Cerita Silat | Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat | by Hong San Khek | Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat | Cersil Sakti | Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat pdf
Petualangan Tom Sawyer - Mark Twain Pendekar Rajawali Sakti - 122. Sepasang Pendekar Bertopeng Suara Dari Alam Gaib - Abdullah Harahap Sang Broker - John Grisham Sumpah Berdarah - Abdullah Harahap
Demikianlah pada pikirnya anak muda itu, yang
seolah-olah anak kerbau yang baru bertanduk itu, tak
takut akan harimau, juga berani menghadapi segala
sesuatu dengan sikap yang angkuh, sehingga ia lupa
bahwa orang gagah di kolong langit ini bukan hanya
dia seorang saja.
Itulah cacadnya orang yang baru mengerti ilmu silat
dengan serba sedikit!
Sebulan telah lewat semenjak An Chun San
meninggalkan rumah keluarga Lie.
Pada suatu pagi hari selagi Poan Thian melatih diri
seperti biasa, banyak orang telah berdiri menonton ia
bersilat dari kejauhan.
Di setiap waktu ia selesai bersilat, mereka itu tentulah
menyambut dengan tampik sorak yang riuh, hingga
hatinya Poan Thian jadi sangat gembira dan lambat
laun berpendapat bahwa dirinya „Thian He Tee It”,
nomor wahid di kolong langit.
Tetapi, apa mau, tengah orang banyak bertampik
sorak, mendadak ia mendengar ada seorang yang
mengejek kepadanya sambil tertawa-tawa, hingga
Poan Thian yang mendengar begitu, sudah tentu saja
merasa kurang senang dan lalu bercelingukan buat
melihat siapa adanya orang yang telah mengejeknya
itu. Dan tatkala ia memandang kian-kemari sekian
lamanya, akhirnya barulah diketahui bahwa orang itu
kira-kira berumur tigapuluh tahun, pakaiannya
sederhana. Orangnya tidak besar, tetapi badannya
tegap, ia berhidung mancung, bermulut lebar, dan apa
yang terutama paling menarik perhatiannya Poan
Thian, ialah sepasang matanya yang jeli dan seakan-
akan mengeluarkan sinar yang bisa menusuk
penglihatan orang yang diamat-amatinya. Kepada ia
ini Poan Thian lalu menghampiri, memberi hormat
serta menanyakan sebagai berikut:
„Oleh karena barusan aku mendengar kau mengejek
sambil tertawa-tawa, maka aku berpendapat bahwa
kau ini tentulah ada seorang yang paham ilmu silat.
Aku sendiri harus mengaku, bahwa ilmu
kepandaianku belum sempurna dan masih perlu
diperbaiki di bawah pimpinannya seorang yang ahli.
Maka apabila tuan sesungguhnya paham ilmu silat,
sudikah kiranya tuan memberikan petunjuk-petunjuk
yang berharga kepadaku?”
Orang itu kembali tertawa, tetapi mula-mula tidak
mau berkata apa-apa. Ia bersikap „masa bodoh”. Dan
tatkala Poan Thian mendesak akan minta
jawabannya, ia lalu menggelengkan kepalanya. Ia
menjawab: „Tidak, aku tidak pandai ilmu silat.”
Poan Thian jadi semakin tidak senang mendengar
jawaban itu.
„Apabila kau tidak pandai ilmu silat,” katanya, „perlu
apakah kau mesti mentertawai orang lain?”
„Semua orang adalah bebas buat tertawa,” sahut
orang itu sambil bersenyum. „Aku tertawa dengan
mulutku sendiri, seperti juga kau bersilat dengan kaki
tanganmu sendiri! Ada apakah hubungannya antara
mulutku dan kaki tanganmu?”
„Ah, kurang ajar benar orang ini!” pikir Lie Poan Thian
di dalam hatinya. „Jikalau aku selalu mengunjukkan
sikap yang mengalah, tidak mustahil orang
menganggap aku pengecut. Maka buat
mengunjukkan bahwa aku ini bukan seorang yang
penakut, aku perlu ajar sedikit adat kepada si
congkak ini.”
