Cerita Cinta | Ketika Barongsai Menari | by V. Lestari | Ketika Barongsai Menari | Cersil Sakti | Ketika Barongsai Menari pdf
Seindah Mata Kristalnya - Mayoko Aiko Pelangi di Sengigi - Mayoko Aiko Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat - Hong San Khek The Heroes of Olympus 3: The Mark of Athena (Tanda Athena) The Heroes of Olympus 2: The Son of Neptune (Putra Neptunus) bag I
an bintang film Kevin Costner.
Evita memiliki daftar kegiatan yang berlangsung di lantai delapan belas. Dia yang bertanggung jawab penuh mengatur semuanya. Dokter mana saja dengan kru asisten serta perawat siapa saja yang bertugas di ruang nomor berapa, operasi jenis apa dan pasiennya siapa, berlangsungnya jam berapa. Mereka yang punya tugas di lantai delapan belas harus berhubungan dengan Evita terlebih dulu.
172
Tak lama kemudian Tom dan Danny berpisah menuju ruang kerja masing-masing.
Susan dan Ron duduk di kantin lantai dasar bangunan apartemen. Mereka menikmati roti dengan kapucino hangat. Ron sudah mandi dan berpakaian rapi meskipun belum siap berangkat ke rumah sakit. Ia tak ingin tampak kontras dengan Susan yang tampak elegan dengan setelan celana panjang hitam, blus putih, dan blazer hitam, penampilan wanita eksekutif kantoran. Susan belum sempat ganti pakaian, bahkan belum kembali ke apartemen Tom. Kalau ia pulang, di samping untuk berganti pakaian, ia bermaksud sekalian merapikan apartemen Tom, membersihkan kamar mandi, dapur dan sebagainya. Lalu beristirahat sambil menunggu kepulangan Tom. Dengan demikian ia bisa mengefisienkan waktu.
Beberapa kali obrolan mereka diinterupsi teman-teman Ron seapartemen yang akan sarapan. Mereka mendekati dan menyapa, sengaja untuk diperkenalkan kepada Susan. Setiap wajah baru di situ segera menarik perhatian. Ron bangga tapi juga kesal. Seharusnya dia mengajak Susan sarapan di tempat lain, di mana tak banyak orang mengenalnya.
"Indonesia terkenal juga di sini ya, Ron?"
"Oh iya. Kan ada Tom di sini. Dia adalah duta bangsa kalian."
Susan terdiam. Dalam situasinya sekarang ia tak ingin menjadi duta bangsa. Ia tak ingin bercerita mengenai keindahan tanah airnya. Tak ada lagi yang indah baginya sekarang.
Ron mengamati wajah Susan dengan simpati. Ia
173
Sudah mendengar cerita tentang tragedi yang menimpa adik Tom, Sonny, kekasih Susan.
"Ceritakan tentang Tom dengan Viv, Ron," pinta Susan. "Aku sudah tahu garis besarnya dari Tom sendiri. Tetapi bagaimana tentang mereka dari teman-temannya, aku ingin tahu juga."
Sebenarnya Ron tidak begitu suka mengulang cerita itu. Di samping menyedihkan, ia khawatir menghabiskan waktu yang begitu berharga. Ia tidak banyak mengenal wanita Asia. Satu-satunya yang akrab adalah Vivian. Di rumah sakit ada beberapa paramedis keturunan Asia. Ada Cina, Korea, Filipina, dan Jepang. Dari pengamatan sekilas ia menyimpulkan mereka rata-rata berperilaku halus dan lembut, peka dan penuh perasaan. Karena itu mereka disukai pasien. Apakah itu karena panggilan profesi?
"Tom itu luar biasa," Ron menyimpulkan ceritanya. "Ia bisa mengatasi stresnya dengan kekuatan sendiri. Tak ada ahli yang membantunya. Padahal banyak yang bersedia. Rumah sakit punya banyak, kan? Ya, mulanya dia mengerikan, Sus."
"Mengerikan?" Susan kaget.
"Oh, jangan cemas begitu. Kan sudah lewat," hibur Ron. "Maksudku, kami khawatir dia mencederai diri sendiri. Sebabnya, beberapa kali kami dapati dia termangu di taman, padahal saat itu musim dingin membekukan. Kami harus menyeretnya pulang. Lucunya, begitu pulang dia biasa lagi. Katanya, dia begitu intens berpikir sampai tidak merasakan udara dingin. Jadi bukan sengaja. Entah benar entah tidak. Tapi ngomongnya serius. Jadi selama waktu itu kami terus menjaga dia. Aku dan beberapa teman ber-
174
gantian menemaninya di apartemennya. Tetapi dalam soal pekerjaan dia tetap prima. Pasti karena tanggung jawabnya yang tinggi."
