
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag I Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag II Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag III Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag IV Panasnya Bunga Mekar bag I
mendengar apa yang kalian percakapkan itu. Kalian merasa, bahwa apa yang kalian lakukan tidak sesuai dengan upah yang kalian terima. Karena itu. jangan korbankan dirimu untuk sesuatu yang tidak akan berarti apa-apa bagi hidupmu”
“Tetapi jika aku kehilangan pekerjaan ini, hidupku akan menjadi semakin sulit” jawab salah seorang dari mereka.
“Lebih baik kehilangan pekerjaan itu daripada kehilangan nyawamu” jawab pengawal itu “sudahlah. Buka pintunya dan beri kesempatan aku menjelaskan”
Kedua orang itu menjadi ragu-ragu. Sementara itu pengawal itu berkata “Atau, kau perlu bukti bahwa kami dapat berbuat seperti yang aku katakan?“
Tiba-tiba saja salah seorang menjawab “Ya. Buktikan bahwa kau dapat melakukannya.
Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya “Baiklah. Kami akan memasuki halaman ini. Tetapi kami tidak berniat untuk bertempur jika kalian tidak mendahului”
Tidak ada jawaban. Sementara itu pengawal itupun berkata “Tunggulah sebentar. Aku akan memberitahukan kepada kawan- kawanku”
Pengawal itu tidak menunggu jawaban. Sejenak ia merayap meninggalkan regol kembali kepada Mahisa Bungalan. Dengan singkat ia menceriterakan keadaan penjaga regol itu dan percakapannya dengan mereka.
“Baiklah. Kita akan memasuki halaman. Tetapi janyan berbuat sesuatu lebih dahulu” berkata Mahisa Bungalan.
Pesan itupun telah merambat dari seorang ke orang lain sehingga seluruh kelompok itu mengerti maksudnya.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Bungalan memberikan isyarat bunyi sebagai perintah kepada para pengawal untuk dengan serentak meloncati dinding dan memasuki halaman. p>
Kehadiran mereka benar- benar mengejutkan dua orang penjaga regol yang masih berada ditempatnya. Keduanya menyangka, bahwa sekelompok perampok akan merusak pintu regol. Karena itu. dengan senjata telanjang keduanya menunggui pintu itu, sementara kedua kawannya telah terbangun pula, meskipun mereka masih berada di pendapa.
Sebelum keempat orang penjaga itu berbuat sesuatu, pengawal yang menyebut diri mereka perampok itu telah memenuhi halaman. Sementara pengawal yang telah berbicara dengan dua orang pengawal itu maju mendekati keduanya yang termangu-mangu.
“Nah, bukankan aku berkata sebenarnya” desis pengawal itu.
Kedua orang penjaga itu tertegun. Mereka melihat sekelompok orang yang disangkanya benar-benar perampok telah berada di depan hidungnya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh salah seorang diantara mereka, bahwa jumlah mereka terlalu banyak.
“Apakah kalian berempat akan melawan?“ bertanya pengawal itu.
Keempat orang yang terpisah itu ragu-ragu. Mereka yakin bahwa para perampok itu dapat berbuat sangat kasar terhadap mereka. Bahkan membunuhnya.
“Upah yang kalian terima sama sekali tidak seimbang dengan taruhan yang kalian berikan” berkata pengawal itu “Kau sendiri menyadari. Karena itu, menyerah sajalah. Kami tidak akan mengganggu kalian, kecuali jika kalian melakukan sesuatu yang dapat mengganggu kerja kami”
Keempat orang itu masih membeku.
“Cepat, menyerahlah“ ulang pengawal itu “Jangan menunggu kami kehabisan kesabaran. Letakkan senjata kaliaan sebelum jantung kalian terbelah”
Keempat penjaga itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Yang ada di halaman itu adalah perampok-perampok yang garang dan mempunyai pengalaman yang luas tentang benturan kekerasan.
Karena itu, maka ketika seorang diantara mereka meletakkan senjatanya, maka yang lainpun segera melakukannya pula.
“Ternyata kalian cukup bijaksana” berkata pengawal itu “kalian tidak mau mengorbankan diri untuk upah yang tidak memadai. Silahkan kalian duduk disudut pendapa. Biarlah dua orang kawan kami mengawasi kalimah, sementara kami akan melakukan tugas kami” Keempat orang itupun kemudian duduk dipendapa. Namun salah seorang dari mereka bedesis “Ikat kami. Agar tidak mendapat tuduhan yang dapat menjerat leher kami. Seolah-olah kami telah memberikan jalan kepada sekelompok perampok untuk merampok di rumah ini”
Pengawal itu memandang Mahisa Bungalan sejenak. Ketika kemudian Mahisa Bungalan mengangguk, maka keempat orang itupun kemudian diikat dengan ikat kepala mereka masing-masing.
Dalam pada itu, keributan yang terjadi di pendapa itu ternyata telah membangunkan saudagar kaya yang kikir itu. Sesaat ia mencoba mendengarkan, apa yang telah terjadi di luar. Dengan hati-hati ia mendekati pintu pringgitan. Namun ia tidak berani membuka dan mengintip keluar.
Tetapi suara-suara yang didengarnya telah meyakinkannya, bahwa sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi.
Tetapi saudagar kaya yang kikir itu sama sekali tidak mendengar perkekahian teradi. Karena itu, ia menjadi ragu-ragu. Yang didengarnya hanyalah percakapan yang tidak jelas.
Namun ia terkejut bahwa tiba-tiba pintu pringgitan di hadapannya itu diketuk keras-keras. Hampir saja ia terlonjak dan berteriak. Namun ia berhasil menguasai diri. Karena itu, ia hanya bergeser saja surut beberapa langkah.
“Buka pintu“ terdengar suara garang diluar. Saudagar itu menjadi sangat berdebar-debar. Agaknya telah datang sekelompok perampok yang telah berhasil menguasai para penjaganya.
“Buka pintu“ sekali iagi terdengar suara itu.
Saudagar kaya itu termangu-mangu.
Namun diluar terdengar suara “Rumahmu sudah dikepung. Jangan mencoba lari lewat pintu-pintu butulan. Tidak ada gunanya. Bahkan mungkin hanya akan mencelakakan saja. Keempat orang upahanmu telah kami tangkap dan kami ikat, karena mereka tidak akan mampu melawan kami dalam jumlah yang lima kali lipat”
Sudagar itu menjadi gemetar. Nampaknya memang tidak ada harapan lagi. Yang datang lima kali lipat dari jumlah orang- orangnya.
Meskipun demikian ia mencoba menjawab “Kalian berbohong”
“Jangan bodoh. Kami dapat membakar rumahmu dengan segala isinya” bentak pengawal diluar pintu ”Cepat, buka pintu. Kami bukan tamu yang mengenal sopan santun dan unggah-ungguh. Tetapi kami adalah orang-orang kasar yang tidak punya kesabaran”
Saudagar di dalam rumahnya itu menjadi semakin gelisah. Agaknya orang-orang yang diluar itu benar-benar bukan orang yang mengenal ungguh-ungguh. Ternyata bahwa sejenak kemudian mereka telah mengetuk pintu semakin keras.
“Apakah kau menunggu rumahmu menjadi abu?“ bentak orang yang mengetuk pintu itu.
Saudagar itu menjadi gemetar. Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Kepercayaannya agaknya sudah tidak berdaya lagi, karena yang datang terlalu banyak.
Karena itu, maka dengan tangan gemetar itupun telah membuka pintu pringgitan. Demikian pintu itu terbuka, maka dua orang yang berdiri didepan pintu telah mengacungkan pedangnya kedadanya.
“Kau akan melawan?“ bertanya salah seorang. Sebenarnyalah yang datang memang terlalu banyak. Apalagi menurut orang yang mengetuk pintunya, rumah itu sudak dikepung.
Karena itu, maka iapun tidak dapat berbuat apa-apa sama sekali. Apalagi ketika kemudian ia melihat keempat prang penjaga rumahnya sudah terikat.
“Jangan membuat gaduh” berkata salah seorang pengawal “kumpulkan semua Keluargamu. Isteri dan anak-anakmu, pelayan- pelayanmu dan siapa saja yang berada dirumah ini” p>
Saudagar itu tidak dapat membantah lagi. Semua keluarganyapun dikumpulkannya. Mereka terpaksa duduk diam dijaga oleh tiga orang berwajah garang dan berpakaian serba hitam. Seorang diantara anak saudagar kaya itu, menangis tidak henti-hentinya. Betapapun para perampok itu membentaknya, namun anak itu masih tetap menangis saja.
“Biarkan saja” desis Mahisa Bungalan yang juga berpakaian seperti kawan-kawannya.
Seorang pengawalpun kemudian bertanya kepada saudagar kaya itu Tunjukkan, dimana harta bendamu kau simpan?“
Saudagar itu menjadi gemetar. Tetapi ia menjawab “Aku tidak mempunyai harta benda berlebih-lebihan, selain yang nampak di ruangan-ruangan ini.
“Jangan bohong” orang yang bertanya itu membentak.
Saudagar itu terkejut. Sementara anaknya menangis semakin keras. Tetapi orang-orang kasar itu tidak menghiraukannya. Bahkan salah seorang berkata “Nah, kau tahu. Menangis terlalu lama tidak baik bagi anak-anak. Mungkin ia akan menjadi sesak nafas. Mungkin menjadi lemas. Mungkin masih akan dapat timbul akibat-akibat yang lain”
Saudagar itu termangu- mangu. Sementara orang kasar itu berkata lagi Tetapi lebih parah lagi jika kamilah yang kehilangan kesabaran. Akibat yang timbul akan lebih parah dari sekedar sesak nafas, lemas atau akibat-akibat yang lain dari tangisnya.
“Jangan Jangan ganggu anakku” tangis isteri saudagar itu.
“Terserah kepada kalian” berkata orang kasar itu “Apakah kalian lebih sayang akan harta bendamu, atau kalian lebih sayang kepada anakmu”
“Kedua-duanya desis saudagar itu.