Kemudian dengan sikap gusar dan mata mendelik,
Poan Thian menuding pada orang itu sambil
membentak: „Hai, orang desa! Kau harus ketahui
bahwa ejekan terhadap seorang yang mengerti ilmu
silat, itulah berarti suatu hinaan yang bisa
dipersamakan dengan suatu tantangan berkelahi!
Tetapi karena mengingat bahwa kau tidak mengerti
ilmu silat, maka aku mau sudahi saja urusan ini,
apabila kau suka meminta maaf dengan berlutut di
tanah di hadapanku!”
„Apa, berlutut?” Orang itu jadi tertawa tergelak-gelak.
Suara tertawanya itu ada begitu nyaring, sehingga
menerbitkan gema yang telah mendatangkan rasa
herannya semua orang.
“Aku tidak biasa berlutut di hadapan sembarangan
orang,” katanya, „apalagi-anak yang baru lepas pupuk
seperti kau ini!”
Mendengar omongan itu. Lie Poan Thian bukan main
marahnya, hingga dengan tidak banyak bicara lagi ia
menjotos orang itu dengan menggunakan siasat
Song-twie-ciang, hingga orang banyak yang setiap
hari menyaksikan tenaga si pemuda yang
http://cerita-silat.mywapblog.com
begitu kuat,
rata-rata jadi pada kuatir atas nasibnya orang itu, dan
pernyataan itu menjadi semakin kuat lagi, ketika
orang banyak pada mengatakan: „Celaka! Celaka!
Orang itu sesungguhnya tak berbeda dengan seekor
ular yang mencari pentungan!”
◄Y►
Tetapi sikapnya orang itu tinggal tenang-tenang saja,
walaupun Poan Thian menerjang bagaikan harimau
kelaparan. Ia kelihatan tersenyum sedikit, dan
sebegitu lekas kepalannya Lie Poan Thian mendekati
dadanya, lalu ia merangkapkan kedua tangannya
sambil menggunakan tipu-tipu Hun-sui-ciang, hingga
ketika ia menggerakkan tangan itu dengan kecepatan
seperti kilat, Poan Thian rasakan dari pihak orang itu
telah keluar semacam tenaga penolak yang telah
memaksa ia mundur ke belakang sehingga beberapa
tindak jauhnya. Maka dengan adanya sedikit
pengalaman ini, Poan Thian segera ketahui, bahwa
orang ini tentunya ada seorang ahli silat yang ilmu
lweekangnya sangat tinggi, tetapi oleh karena sudah
ketelanjuran ia memulai membuka penyerangan, apa
boleh buat ia hendak menjajal juga sampai dimana
kepandaiannya orang itu.
Begitulah ketika ia maju menerjang buat kedua
kalinya, Poan Thian telah berlaku jauh lebih hati-hati
daripada tadi, karena selain ia tidak menggunakan
kepalan lagi, iapun tidak mau „menyeruduk” dengan
sekenanya saja. Lalu ia menendang dengan
menggunakan tipu Tan-hui-tui, semacam ilmu
menendang yang ia biasa praktekkan setiap hari.
Maksud daripada mempergunakan ilmu tendangan ini,
ialah untuk memancing supaya orang itu berkelit atau
menghindarkan tendangan itu dengan jalan
berjongkok, hingga di waktu orang itu berbuat
demikian, ia segera akan merangsek dan menendang
pula dengan ilmu tendangan yang sangat
dibanggakannya itu, ialah ilmu tendangan Lian-hwan
Sauw-tong-tui yang dahulu telah dipakai merobohkan
gurunya sendiri.
Tetapi, lebih cepat daripada kilat yang menyamber,
Poan Thian sama sekali tak menduga, kalau-kalau
perhitungannya itu meleset semua. Ia sendiri tidak
melihat cara bagaimana pihak lawannya telah
menyingkirkan diri dari tendangannya, seperti juga ia
tidak melihat cara bagaimana pihak lawannya telah
membalas menyerang kepadanya. Karena tahu-tahu
ketika ia menendang dengan sepenuhnya tenaga, ia
merasakan dirinya seperti juga dilemparkan ke udara,
hingga pada sebelum ia bisa mengucap sepatah kata
„Celaka!” ia sudah terbanting ke suatu tempat yang
terpisah kira-kira beberapa belas kaki jauhnya dari
tempat ia semula melakukan penyerangan tadi!