"Untunglah dia punya teman yang baik."
"Itu gunanya teman, Sus."
"Tapi teman juga yang menggoda Viv, bukan?"
Ron tersipu. Untunglah aku berkulit hitam, pikirnya.
"Sori, Ron," Susan cepat-cepat menyambung ucapannya. "Bagaimanapun, dalam hidup ini kita membutuhkan teman."
"Ya. Aku yakin kau juga punya banyak teman di Wellington."
Susan tertawa. "Aku tidak punya teman, Ron."
Ron menatap tidak percaya. "Ah, masa?! Kau pasti membutuhkan teman. Apakah di sana cuma ada domba?"
Susan tertawa lagi. "Oh, teman sih banyak, Ron. Tapi yang akrab tak ada."
Ron menggeleng. "Pasti bukan karena tak ada. Tapi kau yang tak memberi kesempatan. Keakraban
http://cerita-silat.mywapblog.com
itu harus dibina dari kedua pihak."
Susan termenung. "Ya. Kukira kau benar. Mungkin aku orang yang tertutup, ya."
"Kelihatannya sih tidak. Kepadaku kau cerita banyak."
"Mungkin lihat orang juga. Kebetulan aku bisa bertemu dengan orang yang cocok."
Ron merasa hidungnya menggelembung. Senang juga dianggap cocok oleh Susan.
"Kalau kau tak punya teman, bagaimana kau bisa survive, Sus?"
175
"Entahlah. Lupa tuh."
"Kau lebih hebat daripada Tom, Sus. Bisa mengatasi sendirian."
"Aku tidak sama dengan Tom, Ron. Pengalaman kami lain. Tom sudah terikat dengan Viv lewat janji suci perkawinan. Mereka sudah menjadi satu. Aku dengan Sonny belum. Sonny dipisahkan dariku oleh maut. Sesuatu yang tak terhindarkan. Tetapi Tom dipisahkan oleh pengkhianatan. Sakit Tom lebih berat daripada sakitku."
"Tapi kau masih sakit hati."
Sesudah mengatakan itu, Ron menyesal. Seharusnya ia tidak menyinggung. Tetapi Susan tidak tampak tersinggung. "Entahlah, Ron. Aku sudah tidak memikirkannya lagi. Orang bilang, waktu bisa menyembuhkan. Apa iya begitu? Waktu Tom membujukku untuk ikut pulang menjenguk orangtuaku, aku sempat ragu-ragu. Tapi kemudian aku mengeras lagi. Aku ingat sumpahku."
"Jadi karena itu?"
"Antara iya dan tidak. Ingat sumpah berarti ingat semuanya. Maka aku pun kembali pada kondisiku dulu, meskipun tak begitu segar lagi. Aku tidak ingin kembali ke negara di mana aku ditolak dan tidak diakui. Kecuali aku datang sebagai warga negara dari negara lain."
"Yang melakukan hal itu adalah sekelompok kriminal, Sus."
"Oh iya. Tapi siapa dulu yang ada di baliknya. Ah, sudahlah, Ron. Nanti darahku jadi mendidih lagi."
"Ya, ya. Aku tak akan menyinggung lagi soal itu."
176
"Sekarang ceritalah tentang dirimu, Ron. Dari tadi melulu tentang diriku dan Tom."
Kupikir, kau tidak akan bertanya, pikir Ron. Memang tidak banyak yang bisa dibanggakan dari dirinya, tetapi pertanyaan itu menandakan perhatian.
"Aku dilahirkan di tengah kemiskinan di bagian kota New York yang paling kumuh. Pernah dengar tentang Harlem?"
Susan mengangguk. "Ya. Pernah."
