Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ketika Barongsai Menari - 26

$
0
0
Cerita Cinta | Ketika Barongsai Menari | by V. Lestari | Ketika Barongsai Menari | Cersil Sakti | Ketika Barongsai Menari pdf

Serial Dewi Ular - 32. Hantu Kesepian Sunshine Becomes You - Ilana Tan Aisyah Putri - Asma Nadia Dendam Berkarat Dalam Kubur - Abdullah Harahap Goosebumps 40. Boneka Hidup Beraksi III

napa tiba-tiba? Ah, sama sekali tidak tiba-tiba. Ia teringat pada nama bintang film pujaannya semasa remaja. Tampaknya mereka tidak percaya, lebih-lebih Adam. Tetapi mereka tidak mendesaknya lebih jauh. Mungkin karena sadar, tak bisa mengorek kebenaran dari mulutnya. Bukankah ia sendiri juga tidak tahu? Nama itu muncul begitu saja dalam pikirannya! Lalu ia menganggapnya bagus.
  Adam tidak senang. Itu tampak jelas. Ia juga tidak mau memanggil "Son" seperti yang lain. Ia lebih suka memanggil "Jeis". Sebenarnya sama saja. Yang pertama adalah penggalan bagian belakang, yang kedua adalah penggalan bagian depan. Itu cuma masalah selera. Tapi naluri Kristin mengatakan, itu bukan masalah selera. Sepertinya Adam sengaja menghindari panggilan "Son" karena sesuatu yang lain. Apakah itu mengingatkannya kepada Sonny yang tewas di rumah itu? Adam mengenal Sonny. Mereka pernah bekerja sama meskipun cuma sebentar. Mungkin wajar kalau dia merasa tidak enak. Tapi kalau memang begitu kenapa Adam memilih rumah ini untuk dihuni? Dua hal itu menimbulkan kontradiksi.
  Renungan Kristin terputus. Jason menangis.
  166
  VI
  New York City - awal bulan Juni.
  Pukul enam pagi Susan dan Tom sudah mulai sarapan. Mereka sudah rapi berpakaian. Tom ada jadwal operasi pukul tujuh tiga puluh. Sedang Susan punya janji dengan orang yang harus diwawancarainya pukul sepuluh. Tapi ia bermaksud berangkat pagi-pagi karena ingin mengenali medan lebih dulu. Alamatnya di Ridgeport, New Jersey.
  "Kenal nama Barnas Topan, Tom?" tanya Susan sambil mengunyah roti.
  "Sepertinya pernah dengar. Diakah yang mau kau-temui?"
  "Ya. Dia terkenal di Indonesia. Mantan konglomerat, dulu salah satu orang terkaya di Indonesia. Sekarang bermukim bersama keluarganya di sana. Kabarnya dia berusaha di bidang hotel dan restoran."
  "Jadi dia gerah di Indonesia?"
  Susan tertawa. "Mungkin."
  "Itukah yang mau kauselidiki?"
  "Ah, bukan. Masalah penyelidikan bukan bagianku. Lagi pula aku sudah berjanji tidak akan bicara
  167
  politik. Semata-mata cuma masalah sosial dan human interest."
  "Pantasnya menarik."
  "Ya. Kukira begitu. Itu sebabnya Bos menugasiku."
  "Ngomong-ngomong, Sus. Sudah konfirmasi lagi dengan orang itu tentang kedatanganmu nanti?"
  "Belum. Kukira perlu juga, ya? Boleh pinjam lagi teleponmu, Tom?"
  "Hei, jangan sungkan begitu. Pakai sajalah kalau kau membutuhkan."
  Sementara Susan menelepon, Tom memberesi meja. Ia orang yang rapi dan sudah terbiasa mengerjakan segala urusan rumahnya sendiri.
  Kemudian Susan kembali dengan wajah masam. "Untung saja konfirmasi dulu, Tom. Ia membatalkan rencana hari ini karena ada urusan mendadak. Katanya, aku bisa saja datang dan bertemu dengan istrinya. Tapi nggak lengkap dong. Aku perlu mewawancarai mereka secara utuh."
  Diam-diam Tom malah mensyukuri hal itu. "Lantas kapan bisanya dia?"
  "Besok! Tapi besok konfirmasi lagi, katanya. Dasar!" Susan menggerutu.
  Tom tersenyum. Itu berarti dia bisa mendapat waktu lebih lama lagi bersama Susan. Dan kalau besok batal lagi...
  "Jangan kecewa, Sus. Ambil hikmahnya. Bukankah kau ingin jalan-jalan di sini? Nah, ini kesempatan!"
  "Jalan-jalan sendiri? Kau mesti bekerja sekarang, kan?" Susan membelalak. Ia mengira Tom berniat bolos bekerja. Bagaimana pula nasib orang yang sudah dipersiapkan untuk operasi?
  168
  "Sekarang aku memang mesti bekerja. Tapi nanti sore aku sudah bebas. Paling sampai jam empat, Sus. Kuantar kau jalan-jalan berkeliling. Bagaimana?"
  "Oke!" seru Susan bersemangat.
  "Sekarang kau santai saja di rumah. Atau jalan-jalan keliling apartemen."
  "Aku ikut kau saja! Boleh?"
  "Tentu saja boleh. Asal jangan ikut masuk ruang bedah!"
  Di lantai bawah mereka berpapasan dengan Ron yang berkeringat. Ia baru pulang lari pagi. Wajah Ron segera tampak ceria begitu berhadapan dengan Susan. "Wah, siap berangkat, Sus? Kau mengantarkannya, Tom?"
  "Mana bisa, Ron. Kau tahu betul aku punya jadwal!"
  "Apa kau sendiri tidak punya jadwal pagi ini, Ron?" tanya Susan.
  "Yang paling pagi jam sepuluh, Sus."
  Setelah mengetahui bahwa Susan tidak jadi berangkat ke New Jersey, Ron memutuskan untuk ikut bersama mereka berdua menuju rumah sakit. Saat it
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari

  u udara tidak terlalu panas. Dan jarak ke rumah sakit cukup dekat untuk ditempuh berjalan kaki.
  Sepanjang jalan mereka mengobrol bertiga. Dengan kehadiran Ron maka percakapan pun berlangsung dalam bahasa Inggris. Lalu terdengar suara orang memanggil-manggil dari belakang. "Tunggu aku!" Ternyata Danny Martin. Dia ingin ikut bergabung. Dari penampilannya jelas dia juga punya jadwal di rumah sakit.
  169
  Percakapan bertambah seru. Tetapi buat Tom suasana terlalu ramai. Kedua orang yang bergabung itu jelas cuma ingin mengajak Susan mengobrol. Maklum kenalan baru. Tom merasa kehilangan privasi. Tapi ia tidak punya alasan untuk mengeluh.
  Susan mengagumi rumah sakit yang tampak begitu luas dan modern. Lebih-lebih waktu membaca tulisan di atas pintu masuk: For the Poor of New York, without Regard to Race, Creed, or Color. "Luar biasa!" serunya. Sayang Tom tidak punya cukup waktu untuk menjelaskan lebih banyak mengenai tempatnya bekerja itu. Ia harus berpisah dari Susan. Tapi Tom senang karena Susan bisa kembali pulang bersama Ron. Ada orang yang mengawal Susan. Memang lingkungan di situ terbilang aman, tetapi siapa tahu ada saja orang yang berniat mengganggu. Apalagi Susan orang baru.
  Danny mengawasi kepergian Ron bersama Susan dengan ekspresi iri.
  "Jadi dia berangkat ke New Jersey besok, Tom?"
  "Ya."
  "Kau mengantarkannya?"
  "Besok pagi aku ada jadwal, Dan. Dia toh mandiri. Tak perlu diantar-antar," sahut Tom. Dia agak kesal karena baik Ron maupun Danny sama-sama mengajukan pertanyaan yang sama seolah dia tidak bersikap gallant kepada Susan.
  "Ya, ya. Tentu saja. Reporter harus mandiri, bukan?"
  Mereka masuk ke lift.
  "Nanti sore kau ada acara bersama Susan, Tom?" tanya Danny.
  170
  "Oh ya. Dia ingin sekali melihat New York. Belum pernah ke sini."
  "Mau jalan-jalan, ya? Ikut dong. Kita pakai mobilku. Aku paham betul bagian-bagian menarik kota ini."
  Tom mengerutkan keningnya. Dia sendiri tak punya mobil. Tetapi itu tidak penting. Yang paling penting adalah suasana privasi. Memang Susan bukan kekasih atau teman dekat, tapi dalam waktu yang singkat dan penuh keterbatasan itu ia merasakan kedekatan yang unik dengan Susan. Dia adalah seseorang dari latar belakang yang sama dan punya hubungan dengan Sonny. Sudah lama pula tak bertemu dan waktu kebersamaan mereka begitu mahal. Susan tak bisa disamakan dengan teman-temannya yang lain yang ditemuinya setiap hari dan setiap saat.
  Danny memahami ekspresi Tom. Ia tertawa menggoda. "Oke! Aku paham hatimu! Bercanda saja kok. Kalau aku dibolehkan ikut, nanti aku cuma jadi pengganggu. Takut juga sih kalau-kalau kalian bicara dalam bahasa Indonesia."
  Tom tersenyum lega. Ia memang akan sulit melarang Danny ikut. Apalagi bila Susan sendiri tidak keberatan.
  "Terima kasih, Dan!" katanya.
  "Kau boleh pakai mobilku, Tom!" Danny menawarkan.
  "Ah, tidak. Terima kasih, Dan. Kau tahu aku tak mahir menyetir." "Payah, kau!"
  Danny menyikut lengan Tom. Mereka tertawa. Tom memang serius mengakuinya. Semua temannya
  171
  tahu bahwa ia benar-benar tidak pandai menyetir mobil. Apalagi mobil berbodi besar. Sekadar menjalankannya saja tentu tak ada kesulitan. Tapi bila harus memperkirakan jarak ruang antara mobilnya dengan mobil lain atau benda apa saja, apalagi kalau ruangnya sempit, maka kesulitan akan muncul. Ia akan menabrak atau menyerempet kanan-kiri. Pengalaman sekali dua kali sudah cukup untuk membuatnya jera. Bodoh sekali kalau orang membiarkan diri jatuh berulang kali di lubang yang sama.
  Mereka keluar di lantai delapan belas. Lalu bersama-sama menuju counter di mana seorang perawat wanita berada di belakang meja. Beberapa rekan dokter dan perawat berseliweran di ruang itu. Danny dan Tom berhadapan dengan Evita Lopez, perawat berusia tiga puluhan berwajah Latin. Kedua dokter dan Evita saling menyapa "Selamat pagi!" Tetapi Danny menambahkan, "Tambah cantik saja, Ev!" yang disambut Evita dengan senyum senang. Kebiasaan Danny yang suka memuji itu memang sudah dikenal para perawat yang biasa berhubungan dengan dia. Tetapi biarpun kualitasnya obralan, tetaplah kedengaran menyenangkan. Apalagi bila yang mengucapkannya setamp
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari

 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>