Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ketika Barongsai Menari - 28

$
0
0
Cerita Cinta | Ketika Barongsai Menari | by V. Lestari | Ketika Barongsai Menari | Cersil Sakti | Ketika Barongsai Menari pdf

Serial Dewi Ular - 32. Hantu Kesepian Sunshine Becomes You - Ilana Tan Aisyah Putri - Asma Nadia Dendam Berkarat Dalam Kubur - Abdullah Harahap Goosebumps 40. Boneka Hidup Beraksi III

, Ron. Pakai e-mail, ya?"
  "Oh ya. Mungkin cuti nanti aku jalan-jalan ke tempatmu, ya?"
  Susan tampak bersemangat. "Kapan cutinya, Ron?"
  178
  "Masih agak lama sih. September atau Oktober."
  "Wah, musim semi! Kalau jadi, kuajak kau ke tempat yang sangat indah di sana."
  "Oh ya?" Ron senang. "Betul, ya? Kau cuti juga?"
  Susan tersenyum, menangkap antusiasme Ron. Benarkah Ron serius? "Mudah-mudahan bisa, Ron. Aku senang bisa cuti di musim semi. Menikmati keindahan alam sungguh menyenangkan. Apalagi kalau bersama teman."
  "Kuharap akulah teman itu."
  "Ya. Mudah-mudahan."
  "Tom tidak marah?" Ron mengamati wajah Susan.
  Susan tersenyum. "Kukira tidak."
  Sebenarnya Ron tidak puas. Ia belum yakin benar, apakah Susan bersungguh-sungguh. Sayang waktu tidak cukup banyak.
  Mereka keluar dari lift. Ron menemani Susan menuju pintu apartemen Tom.
  "Tidak ingin bekerja di New York Times, Sus?"
  "Wah, belum kepikir, Ron. Untuk bisa ke sana aku mesti bagus dulu dong. Sekarang aku belum apa-apa. Belum setahun pengalamanku."
  "Kau pasti bisa, Sus. Niatkan saja dulu."
  Susan menggelengkan kepala.
  "Kau tak ingin dekat dengan Tom?" Ron balas bertanya.
  Susan tertegun di depan pintu. Ia menatap Ron dengan heran. "Kenapa kau bertanya begitu?"
  Ron tersipu. "Apakah aku lancang bertanya begitu, Sus?"
  "Ah, nggak. Cuma aku ingin tahu saja kenapa kau bertanya begitu."
  179
  "Kukira kau akrab dengan Tom. Senang dong berdekatan dengan orang yang diakrabi."
  "Oh, begitu. Ya, tentu saja senang. Tapi aku tak ingin bergantung kepadanya. Aku khawatir nanti jadi manja dan sedikit-sedikit minta ditolong. Payah, kan?" Susan tertawa.
  "Kan nggak apa-apa begitu, Sus. Tom juga akan senang."
  "Dia senang karena kami sudah lama sekali tidak ketemu. Kalau berdekatan terus pasti dia pun jengkel. Ada peribahasa Indonesia. Jauh bau bunga, dekat bau tahi."
  Ron tidak mengerti. "Ah, masa Tom begitu?!"
  "Kau tak mengerti, ya? Tom itu kakakku. Dan aku adiknya."
  Ron mengangakan mulutnya.
  "Selamat bekerja, Ron!" kata Susan sambil membuka pintu.
  Ron sampai lupa menyahut. Susan sudah masuk lalu menutup pintu tanpa menunggu jawaban Ron. Setelah menyimak kembali ucapan Susan yang terakhir, Ron buru-buru beranjak dari situ. Ia melangkah lebar-lebar dengan kakinya yang panjang sambil berpikir. Seriuskah Susan bahwa Tom adalah kakaknya dan tak lebih dari itu? Bila Susan beranggapan begitu, bagaimana dengan Tom?
  Setelah mengganti pakaiannya dengan celana pendek dan kaus oblong Susan segera bekerja seperti yang ia rencanakan. Ia membersihkan apartemen Tom. Mumpung ada di situ ia ingin melakukan sesuatu untuk Tom. Ia tak ingin bermalas-malasan. Tetapi
  180
  tak terlalu banyak yang bisa ia kerjakan. Dapur cukup bersih, demikian pula kamar mandi. Yang bisa dilakukannya adalah membuatnya mengilat. Bila tidak begitu Tom tidak akan melihat perbedaannya.
  Sesudah selesai ia merasa capek. Barulah tiba saatnya istirahat. Dan itu terasa nikmat sekali. Kerja dulu, baru istirahat. Ia mencari makanan di dalam kulkas, menemukan crackers dan susu, lalu membawanya ke depan televisi.
  Pada saat itu telepon berdering. Pasti Tom, pikirnya sambil melompat bangun. Jangan-jangan Tom tak bisa pulang seperti yang direncanakan. Apakah rumah sakit kebanjiran pasien yang perlu dioperasi?
  Tetapi itu bukan Tom. Suara Danny yang ceria menyambutnya.
  "Sudah makan, Sus?"
  "Sedang makan. Kau?"
  "Akan makan." Tawa Danny berderai. "Tidak makan di luar? Kantin misalnya? Eh, di situ bisa menyediakan nasi goreng, Sus! Apa Tom tidak bilang?"
  Susan heran kenapa Danny begitu meributkan soal makan. Ia sendiri sudah lama tidak lagi memperhitungkan selera bila akan makan. Yang penting perutnya tidak lapar lagi. Baginya masalah selera baru diperhitungkan bila situasi memungkinkan.
  "Tom lagi ngapain, Dan?"
  "Ah, Tom melulu yang ditanyakan. Kenapa aku juga tidak ditanyakan sekalian?"
  Susan tertawa. Teman-teman Tom rupanya memiliki karakter berbeda-beda. Bagaimana mungkin orang seperti Danny bisa jadi ahli bedah?
  181
  "Katanya nanti mau jalan-jalan ya, Sus? Aku tanya sama Tom, apakah aku boleh ikut. Langsung mukanya ditekuk! Padahal aku cuma bercanda saja."
  "Maklu
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari

  m, Dan. Kami sudah lama sekali tidak bertemu. Jadi ada banyak yang perlu dibicarakan. Masalah kampung halaman, keluarga, dan banyak lagi. Kalau kau ikut mendengarkan, tak akan mengerti. Nanti cuma jadi kambing congek'!"
  Susan mengatakan "kambing congek" dalam bahasa Indonesia karena susah mencari pemahamannya dalam bahasa Inggris. Seperti perkiraannya Danny berteriak menanyakan apa maksudnya.
  "Oh, itu adalah kambing yang bingung!" sahutnya ringan.
  "Ya, ya. Aku mengerti maksudmu. Tapi biarpun bingung, dia tidak akan menanduk, bukan?"
  "Entahlah. Tergantung kambingnya."
  Danny tertawa. "Kau lucu ya, Sus? Eh, kelamaan bergurau aku jadi lupa maksudku menelepon. Begini, Sus. Besok kau jadi ke New Jersey, kan?"
  "Jadi."
  "Pergi sendiri, kan?" "Ya."
  "Besok kebetulan aku tak ada jadwal pagi dan siang. Malam jaga di Emergency. Dan kebetulan aku ada urusan juga di New Jersey. Bagaimana kalau kita pergi sama-sama saja? Kita jadi bisa saling menemani. Ada kawan mengobrol. Oh ya, aku pakai mobil."
  Susan berpikir sejenak. Dia ingin membicarakannya dulu dengan Tom, tapi tak ingin mengecewakan Danny yang kedengaran antusias. Yang terasa janggal adalah serba kebetulan itu.
  182
  "Aku senang ada kawan, Dan." "Jadi oke, Sus?"
  "Susahnya begini, Dan. Orang yang harus kutemui di New Jersey itu kelihatannya susah menepati janji. Nanti malam aku harus konfirmasi lagi. Jadi atau tidak."
  "Kalau begitu, oke dong? Aku tunggu kabar nanti malam saja."
  Setelah meletakkan telepon Susan membayangkan wajah Danny Martin yang tampan. Sepertinya ia mengenang wajah Kevin Costner dalam film The Bodyguard. Ia tersenyum.
  Kemudian ia teringat pada pemikirannya selintas tadi setelah mendengar usul Danny. Begitu saja ia ingin menanyakannya dulu kepada Tom. Bukankah seharusnya ia tidak perlu melakukan hal itu? Ia berhak memutuskan sendiri.
  "Oh ya, tadi Danny juga memberitahu aku," Tom berkata setelah pulang. "Kupikir, bagus sekali kalau kau punya teman."
  "Jadi dia bisa dipercaya, Tom?"
  Tom tertawa. "Tentu saja. Apa kau takut diculik?"
  "Ah, nggak. Cuma pengalamanku mengatakan, lelaki Barat tidak boleh terlalu dikasih hati. Nanti dia kira boleh minta jantung juga."
  "Wah, sudah berpengalaman rupanya, Sus."
  Susan tersipu. "Bukan begitu, Tom. Maksudku bukan pengalaman, tapi pengamatan."
  "Ya, aku paham. Wartawan pantas bermata tajam."
  "Apakah teman-temanmu baik kepadaku karena mereka sahabatmu, Tom?" Susan ingin tahu.
  183
  "Bisa jadi. Tapi hal lain yang penting buat mereka adalah dirimu sendiri. Kau gadis cantik, masih single. Mereka juga. Jadi logis saja. Kau tentu bisa menerka
  juga."
  "Ya, memang."
  "Apakah para pemuda di Selandia Baru tidak melakukan hal yang sama kepadamu?" "Ih, mau tahu saja."
  Tom tertawa lepas. Kepalanya agak mendongak dan mulutnya terbuka menampakkan deretan giginya yang bagus. Ekspresi seseorang yang sudah terbebas dari stres. Susan merasa senang melihatnya. Tapi kemudian ia teringat, cara Tom tertawa mengingatkannya kepada Sonny. Sesaat ia merasa sedih.
  Tom dan Susan sama-sama mengenakan celana jins. Karena Susan tidak membawa pakaian lebih ia pakai lagi celana yang sama pada saat datang. Lalu Tom meminjaminya blus milik Vivian yang tertinggal dan masih tersimpan selama bertahun-tahun di sudut lemari. Baunya sedikit apek, tapi setelah diciprati minyak wangi bau itu hilang.
  Begitu melihat Susan mengenakan blus itu, Tom tertegun sejenak. Susan bisa menangkap pandangannya. Ia tidak tahu apakah penampilannya membangkitkan nostalgia atau kesedihan bagi Tom. Tetapi dengan cepat Tom sudah kembali seperti sediakala. "Kau kelihatan cantik dan segar. Seperti... seperti bunga mawar!" Tom memuji dengan caranya sendiri.
  Di lantai dasar bangunan apartemen mereka berpapasan dengan Danny yang juga berpakaian santai. Begitu melihat Susan, Danny terperangah sejenak sebelum tersenyum lebar. Meskipun waktunya cuma
  184
  singkat, Susan memahami makna pandangan Danny. Ia yakin Danny pun mengenali blus milik Vivian yang dikenakannya. Blus itu memang memiliki motif mencolok. Bola-bola merah biru di atas dasar hitam. Ia suka motifnya. Tadi di cermin ia merasa dirinya cantik dengan
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari

 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>