"Ayahku bekerja sebagai tukang angkut sampah kota. Ibuku jadi pembantu dan tukang masak sebuah keluarga kaya meskipun sama-sama berkulit hitam. Aku punya dua kakak lelaki dan seorang adik perempuan. Salah seorang kakakku jadi pengedar narkotik lalu ditembak polisi dan tewas. Kakak satunya lagi ikut kawanan geng berandal. Dalam pertempuran dengan geng lainnya ia juga tewas. Orangtuaku tentu saja sangat terpukul. Tinggal aku dan adikku yang tersisa. Mereka jadi hati-hati menjaga kami. Terutama ibuku yang tak henti-henti menasihati kami agar jadi orang baik-baik. Aku melihat ia berdoa siang-malam. Doanya diucapkan keras-keras. Yang didoakannya melulu kami, anak-anaknya."
Susan sangat tersentuh. "Doanya terkabul, bukan?"
"Ya. Aku jadi diriku yang sekarang ini. Dan adikku sudah berkeluarga dengan kehidupan yang cukup mapan."
"Sungguh orangtua yang luar biasa."
"Mereka memang bukan manusia super, Sus. Tapi yang kukagumi adalah kemampuan mereka belajar dari kesalahan. Pada mulanya ayahku orang yang ringan tangan. Suka memukuli anak-anaknya. Setelah
177
ia kehilangan dua orang anak, ia benar-benar berubah. Ia belajar mencintai. Demikian pula ibuku. Cinta merekalah yang melindungi dan membimbing aku dan adikku hingga tidak sampai mengikuti jejak kedua kakakku. Padahal lingkungan tempat tinggal kami sungguh tidak mendukung. Di sana sarang penjahat, pengedar, pelacur, dan orang-orang yang dianggap sampah masyarakat."
Susan sangat terkesan. "Di mana mereka sekarang? Masih ada, kan?"
"Ayahku sudah meninggal. Tapi ibuku masih hidup. Dia tinggal bersama adikku."
"Masih di Harlem?"
"Oh, tidak. Mereka sudah pindah ke San Fr ancisco."
"Menurutku, bukan cuma orangtuamu yang hebat. Tapi kau dan adikmu juga."
"Ah, biasa-biasa saja. Aku kebetulan mendapat beasiswa."
"Kau tentu pintar."
"Kau juga."
Mereka sama-sama tersenyum. Lalu Ron melihat arlojinya.
"Sudah tiba saatnya?" tanya Susan.
"Ya. Sayang sekali. Betapa cepatnya waktu berlalu bila kita masih ingin menikmatinya."
Mereka berdiri, sama-sama berjalan ke lift.
"Nanti kita bisa surat-suratan
http://cerita-silat.mywapblog.com
Seindah Mata Kristalnya - Mayoko Aiko Pelangi di Sengigi - Mayoko Aiko Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat - Hong San Khek The Heroes of Olympus 3: The Mark of Athena (Tanda Athena) The Heroes of Olympus 2: The Son of Neptune (Putra Neptunus) bag I
an bintang film Kevin Costner.
Evita memiliki daftar kegiatan yang berlangsung di lantai delapan belas. Dia yang bertanggung jawab penuh mengatur semuanya. Dokter mana saja dengan kru asisten serta perawat siapa saja yang bertugas di ruang nomor berapa, operasi jenis apa dan pasiennya siapa, berlangsungnya jam berapa. Mereka yang punya tugas di lantai delapan belas harus berhubungan dengan Evita terlebih dulu.
172
Tak lama kemudian Tom dan Danny berpisah menuju ruang kerja masing-masing.
Susan dan Ron duduk di kantin lantai dasar bangunan apartemen. Mereka menikmati roti dengan kapucino hangat. Ron sudah mandi dan berpakaian rapi meskipun belum siap berangkat ke rumah sakit. Ia tak ingin tampak kontras dengan Susan yang tampak elegan dengan setelan celana panjang hitam, blus putih, dan blazer hitam, penampilan wanita eksekutif kantoran. Susan belum sempat ganti pakaian, bahkan belum kembali ke apartemen Tom. Kalau ia pulang, di samping untuk berganti pakaian, ia bermaksud sekalian merapikan apartemen Tom, membersihkan kamar mandi, dapur dan sebagainya. Lalu beristirahat sambil menunggu kepulangan Tom. Dengan demikian ia bisa mengefisienkan waktu.
Beberapa kali obrolan mereka diinterupsi teman-teman Ron seapartemen yang akan sarapan. Mereka mendekati dan menyapa, sengaja untuk diperkenalkan kepada Susan. Setiap wajah baru di situ segera menarik perhatian. Ron bangga tapi juga kesal. Seharusnya dia mengajak Susan sarapan di tempat lain, di mana tak banyak orang mengenalnya.
