Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ketika Barongsai Menari - 13

$
0
0
Cerita Cinta | Ketika Barongsai Menari | by V. Lestari | Ketika Barongsai Menari | Cersil Sakti | Ketika Barongsai Menari pdf

Seindah Mata Kristalnya - Mayoko Aiko Pelangi di Sengigi - Mayoko Aiko Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat - Hong San Khek The Heroes of Olympus 3: The Mark of Athena (Tanda Athena) The Heroes of Olympus 2: The Son of Neptune (Putra Neptunus) bag I

rah, Pak," sahut Adam.
  86
  "Oh ya? Saya baru tahu."
  "Soalnya rumah itu kan bukan sekadar hangus atau tinggal reruntuhan saja. Dia tak sama dengan yang lain. Tahu sendiri kan, Pak?"
  Tentu Harun paham. "Pak Adam nggak takut?"
  Adam tertawa. "Kalau takut saya tidak memilihnya, Pak! Istri saya tidak tahu apa-apa. Nyatanya dia tidak merasa aneh atau takut. Berarti memang tak perlu ditakutkan. Orang yang tahu tapi merasa macam-macam pasti cuma karena dihantui perasaannya saja. Ya kan, Pak?"
  Harun setuju. "Syukurlah kalau begitu. Kita memang tidak perlu percaya begituan. Barusan saya juga membicarakannya dengan Pak Henry dan Bu Maria. Mereka mengingatkan saya, hati-hati kalau bertandang ke rumah Pak Adam. Jangan sampai keceplosan bicara tentang Sonny di depan istri Pak Adam."
  Adam tertawa. "Ya, saya memang meminta mereka dan juga tetangga lain untuk tetap merahasiakan peristiwa itu dari istri saya."
  "Tapi sampai kapan, Pak? Suatu saat bisa saja dia tahu dari orang lain."
  "Memang betul. Saya ingin menunggu sampai dia melahirkan. Dia bukan orang yang penakut. Jadi bila saatnya tiba dia akan tahu bahwa sesungguhnya tak perlu takut karena dia sudah membuktikan sendiri."
  "Dan Pak Adam sendiri pun sudah membuktikan."
  "Oh ya. Rumah itu nyaman saja. Dan terus terang sebelum menempatinya saya sudah minta orang pintar untuk membersihkan rumah itu dari apa pun yang kemungkinan menghuninya."
  Harun terkejut. "Orang pintar? Dukun?"
  87
  "Iya. Bukannya saya percaya takhayul, tapi sekadar menenangkan perasaan saja."
  "Kalau Pak Adam memilih rumah yang lain, kan nggak perlu susah payah begitu."
  "Entahlah. Memang saya bisa saja memilih yang lain, toh perbedaan harganya juga nggak terlalu banyak, tapi saya sudah telanjur menyukai lokasinya."
  Topik perbincangan itu sudah tidak menyenangkan lagi bagi Adam. Ia berpikir untuk pulan g saja. Tapi yang masih ingin bicara sekarang adalah H arun. Dia terangsang oleh keingintahuan lebih lanjut. Se belum Adam menyatakan niatnya, Harun sudah keburu bertanya, "Apakah dulu Pak Adam sudah tertarik pada rumah itu? Maksud saya, sebelum terjadinya tragedi M ei sembilan delapan?"
  "Ah...," Adam tak segera menjawab. Keningnya berkerut. Terlalu jelas ekspresi ketidaksukaannya hingga Harun menyesali pertanyaannya. Ia bertanya begitu karena seingatnya dulu Adam tak pernah menunjuk secara jelas rumah yang jadi impiannya. Ia mungkin terdorong oleh perasaan takjub bahwa ternyata orang bisa juga memperoleh apa yang diimpikannya. Apakah dulu Adam juga memimpikan rumah yang dulu dimiliki keluarga Lie dan sekarang jadi miliknya itu?
  "Maksud saya tentu bukan rumah itu, tapi lokasinya," buru-buru ia memperbaiki pertanyaannya.
  "Ya, memang betul, Pak. Dan sesungguhnya rumah itu adalah salah satu rumah yang modelnya paling jelek. Bukan cuma luarnya, tapi juga dalamnya. Selalu muncul keinginan untuk merombak dan mengubahnya."
  88
  Ketika itu bus yang ditunggu-tunggu Harun berhenti. Ia melihatnya juga tapi membiarkan. Ucapan Adam lagi-lagi menggelitik perasaannya. "Kalau begitu Pak Adam sering juga ke situ, ya? Kenal baik?"
  "Ah, sering ke situ sih tidak. Cuma pernah saja. Saya kenal Sonny. Dia mengajak saya bekerja sama untuk suatu proyek."
  "Kasihan, ya. Malang betul nasibnya. Tadi saya juga keceplosan bicara di depan Ibu Maria. Wah, seru deh."
  "Keceplosan apa, Pak?"
  "Ibu Maria seperti menggugat kenapa saya tidak menggedor pintu rumah Sonny. Saya bilang, tak ada orang menyahut. Mungkin pergi. Tapi aneh juga sih. Kalau memang pergi kok dia ada dan terbunuh."
  "Artinya dia tidak pergi."
  "Saya melihatnya pergi naik motor."
  Adam tertegun. "Bapak melihatnya?"
  "Ah, saya juga tidak yakin apa itu dia atau bukan. Saya lihat belakangnya dan dia pakai helm."
  "Aneh juga, ya."
  "Ya. Saya jadi penasaran."
  "Apa yang mau Bapak lakukan?"
  "Entahlah. Tadi saya dan suami-istri Tan juga membicarakannya. Saya bilang, mungkin waktu itu Sonny kembali lagi untuk menyelamatkan barangnya. Lalu dia malah tak keburu menyelamatkan diri."
  "Ya. Pasti itulah yang terjadi."
  "Tapi..."
  "Tapi apa, Pak?"
  "Wah, itu bus saya sudah datang, Pak Adam.
  89
  Tadi sudah lewat satu. Saya pulang
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari

  dulu saja, ya? Besok masih bisa ketemu kok."
  "Baru jam delapan lewat, Pak. Bagaimana kalau kita makan mie rebus di warteg sambil mengobrol? Kayak masa lalu?"
  Harun tak sampai hati menolak. Sesungguhnya ia memang sudah lapar. Sudah lewat jam makan malam, tapi tak satu pun di antara warga yang dikunjunginya tadi yang mengajaknya makan.
  Adam menggandeng lengan Harun. Ia tak punya firasat tentang Kristin.
  Kristin sudah aman berada di dalam kamar bersalin. Henry dan Maria menunggu di ruang tunggu. Setiap lima menit Maria menjenguk Kristin di kamarnya, tetapi Kristin selalu menanyakan Adam hingga Maria jadi gelisah lalu keluar lagi untuk menyuruh Henry menelepon. Entah sudah berapa kali hal itu berlangsung, tetapi setiap kali di seberang sana Bi Iyah menjawab sama. Adam belum pulang!
  "Dia bilang mau mendampingi saya, Tante," keluh Kristin.
  "Sabarlah, Kris. Kan ada Tante. Dia tentu nggak nyangka secepat ini. Belum waktunya, kan? Sudah, jangan mikirin yang bukan-bukan. Konsentrasi saja pada satu hal. Anakmu!" hibur Maria gundah.
  Setengah jam setelah kedatangan mereka Kristin melahirkan seorang bayi lelaki yang sehat dengan cara normal. Tak ada kelainan atau kesulitan apa-apa. Bahkan dokter yang menangani sempat takjub karena persalinan bisa berlangsung cepat dan mulus. Padahal itu merupakan kelahiran yang pertama bagi Kristin.
  90
  Pada saat itu Adam baru meluncur dari rumahnya. Henry sempat menghubunginya lewat telepon. "Selamat, Dam! Kristin sudah melahirkan seorang anak lelaki. Mereka sehat dan baik-baik saja. Tenang. Tak usah ngebut dan gelisah."
  Pemberitahuan itu menenangkan perasaan Adam. Karena itu ia bisa konsentrasi pada pemikiran, alasan apa yang paling masuk akal yang bisa dikemukakan-nya kepada Kristin nanti hingga ia terpaksa tak bisa cepat pulang.
  Tetapi Kristin sedang diliputi kebahagiaan. Alasan apa pun yang diberikan Adam diterimanya tanpa pikir panjang. Tak ada keluhan apa-apa. Ia terlampau takjub melihat bayinya. Tampan sekali. Jadi makhluk cantik inilah yang selama ini menghuni perutnya dan menyepak-nyepaknya. Ia teringat pada saat-saat ketika ia tak merasakan gerakannya. Betapa takut dan sedihnya. Kemudian gerakan yang terasa kembali itu benar-benar bagai keajaiban. Ah, kecil-kecil sudah bisa bercanda! Nanti bila kau sudah lebih besar, kau akan jadi teman bermainku!
  Adam merasa lega karena Kristin tak memarahinya. Tetapi perhatian Kristin kepada si bayi membuat ia merasa terlupakan. Walaupun ia juga merasa bahagia, tapi ada perasaan bahwa kebahagiaannya tidak sebesar kebahagiaan Kristin. Tentu ia sadar, yang namanya kebahagiaan itu tak bisa diukur apalagi dibedakan antara yang seorang dengan yang lain. Tetapi ia menganggap sikap Kristin berlebihan. Lihat wajahnya yang berbinar dan matanya yang bercahaya. Tatapannya terus-menerus kepada si bayi. Dan mulutnya mengocehkan kata-kata sayang bagai tak mau ber-
  91
  henti. Seingatnya ia tak pernah mendapatkan perhatian seperti itu.
  Ia sadar, itulah sebabnya kenapa Kristin tidak mempersoalkan ketidakhadirannya saat melahirkan. Kristin seolah tidak peduli ke mana saja ia pergi dan apa saja yang dilakukannya. Padahal biasanya Kristin manja dan jengkel kalau ditinggalkan sering-sering. "Aku ingin kau mendampingiku kalau melahirkan, Mas," begitu rengeknya selalu kalau ia mau meninggalkan rumah. Sekarang sama sekali tak ada penyesalan atau komplain. Padahal kata Maria, saat be rada di kamar bersalin Kristin terus-menerus menanyak an dirinya. Pada awalnya ia memang merasa lega kare na tidak dimarahi, tapi sekarang ia jengkel. Bukankah l ebih menyenangkan bila Kristin memarahi dan menyes alinya? Itu berarti Kristin ingat dan peduli padanya.
  "Aku mendapatkan nama yang bagus untuknya, Mas!" seru Kristin.
  "Nama? Bukankah kita sudah sepakat untuk menamakannya Sigit kalau lelaki?"
  "Nggak, ah. Itu kok kayak nama konglomerat. Ada nama lain yang bagus. Jason!"
  "Apa?"
  Adam terkejut.
  92
  IV
  New York City, awal bulan Juni.
  Thomas lie atau Thomas Lee, biasa dipanggil Tom oleh teman dan rekan-rekannya. Atau Dokter Lee oleh pasien-pasiennya. Dia kelahiran Indonesia dan telah menjadi warga nega
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari

 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>