“Aku hanya memberimu kesempatan memiliki-salah satu” geram orang kasar itu.
“Jangan ganggu anakku“ tangis isteri saudagar itu semakin memelas.
“Berkatalah kepada suamimu” berkata perampok yang garang itu.
Isteri saudagar itu memandang suaminya sejenak. Lalu katanya “Berikan. Berikan semuanya yang diminta. Tetapi jangan anakku”
Saudagar itu termangu- mangu. Ia adalah orang yang sangat kikir. Orang yang seluruh hidupnya diabdikannya kepada harta benda yang dikumpulkannya dengan sangat tekun. p>
Karena itu, maka ia harus berpikir berulang kali untuk mengambil keputusan. p>
Tetapi isterinyalah yang menangis “Berikan. Berikan. Aku memerlukan anak ini lebih dari segala-galanya.
Saudagar yang kikir itu menjadi sangat bingung. Ia sayang kepada anak- anaknya Tetapi iapun sayang sekali kepada harta bendanya.
“Cepat ambil keputusan” bentak perampok itu.
Saudagar itu menjadi semakin bingung. Hampir menangis ia berkata Jangan sudutkan aku ke dalam kesulitan semacam ini”
“Baiklah” berkata perampok itu “Jika demikian, aku akan membakar rumah ini bersama segala isinya. Kau, isteri dan anak- anakmu”
“Jangan anak-anakku“ tangis isterinya “bakar aku dan isi rumah ini. Harta benda terkutuk itu. Teapi selamatkan anak-anakku. p>
Saudagar itu bahkan menangis lebih keras lagi ”Aku menjadi bingung sekali”
Tetapi tangisnya terputus ketika ujung belati menyentuh lehernya “Aku dapat memutuskan lehermu dan menghentikan tangismu yang gila ini. Bukankah kau seorang laki-laki? Bukankah kau seorang yang sangat kikir? Yang sampai hati melihat saudara sepupumu kelaparan dan telanjang? Kenapa kau begitu cengeng dan menangis seperi kanak-kanak“
Dada saudagar itu menjadi sesak. Namun akhirnya ia berkata “Jangan bunuh aku”
“Nah, jika demikian, dirnana kau menyimpan harta bendammu, yang kau kumpulkan dengan cara yang sangat licik. Kau hisap tetangga-tetanggamu dengan segala macam cara. Kau timbuni dirimu dengan keuntungan yang melimpah ruah. Kau biarkan orang lain menjadi miskin karena pokalmu” berkata perampok yang kasar itu “sekarang, tunjukkan. Dimana harta bendamu”
Orang itu tidak dapat menolak lagi. Dengan sendat ia berkata “Aku menyimpannya di bawah pembaringan”
Perampok itu tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kemudian mendorong saudagar itu sambil membentak “Tunjukkan aku, di mana pembaringanmu”
Saudagar yang ketakutan itupun kemudian pergi ke sentong kiri. Cahaya lampu yang redup membuat ruangan itu tidak cukup terang. Tetapi seorang perampok yang lain telah membawa lampu yang lebih besar memasuki ruangan itu.
“Di kolong pembaringan ini” bertanya perampok “Di bawah kolong” desis saudagar itu.
“Cepat ambil” bentak perampok yang kasar itu.
Saudagar itupun kemudian membuka pembaringannya. Diambilnya galar ambennya satu demi satu. Baru kemudian nampak disudut kolong pembaringannya terdapat sehelai kepang bambu terbentang diatas lantai batu. p>
Sejenak saudagar itu ragu-ragu. Tetapi perampok yang kasar itu telah mendorongnya dengan ujung pisau belati.
Demikianlah, maka akhirnya saudagar itu terpaksa mengangkat dua buah peti dibantu oleh dua orang perampok yang selalu mengancamnya. Dengan wajah pucat dan tangan gemetar saudagar itu meletakkan kedua peti itu di depan pintu sentongnya.
“Terima kasih” berkata para perampok itu “Aku akan melihat, apakah isi petimu ini”
Kedua peti kayu itupun kemudian telah dibuka. Isinya memang menggetarkan. Saudagar itu benar-benar seorang kaya raya, meskipun pada sisi luar dari kehidupannya sehari-hari tidak terlalu nampak.
“Ki sanak” berkata perampok yang kasar itu “ternyata aku memang memerlukan barang-barang ini. Tetapi kami bukannya orang yang tidak berjantung. Kami akan membawa satu saja dari kedua petimu ini” “Jangan “ tangis saudagar kaya itu.
“O, jika demikian aku akan membawa kedua-keduanya” berkata perampok itu kemudian.
“Jangan, jangan“ saudagar itu menangis lagi.
“Karena itu, katakan. Yang manakah yang harus aku bawa. Satu, atau dua atau seisi rumahmu ini?“ perampok itu mulai membentak, sementara pisau belatinya mulai menyentuh tubuh saudagar itu lagi. Katanya pula “Jika kau tidak mau melepaskan kedua-keduanya, maka nyawamulah yang akan terlepas. Akhirnya aku akan memiliki kedua petimu itu pula”