"Indonesia terkenal juga di sini ya, Ron?"
"Oh iya. Kan ada Tom di sini. Dia adalah duta bangsa kalian."
Susan terdiam. Dalam situasinya sekarang ia tak ingin menjadi duta bangsa. Ia tak ingin bercerita mengenai keindahan tanah airnya. Tak ada lagi yang indah baginya sekarang.
Ron mengamati wajah Susan dengan simpati. Ia
173
Sudah mendengar cerita tentang tragedi yang menimpa adik Tom, Sonny, kekasih Susan.
"Ceritakan tentang Tom dengan Viv, Ron," pinta Susan. "Aku sudah tahu garis besarnya dari Tom sendiri. Tetapi bagaimana tentang mereka dari teman-temannya, aku ingin tahu juga."
Sebenarnya Ron tidak begitu suka mengulang cerita itu. Di samping menyedihkan, ia khawatir menghabiskan waktu yang begitu berharga. Ia tidak banyak mengenal wanita Asia. Satu-satunya yang akrab adalah Vivian. Di rumah sakit ada beberapa paramedis keturunan Asia. Ada Cina, Korea, Filipina, dan Jepang. Dari pengamatan sekilas ia menyimpulkan mereka rata-rata berperilaku halus dan lembut, peka dan penuh perasaan. Karena itu mereka disukai pasien. Apakah itu karena panggilan profesi?
"Tom itu luar biasa," Ron menyimpulkan ceritanya. "Ia bisa mengatasi stresnya dengan kekuatan sendiri. Tak ada ahli yang membantunya. Padahal banyak yang bersedia. Rumah sakit punya banyak, kan? Ya, mulanya dia mengerikan, Sus."
"Mengerikan?" Susan kaget.
"Oh, jangan cemas begitu. Kan sudah lewat," hibur Ron. "Maksudku, kami khawatir dia mencederai diri sendiri. Sebabnya, beberapa kali kami dapati dia termangu di taman, padahal saat itu musim dingin membekukan. Kami harus menyeretnya pulang. Lucunya, begitu pulang dia biasa lagi. Katanya, dia begitu intens berpikir sampai tidak merasakan udara dingin. Jadi bukan sengaja. Entah benar entah tidak. Tapi ngomongnya serius. Jadi selama waktu itu kami terus menjaga dia. Aku dan beberapa teman ber-
174
gantian menemaninya di apartemennya. Tetapi dalam soal pekerjaan dia tetap prima. Pasti karena tanggung jawabnya yang tinggi."
"Untunglah dia punya teman yang baik."
"Itu gunanya teman, Sus."
"Tapi teman juga yang menggoda Viv, bukan?"
Ron tersipu. Untunglah aku berkulit hitam, pikirnya.
"Sori, Ron," Susan cepat-cepat menyambung ucapannya. "Bagaimanapun, dalam hidup ini kita membutuhkan teman."
"Ya. Aku yakin kau juga punya banyak teman di Wellington."
Susan tertawa. "Aku tidak punya teman, Ron."
Ron menatap tidak percaya. "Ah, masa?! Kau pasti membutuhkan teman. Apakah di sana cuma ada domba?"
Susan tertawa lagi. "Oh, teman sih banyak, Ron. Tapi yang akrab tak ada."
Ron menggeleng. "Pasti bukan karena tak ada. Tapi kau yang tak memberi kesempatan. Keakraban
http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari
itu harus dibina dari kedua pihak."
Susan termenung. "Ya. Kukira kau benar. Mungkin aku orang yang tertutup, ya."
"Kelihatannya sih tidak. Kepadaku kau cerita banyak."
"Mungkin lihat orang juga. Kebetulan aku bisa bertemu dengan orang yang cocok."
Ron merasa hidungnya menggelembung. Senang juga dianggap cocok oleh Susan.
"Kalau kau tak punya teman, bagaimana kau bisa survive, Sus?"
175
"Entahlah. Lupa tuh."
"Kau lebih hebat daripada Tom, Sus. Bisa mengatasi sendirian."
"Aku tidak sama dengan Tom, Ron. Pengalaman kami lain. Tom sudah terikat dengan Viv lewat janji suci perkawinan. Mereka sudah menjadi satu. Aku dengan Sonny belum. Sonny dipisahkan dariku oleh maut. Sesuatu yang tak terhindarkan. Tetapi Tom dipisahkan oleh pengkhianatan. Sakit Tom lebih berat daripada sakitku."
