa kuatir atas keselamatan diri
anaknya, buru-buru berlari menghampiri kepada An
Chun San sambil membujuk dan meminta maaf atas
kelancangan dan kekhilafan anaknya itu.
Oleh karena mendengar omongan orang tua itu, Chun
San jadi mendusin dari perbuatannya yang
semberono dan lekas-lekas balas memberi
http://cerita-silat.mywapblog.com
hormat
kepada Tek Hoat sambil memaksakan diri buat
mengunjuk muka manis.
„Semua ini sebetulnya cuma merupakan suatu
permainan saja,” katanya, „karena Kok Ciang
memang perlu diajar tabah disamping dilatih dalam
hal ilmu pelajaran silatnya. Karena jikalau ia tidak
diajarkan berlaku tabah dari sekarang, bagaimanakah
ia bisa berhadapan dengan musuh, jikalau di
kemudian hari ia sampai benar-benar bertempur
dengan orang lain?”
Tek Hoat mengangguk-angguk sambil membenarkan
omongan guru silat itu, kemudian ia menanyakan
mengapa dahi Chun San berlumuran darah dan
tampak berjendul?
Atas pertanyaan ini. Chun San lalu tuturkan segala
sesuatu yang telah terjadi tadi, tetapi sifatnya ia
sengaja perlunak buat menutup perasaan malunya.
Sementara Tek Hoat yang mendengar begitu, segera
memberikan comelan pada sang anak. „Kau ini
sungguh amat tidak patut telah berani melukai guru
sendiri,” katanya. „Maka setelah melakukan perbuatan
yang begitu kurang ajar, mengapakah kau tidak lekas
berlutut di hadapan An Lo-suhu buat meminta maaf?”
Poan Thian menurut dan lekas menjura di hadapan An
Chun San sambil menyoja dan meminta maaf hingga
Chun San yang menerima permintaan maaf itu
dengan perasaan hati tidak enak, lalu banguni Poan
Thian sambil melanjutkan pembicaraannya dengan
sang majikan tua.
„Perkara kecelakaan dalam waktu melatih ilmu silat,”
kata guru silat itu, „memanglah ada suatu hal lumrah
yang tidak perlu banyak direcoki. Demikian juga
dengan halnya kejadian sekarang ini. Perlu apakah
Lo-ya mesti kuatirkan sampai begitu?”
Tek Hoat kelihatan puas dengan jawaban An Chun
San itu. Tetapi karena melihat dahi sang guru
bercucuran darah, maka ia telah tawarkan Chun San
buat berobat dengan segala ongkos-ongkosnya
ditanggung oleh orang tua itu.
Tetapi Chun San yang merasa bahwa sendirinya ada
seorang guru silat, ia pikir sangat memalukan apabila
ia luka sedikit saja mesti diobati orang lain. Lagi pula
ia sendiripun mengerti sedikit tentang obat-obatan,
hingga dengan secara getas ia telah menampik
tawaran Tek Hoat sambil berkata: „Oh, itu tidak perlu,
karena aku di sini pun ada sedia obat luka yang
manjur sekali, yang akan dapat menyembuhkan
segala macam luka-luka dalam tempo hanya
beberapa saat saja lamanya.”
Kemudian ia pergi mengambil obat yang
dikatakannya itu, yang ternyata benar manjur dan
telah dapat menahan darah yang mengucur di
dahinya hampir di saat itu juga.
Ketika di hari esoknya Poan Thian bangun tidur dan
hendak pergi melatih ilmu silat di halaman pelataran
rumahnya seperti biasa, ia menampak keadaan di situ
agak berlainan dengan hari-hari yang telah lampau,
karena Chun San yang telah dapat malu oleh karena
telah dirobohkan oleh muridnya sendiri, ternyata
dengan tak meminta diri lagi telah meninggalkan
rumah itu buat selama-lamanya. Hal mana, sedikit
banyak telah menerbitkan sesalan juga di dalam hati
pemuda itu, yang tetap menghargai jasa-jasanya
Chun San yang telah mendidiknya sehingga dapat
membuka jalan akan ia menjadi seorang jago silat
dan ahli menendang dengan ilmu Lian-hwan Sauw-
tong-tui yang telah diciptakannya dan di kemudian
hari sangat disegani oleh sekian orang-orang gagah di
kalangan Kang-ouw.
Maka seperginya Chun San dari rumah keluarga Lie,
Poan Thian telah kerap meminta pada ayahnya
supaya dicarikan guru silat lain untuk memberikan
pelajaran kepadanya, tetapi orang tua itu selalu
menolak dan memberikan comelan, hingga
selanjutnya ia tidak bisa berbuat lain daripada melatih
diri dengan ilmu-ilmu pelajaran yang telah didapatinya
dari An Chun San, disamping memperbaiki ilmu
tendangan ciptaannya, dengan mana ia telah berhasil
dapat merobohkan gurunya sendiri.
Setiap hari di waktu Poan Thian berlatih dengan giat
di halaman pelataran rumahnya, banyak orang yang
kebetulan melewat telah pada berhenti menonton
dengan sorot mata yang menandakan kagum atas
kekuatannya pemuda itu. Karena disaban waktu ia
memukul atau menendang pohon liu yang sebesar
pelukan itu, tentulah pohon itu bergoncang keras
dengan daun-daunnya pada rontok dan jatuh terserak
ke muka bumi. Sedang Poan Thian sendiri yang sedikit
demi sedikit telah menyaksikan tentang kemajuan
dan kekuatan dirinya, sudah tentu saja jadi kagum
dan sering berkata pada diri sendiri: „Apabila pohon
yang besar ini bisa bergoncang karena pukulan atau
tendanganku, maka pastilah pukulan atau
tendanganku ini akan bikin orang mati atau patah
tulang, apabila nanti kucoba dalam pertempuran.”
Serial Dewi Ular - 32. Hantu Kesepian Sunshine Becomes You - Ilana Tan Aisyah Putri - Asma Nadia Dendam Berkarat Dalam Kubur - Abdullah Harahap Goosebumps 40. Boneka Hidup Beraksi III
an jatuh
jumpalitan di tanah dengan kepala benjut dan
mengeluarkan darah!
Poan Thian sendiri tak pernah menyangka bahwa
persoalan bakal terjadi begitu rupa, tak pernah ia
impikan, bahwa akibat daripada tendangannya itu,
sang guru bisa kejadian terlempar sejauh itu. Dari itu,
buru-buru ia berlari-lari, menghampiri dan
mengangkatnya bangun sambil meminta maaf
berulang-ulang.
„Aku mohon beribu-ribu maaf atas kelancanganku itu,”
kata Lie Poan Thian dengan laku gugup. „Tendangan
tadi ternyata telah dilakukan terlalu cepat, sehingga
aku tak menyangka sama sekali bakal menerbitkan
luka kepada guruku.”
Sambil berkata begitu, Poan Thian cepat
membungkukkan diri buat menolong kepada sang
guru, tetapi Chun San yang telah keburu berbangkit,
dengan muka merah karena malu dan gusar lalu
menuding pada sang murid sambil berkata: „Bagus
benar perbuatanmu ini! Engkau telah berani
menyerang guru sendiri dengan sungguh-sungguh dan
selagi aku tidak bersedia!”
Poan Thian yang mendengar omongan itu, dengan tak
tertahan lagi jadi tertawa geli. Sebab pada pikirnya,
apakah gunanya orang meyakinkan ilmu silat, apabila
dalam hal melakukan penyerangan orang mesti
memberitahukan terlebih dahulu kepada pihak lain
yang menjadi musuhnya? Maka berhubung dengan
peristiwa yang telah dialaminya pada kali ini, lambat-
laun Poan Thian jadi mendusin, kalau-kalau
kepandaian silat sang guru itu hanyalah terbatas
sampai di situ saja, sedangkan omongan-omongan
tekebur yang pernah diucapkannya dahulu, itulah
melulu merupakan khayal-khayal yang tidak ada
buktinya sama sekali. Dari itu, tidaklah heran jika ia
jadi tertawa geli.
Chun San yang ditertawai jadi sengit dan merasa
sangat penasaran, biarpun Poan Thian meminta-minta
maaf dan menyatakan penyesalannya telah
kelepasan tangan, tetapi tidak urung dengan tidak
pikir panjang lagi ia segera mengeluarkan suara
bentakan keras yang dibarengi dengan serangan Go-
houw-kim-yo (harimau lapar menubruk kambing)
untuk menerjang kepada sang murid itu.
Syukur juga Poan Thian yang terlebih siang telah
menduga peristiwa apa yang bakal dialami, sudah
lantas mengerti tindakan apa yang harus diambilnya
seketika itu. Maka sebegitu lekas ia melihat gurunya
menyerang, buru-buru ia mempergunakan siasat Pek-
kee-tian-cie (Ayam putih membentangkan sayap)
membentangkan kedua tangannya buat
menyingkirkan pukulannya sang guru, sambil
kemudian melanjutkan gerakannya dengan
mengegos ke samping, hingga dengan cara ini ia bisa
terluput dan lompat ke suatu jurusan sambil mulutnya
tidak berhenti-henti berkaok-kaok. „Suhu, tahan dulu!
Sabar! Maafkanlah atas kelancangan Tee-cu!”
Tetapi Chun San tidak menghiraukannya dan terus
menggerakkan kaki tangannya buat memukul pada
sang murid yang dianggapnya sangat kurang ajar itu.
Lama-lama peristiwa ini telah dapat dilihat oleh
seorang bujang tua keluarga Lie yang bernama Ong
Kiu, ia jadi sangat terkejut dan buru-buru berlari-lari
masuk ke dalam rumah sambil tidak henti-hentinya
berkaok: „Celaka! Celaka! An Kauw-su berkelahi
dengan tuan muda kita!”
Mula-mula Tek Hoat tidak mau percaya dengan
keterangan itu, bahkan mengomel pada si bujang tua
itu yang dikatakan „edan”. Tetapi ketika ia dikasih
keterangan lebih jauh dengan sikap yang tergopoh-
gopoh, orang tua itu jadi percaya juga dan terus
berlari-lari dengan diiringi oleh beberapa bujang yang
lain-lainnya.
Dan ketika Tek Hoat sampai di pelataran halaman
rumah, betul saja ia melihat Chun San menerjang
pada anaknya dengan berulang-ulang, tetapi syukur
juga Poan Thian bisa meluputkan diri sambil berkaok-
kaok minta dimaafkan atas segala kekhilafannya.
Tek Hoat yang merasa kuatir atas keselamatan diri
anaknya, buru-buru berlari menghampiri kepada An
Chun San sambil membujuk dan meminta maaf atas
kelancangan dan kekhilafan anaknya itu.
Oleh karena mendengar omongan orang tua itu, Chun
San jadi mendusin dari perbuatannya yang
semberono dan lekas-lekas balas memberi
http://cerita-silat.mywapblog.com
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat - Hong San Khek
hormat
kepada Tek Hoat sambil memaksakan diri buat
mengunjuk muka manis.
„Semua ini sebetulnya cuma merupakan suatu
permainan saja,” katanya, „karena Kok Ciang
memang perlu diajar tabah disamping dilatih dalam
hal ilmu pelajaran silatnya. Karena jikalau ia tidak
diajarkan berlaku tabah dari sekarang, bagaimanakah
ia bisa berhadapan dengan musuh, jikalau di
kemudian hari ia sampai benar-benar bertempur
dengan orang lain?”
Tek Hoat mengangguk-angguk sambil membenarkan
omongan guru silat itu, kemudian ia menanyakan
mengapa dahi Chun San berlumuran darah dan
tampak berjendul?
Atas pertanyaan ini. Chun San lalu tuturkan segala
sesuatu yang telah terjadi tadi, tetapi sifatnya ia
sengaja perlunak buat menutup perasaan malunya.
Sementara Tek Hoat yang mendengar begitu, segera
memberikan comelan pada sang anak. „Kau ini
sungguh amat tidak patut telah berani melukai guru
sendiri,” katanya. „Maka setelah melakukan perbuatan
yang begitu kurang ajar, mengapakah kau tidak lekas
berlutut di hadapan An Lo-suhu buat meminta maaf?”
Poan Thian menurut dan lekas menjura di hadapan An
Chun San sambil menyoja dan meminta maaf hingga
Chun San yang menerima permintaan maaf itu
dengan perasaan hati tidak enak, lalu banguni Poan
Thian sambil melanjutkan pembicaraannya dengan
sang majikan tua.
„Perkara kecelakaan dalam waktu melatih ilmu silat,”
kata guru silat itu, „memanglah ada suatu hal lumrah
yang tidak perlu banyak direcoki. Demikian juga
dengan halnya kejadian sekarang ini. Perlu apakah
Lo-ya mesti kuatirkan sampai begitu?”
Tek Hoat kelihatan puas dengan jawaban An Chun
San itu. Tetapi karena melihat dahi sang guru
bercucuran darah, maka ia telah tawarkan Chun San
buat berobat dengan segala ongkos-ongkosnya
ditanggung oleh orang tua itu.
Tetapi Chun San yang merasa bahwa sendirinya ada
seorang guru silat, ia pikir sangat memalukan apabila
ia luka sedikit saja mesti diobati orang lain. Lagi pula
ia sendiripun mengerti sedikit tentang obat-obatan,
hingga dengan secara getas ia telah menampik
tawaran Tek Hoat sambil berkata: „Oh, itu tidak perlu,
karena aku di sini pun ada sedia obat luka yang
manjur sekali, yang akan dapat menyembuhkan
segala macam luka-luka dalam tempo hanya
beberapa saat saja lamanya.”
Kemudian ia pergi mengambil obat yang
dikatakannya itu, yang ternyata benar manjur dan
telah dapat menahan darah yang mengucur di
dahinya hampir di saat itu juga.
Ketika di hari esoknya Poan Thian bangun tidur dan
hendak pergi melatih ilmu silat di halaman pelataran
rumahnya seperti biasa, ia menampak keadaan di situ
agak berlainan dengan hari-hari yang telah lampau,
karena Chun San yang telah dapat malu oleh karena
telah dirobohkan oleh muridnya sendiri, ternyata
dengan tak meminta diri lagi telah meninggalkan
rumah itu buat selama-lamanya. Hal mana, sedikit
banyak telah menerbitkan sesalan juga di dalam hati
pemuda itu, yang tetap menghargai jasa-jasanya
Chun San yang telah mendidiknya sehingga dapat
membuka jalan akan ia menjadi seorang jago silat
dan ahli menendang dengan ilmu Lian-hwan Sauw-
tong-tui yang telah diciptakannya dan di kemudian
hari sangat disegani oleh sekian orang-orang gagah di
kalangan Kang-ouw.
Maka seperginya Chun San dari rumah keluarga Lie,
Poan Thian telah kerap meminta pada ayahnya
supaya dicarikan guru silat lain untuk memberikan
pelajaran kepadanya, tetapi orang tua itu selalu
menolak dan memberikan comelan, hingga
selanjutnya ia tidak bisa berbuat lain daripada melatih
diri dengan ilmu-ilmu pelajaran yang telah didapatinya
dari An Chun San, disamping memperbaiki ilmu
tendangan ciptaannya, dengan mana ia telah berhasil
dapat merobohkan gurunya sendiri.
Setiap hari di waktu Poan Thian berlatih dengan giat
di halaman pelataran rumahnya, banyak orang yang
kebetulan melewat telah pada berhenti menonton
dengan sorot mata yang menandakan kagum atas
kekuatannya pemuda itu. Karena disaban waktu ia
memukul atau menendang pohon liu yang sebesar
pelukan itu, tentulah pohon itu bergoncang keras
dengan daun-daunnya pada rontok dan jatuh terserak
ke muka bumi. Sedang Poan Thian sendiri yang sedikit
demi sedikit telah menyaksikan tentang kemajuan
dan kekuatan dirinya, sudah tentu saja jadi kagum
dan sering berkata pada diri sendiri: „Apabila pohon
yang besar ini bisa bergoncang karena pukulan atau
tendanganku, maka pastilah pukulan atau
tendanganku ini akan bikin orang mati atau patah
tulang, apabila nanti kucoba dalam pertempuran.”