Orang banyak jadi bertampik sorak dengan riuh
sekali. Mereka sama sekali tak menyangka, kalau
orang itu bisa merobohkan Poan Thian dalam tempo
hanya sekejapan saja lamanya!
Tetapi Poan Thian yang lekas insyaf akan
kekeliruannya, bukan saja tidak jadi gusar mengalami
kekalahan itu, malah sebaliknya lekas berbangkit dan
membungkukkan badan memberi hormat pada orang
itu sambil berkata: „Tuan, nyatalah bahwa aku ini ada
seorang yang tak bisa mengenali seorang pandai,
hingga jikalau kau tidak memberikan sedikit
pengunjukkan ini, niscaya aku akan tetap buta buat
menganggap bahwa diri sendiri „Thian He Tee It”,
paling jago dan tidak ada lawannya di kolong langit
ini!”
„Itu di muka adalah rumahku sendiri,” Poan Thian
melanjutkan omongannya, „sudikah kiran ya tuan
mampir sebentar buat beromong-omong dan
memberikan sedikit petunjuk berharga kepada diriku
yang bodoh ini?”
Orang itu nampaknya tidak berkeberatan buat
mengabulkan permintaan pemuda itu.
„Aku yang rendah bernama Lie Kok Ciang,” begitulah
Poan Thian perkenalkan dirinya sendiri. „Tetapi belum
tahu apakah aku punya itu kehormatan akan
mengetahui she dan nama tuan yang mulia?”
„Aku bernama Hoa In Liong,” menerangkan orang
yang ditanya itu.
Poan Thian jadi girang dan lalu dengan berpimpin
tangan ia mengajak sahabat baru itu akan
berkunjung ke rumahnya.
Di sana In Liong telah diperkenalkan pada ayahnya
Lie Poan Thian, yang telah menanyakan she, nama
dan asal usulnya.
http://cerita-silat.mywapblog.com
Petualangan Tom Sawyer - Mark Twain Pendekar Rajawali Sakti - 122. Sepasang Pendekar Bertopeng Suara Dari Alam Gaib - Abdullah Harahap Sang Broker - John Grisham Sumpah Berdarah - Abdullah Harahap
Demikianlah pada pikirnya anak muda itu, yang
seolah-olah anak kerbau yang baru bertanduk itu, tak
takut akan harimau, juga berani menghadapi segala
sesuatu dengan sikap yang angkuh, sehingga ia lupa
bahwa orang gagah di kolong langit ini bukan hanya
dia seorang saja.
Itulah cacadnya orang yang baru mengerti ilmu silat
dengan serba sedikit!
Sebulan telah lewat semenjak An Chun San
meninggalkan rumah keluarga Lie.
Pada suatu pagi hari selagi Poan Thian melatih diri
seperti biasa, banyak orang telah berdiri menonton ia
bersilat dari kejauhan.
Di setiap waktu ia selesai bersilat, mereka itu tentulah
menyambut dengan tampik sorak yang riuh, hingga
hatinya Poan Thian jadi sangat gembira dan lambat
laun berpendapat bahwa dirinya „Thian He Tee It”,
nomor wahid di kolong langit.
Tetapi, apa mau, tengah orang banyak bertampik
sorak, mendadak ia mendengar ada seorang yang
mengejek kepadanya sambil tertawa-tawa, hingga
Poan Thian yang mendengar begitu, sudah tentu saja
merasa kurang senang dan lalu bercelingukan buat
melihat siapa adanya orang yang telah mengejeknya
itu. Dan tatkala ia memandang kian-kemari sekian
lamanya, akhirnya barulah diketahui bahwa orang itu
kira-kira berumur tigapuluh tahun, pakaiannya
sederhana. Orangnya tidak besar, tetapi badannya
tegap, ia berhidung mancung, bermulut lebar, dan apa
yang terutama paling menarik perhatiannya Poan
Thian, ialah sepasang matanya yang jeli dan seakan-
akan mengeluarkan sinar yang bisa menusuk
penglihatan orang yang diamat-amatinya. Kepada ia
ini Poan Thian lalu menghampiri, memberi hormat
serta menanyakan sebagai berikut:
„Oleh karena barusan aku mendengar kau mengejek
sambil tertawa-tawa, maka aku berpendapat bahwa
kau ini tentulah ada seorang yang paham ilmu silat.
Aku sendiri harus mengaku, bahwa ilmu
kepandaianku belum sempurna dan masih perlu
diperbaiki di bawah pimpinannya seorang yang ahli.
Maka apabila tuan sesungguhnya paham ilmu silat,
sudikah kiranya tuan memberikan petunjuk-petunjuk
yang berharga kepadaku?”
Orang itu kembali tertawa, tetapi mula-mula tidak
mau berkata apa-apa. Ia bersikap „masa bodoh”. Dan
tatkala Poan Thian mendesak akan minta
jawabannya, ia lalu menggelengkan kepalanya. Ia
menjawab: „Tidak, aku tidak pandai ilmu silat.”
Poan Thian jadi semakin tidak senang mendengar
jawaban itu.
„Apabila kau tidak pandai ilmu silat,” katanya, „perlu
apakah kau mesti mentertawai orang lain?”
„Semua orang adalah bebas buat tertawa,” sahut
orang itu sambil bersenyum. „Aku tertawa dengan
mulutku sendiri, seperti juga kau bersilat dengan kaki
tanganmu sendiri! Ada apakah hubungannya antara
mulutku dan kaki tanganmu?”
„Ah, kurang ajar benar orang ini!” pikir Lie Poan Thian
di dalam hatinya. „Jikalau aku selalu mengunjukkan
sikap yang mengalah, tidak mustahil orang
menganggap aku pengecut. Maka buat
mengunjukkan bahwa aku ini bukan seorang yang
penakut, aku perlu ajar sedikit adat kepada si
congkak ini.”
Kemudian dengan sikap gusar dan mata mendelik,
Poan Thian menuding pada orang itu sambil
membentak: „Hai, orang desa! Kau harus ketahui
bahwa ejekan terhadap seorang yang mengerti ilmu
silat, itulah berarti suatu hinaan yang bisa
dipersamakan dengan suatu tantangan berkelahi!
Tetapi karena mengingat bahwa kau tidak mengerti
ilmu silat, maka aku mau sudahi saja urusan ini,
apabila kau suka meminta maaf dengan berlutut di
tanah di hadapanku!”
„Apa, berlutut?” Orang itu jadi tertawa tergelak-gelak.
Suara tertawanya itu ada begitu nyaring, sehingga
menerbitkan gema yang telah mendatangkan rasa
herannya semua orang.
“Aku tidak biasa berlutut di hadapan sembarangan
orang,” katanya, „apalagi-anak yang baru lepas pupuk
seperti kau ini!”
Mendengar omongan itu. Lie Poan Thian bukan main
marahnya, hingga dengan tidak banyak bicara lagi ia
menjotos orang itu dengan menggunakan siasat
Song-twie-ciang, hingga orang banyak yang setiap
hari menyaksikan tenaga si pemuda yang
http://cerita-silat.mywapblog.com
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat - Hong San Khek
begitu kuat,
rata-rata jadi pada kuatir atas nasibnya orang itu, dan
pernyataan itu menjadi semakin kuat lagi, ketika
orang banyak pada mengatakan: „Celaka! Celaka!
Orang itu sesungguhnya tak berbeda dengan seekor
ular yang mencari pentungan!”
◄Y►
Tetapi sikapnya orang itu tinggal tenang-tenang saja,
walaupun Poan Thian menerjang bagaikan harimau
kelaparan. Ia kelihatan tersenyum sedikit, dan
sebegitu lekas kepalannya Lie Poan Thian mendekati
dadanya, lalu ia merangkapkan kedua tangannya
sambil menggunakan tipu-tipu Hun-sui-ciang, hingga
ketika ia menggerakkan tangan itu dengan kecepatan
seperti kilat, Poan Thian rasakan dari pihak orang itu
telah keluar semacam tenaga penolak yang telah
memaksa ia mundur ke belakang sehingga beberapa
tindak jauhnya. Maka dengan adanya sedikit
pengalaman ini, Poan Thian segera ketahui, bahwa
orang ini tentunya ada seorang ahli silat yang ilmu
lweekangnya sangat tinggi, tetapi oleh karena sudah
ketelanjuran ia memulai membuka penyerangan, apa
boleh buat ia hendak menjajal juga sampai dimana
kepandaiannya orang itu.
Begitulah ketika ia maju menerjang buat kedua
kalinya, Poan Thian telah berlaku jauh lebih hati-hati
daripada tadi, karena selain ia tidak menggunakan
kepalan lagi, iapun tidak mau „menyeruduk” dengan
sekenanya saja. Lalu ia menendang dengan
menggunakan tipu Tan-hui-tui, semacam ilmu
menendang yang ia biasa praktekkan setiap hari.
Maksud daripada mempergunakan ilmu tendangan ini,
ialah untuk memancing supaya orang itu berkelit atau
menghindarkan tendangan itu dengan jalan
berjongkok, hingga di waktu orang itu berbuat
demikian, ia segera akan merangsek dan menendang
pula dengan ilmu tendangan yang sangat
dibanggakannya itu, ialah ilmu tendangan Lian-hwan
Sauw-tong-tui yang dahulu telah dipakai merobohkan
gurunya sendiri.
Tetapi, lebih cepat daripada kilat yang menyamber,
Poan Thian sama sekali tak menduga, kalau-kalau
perhitungannya itu meleset semua. Ia sendiri tidak
melihat cara bagaimana pihak lawannya telah
menyingkirkan diri dari tendangannya, seperti juga ia
tidak melihat cara bagaimana pihak lawannya telah
membalas menyerang kepadanya. Karena tahu-tahu
ketika ia menendang dengan sepenuhnya tenaga, ia
merasakan dirinya seperti juga dilemparkan ke udara,
hingga pada sebelum ia bisa mengucap sepatah kata
„Celaka!” ia sudah terbanting ke suatu tempat yang
terpisah kira-kira beberapa belas kaki jauhnya dari
tempat ia semula melakukan penyerangan tadi!
Orang banyak jadi bertampik sorak dengan riuh
sekali. Mereka sama sekali tak menyangka, kalau
orang itu bisa merobohkan Poan Thian dalam tempo
hanya sekejapan saja lamanya!
Tetapi Poan Thian yang lekas insyaf akan
kekeliruannya, bukan saja tidak jadi gusar mengalami
kekalahan itu, malah sebaliknya lekas berbangkit dan
membungkukkan badan memberi hormat pada orang
itu sambil berkata: „Tuan, nyatalah bahwa aku ini ada
seorang yang tak bisa mengenali seorang pandai,
hingga jikalau kau tidak memberikan sedikit
pengunjukkan ini, niscaya aku akan tetap buta buat
menganggap bahwa diri sendiri „Thian He Tee It”,
paling jago dan tidak ada lawannya di kolong langit
ini!”
„Itu di muka adalah rumahku sendiri,” Poan Thian
melanjutkan omongannya, „sudikah kiran ya tuan
mampir sebentar buat beromong-omong dan
memberikan sedikit petunjuk berharga kepada diriku
yang bodoh ini?”
Orang itu nampaknya tidak berkeberatan buat
mengabulkan permintaan pemuda itu.
„Aku yang rendah bernama Lie Kok Ciang,” begitulah
Poan Thian perkenalkan dirinya sendiri. „Tetapi belum
tahu apakah aku punya itu kehormatan akan
mengetahui she dan nama tuan yang mulia?”
„Aku bernama Hoa In Liong,” menerangkan orang
yang ditanya itu.
Poan Thian jadi girang dan lalu dengan berpimpin
tangan ia mengajak sahabat baru itu akan
berkunjung ke rumahnya.
Di sana In Liong telah diperkenalkan pada ayahnya
Lie Poan Thian, yang telah menanyakan she, nama
dan asal usulnya.
http://cerita-silat.mywapblog.com
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat - Hong San Khek