"Tapi kau masih sakit hati."
Sesudah mengatakan itu, Ron menyesal. Seharusnya ia tidak menyinggung. Tetapi Susan tidak tampak tersinggung. "Entahlah, Ron. Aku sudah tidak memikirkannya lagi. Orang bilang, waktu bisa menyembuhkan. Apa iya begitu? Waktu Tom membujukku untuk ikut pulang menjenguk orangtuaku, aku sempat ragu-ragu. Tapi kemudian aku mengeras lagi. Aku ingat sumpahku."
"Jadi karena itu?"
"Antara iya dan tidak. Ingat sumpah berarti ingat semuanya. Maka aku pun kembali pada kondisiku dulu, meskipun tak begitu segar lagi. Aku tidak ingin kembali ke negara di mana aku ditolak dan tidak diakui. Kecuali aku datang sebagai warga negara dari negara lain."
"Yang melakukan hal itu adalah sekelompok kriminal, Sus."
"Oh iya. Tapi siapa dulu yang ada di baliknya. Ah, sudahlah, Ron. Nanti darahku jadi mendidih lagi."
"Ya, ya. Aku tak akan menyinggung lagi soal itu."
176
"Sekarang ceritalah tentang dirimu, Ron. Dari tadi melulu tentang diriku dan Tom."
Kupikir, kau tidak akan bertanya, pikir Ron. Memang tidak banyak yang bisa dibanggakan dari dirinya, tetapi pertanyaan itu menandakan perhatian.
"Aku dilahirkan di tengah kemiskinan di bagian kota New York yang paling kumuh. Pernah dengar tentang Harlem?"
Susan mengangguk. "Ya. Pernah."
"Ayahku bekerja sebagai tukang angkut sampah kota. Ibuku jadi pembantu dan tukang masak sebuah keluarga kaya meskipun sama-sama berkulit hitam. Aku punya dua kakak lelaki dan seorang adik perempuan. Salah seorang kakakku jadi pengedar narkotik lalu ditembak polisi dan tewas. Kakak satunya lagi ikut kawanan geng berandal. Dalam pertempuran dengan geng lainnya ia juga tewas. Orangtuaku tentu saja sangat terpukul. Tinggal aku dan adikku yang tersisa. Mereka jadi hati-hati menjaga kami. Terutama ibuku yang tak henti-henti menasihati kami agar jadi orang baik-baik. Aku melihat ia berdoa siang-malam. Doanya diucapkan keras-keras. Yang didoakannya melulu kami, anak-anaknya."
Susan sangat tersentuh. "Doanya terkabul, bukan?"
"Ya. Aku jadi diriku yang sekarang ini. Dan adikku sudah berkeluarga dengan kehidupan yang cukup mapan."
"Sungguh orangtua yang luar biasa."
"Mereka memang bukan manusia super, Sus. Tapi yang kukagumi adalah kemampuan mereka belajar dari kesalahan. Pada mulanya ayahku orang yang ringan tangan. Suka memukuli anak-anaknya. Setelah
177
ia kehilangan dua orang anak, ia benar-benar berubah. Ia belajar mencintai. Demikian pula ibuku. Cinta merekalah yang melindungi dan membimbing aku dan adikku hingga tidak sampai mengikuti jejak kedua kakakku. Padahal lingkungan tempat tinggal kami sungguh tidak mendukung. Di sana sarang penjahat, pengedar, pelacur, dan orang-orang yang dianggap sampah masyarakat."
Susan sangat terkesan. "Di mana mereka sekarang? Masih ada, kan?"
"Ayahku sudah meninggal. Tapi ibuku masih hidup. Dia tinggal bersama adikku."
"Masih di Harlem?"
"Oh, tidak. Mereka sudah pindah ke San Fr ancisco."
"Menurutku, bukan cuma orangtuamu yang hebat. Tapi kau dan adikmu juga."
"Ah, biasa-biasa saja. Aku kebetulan mendapat beasiswa."
"Kau tentu pintar."
"Kau juga."
Mereka sama-sama tersenyum. Lalu Ron melihat arlojinya.
"Sudah tiba saatnya?" tanya Susan.
"Ya. Sayang sekali. Betapa cepatnya waktu berlalu bila kita masih ingin menikmatinya."
Mereka berdiri, sama-sama berjalan ke lift.
"Nanti kita bisa surat-suratan
http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari